Mobil yang dikendarai Raga dan Shinta memasuki daerah perumahan elit milik Erlangga selang beberapa menit setelah mobil Erlangga meninggalkan kawasan elit tersebut. Segera setelah mendapat data-data yang dikirimkan oleh rekan Irie, Shinta dengan emosi yang meluap-luap bergegas menuju rumah Erlangga. Apa yang ia duga benar, Erlangga yang membawa pergi Melissa. Shinta tak mengerti mengapa Erlangga melakukan semua itu pada adiknya. Apa kesalahan yang telah ia lakukan sebenarnya. Sepanjang perjalanan ia tak bisa tenang, rasa rindu dan khawatir terhadap Melissa berkumpul jadi satu. Akhirnya sebentar lagi ia bisa melihat sahabatnya kembali.Raga menekan klakson mobil dengan keras agar penjaga membuka pagar rumah Erlangga. Pagar akhirnya terbuka, mobil Raga bergerak masuk hingga ke halaman rumah Erlangga. Shinta segera turun dari mobil dan berlari menuju pintu rumah. Dengan tidak sabar pria itu menekan bel rumah Erlangga.CEKLEK!Pintu rumah terbuka dan menampakan seorang wanita paruh baya
Shinta berdiri di seberang jalan dan menatap adik semata wayangnya itu dengan kerinduan yang mendalam. Ketika akan berbelok memasuki gerbang rumah sakit, ia melihat seorang gadis berlarian di sepanjang jalan. Sekali lihat saja ia yakin itu Melissa. Tak diragukan lagi itu Melissa. Shinta memutuskan menghentikan mobilnya dan keluar lalu memanggil Melissa. Ia tak menyangka akhirnya bisa melihat Melissa kembali.“Shinta!” teriak Melissa histeris, ia merasa begitu senang. Semua kesedihan dan kebahagiaan berkumpul jadi satu. Ia ingin berlari ke arah Shinta dan menumpahkan semua kesedihan dan ketakutannya.“Tunggu di sana!” teriak Shinta pada Melissa memperingati, pria itu bersiap akan menyebrang namun kendaraan terlalu kencang melaju. Pria itu benar-benar tak sabar untuk menghampiri adiknya. Melissa masih berdiri di seberang jalan menunggu kendaraan mereda.“Melissa!” Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga yang berjalan ke arahnya, gadis itu memundurkan langkahnya panik. Ia menat
Lampu masih berwarna merah tanda operasi masih berlangsung. Shinta belum beranjak dari posisinya sejak beberapa jam lalu. Pria itu duduk pada bangku panjang dengan kepala yang terus menunduk, ia terus berdoa di dalam hati memohon keselamatan Melissa. Tak pernah ia merasa setakut ini, tak ada tanda-tanda pintu ruang operasi akan terbuka membuat Shinta semakin frustrasi. Ia tak ingin kehilangan Melissa.Shinta menolehkan kepalanya ke arah lorong rumah sakit di mana seorang pria dengan gambaran tak kalah putus asa sama sepertinya tengah duduk di lantai rumah sakit. Erlangga duduk dengan kedua kaki yang tertekuk seolah mendekap tubuhnya, kepalanya tertunduk di antara tekukan kakinya, sementara tangannya bertumpu pada kedua lututnya. Shinta menatap Erlangga tanpa emosi, ia ingin sekali berlari dan menerjang pria itu tapi emosi dan energinya seolah surut begitu saja. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya berdoa dan memohon untuk keselamatan Melissa.“Minumlah, Shinta.” Suara Raga membuyarkan
A Morning National University Hospital09.45 AMSudah hampir empat hari dan Melisa belum menunjukan tanda-tanda akan terbangun, tubuh gadis itu penuh dengan perlatan medis yang menunjang kehidupannya. Shinta sama sekali tak meninggalkan ruang perawatan Melissa, pria itu selalu berada di dekat sahabatnya itu. Ia ingin menjadi orang pertama yang melihat Melissa tersayangnya itu bangun.“Kau tidak mau bangun? Apakah mimpimu benar-benar indah sampai kau tak mau bangun?” tanya Shinta pada Melissa terbaring lemah. Wajah gadis itu begitu pucat seolah tak ada aliran darah di sana.Shinta menggenggam tangan Melissa dengan sayang, pria itu mengecup punggung tangan gadis itu seolah memberi gadis itu kekuatan untuk bangun.“Melissa, aku benar-benar merindukanmu. Bangunlah Melissa sayang, maafkan aku. Aku tak akan meninggalkanmu lagi, aku mohon, aku akan membantumu, aku akan menjadi saudaramu sekarang…” ucap Shinta pilu. Pria itu benar-benar mengharapkan Melissa untuk bangun, ia tak suka melihat
Shinta bergerak pelan mendekati Melissa. Pria itu menggengam tangan mungil Melissa.“Hei, dengar aku. Tuhan mungkin sangat menyayanginya hingga mengambilnya dari kita semua.” Ucap Shinta mencoba menenangkan Melissa.“Aku tahu,” bisik Melisa mencoba tegar. Gadis itu memiringkan kepalanya menghindari tatapan orang-orang terutama Erlangga. Walaupun tak melihat wajah Erlangga, Melissa tahu Erlangga tengah menatap ke arahnya. Gadis itu tak ingin melihat Erlangga.Sementara itu di sisi lain, Erlangga berdiri dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya. Ia ingin berdiri di samping Melissa dan menghibur gadis itu. Ia ingin gadis itu membagi kesedihannya. Biar bagaimana pun janin itu juga adalah anaknya. Mereka berdua adalah calon orang tua untuk janin itu. Erlangga menelan ludahnya dengan susah payah, ia ingin sekali saja Melissa menatapnya. Ia tahu gadis itu tak ingin menatapnya. Apakah gadis itu membencinya karena semua keegosiannya hingga menyebabkan janin itu pergi meninggalkan mereka?Meliss
“Pria itu… Erlangga, apakah hatimu tak berat meninggalkannya? Aku tahu hatimu hancur karenanya. Kau marah dan kecewa karena dia yang melakukan semua ini padamu.” Ucap Shinta serius. Matanya menatap lamgsung pada manik mata Melissa.“Aku tidak tahu. Aku hanya… aku hanya ingin pergi. Aku ingin menenangkan hatiku dan melupakan semua ini.” Ucap Melissa dengan kepala tertunduk. Apa yang Shinta katakan benar. Hatinya tak rela pergi begitu saja, tapi bersama dengan Shinta akan membuatnya kembali seperti dulu. Ia sangat butuh Shinta saat ini.“Aku tahu kau butuh semua itu, London adalah tempat yang tepat untukmu. Kau akan menyukai London.” Ucap Shinta berusaha menghibur Melissa.“Hmm.” Ucap Melisa menganggukan kepalanya. Ia percaya dengan semua yang Shinta katakan, saat ini ia hanya butuh Shinta. Bukan hanya saat ini, ia butuh pria itu setiap saat.National University Hospital08.15 AMErlangga tak peduli dengan permintaan Shinta padanya untuk menjauhi Melisa, ia sudah mencobanya dua hari ini
“Ya! Raga, aku yang tak mau ia tinggal di Jakarta. Lagi pula London adalah kota yang indah. Melissa akan senang tinggal di sana.” Ucap Shinta masih dengan aktivitas membaca koran.“Kalau kau membawanya, aku akan sendirian. Aku butuh adik manis sepertinya.” Ucap Raga merengek. Raga mendengus melihat sikap kekanak-kanakan Raga.“Aishh! Kamu, ingat umurmu berapa. Mengapa kau bertingkah seperti itu. Aku tak ingin berpisah lagi dengan Shinta.” Ucap Melisa tegas.“Aku akan sangat merindukanmu,” ucap Raga lagi.“Teknologi sudah canggih, kau bisa menyalakan laptopmu. Aku akan ada di sana.” Ucap Melissa mencoba bercanda.“Itu maya tak nyata.” Ketus Raga.“Kau bisa mengunjungi kami.” Ucap Shinta.“Kalian memang tak bisa dicegah!” kesal Raga. Melissa hanya tersenyum melihat tingkah Raga. Gadis itu tanpa sadar menatap terus ke arah pintu masuk. Sebenarnya ia tak mengerti mengapa ia berharap Erlangga muncul di sana. Pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu sedikit banyak mempengaruhi perasaann
“Melissa!” teriakan keras seorang pria membuat langkah Shinta dan Melisa terhenti.“ERLANGGA?” bisik Melisa pelan nyaris berbisik, seketika ia ingin menangis. Ia belum membalikan tubuhnya. Gadis itu mendongak dan menatap Shinta seolah tak percaya dengan suara yang baru saja memanggilnya. Shinta menganggukan kepalanya seolah menyuruh gadis itu untuk berbalik.“Pergi dan bicaralah dengannya.” Ucap Shinta dengan senyum tenang.Tanpa membalas ucapan Shinta, Melissa membalikan tubuhnya dan berjalan kikuk ke arah Erlangga. Ia bisa melihat tatapan emosi, putus asa, dan kesedihan di wajah Erlangga.Langkah Melissa semakin mendekati Erlangga, tampak sekali keringat bercucuran di wajah Erlangga. Nafas pria itu juga tersenggal-senggal.“Erlangga?” ucap Melissa lembut.“Kau tak bisa pergi!” Ucap Erlangga emosi.“Aku harus pergi. Aku ingin bersama Shinta.” Ucap Melissa tenang.“Jangan pergi. Maafkan aku.” Ucap Erlangga memohon.“Aku akan tetap pergi.” Ucap Melissa sendu, melihat sikap Erlangga mem
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan