"FloorKey?" beo Luna mengulang nama Perusahaan yang Aiden sebutkan. Laki-laki itu mengangguk. "Itu Perusahaan keramik, dan alat bangunan lainnya. Sudah senior dan terkenal ke penjuru negeri karena cabangnya juga telah banyak berdiri."Luna mengangguk-angguk. Bukan karena ia mengerti, tapi karena ia membenarkan. Tidak salah lagi, itu usaha ayahnya dulu. Yang kemudian hilang seperti debu tidak berjejak ketika bangkrut. Jadi, semua itu karena kekusaan Ellworth. Luna menyadari ia telah salah masuk pada silsilah Ellworth. "Bagaimana kau mengatasinya?" tanya Luna walau sejujurnya ia sendiri takut menanyakan ini. Aiden menoleh pada Luna. "Cukup sulit, tapi Robert telah banyak membantuku dengan ini."Dada Luna seperti tertindih sesuatu yang berat. Rasanya sesak sekali, tidak salah lagi. Pola kehancuran FloorKey bermula dari sini. Atau mungkin yang membuat Harris juga berantakan seperti ini sekarang. Luna berdeham. Mengalihkan pandangan tidak mau membicarakan hal ini lebih lanjut. Dirinya
Jika diawal pertemuan Luna menilai Zack ini orang yang misterius dan jahat. Ternyata tidak, justru laki-laki itu kini tampak ramah dengannya. Dia juga bercerita ini itu, menceritakan bagaimana sosok Aiden sejak kuliah dan hal konyol yang terjadi. Bahkan disini Zack yang tertawa lebih banyak. Humornya rendah sekali ternyata. "Sebentar, Aiden menelepon." Luna menghentikan tawa Zack begitu ponselnya berdering. "Hallo sayang?" tanya Luna ketika menjawab telepon dari Aiden. ...."Ya aku sedang makan siang, tidak sengaja bertemu Zack disini. Dia bilang dia habis mengantarmu pergi rapat. Mau bergabung?" ...."Baik aku akan kirim nama kafenya." Luna menjauhkan ponsel setelah sambungan terputus. "Dia akan kemari?" tebak Zack dari pembicaraan yang ia dengar. Luna mengangguk. "Akan lebih seru jika ada dia juga bukan?""Benar, haahaha.. ah iya maafkan aku kau seharusnya sembari bekerja bukan?" Zack melihat tab yang Luna bawa. Menebak perempuan itu seharusnya melakukan pekerjaan sembari ma
Robert menatap Luna dengan senyum andalannya itu. Persis seperti awal mereka bertemu kemarin. Jantung Luna sudah berdegup tak karuan. Apalagi menatap mata Robert yang mengintimidasi. "Sedang bekerja?" tanya Robert mencairkan suasana. Kelopak mata Luna berkedip beberapa saat. Ah iya, ia adalah seorang dokter. Jadi itu bisa dijadikan alasan keberadaannya disini. "Ah iya," jawab Luna terkekeh. "Aku terlalu terkejut tadi. Kau sedang apa?" Robert melihat sekitar. "Sedang mencari seseorang. Mungkin kau bisa membantuku." "Ya? Apa yang sedang kau butuhkan." Kali ini Luna mencoba bersikap santai dan profesional. Ia tidak ingin Robert yang terlalu peka ini mencium kecurigaan darinya. "Do you know which room the patient named Harris Devaux was admitted to?"Tenang, Luna harus tenang meski kini nama belakangnya juga Robert sebutkan. "Harris Devaux?" Luna mengernyitkan kening. Robert mengangguk. "Barangkali kau menangani dia juga.""Aku seperti membacanya disuatu dokumen, tapi tidak tahu p
"Maksudmu?" tanya Luna lirih. Ia jadi takut jika Aiden ternyata tahu sesuatu hingga menanyakan ini."Ah.. kau tahu kan pertemuan kita pada malam itu? dia selalu menatapmu terus. Aku takut jika dia macam-macam padamu." Aiden menunjukkan wajah kesal dan itu membuatnya lucu.Luna menggeleng. "Tidak, dia hanya bertanya kamar pasien saja.""Syukurlah, kau jangan terlalu dekat dengannya. Dia sangat genit."Luna terkekeh mencubit pipi Aiden. "Iya sayang."Luna melupakan sesuatu. "Ngomong-ngomong bagaimana pelaku yang membakar kantormu itu?" Ini memang bukan urusan Luna, tetapi sebagai istri ia juga ingin tahu apa saja yang dihadapi suaminya.Aiden menggeleng. "Tidak ada hasil apapun." Seperti kasus pada dua tahun silam ketika tiba-tiba kepala divisi dari kantor cabang hilang tanpa kabar. Sedangkan sebagian data penting ada padanya. Sampai saat inipun Aiden belum menemukan orangnya. Apakah hilang sungguhan? Atau sudah tiada? Apa melarikan diri dan hidup jauh dari keramaian dunia karena suatu
"Aku sepertinya tahu siapa yang kau cari."Setelah mengatakan itu dan telepon terputus, Aiden langsung melihat pesan dari Robert. Berupa file dengan rincian mutasi rekening, foto, struk pembelian bensin dalam jumlah banyak, dan yang terakhir video rekaman cctv pembelian di pom bensin.Tapi dari foto dan video hanyalah orang suruhan yang bertugas menjalankan tugas. Meski begitu Aiden tetap berterima kasih pada sahabatnya. Ia tahu harusnya sedari dulu melibatkan Robert, laki-laki itu banyak menjalankan bisnis. Termasuk ini.Setelah selesai dengan belanjaan yang diperlukan, dan Edward saudara laki-lakinya yang memilih masuk ke supermarket itu telah keluar. Aiden yang hanya menunggu di mobil bersiap, meletakkan ponselnya pada saku dan mengesampingkan urusan pekerjaannya nanti.Aiden adalah tipikal laki-laki yang menghargai waktunya dengan keluarga.******Acara memanggang daging berjalan dengan lancar. Ditambah lagi Edward yang pandai bermain alat musik dan membawa gitar, memetik senar me
Sudah tiga puluh menit lebih keduanya hanya menunggu di luar mobil. Cuacanya begitu terik. Aiden sudah menyuruh Luna untuk duduk saja di dalam mobil dengan kaca terbuka agar tidak terlalu panas. Sebab pendingin juga otomatis mati karena mesin mobil mati.Aiden mencoba menghubungi siapapun dari ponsel Luna. Namun karen istrinya hanya memiliki nomor ponsel Giselle jadi hanya itu yang Aiden hubungi. Dengan susah payah sebab sinyal juga hilang muncul. Tapi tidak berhasil, dan kebetulan Aiden menghafal nomer ponsel sekretarisnya. Meski berbeda negara Aiden tetap berusaha. Dan hasilnya nihil, tentu saja tidak bisa.Aiden tidak tega jika mengajak Luna untuk berjalan dulu hingga mendapatkan bantuan. Tapi Aiden jugs tidak tega meninggalkan istrinya itu disini sendiri."Sayang mau berjalan dulu?" Tanya Aiden. Hanya ini yang dapat dia pilih selain meninggalkan istrinya sendiri.Luna mengangguk kemudian keluar dari mobil dan berdiri di samping suaminya."Apa bisa?" tanya Aiden melirik pada kaki L
"Hm?" Luna mengedipkan matanya. "Apa yang akan kau lakukan jika kau tidak terlahir dari keluarga Wilson?" Aiden mengulang lagi pertanyaannya. Luna berpikir sejenak kemudian terkekeh. "Aku akan menemuimu, dan memintamu menikah denganku."Bibir Aiden mengembang membentuk senyum memamerkan gigi rapinya. "Bisa saja kau ini." Tangan Aiden terulur menarik pinggang istrinya agar lebih dekat lagi. "Kalau aku juga tidak terlahir dari keluarga Ellworth kau masih mau denganku?" Luna mengangguk mantap. Seperti yang laki-laki itu bicarakan tadi, meski takdir Aiden tidak terlahir dari keluarga Ellworth. Aiden akan terus bekerja keras. Kalaupun laki-laki itu hanya sampai di batas sebagai karyawan swasta. Tapi kepribadian Aiden adalah yang Luna sukai. "Kenapa begitu?" tanya Aiden dengan kening berkerut. Tidak biasanya ada perempuan seperti ini. "Kau pekerja keras, dan hatimu lembut." "Itu tidak menjamin. Jika aku tidak terlahir dari keluarga Ellworth, dan mungkin keluargaku tidak sehangat ini.
Mau bagaimanapun Luna harus terlihat panik dan khawatir juga. Perempuan itu segera mendekat ke arah Bibi Tiana. Menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa bagaimana nadi berdenyut. Melambat itu yang Luna rasakan dari ibu jarinya. Luna juga melihat telapak tangan Bibi Tiana yang berkeringat. Hmm.. Lantas perempuan itu melongok ke bawah melihat kaki Tiana. Menunduk, dan memegangnya secara beraturan. Aiden melihat aksi Luna yang sedang menyentuh kaki Tiana. "Tolong bawa bibi segera ke kamar." Luna memerintahkan entah pada siapapun yang bisa membantu. Edward lebih dulu sigap dan segera menggendong tubuh Tiana. Luna juga mengikuti Edward dari belakang. Tidak hanya Luna semuanya ikut ke kamar Tiana. Begitu sudah sampai di kamar Tiana, Luna meminta Edward untuk memposisikan tubuh Tiana dengan tubuh yang datar. Tidak ada bantal yang lebih tinggi.Edward menurut meletakkan Tiana perlahan di kasur. Luna duduk disamping Tiana, melonggarkan pakaian Tiana tapi tidak melepasnya. Lalu m
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem