"Maksudmu?" tanya Luna lirih. Ia jadi takut jika Aiden ternyata tahu sesuatu hingga menanyakan ini."Ah.. kau tahu kan pertemuan kita pada malam itu? dia selalu menatapmu terus. Aku takut jika dia macam-macam padamu." Aiden menunjukkan wajah kesal dan itu membuatnya lucu.Luna menggeleng. "Tidak, dia hanya bertanya kamar pasien saja.""Syukurlah, kau jangan terlalu dekat dengannya. Dia sangat genit."Luna terkekeh mencubit pipi Aiden. "Iya sayang."Luna melupakan sesuatu. "Ngomong-ngomong bagaimana pelaku yang membakar kantormu itu?" Ini memang bukan urusan Luna, tetapi sebagai istri ia juga ingin tahu apa saja yang dihadapi suaminya.Aiden menggeleng. "Tidak ada hasil apapun." Seperti kasus pada dua tahun silam ketika tiba-tiba kepala divisi dari kantor cabang hilang tanpa kabar. Sedangkan sebagian data penting ada padanya. Sampai saat inipun Aiden belum menemukan orangnya. Apakah hilang sungguhan? Atau sudah tiada? Apa melarikan diri dan hidup jauh dari keramaian dunia karena suatu
"Aku sepertinya tahu siapa yang kau cari."Setelah mengatakan itu dan telepon terputus, Aiden langsung melihat pesan dari Robert. Berupa file dengan rincian mutasi rekening, foto, struk pembelian bensin dalam jumlah banyak, dan yang terakhir video rekaman cctv pembelian di pom bensin.Tapi dari foto dan video hanyalah orang suruhan yang bertugas menjalankan tugas. Meski begitu Aiden tetap berterima kasih pada sahabatnya. Ia tahu harusnya sedari dulu melibatkan Robert, laki-laki itu banyak menjalankan bisnis. Termasuk ini.Setelah selesai dengan belanjaan yang diperlukan, dan Edward saudara laki-lakinya yang memilih masuk ke supermarket itu telah keluar. Aiden yang hanya menunggu di mobil bersiap, meletakkan ponselnya pada saku dan mengesampingkan urusan pekerjaannya nanti.Aiden adalah tipikal laki-laki yang menghargai waktunya dengan keluarga.******Acara memanggang daging berjalan dengan lancar. Ditambah lagi Edward yang pandai bermain alat musik dan membawa gitar, memetik senar me
Sudah tiga puluh menit lebih keduanya hanya menunggu di luar mobil. Cuacanya begitu terik. Aiden sudah menyuruh Luna untuk duduk saja di dalam mobil dengan kaca terbuka agar tidak terlalu panas. Sebab pendingin juga otomatis mati karena mesin mobil mati.Aiden mencoba menghubungi siapapun dari ponsel Luna. Namun karen istrinya hanya memiliki nomor ponsel Giselle jadi hanya itu yang Aiden hubungi. Dengan susah payah sebab sinyal juga hilang muncul. Tapi tidak berhasil, dan kebetulan Aiden menghafal nomer ponsel sekretarisnya. Meski berbeda negara Aiden tetap berusaha. Dan hasilnya nihil, tentu saja tidak bisa.Aiden tidak tega jika mengajak Luna untuk berjalan dulu hingga mendapatkan bantuan. Tapi Aiden jugs tidak tega meninggalkan istrinya itu disini sendiri."Sayang mau berjalan dulu?" Tanya Aiden. Hanya ini yang dapat dia pilih selain meninggalkan istrinya sendiri.Luna mengangguk kemudian keluar dari mobil dan berdiri di samping suaminya."Apa bisa?" tanya Aiden melirik pada kaki L
"Hm?" Luna mengedipkan matanya. "Apa yang akan kau lakukan jika kau tidak terlahir dari keluarga Wilson?" Aiden mengulang lagi pertanyaannya. Luna berpikir sejenak kemudian terkekeh. "Aku akan menemuimu, dan memintamu menikah denganku."Bibir Aiden mengembang membentuk senyum memamerkan gigi rapinya. "Bisa saja kau ini." Tangan Aiden terulur menarik pinggang istrinya agar lebih dekat lagi. "Kalau aku juga tidak terlahir dari keluarga Ellworth kau masih mau denganku?" Luna mengangguk mantap. Seperti yang laki-laki itu bicarakan tadi, meski takdir Aiden tidak terlahir dari keluarga Ellworth. Aiden akan terus bekerja keras. Kalaupun laki-laki itu hanya sampai di batas sebagai karyawan swasta. Tapi kepribadian Aiden adalah yang Luna sukai. "Kenapa begitu?" tanya Aiden dengan kening berkerut. Tidak biasanya ada perempuan seperti ini. "Kau pekerja keras, dan hatimu lembut." "Itu tidak menjamin. Jika aku tidak terlahir dari keluarga Ellworth, dan mungkin keluargaku tidak sehangat ini.
Mau bagaimanapun Luna harus terlihat panik dan khawatir juga. Perempuan itu segera mendekat ke arah Bibi Tiana. Menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa bagaimana nadi berdenyut. Melambat itu yang Luna rasakan dari ibu jarinya. Luna juga melihat telapak tangan Bibi Tiana yang berkeringat. Hmm.. Lantas perempuan itu melongok ke bawah melihat kaki Tiana. Menunduk, dan memegangnya secara beraturan. Aiden melihat aksi Luna yang sedang menyentuh kaki Tiana. "Tolong bawa bibi segera ke kamar." Luna memerintahkan entah pada siapapun yang bisa membantu. Edward lebih dulu sigap dan segera menggendong tubuh Tiana. Luna juga mengikuti Edward dari belakang. Tidak hanya Luna semuanya ikut ke kamar Tiana. Begitu sudah sampai di kamar Tiana, Luna meminta Edward untuk memposisikan tubuh Tiana dengan tubuh yang datar. Tidak ada bantal yang lebih tinggi.Edward menurut meletakkan Tiana perlahan di kasur. Luna duduk disamping Tiana, melonggarkan pakaian Tiana tapi tidak melepasnya. Lalu m
Aiden memang tidak sombong, tapi tidak munafik bahwa dirinya tidak pernah memakai barang murah seperti ini. Namun ketika Luna memilihnya dan memakaikan kalung ini padanya, hati Aiden menghangat. Sesuai dengan apa yang Luna katakan ia berjanji tidak akan menghilangkan kalung ini. Meski nanti pada rapat dengan kolega ia akan tampak seperti preman anak remaja yang memakai kalung hitam. Hahaha... tidak masalah, mungkin ini sebuah jimat dari istrinya. Luna menarik tangannya untuk berlalu dari pedagang aksesoris. Istrinya itu membawanya pada penjual makanan. Sebuah daging ikan yang ditusuk ditambah dengan kuah sambal. Mata Luna sudah berbinar melihatnya, perempuan itu melongok pada aneka ragam yang dijual. Tapi pilihannya tetap pada daging ikan tersebut. Luna mengambilnya tiga tusuk, kemudian penjual memberinya satu gelas kuah sambal. "Silahkan dibayar tuan Aiden," kata Luna dengan wajah senangnya itu. Aiden terkekeh mengeluarkan dompet lagi, tapi sebelum membayar ia juga mengambil dua
Luna hanya diam. Atmosfir juga berubah menjadi aneh kala Madam menjelaskan kartu yang Aiden pilihkan untuknya. Ternyata sebuah kebohongan tidak akan pernah menang. Jadi dirinya akan terungkap suatu saat nanti. Madam beralih pada kartu kedua. Judgement. Sebuah kartu dengan gambar seorang malaikat bersayap meniup sebuah terompet, dan dibawahnya ada beberapa orang menadahkan tangan. "Ini masih ada sangkut pautnya dengan yang pertama. Judgement. Waktu untuk berubah - Imbalan - Retribusi - Keputusan - Pemurnian dan Transformasi. Kau akan menuai manfaat dari upaya masa lalu. Kejelasan atas tindakan kau. Ada dua pilihan, mengampuni mereka dan membuat keputusan untuk hubungan ke depannya. Atau balas dendam, menghindari komitmen. Keputusan hukum dapat melamanmu."Tanpa terasa Luna mempererat tautan tangan Aiden, namun pandangan matanya fokus pada Madam. Keduanya keluar dari tenda dengan perasaan tidak baik-baik saja. Lebih tepatnya dari pihak Luna. Aiden sudah meyakinkan berkali-kali untuk
Kenapa dalam hidup tidak pernah mendapat porsi bahagia seterusnya. Maksudnya, baru saja Luna merasa senang. Tapi ada saja yang membuat senyumnya lantas luntur begitu saja.Darren menarik garis dibibirnya membentuk senyum tipis. Ditangan laki-laki itu sudah ada beberapa potong baju yang telah dicoba.Darren melirik ke belakang tepat dimana pintu yang lurus dengan posisi Luna. "Sedang menunggu seseorang?"Luna mengangguk pelan."Suamimu?" tanya Darren lagi.Luna hanya menjawabnya dengan anggukkan. Luna tahu dari raut wajah Darren terlihat bahwa laki-laki itu sedang ingin mengajaknya bicara.Tapi pada akhirnya Darren hanya menghela napas lalu pamit berlalu. Luna sendiri hanya melirik kepergian Darren tanpa mau menahannya.Lagipula semuanya sudah berakhir bukan. Tidak ada gunanya terus mengungkit masa lalu dan menyesali yang terjadi. Penyesalan hanya akan membuat hidupmu kian memburuk. Terjebak pada masa yang telah habis yang tidak dapat kau putar lagi.Luna langsung tersadar kala pintu r