Ketika mereka tiba di rumah sakit, suasana di ruang tunggu terasa tegang. Aira dan Steven mencari-cari keluarganya. Setelah beberapa saat, mereka bertemu dengan Sari yang tampak khawatir."Ma, apa ada kabar terbaru tentang Papa?" tanya Aira.Sari menggelengkan kepala. "Belum, Sayang. Mereka masih melakukan serangkaian tes. Kita hanya perlu bersabar."Aira begitu khawatir dengan semua ini, ia takut terjadi sesuatu dengan papanya. Dian yang melihat Aira tampak khawatir segera menyuruhnya untuk duduk."Duduklah, Aira."Aira mengangguk. "Terima kasih, Kak."Aira lalu duduk perlahan di kursi tunggu, menunggu dokter yang sedang memeriksa ayahnya."Kak, Aira takut terjadi apa-apa dengan Papa," gumam Aira yang merasa khawatir dengan kondisi kesehatan papanya.Dian mengulurkan tangannya menggenggam erat tangan adiknya. "Kita harus berdoa untuk kesembuhan Papa, Aira."Sementara itu, Steven mencoba memberikan dukungan pada Aira dengan menyentuh pundaknya dengan perlahan. "Semua akan baik-baik saj
Keluarga Adiwijaya seharusnya merayakan ulang tahun ke-59 Anwar besok, namun di malam yang sama Anwar harus meninggalkan mereka selamanya. Semua orang di keluarga Adiwijaya tengah berduka karena kepergian sang kepala keluarga. Sari, sebagai istri Anwar, tak mampu menahan tangisnya saat melihat suaminya yang tertidur pulas tanpa bangun kembali. Begitu juga dengan kedua anaknya, Aira dan Dian, yang sama-sama menangis di samping jenazah sang ayah.Sejak menikah dengan Anwar, Sari sangat tergantung padanya karena Anwar adalah sosok yang selalu memberikan dukungan dan perlindungan bagi keluarganya. Mereka selalu bekerja sama untuk mengatasi setiap permasalahan yang mereka hadapi. Kini, kepergian Anwar meninggalkan Sari tanpa sosok yang selalu memberikan keamanan dan perlindungan."Pa, kenapa kamu begitu cepat meninggalkan mama. Apa mama sanggup bila hidup tanpamu?" gumam Sari dengan isak tangisnya.Dian, anak sulung dari pasangan Anwar dan Sari, selalu dianggap sebagai sosok yang kuat dan
Malam harinya, keluarga Adiwijaya berkumpul di kediaman Adiwijaya. Makan malam sudah dihidangkan, tetapi suasana masih mendung dan hening.Sari menatap kosong ke arah makanan yang ada di depannya, meski ia tidak benar-benar makan. Widya dan Steven mencoba menghabiskan makanan mereka dengan tenang. Sedangkan Aira hanya memainkan sendoknya. Dian mencoba mengalihkan perhatian keluarganya dengan bercerita tentang kenangan indah mereka bersama Anwar."Kalian ingat dulu waktu Papa masih hidup, kita sering pergi ke pantai bersama dan bermain-main di sana?" tanya Dian, mencoba membuat suasana lebih ceria.Sari tersenyum tipis dan mengangguk, mengingat semua itu. "Mama ingat betul. Papa selalu membawa kita bermain di pantai dan membeli es krim untuk kita," ujarnya."Papa juga sering mengajak aku berkemah di gunung," sambung Aira, wajahnya mulai ceria."Ya, Papa memang suka dengan alam. Dia selalu bersemangat untuk mengeksplorasi alam," ucap Dian dengan ramah.Sari ikut tersenyum dan memandang
Santi menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak, membaca pesan yang baru saja masuk. Getaran-getaran yang diterimanya terasa berat di dadanya. Ayah Aira, Anwar, telah meninggal dunia. Ia begitu terkejut dan merasa bersedih mendengar semua itu, Santi tanpa pikir panjang langsung memutuskan untuk segera pergi ke apartemen Aira untuk menemui sahabatnya itu.Di tengah perjalanan menuju apartemen Aira, Santi mengenang momen-momen indah bersama Aira. Mereka telah bersahabat sejak SMA dulu dan melewati berbagai lika-liku kehidupan bersama-sama. Namun, belakangan ini, ketegangan muncul di antara mereka karena perasaan Santi terhadap suami Aira, Steven. Santi telah mencoba untuk menarik hati Steven, menyebabkan kecanggungan di antara mereka bertiga.Tiba di depan apartemen, Santi menelan ludahnya. Bangunan itu seperti menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa yang telah terjadi di antara mereka. Dia segera membuka sabuk pengaman yang tengah menahan tubuhnya, setelah sabuk pengaman itu le
Pagi ini, matahari terbit dengan hangat, menerangi ruang tamu di apartemen Aira dan Steven. Aira duduk di sofa sambil menatap keluar jendela, menyambut cahaya pagi yang memasuki ruangan. Steven tampak sibuk mempersiapkan diri, menyisir rambutnya dengan cermat.Aira mengalihkan pandangannya pada suaminya. "Sayang, mau kemana pagi-pagi begini?"Steven menoleh ke arah Aira, senyum manis sudah terukir di wajahnya. "Aku akan pergi menemui Papa Carlos. Ada surat dari Papa Anwar yang harus aku berikan padanya."Aira mengangguk, rasa penasaran mencuat di matanya. "Surat dari Papa Anwar? Kira-kira … apa isi di dalamnya?"Steven mengambil amplop berwarna kecokelatan dari atas meja dan menjelaskan, "Papa Anwar meninggalkan surat ini untuk Papa Carlos sebelum dia meninggal. Aku merasa ini sesuatu yang penting, dan aku pikir Papa Carlos berhak tahu."Aira menatap surat itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa yang ada di dalamnya, Sayang? Kenapa Papa meninggalkan surat itu untuk Papa Carlos?"Steve
Fika sedang duduk di bawah pohon sambil memandangi sebuah foto di tangannya. Dia sedang merenungkan kenangan lalu bersama teman-temannya di bangku SMA. Namun tiba-tiba, dia merasa terkesiap ketika seorang pria, Michael tiba-tiba mengambil foto tersebut dari tangannya."Michael, kamu!""Apa ini?" tanya Michael sambil memperhatikan foto yang ada di tangannya."Tidak, tolong kembalikan itu!" kata Fika panik ketika Michael mengambil foto tersebut dari tangannya. Lebih panik lagi ketika lelaki itu hendak melihat foto tersebut "Kenapa kamu seperti tak suka bila aku melihatnya?" balas Michael sambil melihat foto itu dengan rasa heran. "Mengapa kamu melamun di bawah pohon seperti itu? Apakah kamu tidak takut dengan hantu?"Fika merasa terganggu dengan pertanyaan itu. Dia hanya ingin menikmati kenangannya sendiri tanpa gangguan. "Aku tidak peduli."Michael memandangi foto tersebut. Namun, ada yang aneh dengan foto itu. Michael juga terkesiap ketika dia melihat gambar dirinya dan Fika sedang d
“Michael, apa-apaan kamu ini?!” desis Carlos saat melihat anaknya mulai bertingkah.Carlos memandang tajam ke arah Michael, sinar matanya menusuk tajam ke arah putranya yang sedang berdiri di pojok ruangan. Michael hanya diam, mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan bernapas panjang.“Tidak apa-apa, tadi tidak sengaja gelas yang ada di tanganku jatuh,” ujar Michael tenang meski hatinya sedang bergejolak. Ia tahu pasti kehadiran Steven di rumah ini akan mendatangkan banyak masalah.Steven, kakak kandung Michael, telah datang ke rumah mereka dengan membawa seorang wanita yang ia perkenalkan sebagai istrinya. Namun, sebenarnya Steven mengambil wanita itu darinya dan merebutnya begitu saja, tanpa memperdulikan dirinya sebagai kekasih Aira dari masa lalu. Michael merasa kesal dan kecewa karena ternyata Steven begitu licik dan berusaha merusak kebahagiaan dirinya.Carlos segera menghampiri anaknya, Michael, langkahnya terhenti di depan Michael, kemudian, ia melihat ke arah anggota keluar
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka