Luna menghembuskan napasnya. Energinya habis selesai berbincang dengan Darren. Malam ini ia mengatakan pada Aiden akan pulang bersama teman-temannya. Aiden tidak perlu menjemput. Memang benar, Hana dan Kai mengantarnya sampai Apartemen. Tapi kemudian perempuan itu berjalan gontai menjauhi Apartemen. Luna memerlukan waktu sendiri dulu untuk kembali cerita dihadapan Aiden nanti.Jadi langkah Luna berjalan menuju sungai yang tidak jauh dari Apartemen. Suasanannya memang tidak seramai biasanya, dan memang ini yang Luna perlukan.Perempuan itu lantas melepas heels yang terpasang dikaki sejak jam 7 pagi. Ia lelah, tentu saja kakinya bahkan sampai gemeteran terlalu lama mengenakan heels. Namun daripada itu, batin Luna lebih lelah.Hidupnya sekarang memang berbeda drastis dari sebelumnya. Apa yang Luna impikan terwujud, bekerja di Perusahaan bergengsi, memiliki keluarga besar yang terpandang, menikahi laki-laki tampan dan kaya raya yang penuh kasih sayang, meski semua itu palsu.Ada perasaan
"Dia mafia di Spanyol. Sekali itu disebut hutang, selamanya akan menjadi hutang."Dari sini Luna mulai menyesali keputusannya. Ia sudah salah bersedia menjadi pengantin pengganti. Posisinya tidak lagi aman dan semakin sulit."Jika dia tahu aku membayar untuk hutang Harris Devaux, tanpa bercerita apa alasannya semuanya akan terungkap. Bahkan jati dirimu sebagai istri Aiden Ellworth." Arthur menambahkan.Luna tidak bisa lagi menjawab. Ia hanya mengatupkan bibirnya rapat. Tidak tahu lagi apakah ia masih diperlukan disini atau tidak. Yang pasti ia sudah pasrah jika kembali ke kehidupannya yang lama."Dan jika Aiden tahu semua sandiwara ini, keluarga Wilson yang akan hancur."Luna meneguk ludahnya. Bahkan kali ini kepalanya hanya menunduk tidak berani untuk menatap Arthur.******Aiden melirik Luna yang ada di kursi penumpang dengan tatapan kosong ke jalanan. Jika ketika tadi berangkat dan tiba di rumah Luna tampak senang dengan wajah berseri. Kali ini istrinya itu hanya diam dan murung. S
Luna sudah berlarian menikmati suasana Paris. Hey, akhirnya apa yang ia idam-idamkan tercapai. Kakinya menginjak Paris sekarang. Aiden tersenyum di belakangnya. Laki-laki itu tampak tampan dengan setelan santai. Sweater Ralph Lauren, celana kain dan sepatu berwarna coklat muda.Senang rasanya melihat Luna kembali ceria menikmati suasana liburan. Tidak murung terus seperti kemarin. "Aiden sini!" teriak Luna memanggil suaminya agar cepat menghampiri. Aiden terkekeh mempercepat langkahnya untuk menuju Luna. Istrinya itu sudah mengangkat tangannya tinggi dengan ponsel di genggaman. Bersiap mengambil foto dengan pemandangan di belakangnya. Aiden mendekat, berdiri di samping Luna lalu memeluk pinggang istrinya itu. Begitu dirasa sudah siap dengan ekspresi wajah masing-masing, Luna menekan tombol untuk mengabadikan potret mereka. Aiden berganti gaya, melingkari bahu Luna dengan tangannya. Luna mengerucutkan bibir membentuk duck face. Luna mendekatkan ponselnya, ia melihat beberapa pot
Robert Mariano mengetuk-ketuk jari pada meja kerjanya. Otaknya berpikir dan terus mencerna. Sekali lagi, ia melihat foto istri Aiden. Ia merasa janggal pada perempuan itu, tapi semua latar belakangnya bersih. Laluna Wilson merupakan mahasiswi lulusan kedokteran Stanford. Murni berasal dari keluarga Wilson. Bahkan perempuan itu pemilik saham di Perusahaan mode Bellagas. Meski Robert tahu ini bukan urusannya dan tidak penting untuk dipikirkan apalagi dicari tahu. Langkah seseorang membuat kepalanya mendongak dan teralihkan dari foto-foto Luna. Sekretarisnya datang tergopoh-gopoh dengan tangan memegang ponsel. "Harris Devaux gagal memberikan dollar lagi. Ini info dari kepala cabang." Bryan, sekretarisnya memberi informasi kalau ada nasabah yang menunggak dan membangkang. "Sudah ku katakan berkali-kali. Itu bukan urusanku. Itu urusan kalian. Urusan kepala cabang, beresi semuanya. Aku tidak mau tahu."Bryan menangguk dan meminta maaf. Sebenarnya ia memberikan informasi ini ke bosnya, a
"FloorKey?" beo Luna mengulang nama Perusahaan yang Aiden sebutkan. Laki-laki itu mengangguk. "Itu Perusahaan keramik, dan alat bangunan lainnya. Sudah senior dan terkenal ke penjuru negeri karena cabangnya juga telah banyak berdiri."Luna mengangguk-angguk. Bukan karena ia mengerti, tapi karena ia membenarkan. Tidak salah lagi, itu usaha ayahnya dulu. Yang kemudian hilang seperti debu tidak berjejak ketika bangkrut. Jadi, semua itu karena kekusaan Ellworth. Luna menyadari ia telah salah masuk pada silsilah Ellworth. "Bagaimana kau mengatasinya?" tanya Luna walau sejujurnya ia sendiri takut menanyakan ini. Aiden menoleh pada Luna. "Cukup sulit, tapi Robert telah banyak membantuku dengan ini."Dada Luna seperti tertindih sesuatu yang berat. Rasanya sesak sekali, tidak salah lagi. Pola kehancuran FloorKey bermula dari sini. Atau mungkin yang membuat Harris juga berantakan seperti ini sekarang. Luna berdeham. Mengalihkan pandangan tidak mau membicarakan hal ini lebih lanjut. Dirinya
Jika diawal pertemuan Luna menilai Zack ini orang yang misterius dan jahat. Ternyata tidak, justru laki-laki itu kini tampak ramah dengannya. Dia juga bercerita ini itu, menceritakan bagaimana sosok Aiden sejak kuliah dan hal konyol yang terjadi. Bahkan disini Zack yang tertawa lebih banyak. Humornya rendah sekali ternyata. "Sebentar, Aiden menelepon." Luna menghentikan tawa Zack begitu ponselnya berdering. "Hallo sayang?" tanya Luna ketika menjawab telepon dari Aiden. ...."Ya aku sedang makan siang, tidak sengaja bertemu Zack disini. Dia bilang dia habis mengantarmu pergi rapat. Mau bergabung?" ...."Baik aku akan kirim nama kafenya." Luna menjauhkan ponsel setelah sambungan terputus. "Dia akan kemari?" tebak Zack dari pembicaraan yang ia dengar. Luna mengangguk. "Akan lebih seru jika ada dia juga bukan?""Benar, haahaha.. ah iya maafkan aku kau seharusnya sembari bekerja bukan?" Zack melihat tab yang Luna bawa. Menebak perempuan itu seharusnya melakukan pekerjaan sembari ma
Robert menatap Luna dengan senyum andalannya itu. Persis seperti awal mereka bertemu kemarin. Jantung Luna sudah berdegup tak karuan. Apalagi menatap mata Robert yang mengintimidasi. "Sedang bekerja?" tanya Robert mencairkan suasana. Kelopak mata Luna berkedip beberapa saat. Ah iya, ia adalah seorang dokter. Jadi itu bisa dijadikan alasan keberadaannya disini. "Ah iya," jawab Luna terkekeh. "Aku terlalu terkejut tadi. Kau sedang apa?" Robert melihat sekitar. "Sedang mencari seseorang. Mungkin kau bisa membantuku." "Ya? Apa yang sedang kau butuhkan." Kali ini Luna mencoba bersikap santai dan profesional. Ia tidak ingin Robert yang terlalu peka ini mencium kecurigaan darinya. "Do you know which room the patient named Harris Devaux was admitted to?"Tenang, Luna harus tenang meski kini nama belakangnya juga Robert sebutkan. "Harris Devaux?" Luna mengernyitkan kening. Robert mengangguk. "Barangkali kau menangani dia juga.""Aku seperti membacanya disuatu dokumen, tapi tidak tahu p
"Maksudmu?" tanya Luna lirih. Ia jadi takut jika Aiden ternyata tahu sesuatu hingga menanyakan ini."Ah.. kau tahu kan pertemuan kita pada malam itu? dia selalu menatapmu terus. Aku takut jika dia macam-macam padamu." Aiden menunjukkan wajah kesal dan itu membuatnya lucu.Luna menggeleng. "Tidak, dia hanya bertanya kamar pasien saja.""Syukurlah, kau jangan terlalu dekat dengannya. Dia sangat genit."Luna terkekeh mencubit pipi Aiden. "Iya sayang."Luna melupakan sesuatu. "Ngomong-ngomong bagaimana pelaku yang membakar kantormu itu?" Ini memang bukan urusan Luna, tetapi sebagai istri ia juga ingin tahu apa saja yang dihadapi suaminya.Aiden menggeleng. "Tidak ada hasil apapun." Seperti kasus pada dua tahun silam ketika tiba-tiba kepala divisi dari kantor cabang hilang tanpa kabar. Sedangkan sebagian data penting ada padanya. Sampai saat inipun Aiden belum menemukan orangnya. Apakah hilang sungguhan? Atau sudah tiada? Apa melarikan diri dan hidup jauh dari keramaian dunia karena suatu