Living room 11.00 AM Melissa menatap TV di depannya dengan pandangan kosong, ia tak menikmati sama sekali tayangan di hadapannya. Pikirannya terus berputar pada kejadian kemarin, mengapa Erlangga tega melakukan hal seperti itu padanya. Melissa menatap pintu kaca yang langsung menampakkan halaman belakang rumah Erlangga, rumah ini begitu mewah dan luas namun Melissa tak merasa bahagia berada di sini. Ia justru semakin ingin pergi dari sini. Ia ingin bertemu Raga dan menghubungi Shinta. Ia merindukan sahabatnya itu, bagaimana keadaan Shinta sekarang? Apakah pria itu memikirkannya juga? Melissa mengusap perutnya dengan lembut, ia tak pernah membayangkan akan menjadi ibu secepat ini. Seharusnya ia berada di universitas dan sedang belajar. Tidak seharusnya ia memikirkan semua beban ini. Tapi ia tak pernah menyesali kehadiran janin di dalam kandungannya sama sekali. Ia mencintai janin di dalam kandungannya. “Siapa kau?” suara seorang wanita menghentikan lamunan Melisa. Melissa dengan cep
Mobil yang dikendarai Raga dan Shinta memasuki daerah perumahan elit milik Erlangga selang beberapa menit setelah mobil Erlangga meninggalkan kawasan elit tersebut. Segera setelah mendapat data-data yang dikirimkan oleh rekan Irie, Shinta dengan emosi yang meluap-luap bergegas menuju rumah Erlangga. Apa yang ia duga benar, Erlangga yang membawa pergi Melissa. Shinta tak mengerti mengapa Erlangga melakukan semua itu pada adiknya. Apa kesalahan yang telah ia lakukan sebenarnya. Sepanjang perjalanan ia tak bisa tenang, rasa rindu dan khawatir terhadap Melissa berkumpul jadi satu. Akhirnya sebentar lagi ia bisa melihat sahabatnya kembali.Raga menekan klakson mobil dengan keras agar penjaga membuka pagar rumah Erlangga. Pagar akhirnya terbuka, mobil Raga bergerak masuk hingga ke halaman rumah Erlangga. Shinta segera turun dari mobil dan berlari menuju pintu rumah. Dengan tidak sabar pria itu menekan bel rumah Erlangga.CEKLEK!Pintu rumah terbuka dan menampakan seorang wanita paruh baya
Shinta berdiri di seberang jalan dan menatap adik semata wayangnya itu dengan kerinduan yang mendalam. Ketika akan berbelok memasuki gerbang rumah sakit, ia melihat seorang gadis berlarian di sepanjang jalan. Sekali lihat saja ia yakin itu Melissa. Tak diragukan lagi itu Melissa. Shinta memutuskan menghentikan mobilnya dan keluar lalu memanggil Melissa. Ia tak menyangka akhirnya bisa melihat Melissa kembali.“Shinta!” teriak Melissa histeris, ia merasa begitu senang. Semua kesedihan dan kebahagiaan berkumpul jadi satu. Ia ingin berlari ke arah Shinta dan menumpahkan semua kesedihan dan ketakutannya.“Tunggu di sana!” teriak Shinta pada Melissa memperingati, pria itu bersiap akan menyebrang namun kendaraan terlalu kencang melaju. Pria itu benar-benar tak sabar untuk menghampiri adiknya. Melissa masih berdiri di seberang jalan menunggu kendaraan mereda.“Melissa!” Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga yang berjalan ke arahnya, gadis itu memundurkan langkahnya panik. Ia menat
Lampu masih berwarna merah tanda operasi masih berlangsung. Shinta belum beranjak dari posisinya sejak beberapa jam lalu. Pria itu duduk pada bangku panjang dengan kepala yang terus menunduk, ia terus berdoa di dalam hati memohon keselamatan Melissa. Tak pernah ia merasa setakut ini, tak ada tanda-tanda pintu ruang operasi akan terbuka membuat Shinta semakin frustrasi. Ia tak ingin kehilangan Melissa.Shinta menolehkan kepalanya ke arah lorong rumah sakit di mana seorang pria dengan gambaran tak kalah putus asa sama sepertinya tengah duduk di lantai rumah sakit. Erlangga duduk dengan kedua kaki yang tertekuk seolah mendekap tubuhnya, kepalanya tertunduk di antara tekukan kakinya, sementara tangannya bertumpu pada kedua lututnya. Shinta menatap Erlangga tanpa emosi, ia ingin sekali berlari dan menerjang pria itu tapi emosi dan energinya seolah surut begitu saja. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya berdoa dan memohon untuk keselamatan Melissa.“Minumlah, Shinta.” Suara Raga membuyarkan
A Morning National University Hospital09.45 AMSudah hampir empat hari dan Melisa belum menunjukan tanda-tanda akan terbangun, tubuh gadis itu penuh dengan perlatan medis yang menunjang kehidupannya. Shinta sama sekali tak meninggalkan ruang perawatan Melissa, pria itu selalu berada di dekat sahabatnya itu. Ia ingin menjadi orang pertama yang melihat Melissa tersayangnya itu bangun.“Kau tidak mau bangun? Apakah mimpimu benar-benar indah sampai kau tak mau bangun?” tanya Shinta pada Melissa terbaring lemah. Wajah gadis itu begitu pucat seolah tak ada aliran darah di sana.Shinta menggenggam tangan Melissa dengan sayang, pria itu mengecup punggung tangan gadis itu seolah memberi gadis itu kekuatan untuk bangun.“Melissa, aku benar-benar merindukanmu. Bangunlah Melissa sayang, maafkan aku. Aku tak akan meninggalkanmu lagi, aku mohon, aku akan membantumu, aku akan menjadi saudaramu sekarang…” ucap Shinta pilu. Pria itu benar-benar mengharapkan Melissa untuk bangun, ia tak suka melihat
Shinta bergerak pelan mendekati Melissa. Pria itu menggengam tangan mungil Melissa.“Hei, dengar aku. Tuhan mungkin sangat menyayanginya hingga mengambilnya dari kita semua.” Ucap Shinta mencoba menenangkan Melissa.“Aku tahu,” bisik Melisa mencoba tegar. Gadis itu memiringkan kepalanya menghindari tatapan orang-orang terutama Erlangga. Walaupun tak melihat wajah Erlangga, Melissa tahu Erlangga tengah menatap ke arahnya. Gadis itu tak ingin melihat Erlangga.Sementara itu di sisi lain, Erlangga berdiri dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya. Ia ingin berdiri di samping Melissa dan menghibur gadis itu. Ia ingin gadis itu membagi kesedihannya. Biar bagaimana pun janin itu juga adalah anaknya. Mereka berdua adalah calon orang tua untuk janin itu. Erlangga menelan ludahnya dengan susah payah, ia ingin sekali saja Melissa menatapnya. Ia tahu gadis itu tak ingin menatapnya. Apakah gadis itu membencinya karena semua keegosiannya hingga menyebabkan janin itu pergi meninggalkan mereka?Meliss
“Pria itu… Erlangga, apakah hatimu tak berat meninggalkannya? Aku tahu hatimu hancur karenanya. Kau marah dan kecewa karena dia yang melakukan semua ini padamu.” Ucap Shinta serius. Matanya menatap lamgsung pada manik mata Melissa.“Aku tidak tahu. Aku hanya… aku hanya ingin pergi. Aku ingin menenangkan hatiku dan melupakan semua ini.” Ucap Melissa dengan kepala tertunduk. Apa yang Shinta katakan benar. Hatinya tak rela pergi begitu saja, tapi bersama dengan Shinta akan membuatnya kembali seperti dulu. Ia sangat butuh Shinta saat ini.“Aku tahu kau butuh semua itu, London adalah tempat yang tepat untukmu. Kau akan menyukai London.” Ucap Shinta berusaha menghibur Melissa.“Hmm.” Ucap Melisa menganggukan kepalanya. Ia percaya dengan semua yang Shinta katakan, saat ini ia hanya butuh Shinta. Bukan hanya saat ini, ia butuh pria itu setiap saat.National University Hospital08.15 AMErlangga tak peduli dengan permintaan Shinta padanya untuk menjauhi Melisa, ia sudah mencobanya dua hari ini
“Ya! Raga, aku yang tak mau ia tinggal di Jakarta. Lagi pula London adalah kota yang indah. Melissa akan senang tinggal di sana.” Ucap Shinta masih dengan aktivitas membaca koran.“Kalau kau membawanya, aku akan sendirian. Aku butuh adik manis sepertinya.” Ucap Raga merengek. Raga mendengus melihat sikap kekanak-kanakan Raga.“Aishh! Kamu, ingat umurmu berapa. Mengapa kau bertingkah seperti itu. Aku tak ingin berpisah lagi dengan Shinta.” Ucap Melisa tegas.“Aku akan sangat merindukanmu,” ucap Raga lagi.“Teknologi sudah canggih, kau bisa menyalakan laptopmu. Aku akan ada di sana.” Ucap Melissa mencoba bercanda.“Itu maya tak nyata.” Ketus Raga.“Kau bisa mengunjungi kami.” Ucap Shinta.“Kalian memang tak bisa dicegah!” kesal Raga. Melissa hanya tersenyum melihat tingkah Raga. Gadis itu tanpa sadar menatap terus ke arah pintu masuk. Sebenarnya ia tak mengerti mengapa ia berharap Erlangga muncul di sana. Pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu sedikit banyak mempengaruhi perasaann