Luna langsung melepas pelukan dan menyambar ponselnya. Dalam otaknya perempuan itu harus buru-buru pergi membawa ponsel dan menjawab panggilan dalam radius 10 meter atau mungkin lebih. Tapi jika dilogika lagi, itu akan tampak mencurigakan daripada dirinya yang langsung menjawab telepon ditempat.Luna berpura-pura menghembuskan napasnya kasar dan memutar bola matanya. "Dia lagi," keluh Luna."Siapa? Kenapa tidak diangkat?" tanya Aiden melihat Luna menolak panggilan tersebut. Istrinya bahkan menyalakan mode silent di ponsel."Orang rumah sakit, yang sering aku minta tolong belikan makan itu.""Kenapa dia meneleponmu selarut ini?" tanya Aiden semakin bingung.Eh? Astaga.Alasan apalagi yang harus ia gunakan sekarang?Luna menaikkan bahu. "Aku rasa dia sedikit.."Aiden berdecak. "Blokir nomornya, kalau besok masih meminta uang padamu atau muncul dihadapanmu aku habisi." Aiden mengira bahwa Harris berniat genit pada Luna. Insting pria terhadap pria.Aiden beranjak dari kasur, moodnya sudah
Perebutan stroberi itu akhirnya dimenangkan oleh Aiden. Luna menyadari bahwa suaminya telah banyak berkorban. Lagi pula di dalam lemari es masih banyak stroberi. Jadi ya sudah tidak apa Aiden bisa memiliki roti dan stroberi tersebut. Dan keduanya bisa makan dengan tenang dan segera beristirahat. Seperti yang Aiden katakan sejak hari pertama keduanya menjadi suami istri. Aiden akan memberikan bunga untuk Luna setiap pagi. Hingga saat ini laki-laki itu masih memberinya bunga. Luna mencium aroma bunga tulip pagi ini, warnanya ungu muda lembut dan cantik. Begitu Aiden selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya. Luna langsung berterima kasih. "Terima kasih Aiden."Aiden tersenyum. Yulio sudah memesan bunga pada Flo Florist untuk mengirim bunga yang berbeda setiap hari dengan buket yang rapi dan indah. Jadi otomatis sudah ada yang mengantar bunga saat pagi. "Kau tidak segera bersiap?" tanya Aiden karena Luna tampak santai tidak seperti biasanya yang
Mereka menikmati hidangan dengan tenang. Lebih tepatnya Luna yang mencoba tenang setelah perkenalan singkat tadi. Robert Mariano adalah laki-laki berkewarganegaraan Spanyol. Namun dari pembicaraan yang Luna dengarkan antara Robert dan suaminya, Robert telah lama berpindah-pindah untuk urusan pekerjaan. Laki-laki itu juga sama kayanya seperti Aiden, atau bahkan lebih. Mendengar bisnis yang dijalankan sudah ada dibeberapa negara. Yang Luna lakukan hanyalah menyuapkan pasta ke mulutnya, lalu beberapa kali menyinggung senyum pada Robert atau Aiden ketika namanya disebut. "Bagaimana dengan bisnis keuanganmu yang dulu? Baru-baru ini aku juga ingin mencobanya. Pinjaman online sudah mulai merebak dikalangan anak muda. Mereka cenderung tidak bisa mengatur uangnya dengan baik hingga terjerat pinjaman." Aiden membahas bisnisnya. Ia perlu pengalaman bisnis ini pada Robert sebab laki-laki itu telah memiliki satu aplikasi pinjaman online sejak lama. Robert terkekeh. "Saemakin tinggi jumlah nasab
Luna menunggu di depan rumah sakit, Aiden bilang dia masih ada rapat dengan kolega dari luar negeri tapi sebentar lagi akan ada yang menjemput Luna."Sudah menunggu lama nona?" sebuah mobil ferrari berwarna hitam berhenti tepat di depan Luna. Pengemudi membuka jendela agar lebih mudah berbicara dengan perempuan yang ia jemput.Luna hanya mengira yang menjemputnya mungkin supir Aiden atau Yulio. Tapi ternyata jauh dari prediksinya, Luna tidak mengerti kenapa Aiden mempercayai temannya untuk menjemput istrinya."Kau.."Zack mengangguk turun dari mobil yang kemudian membukakan pintu penumpang untuk Luna. "Aiden meminta padaku untuk mejemputmu."Luna masih diam tak bergeming mencerna situasi. Tidak masalah sebenarnya toh mereka pernah bertemu sebelumnya tetapi, ia agak curiga dengan laki-laki itu.Zack menggerakkan kepalanya pada pintu yang telah dibuka. Meminta Luna untuk cepat bergerak agar tugasnya cepat selesai juga.Menghembuskan napas, akhirnya Luna melangkahkan kakinya untuk masuk
