Nggak salah denger aku, kan? Pemenangnya si le minerale? Nasi goreng sederhana pelit toping itu? “Ibu, salah nggak? Bu, yang ini punya Iqis.” Aku sampai menyodorkan nasgor milikku lagi pada dua wali kelas. “Nggak, kami nggak salah, kok, Nak Iqis. Yang lebih enak yang ini,” tunjuknya pada piring Bang Ale. Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum penuh makna. Nggak, nggak, nggak bener sama sekali ini. “Ibu, coba cicipin sekaliii lagi aja.” Bisa jadi salah sebut, kan, ya? Diturutinlah permintaanku, sesendok dicicip dan keputusan masih sama. Oh, tidak bisa dibiarkan. Bisa gempar jagad dunia masak kalau sampai aku kalah dari seorang yang amatir begini. “Buk, tolong, Buk, Ibuk lihat wajah Iqis sekaliiii lagi aja. Saya yang lomba sampai ke luar negeri. Yang jadi chef itu saya, yang kerja di dapur itu tiap hari itu saya. Yang juara satu itu saya, yang jadi juri lomba masak anak-anak juga saya. Tolong, Buk, tolooong,” pintaku sambil memohon. Dua ibu wali kelas memandang wajahku sekali, lag
Walau tampilannya sederhana gini, kok, bisa enak, ya? Eh, berarti aku ngaku kalah, donk? Nggak bisa gitu. Aku harus panggil papa sebagai juri yang adil. Sepuluh menit kemudian. Dengan wajah ngantuk dan mulut menguap, Papa dan Mama duduk di meja yang berisikan dua nasi goreng. Aku sengaja nggak kasih tahu mana buatanku mana buatan le mineral. Penjurian dimulai. “Enakan ini, deh.” Mama jelas mengenali masakan anaknya. “Lebih mewah ini, tapi soal rasa ini punya ciri khas.” Kaaan, si papa nunjuk piringnya Ale. Pupus sudah harapanku. “Ada apa, ada apa?” Dian ikutan bangun. Kalau udah lihat makanan hidungnya pasti bisa mengendus walau disembunyikan di kolong jembatan. Nggak perlu basa-basi, Dian langsung ambil sendok dan nyicipin. “Ini pasti buatan anak magang,” tunjuknya di piringku, “enakan yang ini.” Udahlah. Pemenangnya mau gimanapun tetap dia. “Ini buatan Iqis, ini buatan temen yang nganterin pulang waktu itu.” Akhirnya aku jujur pada semuanya. “Kok, bisa?” tanya Mama. “Nggak
Mataku terbuka perlahan. Aku langsung dihadapkan sama pemandangan di luar jendela, hutan kiri kanan. Huuuh, pasti ada hantunya. Terus aku lihat jam tangan. Ya ampun aku tidur apa mati, ya, udah enam jam aja terlelap. Eh, bentaaar. Tunggu dulu, kok bisa? Bukannya menurut petunjuk empat jam juga bakalan sampai. Jadi aku kebablasan tidur? Refleks aku berdiri dan melihat ke dalam bus, kok banyak banget lakik di sini. Perasaan pas aku beli tiket, bis nggak penuh deh makanya aku ambil tujuan ke desa yang aku mau. “Hai, Mbak, udah bangun,” sapa seseorang yang tidak aku kenal. Aku berjalan ke arah supir. Perasaanku nggak enak banget. Aku tanyakan sama yang megang kendali, dan ternyata … “Hah, jadi, jadi, jadi saya salah masuk bus?” tunjukku pada diri sendiri? Kok, bisa wei. Wuahahaha, pengen turun. “Turunin saya sekarang?” pintaku memaksa. “Mana bisa, Qis, ini di tengah hutan. Mau kena tangkap wong samar? Tangannya panjang sampai ke bawah lutut, terus lekuk di atas bibir itu nggak ad
POV Ale Sejak SD aku memang sering berantem sama dia. Terus tamat dan misah jalani hidup sesuai keputusan orang tua masing-masing. Aku yang dipilihkan SMP deket rumah pun menjalani serangkaian perawatan yang dipercaya oleh mamaku. Soal gigi memang dulu berantakan banget. Dan beberapa tahun menggunakan kawat akhirya wajahku jadi enak dipandang, alias handsome dikit. Sejak SMP aku nggak ada kabar apa pun soal siru abc, kecuali iklan di bulan puasa yang sliweran terus. Tapi sesekali aku lihat wajahnya yang nongol di TV.“Hebat kamu, ya, jadi apa yang kamu mau,” gumamku ketika Iqis dapat juara lagi setelah SD juga pernah. Aku jadi minder kalau ketemu dia. Kemudian kedua orang tuaku memintaku melatih fisik. Katanya daripada aku ngelamun. Memasuki SMA, takdir mempertemukan kami berdua lagi. Iqis satu SMA denganku. Jilbab putih yang dia kenakan berkibar dan terbang terbawa angin sambi dia memandangku. “Hai,” sapaku sama dia. Tapi nggak jumpa beberapa tahun sama dia, banyak banget per
Bus berhenti di desa yang tak seharusnya aku kunjungi. Terpaksa aku ikut turun daripada ditinggal sama orang asing nggak dikenal. Heh, Bang Ale satu SMA sama aku, tapi nggak ada satu pun ingatan bahwa kami pernah ketemu. Sekaku itu aku jadi orang. Emang, sih, temen-temenku bilang aku kurang menikmati masa muda. Tahunya belajar sama masak doank. Dibilang udah kayak ibu-ibu. Aminin aja, belum tahu aja enaknya jadi ibu-ibu yang mandiri finansial. “Kamu kuat jalan kaki, kan, Qis?” tanya Bang Ale. “Kuat, tenang aja, aku udah biasa jalan ke pasar cari bahan.” Kemudian aku pun mengikuti rombongan cogan abdi negara yang kerap dipasangkan sama nakes. Kalau foto studio yang satu pakai baju dinas sesuai cabang yang satu baju putih sambil pegang teleskop. Bang Ale dan teman-temannya liburan simpel banget. Bawa tas ransel sebijik doank. Apa muat semua baju di dalamnya? Pemandangan di desa ini masih sangat asri. Tapi uppps, kenapa ada eek sapi dan kambing di sepanjang jalan. Adoheei gimana ko
Sakit banget pantat aku diseruduk domba. Tapi, setidaknya aku bisa melihat senyum Iqis disertai gigi gingsulnya yang langka. Katanya cewek kalau punya gigi lebihan, tandanya setia. Terus kalau gingsulnya dicabut, hilang setianya gitu?“Kalau gigimu dicabut semua jadi gimana, Qis?” tanyaku iseng.“Jadi ompong kayak nenek-nenek, ngapain nanya gituan, Bang?” Dia melirikku sambil menaikkan alis. “Nanya aja, mana tahu, kan, ada niat jual gigi gingsulmu.” Plak! Satu pukulannya melayang ke bahuku. Udahlah diseruduk domba sekarang ditempeleng sama cewek. Untung aja cantik dan aku sayang. “Nanya lagi aneh-aneh, gigi gingsulku ini pemanis. Mending aku jadi jomlo daripada harus jual gigi.” “Terus pacar kamu dari India, gimana?” Akhirnya aku tahu tipu daya Iqis. Nama pacar yang berarti kunyit. Agak lain otak anak ini aku rasa. “Ya, gak gimana-gimana. Terus gimana ini, aku tinggal di mana? Ada hotel nggak di sini?” Sudah jauh kami berjalan tapi belum juga sampai di penginapan yang aku booki
Kamar mandi yang luar biasa dengan percampuran lendir bekicot dan cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap. Tapi, aku nggak punya pilihan lain, pulang nggak juga bisa. Sinyal bener-bener nggak ada di sini. Mana perut laper banget. Mau cari makan ke mana aku nggak tahu juga. Bang Ale juga nggak nongol. Nggak peka banget jadi orang. Sampai sore aku nggak bisa tidur karena cacing demo di dalam perut. Aku lihat ponsel entar lagi maghrib. Aku intip dari kaca ternyata suasana sepi. Aku takut kalau asal keluar diculik dinosaurus. Kan, dagingku lumayan kalau disantap. Selesai sholat aku putuskan keluar saja daripada jadi fosil karena mati kelaparan. Tepat waktu ada yang mengetuk pintu. Dia yang aku harapan datang juga dan ngajak makan. Pun masalah bayar malah berantem duluan. Please, ini persis banget kayak kami waktu SD. Akhirnya bayar dibagi dua aja. Makanan termasuk murah padahal aku ngunyah banyak banget. Tahu apa yang membuatku nafsu makan? Karena ada yang nemenin. Ehm, biasanya
Awokwokwokwokwok, sirup abc kenak tipu. Sengaja aku iseng mau lihat reaksi dia kalau aku pura-pura mati. Dia nangis woooi, nangess. Apakah dia takut kehilanganku? Atau aku lamar saja dia di sini sekalian? Emang uangku udah cukup buat lamar anak gadis orang. Sedangkan Iqis pasti penghasilannya lebih besar daripada aku. “Le minerale, dengan kekuatan bulan, akan menghukummu.” Kupikir dia nggak marah. Ternyata Iqis ambil batu besar dan mau dihantamnya ke kepalaku. Wahaha, toloooong, kabur. Nanti aku diseruduk lagi. “Tolooooong,” ucapku serius. Iqis marah nggak main-main. Anak itu kayaknya lagi PMS. Rombongan yang lain pada ke mana lagi? “Woi, ale-ale tak pites kepalamu.” Dia lari lebih lebar. Tadi katanya capek nggak sanggup lagi. Tibake mau nimpuk aku, kok, sehat wal’afiat. Ada apa denganmu, Iqis? Kupikir kita saling memendam rasa, ternyata rasa mi ayam jauh lebih enak. “Damai, Qis, damai, kiss me, Qis.” Adeh, salah bicara lagi, tapi … Iqis bengong, jangan bilang kesambet. “Qis,
Beneran ternyata gaes aku udah nikah. Buktinya aku sekarang duduk di pelaminan barengan dia setelah tadi melewati barisan pedang pora. Seragam kami kali ini hijau muda. Jangan dibayangin seperti lontong, pokoknya aku cantik, kata dia gitu. “Kamu cantik, deh, Sayang.” Entah udah keberapa kali buaya di sebelah aku bilang gini. Mual, terlalu manis kata-katanya, heeem.“Makasih, nggak ada uang kecil.” “Nggak perlu bayar pakai uang, cukup pakai—” “Udahlah. Ya Allah, kenapa itu terus dibahas dari tadi.” Hu hu huuu, ketahuan juga sifat asli Bang Ale sejak tadi kami sudah jadi suami istri. Takut sebenernya, tapi nggak mungkin juga minta cere, kan. Nggak lucu deh. “Ya, kan, salah satu tujuan nikah untuk itu, Istriku.” “Hueek!” Mendadak ingin muntah aku tu. “Belum juga diapa-apain udah hamil duluan, tenang aja Abang akan tanggung jawab atas perbuatan kita di atas bukit.” “Hoi, bisa diem, nggak? Makin lama makin ngadi-ngadi isi kepala Abang. Di atas bukit itu dua tahun lalu juga keles. Ka
Ya, malam ini aku dandan cantik sekali. Aku nggak kelihatan seperti chef lagi, melainkan seorang putri yang akan menerima lamaran dari seorang pangeran. Setengah jam lagi seharusnya mereka tiba di sini. Setelah segala drama dan begini begitunya, akhirya kami memutuskan untuk menikah. Sempat hampir berantem dan biasalah aku minta udahan aja, tapi akhirnya lanjut lagi. Soalnya pengajuan nikah militer, ampuuu cyiiiiiin, mumet ndasku mikirnya. “Ayo, Nak, semangat, udah cantik itu jangan mandang cermin melulu,” mamaku masih sambil menggedong adekku tersayang. Segala sesuatu telah kami siapkan. Makanan, dekorasi, termasuk pihak keluarga perempuan, kecuali kamera paparazzi. Aku lagi males diliput wartawan sebisa mungkin aku rahasiakan aja dari khalayak ramai.Satu demi satu tamu mulai datang. Suara Bang Ale udah mulai kedengeran. Diandra masuk dan memberikanku segelas kopi hangat racikan tangannya sendiri. Aku minum pakai sedotan biar nggak rusak lipstik. Baru aja aku mau melangkah, eh,
Sekilas aku melihat ternyata Iqis ikut juga jadi chef di pertemuan internasional antara negara timur tengah dan Indonesia. Aku kenal dia, tapi dia nggak kenal aku. Hiiih anak itu, es batunya luar biasa. Hampir empat harian di sini, kami nggak sempat saling menyapa. Iqis harus on point di dapur dan aku pada bagian keamanan. Kemeja hitam dan jas putih senantiasa aku kenakan agar terlihat rapi. Sebenarnya letih setelah dari luar negeri tugas lagi, tapi memang mengawal orang penting perlu orang-orang berpengalaman. Ajaibnya lagi aku jumpa sama Abu Lahab. Dia ngaku baru putus sama pacarnya satu, masih ada cadangan dua lagi. Astaghfirullah, buaya arab memang beda. “That girl, my girlfriend,” tunjukku sama Iqis yang lagi jalan membawa nampan berisi makanan. Abu Lahab bilang jamilah jamilah. “May be she is boring with you,” katanya. “No, no.” Aku tegaskan tidak. Jarang jumpa memang iya, tapi bosan kayaknya nggak. Entar aku buktikan. “You don’t look handsome.” Mulut Abu Jahal emang lain.
Habis drama kejar-kejaran di bandara, akhirnya aku dan dia berbaikan. Sengaja aku mengajak Bang Ale makan di restaurant tradisional Indonesia milik salah satu rekanku. Tebak apa? Dia makan banyak banget sampai tambah. “Kangen makanan Indonesia, ya?” tanyaku ketika dia tambah nasi. Bang Ale nggak menjawab hanya mengangguk saja. Ada sih, beberapa orang yang melihat kami, tapi ya, bodo amat bukan urusanku juga. “Kalau sama aku kangen, nggak?” Tsaaah, tumben aku nanyain ginian. Hatiku, kenapa kamu tidack bisa diajak kompromi sama sekali. Bang Ale berhenti makan dan menatapku sekilas. Tatapan yang membuatku ingin menyiram minyak panas ke wajahnya. Habis itu dia makan lagi. Dasar, nggak dijawabnya pertanyaan aku. “Petenya enak,” katanya, serah lo deh. “Sama kayak kamu.” Maksudnya apa, ya?“Jadi aku dan pete itu sama?” “Sama, sama-sama bauk.” Santai aja dia ngomong itu, loh, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Refleks aku cium ketek, nggak ada bauk sama sekali. Aku udah pakai deodor
Aku senang dia udah membaik keadaannya di sana. Ya, meski harus menderita beberapa luka-luka ringan. Ada satu hal yang aku sadari. Aku bukan Iqis yang dulu, ada seseorang di hati, ahaaay. Ya, gimana, ya, namaya manusia bisa jatuh cinta. Aku, kan bukan patung. Hari-hariku LDR sama dia terasa begitu cepat. Aku masih jadi juri, sekaligus influencer yang mengusung nilai-nilai kebaikan dalam setiap makanan. Sloganku jangan biarkan bahan terbuang percuma. Aku diundang memasak di istana negara ketika ada tamu dari timur tengah. Dengan senang hati aku mengerjakan semuanya. Semua rupiahku yang hilang akibat membayar kompensansi tergantikan dalam waktu setahun lebih. Nggak terasa juga lama kami LDR. Dan kalian tahu apa, Bestieh, apa yang aku dapat lagi dalam setahun. Ya, agak gimana ya, umur udah 24 tahun dapat adek bayi lagi. Ewekwekwek, Mama hamil lagi. Katanya iseng, apaan, cobak? Aku sama Diandra berasa jadi mama muda. Adek kami laki-laki, namanya Adam tanpa Smith. Adam Devano Zolla.
“Bang Ale, sini kamu jangan lari.” Eeh, kenapa tiba-tiba Iqis marah sama aku. Padahal aku cuman bercanda soal udah kawin lagi. Emang, sih, gadis Lebanon cakep, mata biru ada juga yang hijau ada juga yang putih semua, tapi tetap aja dia yang paling memikat hati. “Hiat.” Iqis serius lagi marah dan dia menghantam pundakku sampai jatuh di pasir. Punggungku ditekan pakai siku dia, sangat kuat sampai aku jejeritan. Gusti Allah tolooong, kenapa dia jadi liar seperti peserta MMA yang pakai kutangan sama kolor doank. “Mati kamu, hiiiiat!” Astaghfirullah. Aku bangun terkesiap ketika Iqis hampir duduk di kepalaku. Aku kucek mata dan masih berada di dalam jeep. Otewe ke desa lagi untuk bagi makanan dan membantu evakuasi warga apabila diperlukan. “What’s wrong, ya, akhi?” tanya temenku yang tadi ponselnya aku pinjam buat telpon Iqis. Itu pun pulsanya masih ngutang, nanti pas udah membaik semuanya aku bayar deh. “My girl friend, she comes in my dream, almost kiliing me.” Aku mengusap dadaku
Aku harus tetep profesional dalam bekerja. Walau jantung degupnya bukan main lagi dan keringat dingin sudah mengucur deras. Tapi nama pemenang tetap kami umumkan. Gegap gempita dan perayaan dimulai, itu bagi mereka, tidak bagiku. Aku hanya terpaku dan tersenyum palsu tanpa tahu harus bagaimana. Kamera masih menyorotku dan aku nggak bisa pergi. Senyumanku palsu pada semua orang. Sampai ada kira-kira setengah jam perayaan belum juga selesai. Aku minta izin sama papa untuk undur diri. Nyatanya aku nggak kuat dan duduk di kursi sebelah papa. Kakiku lemes. “Kenapa?” tanya papaku yang habis minum air putih. Aku nggak sanggup bicara lagi dan hanya memberikan ponselku pada papa. Beliau juga diam dan mengembalikan benda itu padaku. “Sudah pernah Papa bilang gimana resikonya. Sekarang kamu duduk yang tenang dan tunggu kabar aja, semoga semuanya selamat. Biasanya nanti ada berita resmi atau kalau nggak, ada kabar-kabar burung di sosmed. Jangan mikir untuk buat macem-macem, ya, Nak.” Papa, m
Suasana di pinggiran Lebanon sangat mencekam. Udah beberapa kali kami hampir aja bentrok dengan tentara Israel yang mulai kelewat batas. Biasanya aku cuman baca gimana perangai mereka yang suka kelewat batas sama penduduk sipil tak bersenjata pula. Sekarang aku rasakan sendiri. Terbayang olehku wajah perempuan yang lemah dan berlarian demi menyelamatkan harga diri serta kesucian. Pernah aku angkat senjata dan teman-teman karena mereka berkelakuan layaknya binatang. Sudahlah di sini kami tidak bisa kontak dengan keluarga, ditambah beban mental mengayomi para tentara kurang pendidikan. Yang aku dengar di sana ada wamil dan asal comot tentara. Gimana ceritanya banci bisa pegang senjata. Mana dia tahu wilayah yang boleh diserang atau nggak, atau yang diprioritaskan untuk ditolong. Di mata tentara Israel semua yang ada di hadapan mereka adalah kecoak yang boleh diinjak. Keadaan agak tenang sedikit ketika kami memasuki pedesaan yang berbatasan langsung dengan Israel. Warga desanya takut
Di sini aku sekarang, di dalam restaurant di mana seharusnya kami makan malam bersama. Udah nggak kehitung berapa kali kami janjian tapi harus dibatalin. I think our problem is about time. Bukan orang ketiga yang jadi kendala. Karena aku mau sama satu orang aja udah bagus. Setiap hari aku mikirin mending udahan aja, tapi cuman di kepala aja gaes. Aslinya kicep aku, wkwkwkwk, banyak gaya memang. Sesaat kemudian aku v call sama dia. Aku tunjukkin kalau aku juga serius. Ya, jam tangan dan kue tart adalah salah satu bukti kalau aku bukan gadis lugu tapi nggak komitmen. Sebentar aja kami ngobrol soalnya dia bilang mau sampai di markas. Aku kasih dia pesan cinta, awas kawin banyak-banyak di sana. Jangankan banyak, satu aja aku nggak terima. Oke, nggak usah debat aku tahu itu hak laki-laki. Perempuan juga punya hak untuk memilih. Setelah balasan dari pesannya nggak muncul lagi, aku makan sendirian di restaurant. Kue tartnya aku bagiin sama pegawainya aja. Siapa yang mau makan di rumah? U