Steven memasuki kamarnya, lelaki yang sudah mengenakan kemeja dengan rapi, dan bersiap untuk berangkat kerja. Ia melihat Aira yang sudah keluar dari kamar mandi, Steven segera melangkah menuju Aira dan membantu istrinya untuk berjalan."Kamu masih mual?" tanya Steven.Aira mengangguk. "Iya."Sejak semalam, Aira tak bisa tidur karena rasa mual yang terus saja menderanya. Sampai Steven pun terus membantunya dengan memberikan minyak angin.Steven, yang tadinya hendak bekerja, menjadi galau sendiri. Ia tak mungkin meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti ini.Aira terlihat heran ketika Steven melepaskan kancing kemejanya. "Kenapa?" tanyanya."Sepertinya aku tidak akan masuk kerja lagi.""Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Kamu bilang pagi ini ada rapat, pergilah. Di sini juga ada Ibu yang membantuku. Ini kan pekerjaanmu, tidak boleh terbengkalai."Steven menatap Aira dengan cemas, masih ragu untuk meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti itu. Namun, Aira meyakinkannya de
"Dia istriku, lalu apa salahnya bila aku menghamilinya?" gumam Steven.Michael menggenggam kedua tangannya, darahnya sudah berdesir hebat, percikan api emosi dari kedua bola matanya sudah terlihat jelas."Kurang ajar!"Bugh!Michael mendaratkan pukulannya di perut Steven, ia memukulnya tanpa ampun, bahkan tak peduli bila Steven itu adalah saudara kandungnya sendiri.Steven terus menerima pukulan Michael tanpa melakukan perlawanan. Matanya menunjukkan keteguhan, meski tubuhnya terus menerima hantaman yang begitu pedih."Bukankah kita saudara?" ucap Steven dengan suara yang terengah-engah.Michael hanya mendengkus kesal. "Saudara? Itu hanya kata-kata kosong!"Pukulan demi pukulan terus menghantam Steven, tetapi ia tetap berdiri dengan sikap tegar. Meskipun tampak lemah, dalam dirinya terdapat kekuatan untuk bertahan.Tiba-tiba, Michael menghentikan pukulannya. "Aku akan memenangkan Aira kembali. Kamu tidak pantas memiliki dia."Steven tersenyum pahit. "Jika itu yang kamu inginkan, lakuka
Setelah pulang dari luar negeri, Carlos mendengar kabar bahwa putranya, Steven, telah ditemukan. Kegembiraan yang memenuhi hati Carlos mendorongnya untuk segera menuju tempat tinggal Steven. Ditemani oleh supir pribadinya, Carlos bergegas menuju apartemen Steven.Mobil meluncur dengan lancar dan akhirnya tiba di depan apartemen. Setelah menghentikan laju mobilnya, supir pribadinya berkata, "Kita sudah sampai, Tuan." "Apa kamu yakin alamatnya tidak salah?" tanya Carlos.Supir tersebut mengangguk. "Saya yakin, Tuan."Carlos mengangguk dan melangkah keluar dari mobil. Dengan langkah cepat, ia memasuki lobby apartemen. Namun, di sana ia bertemu dengan putrinya, Ivy.Ivy, yang melihat kedatangan ayahnya, segera menghampirinya. "Papa ..."Carlos tersenyum dan memeluk putrinya. "Kenapa kamu ada di sini, Ivy?"Ivy mendongak dan bertemu dengan pandangan hangat ayahnya. "Beberapa hari ini Ivy sering ke tempat Kak Steven untuk membantu menjaga Kak Aira," jawab Ivy."Kamu sudah bertemu dengan mer
Ketika mereka tiba di rumah sakit, suasana di ruang tunggu terasa tegang. Aira dan Steven mencari-cari keluarganya. Setelah beberapa saat, mereka bertemu dengan Sari yang tampak khawatir."Ma, apa ada kabar terbaru tentang Papa?" tanya Aira.Sari menggelengkan kepala. "Belum, Sayang. Mereka masih melakukan serangkaian tes. Kita hanya perlu bersabar."Aira begitu khawatir dengan semua ini, ia takut terjadi sesuatu dengan papanya. Dian yang melihat Aira tampak khawatir segera menyuruhnya untuk duduk."Duduklah, Aira."Aira mengangguk. "Terima kasih, Kak."Aira lalu duduk perlahan di kursi tunggu, menunggu dokter yang sedang memeriksa ayahnya."Kak, Aira takut terjadi apa-apa dengan Papa," gumam Aira yang merasa khawatir dengan kondisi kesehatan papanya.Dian mengulurkan tangannya menggenggam erat tangan adiknya. "Kita harus berdoa untuk kesembuhan Papa, Aira."Sementara itu, Steven mencoba memberikan dukungan pada Aira dengan menyentuh pundaknya dengan perlahan. "Semua akan baik-baik saj