"Maaf apa aku mengganggu waktumu?" tanya Darren begitu Luna menjawab teleponnya. "Hm.. sebenarnya iya. Tapi ada apa kau menelepon?" Terjadi jeda lama. Luna memang sudah menikah, telah memberikan hati dan menyerahkan dirinya pada laki-laki sebaik Aiden. Namun tidak bisa dipungkiri, perempuan itu juga pernah mencintai secara dalam pada laki-laki yang menerima dirinya apa adanya kemarin. Jadi tolong jangan salahkan Luna jika kini perasaannya terganggu. Terdengar Darren menghembuskan napasnya. "Bagaimana kabarmu?""Baik."Menelan ludahnya Luna menahan diri untuk tidak bertanya balik. Ia harus berusaha tidak mau tahu tentang Darren lagi. "Ada apa?" tanya Luna lagi. Ia tidak bisa basa-basi saat ini. "Kau sungguhan akan menikah?" tanya Darren. Pertanyaan ini membuat Luna mengulang memori pada pertemuan mereka pada kejadian lari pagi dan Aiden datang memperkenalkan diri sebagai calon suaminya. Luna mengangguk meski ia tahu Darren tidak dapat melihatnya. "Aku tahu ini bukan urusanku sa
Mandi bukan sekadar mandi. Tentu saja, mandi hanyalah selipan kegiatan yang Aiden maksudkan. Laki-laki itu tentu saja mengambil kesempatan lain. Menggerayangi tubuh Luna, menciumi bibir istrinya itu. Meremas kedua pantat kenyal Luna, mengulum buah dada Luna yang kali ini terlihat dengan jelas.Didalam bath up apapun yang ingin Aiden lakukan, ia lakukan. Laki-laki itu bahkan melakukan kegiatan dewasa melebihi empat kali. Luna lemas dibuatnya. Istrinya tertidur begitu Aiden menggendongnya keluar kamar mandi. Aiden sampai harus memakaikan pakaian pada tubuh istrinya. Meski hatinya sedang bergemuruh senang, ya laki-laki akan terlampaui bahagia setelah melakukan adegan dewasa. Begitu pakaian telah terpakai di tubuh Luna, Aiden harus mengeringkan rambut istrinya dengan keadaan Luna sambil tertidur di kasur.Untungnya hair dryer milik Luna tidak memiliki suara yang nyaring. Jadi perempuan itu tidak perlu terganggu hingga terbangun. Ketika semuanya telah beres, barulah keduanya tidur. Tent
Aiden menjawil hidung Luna pelan. "Itu klien yang aku sebutkan dichat tadi. Tahu tidak? Itu gadis yang kemarin dekat dengan Zack.""Ahh.. jadi itu! Cantik juga. Bagaimana ceritanya? Apa masih berlanjut Zack dengan gadis itu?" Tanya Luna antusias. Ia suka dengan cerita cinta orang-orang.Tetapi Aiden menggeleng. "Tidak, makanya Zack sedih.""Aku kira Zack adalah tipe laki-laki yang mudah berpaling."Aiden terkekeh mendengarnya. "Kenapa begitu?""Entahlah, hanya dari wajahnya saja.""Seperti pemain ya?" Tebak Aiden akan pikiran Luna.Luna mengangguk. Perempuan itu lantas beranjak dari pangkuan Aiden, kembali pada meja rias untuk membersihkan riasannya. Sudah malam dan Luna perlu segera beristirahat.Begitu Luna telah selesai mandi dan berganti dengan gaun tidur, Aiden sudah di kasur tetapi mengenakan kacamata bacanya dan ada tab ditangan."Masih bekerja ya?" Tanya Luna naik ke kasur. Merebahkan diri di samping Aiden dan menarik selimut. Luna mengintip apa yang sedang Aiden kerjakan."It
Selena melambaikan tangan ketika melihat atensi Luna. Tetapi Luna hanya diam terpaku pada pasangan yang Selena gandeng."Itu temanmu," kata Aiden mengetahui Selena sedang melempar senyum pada istrinya. Namun istrinya hanya diam tidak merespon apa-apa hingga Selena berjalan ke arah mereka dengan pasangannya.Aiden tersenyum menyambut, meski Selena adalah teman Luna tetapi sebagai suami ia juga harus bersikap ramah."Hai Luna. Hai Aiden," sapa Selena.Aiden mengangguk sebagai balasan sapaan Selena. "Perkenalkan ini kekasihku. Darren," ujar Selena memperkenalkan laki-laki disampingnya itu sebagai kekasih pada Luna dan Aiden.Luna mengernyitkan kening. Dapat ia lihat Darren juga menyimpan sesuatu dari raut wajahnya. Seperti ada banyak yang ingin lelaki itu beritahukan."Hai kau yang waktu itu kan? Kita sudah berkenalan." Aiden mengingatnya, ketika menghampiri Luna yang lari pagi dan bertemu dengan Darren. Tapi tak urung Aiden dan Darren tetap berjabat tangan sebagai bentuk sopan santun di
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem