Aiden menjawil hidung Luna pelan. "Itu klien yang aku sebutkan dichat tadi. Tahu tidak? Itu gadis yang kemarin dekat dengan Zack.""Ahh.. jadi itu! Cantik juga. Bagaimana ceritanya? Apa masih berlanjut Zack dengan gadis itu?" Tanya Luna antusias. Ia suka dengan cerita cinta orang-orang.Tetapi Aiden menggeleng. "Tidak, makanya Zack sedih.""Aku kira Zack adalah tipe laki-laki yang mudah berpaling."Aiden terkekeh mendengarnya. "Kenapa begitu?""Entahlah, hanya dari wajahnya saja.""Seperti pemain ya?" Tebak Aiden akan pikiran Luna.Luna mengangguk. Perempuan itu lantas beranjak dari pangkuan Aiden, kembali pada meja rias untuk membersihkan riasannya. Sudah malam dan Luna perlu segera beristirahat.Begitu Luna telah selesai mandi dan berganti dengan gaun tidur, Aiden sudah di kasur tetapi mengenakan kacamata bacanya dan ada tab ditangan."Masih bekerja ya?" Tanya Luna naik ke kasur. Merebahkan diri di samping Aiden dan menarik selimut. Luna mengintip apa yang sedang Aiden kerjakan."It
Selena melambaikan tangan ketika melihat atensi Luna. Tetapi Luna hanya diam terpaku pada pasangan yang Selena gandeng."Itu temanmu," kata Aiden mengetahui Selena sedang melempar senyum pada istrinya. Namun istrinya hanya diam tidak merespon apa-apa hingga Selena berjalan ke arah mereka dengan pasangannya.Aiden tersenyum menyambut, meski Selena adalah teman Luna tetapi sebagai suami ia juga harus bersikap ramah."Hai Luna. Hai Aiden," sapa Selena.Aiden mengangguk sebagai balasan sapaan Selena. "Perkenalkan ini kekasihku. Darren," ujar Selena memperkenalkan laki-laki disampingnya itu sebagai kekasih pada Luna dan Aiden.Luna mengernyitkan kening. Dapat ia lihat Darren juga menyimpan sesuatu dari raut wajahnya. Seperti ada banyak yang ingin lelaki itu beritahukan."Hai kau yang waktu itu kan? Kita sudah berkenalan." Aiden mengingatnya, ketika menghampiri Luna yang lari pagi dan bertemu dengan Darren. Tapi tak urung Aiden dan Darren tetap berjabat tangan sebagai bentuk sopan santun di
Kai menatap Darren sengit. Sedang Hana menatap Darren dengan ilfeel . Luna sendiri sebagai tujuan Darren mendekati meja mereka hanya dapat diam. Dalam otak Luna mencerna, sejak kapan laki-laki itu ada disini? atau apakah laki-laki itu mendengar apa yang mereka bicarakan?"Ah, teman-teman aku sepertinya memang perlu bicara dengan Darren." Luna akhirnya membuka mulut mencairkan suasana mencekam yang teman-temannya ciptakan. "Kau yakin hal seperti itu masih harus dibicarakan?" tanya Hana dengan nada acuh tak acuhnya. "Lagipula kau juga sudah bersuami," sahut Kai yang membuat Luna menahan napas. Kenapa Kai semudah itu membeberkan status perkawinannya. Luna perlu mengatakan ini secara langsung dan dari mulutnya sendiri pada Darren. Namun kalau dipikir-pikir apa gunanya juga? Toh mereka ini sudah mantan. Luna segera beranjak dari duduknya dan mengajak Darren untuk menjauh dari meja teman-temannya. Keduanya pun memilih meja di ujung ruangan yang tidak begitu terlihat. "Jadi?" tanya Luna
Luna menghembuskan napasnya. Energinya habis selesai berbincang dengan Darren. Malam ini ia mengatakan pada Aiden akan pulang bersama teman-temannya. Aiden tidak perlu menjemput. Memang benar, Hana dan Kai mengantarnya sampai Apartemen. Tapi kemudian perempuan itu berjalan gontai menjauhi Apartemen. Luna memerlukan waktu sendiri dulu untuk kembali cerita dihadapan Aiden nanti.Jadi langkah Luna berjalan menuju sungai yang tidak jauh dari Apartemen. Suasanannya memang tidak seramai biasanya, dan memang ini yang Luna perlukan.Perempuan itu lantas melepas heels yang terpasang dikaki sejak jam 7 pagi. Ia lelah, tentu saja kakinya bahkan sampai gemeteran terlalu lama mengenakan heels. Namun daripada itu, batin Luna lebih lelah.Hidupnya sekarang memang berbeda drastis dari sebelumnya. Apa yang Luna impikan terwujud, bekerja di Perusahaan bergengsi, memiliki keluarga besar yang terpandang, menikahi laki-laki tampan dan kaya raya yang penuh kasih sayang, meski semua itu palsu.Ada perasaan
"Dia mafia di Spanyol. Sekali itu disebut hutang, selamanya akan menjadi hutang."Dari sini Luna mulai menyesali keputusannya. Ia sudah salah bersedia menjadi pengantin pengganti. Posisinya tidak lagi aman dan semakin sulit."Jika dia tahu aku membayar untuk hutang Harris Devaux, tanpa bercerita apa alasannya semuanya akan terungkap. Bahkan jati dirimu sebagai istri Aiden Ellworth." Arthur menambahkan.Luna tidak bisa lagi menjawab. Ia hanya mengatupkan bibirnya rapat. Tidak tahu lagi apakah ia masih diperlukan disini atau tidak. Yang pasti ia sudah pasrah jika kembali ke kehidupannya yang lama."Dan jika Aiden tahu semua sandiwara ini, keluarga Wilson yang akan hancur."Luna meneguk ludahnya. Bahkan kali ini kepalanya hanya menunduk tidak berani untuk menatap Arthur.******Aiden melirik Luna yang ada di kursi penumpang dengan tatapan kosong ke jalanan. Jika ketika tadi berangkat dan tiba di rumah Luna tampak senang dengan wajah berseri. Kali ini istrinya itu hanya diam dan murung. S
Luna sudah berlarian menikmati suasana Paris. Hey, akhirnya apa yang ia idam-idamkan tercapai. Kakinya menginjak Paris sekarang. Aiden tersenyum di belakangnya. Laki-laki itu tampak tampan dengan setelan santai. Sweater Ralph Lauren, celana kain dan sepatu berwarna coklat muda.Senang rasanya melihat Luna kembali ceria menikmati suasana liburan. Tidak murung terus seperti kemarin. "Aiden sini!" teriak Luna memanggil suaminya agar cepat menghampiri. Aiden terkekeh mempercepat langkahnya untuk menuju Luna. Istrinya itu sudah mengangkat tangannya tinggi dengan ponsel di genggaman. Bersiap mengambil foto dengan pemandangan di belakangnya. Aiden mendekat, berdiri di samping Luna lalu memeluk pinggang istrinya itu. Begitu dirasa sudah siap dengan ekspresi wajah masing-masing, Luna menekan tombol untuk mengabadikan potret mereka. Aiden berganti gaya, melingkari bahu Luna dengan tangannya. Luna mengerucutkan bibir membentuk duck face. Luna mendekatkan ponselnya, ia melihat beberapa pot
Robert Mariano mengetuk-ketuk jari pada meja kerjanya. Otaknya berpikir dan terus mencerna. Sekali lagi, ia melihat foto istri Aiden. Ia merasa janggal pada perempuan itu, tapi semua latar belakangnya bersih. Laluna Wilson merupakan mahasiswi lulusan kedokteran Stanford. Murni berasal dari keluarga Wilson. Bahkan perempuan itu pemilik saham di Perusahaan mode Bellagas. Meski Robert tahu ini bukan urusannya dan tidak penting untuk dipikirkan apalagi dicari tahu. Langkah seseorang membuat kepalanya mendongak dan teralihkan dari foto-foto Luna. Sekretarisnya datang tergopoh-gopoh dengan tangan memegang ponsel. "Harris Devaux gagal memberikan dollar lagi. Ini info dari kepala cabang." Bryan, sekretarisnya memberi informasi kalau ada nasabah yang menunggak dan membangkang. "Sudah ku katakan berkali-kali. Itu bukan urusanku. Itu urusan kalian. Urusan kepala cabang, beresi semuanya. Aku tidak mau tahu."Bryan menangguk dan meminta maaf. Sebenarnya ia memberikan informasi ini ke bosnya, a
"FloorKey?" beo Luna mengulang nama Perusahaan yang Aiden sebutkan. Laki-laki itu mengangguk. "Itu Perusahaan keramik, dan alat bangunan lainnya. Sudah senior dan terkenal ke penjuru negeri karena cabangnya juga telah banyak berdiri."Luna mengangguk-angguk. Bukan karena ia mengerti, tapi karena ia membenarkan. Tidak salah lagi, itu usaha ayahnya dulu. Yang kemudian hilang seperti debu tidak berjejak ketika bangkrut. Jadi, semua itu karena kekusaan Ellworth. Luna menyadari ia telah salah masuk pada silsilah Ellworth. "Bagaimana kau mengatasinya?" tanya Luna walau sejujurnya ia sendiri takut menanyakan ini. Aiden menoleh pada Luna. "Cukup sulit, tapi Robert telah banyak membantuku dengan ini."Dada Luna seperti tertindih sesuatu yang berat. Rasanya sesak sekali, tidak salah lagi. Pola kehancuran FloorKey bermula dari sini. Atau mungkin yang membuat Harris juga berantakan seperti ini sekarang. Luna berdeham. Mengalihkan pandangan tidak mau membicarakan hal ini lebih lanjut. Dirinya