Keluarga Adiwijaya seharusnya merayakan ulang tahun ke-59 Anwar besok, namun di malam yang sama Anwar harus meninggalkan mereka selamanya. Semua orang di keluarga Adiwijaya tengah berduka karena kepergian sang kepala keluarga. Sari, sebagai istri Anwar, tak mampu menahan tangisnya saat melihat suaminya yang tertidur pulas tanpa bangun kembali. Begitu juga dengan kedua anaknya, Aira dan Dian, yang sama-sama menangis di samping jenazah sang ayah.Sejak menikah dengan Anwar, Sari sangat tergantung padanya karena Anwar adalah sosok yang selalu memberikan dukungan dan perlindungan bagi keluarganya. Mereka selalu bekerja sama untuk mengatasi setiap permasalahan yang mereka hadapi. Kini, kepergian Anwar meninggalkan Sari tanpa sosok yang selalu memberikan keamanan dan perlindungan."Pa, kenapa kamu begitu cepat meninggalkan mama. Apa mama sanggup bila hidup tanpamu?" gumam Sari dengan isak tangisnya.Dian, anak sulung dari pasangan Anwar dan Sari, selalu dianggap sebagai sosok yang kuat dan
Malam harinya, keluarga Adiwijaya berkumpul di kediaman Adiwijaya. Makan malam sudah dihidangkan, tetapi suasana masih mendung dan hening.Sari menatap kosong ke arah makanan yang ada di depannya, meski ia tidak benar-benar makan. Widya dan Steven mencoba menghabiskan makanan mereka dengan tenang. Sedangkan Aira hanya memainkan sendoknya. Dian mencoba mengalihkan perhatian keluarganya dengan bercerita tentang kenangan indah mereka bersama Anwar."Kalian ingat dulu waktu Papa masih hidup, kita sering pergi ke pantai bersama dan bermain-main di sana?" tanya Dian, mencoba membuat suasana lebih ceria.Sari tersenyum tipis dan mengangguk, mengingat semua itu. "Mama ingat betul. Papa selalu membawa kita bermain di pantai dan membeli es krim untuk kita," ujarnya."Papa juga sering mengajak aku berkemah di gunung," sambung Aira, wajahnya mulai ceria."Ya, Papa memang suka dengan alam. Dia selalu bersemangat untuk mengeksplorasi alam," ucap Dian dengan ramah.Sari ikut tersenyum dan memandang
Santi menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak, membaca pesan yang baru saja masuk. Getaran-getaran yang diterimanya terasa berat di dadanya. Ayah Aira, Anwar, telah meninggal dunia. Ia begitu terkejut dan merasa bersedih mendengar semua itu, Santi tanpa pikir panjang langsung memutuskan untuk segera pergi ke apartemen Aira untuk menemui sahabatnya itu.Di tengah perjalanan menuju apartemen Aira, Santi mengenang momen-momen indah bersama Aira. Mereka telah bersahabat sejak SMA dulu dan melewati berbagai lika-liku kehidupan bersama-sama. Namun, belakangan ini, ketegangan muncul di antara mereka karena perasaan Santi terhadap suami Aira, Steven. Santi telah mencoba untuk menarik hati Steven, menyebabkan kecanggungan di antara mereka bertiga.Tiba di depan apartemen, Santi menelan ludahnya. Bangunan itu seperti menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa yang telah terjadi di antara mereka. Dia segera membuka sabuk pengaman yang tengah menahan tubuhnya, setelah sabuk pengaman itu le
Pagi ini, matahari terbit dengan hangat, menerangi ruang tamu di apartemen Aira dan Steven. Aira duduk di sofa sambil menatap keluar jendela, menyambut cahaya pagi yang memasuki ruangan. Steven tampak sibuk mempersiapkan diri, menyisir rambutnya dengan cermat.Aira mengalihkan pandangannya pada suaminya. "Sayang, mau kemana pagi-pagi begini?"Steven menoleh ke arah Aira, senyum manis sudah terukir di wajahnya. "Aku akan pergi menemui Papa Carlos. Ada surat dari Papa Anwar yang harus aku berikan padanya."Aira mengangguk, rasa penasaran mencuat di matanya. "Surat dari Papa Anwar? Kira-kira … apa isi di dalamnya?"Steven mengambil amplop berwarna kecokelatan dari atas meja dan menjelaskan, "Papa Anwar meninggalkan surat ini untuk Papa Carlos sebelum dia meninggal. Aku merasa ini sesuatu yang penting, dan aku pikir Papa Carlos berhak tahu."Aira menatap surat itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa yang ada di dalamnya, Sayang? Kenapa Papa meninggalkan surat itu untuk Papa Carlos?"Steve