Kamar mandi yang luar biasa dengan percampuran lendir bekicot dan cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap. Tapi, aku nggak punya pilihan lain, pulang nggak juga bisa. Sinyal bener-bener nggak ada di sini. Mana perut laper banget. Mau cari makan ke mana aku nggak tahu juga. Bang Ale juga nggak nongol. Nggak peka banget jadi orang. Sampai sore aku nggak bisa tidur karena cacing demo di dalam perut. Aku lihat ponsel entar lagi maghrib. Aku intip dari kaca ternyata suasana sepi. Aku takut kalau asal keluar diculik dinosaurus. Kan, dagingku lumayan kalau disantap. Selesai sholat aku putuskan keluar saja daripada jadi fosil karena mati kelaparan. Tepat waktu ada yang mengetuk pintu. Dia yang aku harapan datang juga dan ngajak makan. Pun masalah bayar malah berantem duluan. Please, ini persis banget kayak kami waktu SD. Akhirnya bayar dibagi dua aja. Makanan termasuk murah padahal aku ngunyah banyak banget. Tahu apa yang membuatku nafsu makan? Karena ada yang nemenin. Ehm, biasanya
Awokwokwokwokwok, sirup abc kenak tipu. Sengaja aku iseng mau lihat reaksi dia kalau aku pura-pura mati. Dia nangis woooi, nangess. Apakah dia takut kehilanganku? Atau aku lamar saja dia di sini sekalian? Emang uangku udah cukup buat lamar anak gadis orang. Sedangkan Iqis pasti penghasilannya lebih besar daripada aku. “Le minerale, dengan kekuatan bulan, akan menghukummu.” Kupikir dia nggak marah. Ternyata Iqis ambil batu besar dan mau dihantamnya ke kepalaku. Wahaha, toloooong, kabur. Nanti aku diseruduk lagi. “Tolooooong,” ucapku serius. Iqis marah nggak main-main. Anak itu kayaknya lagi PMS. Rombongan yang lain pada ke mana lagi? “Woi, ale-ale tak pites kepalamu.” Dia lari lebih lebar. Tadi katanya capek nggak sanggup lagi. Tibake mau nimpuk aku, kok, sehat wal’afiat. Ada apa denganmu, Iqis? Kupikir kita saling memendam rasa, ternyata rasa mi ayam jauh lebih enak. “Damai, Qis, damai, kiss me, Qis.” Adeh, salah bicara lagi, tapi … Iqis bengong, jangan bilang kesambet. “Qis,
Serem banget bukit ini, katanya nggak ada penampakan, kok, bisa-bisanya aku dilihatin pemandangan ultramen goyang ngebor sambil bawa bunga. Ah, ini mataku juling apa rabun sebenere? Aku nggak terlaku ngerti juga kenapa, antara ada dan tiada, sampai-sampai le minerale harus mengikat tanganku pakai tali. Dikira aku domba apa, ya? “Biar gak kesapaan, Qis, sama penghuni sini,” katanya gitu. “Yah, apes deh, rencana liburan di pinggir pantai malah jadi naik bukit,” gerutuku. Tapi itu juga kena tegur dia, katanya jangan ngomong macem-macem, ini di tengah hutan. Lagian ngapain, yak, kunti wewe demen banget di sini. Coba tinggalnya di gedung DPR, kan, keren. Baru aja aku bayangin kunti, eh, ada makhluk jelek ngikutin aku dari belakang. Laki-laki yang kayaknya nggak pernah mandi satu abad lamanya, terus pakai kolor ijo doank, astaghfirullah. Ya Allah, maafkan hamba yang julid. Giginya tongos kayak Bang Ale dulu. Udah gitu dia manggil-manggil aku lagi. “Neng, ikut abang dangdutan, yok.” L
Setelah drama kejar-kejaran sama domba dan akhirnya aku terselamatkan itu pun kecebur di parit, tapi akhirnya Iqis nggak marah lagi. Liburan masih tiga hari. Aku dan Iqis bener-bener menjalin keakraban seperti waktu SD dulu. Tapi ada nggak baiknya juga. Buset, aku jadi makin cinta sama dia. Susah mengendalikan hati, sedangkan gimana perasaan Iqis, aku nggak tahu. “Sebenernya kamu bisa jatuh cinta sama orang nggak, sih?” tanyaku pada kambing dan sapi di hari kedua kami menjelajah desa. Aku dan Iqis ke peternakan dan nanti akan memerah susu. Susu sapi bukan orang.“Kamu nanya sama siapa?” tanya Iqis. “Sama kambing,” jawabku bohong. Habis kalau nanya sama dia malah diajarin masak. Sudah deketin orang sekering kayu bakar memang. “Oh, kirain nanya aku. Aku bisa, kok, jatuh cinta sama orang,” ucapnya sambil kasih pakan kambing. “Siapa?” “Aku.” Dia menunjuk diri sendiri. “Yang nanyak.” Awokwokwokwokwok, kena prank lagi. Dia diem, udah capek marah kayaknya, tapi malah diem jadi kale
Di sinilah aku, di dalam mobil dijemput mama, papa, dan Dian. Sejurus kemudian aku menoleh, melihat rombongan lelaki tentara yang menunggu taksi buat pulang. Jujur, empat hari ini emosiku lepas selepas-lepasnya. Biasanya aku meledak-ledak di dapur. Hadeeeh, apakah aku ada rasa dengan si tonggos yang giginya udah rapi. “Oleh-oleh mana, Mbak?” Dian membongkar tasku. Bunga mini kemasan sachet jadi cenderamata. Daripada aku bawa bulu domba. “Kok, gini, doank?” tanyanya. “Baju kotor ada,” sahutku. “Dian, mbaknya baru pulang, capek itu sabar ya,” kata papaku. “Yah, nanti minta sama Mas Ale aja deh.” “Hei, tidack sopan kamu minta-minta sama orang. Sejak kapan deket sama dia. Lihat, Pa, Diandra pacaran.” Aku aja masih jomlo. Aku iri, sih, dikit. “Enak aja, ih dasar irian, makanya cari pacar sono, udah tua loh.” Cablak banget mulut si Dian ya Allah. “Udah, jangan ribut, Pa, makan di luar aja sekalian, yok, kan nggak masak di rumah tadi.” Kanjeng Mama sudah kasih perintah. Kalau beli
Aku kembali ke restaurant dengan raut wajah cerah. Semua bekerja seperti semula. Papa datang sebentar aja dan habis itu langsung ke studio membahas program acara. Aku tebak dulu papa mudanya ganteng banget sampai mama yang tomboi jadi bucin banget dibuatnya. Aku panggil salah satu waitres dan aku minta ke ruangan. Ada yang harus aku lakukan. “Tolong kirim jaket ini ke sini, ya.” Aku sudah membungkus jaket Bang Ale setelah dicuci dan dikasih pewangi. Bisa aja aku antar, tapi malunya itu luar binasa sekali. Aku cek lagi ponsel. Kenapa aku jadi galau gini. Tapi aku tetep kirim pesan sama dia. [Selamat siang, Pak, jaket akan segera dikirim ke tempat bapak mangkal, eh, dinas, terima kasih atas pinjamannya.] Send. Serius aku kirim pesan seserius ini? What the … ahahahaha, kok aku kaku banget kayak kanebo kering? Balasannya?[Jangan lupa makan, ya, Qis, jangan kebanyakan makan daging, imbangi dengan lalapan mentah. Daun plastik apalagi, awet muda kita dibuatnya.] Is, gini aja aku ket
Yes, aku sudah daftar sebagai salah satu peserta. Sebentar lagi kami akan dipertemukan. Semoga aja aku bisa sampai ke dapur yang ada dia berdiri sebagai juri dan mengatakan masakanku enak serta aku layak jadi bapak rumah tangga. Awokwokwokwok. Belajar masak memasak dimulai. Aku search resep di internet demi mendapatkan hasil sempurna. Pengennya, sih, nanya sama dia. Tapi Iqis balik lagi kayak kulkas enam pintu. Dingin, dan membekukan semua yang ada di sekitar. Ah, aku saja yang terlalu pengecut jadi orang. Padahal Zainuddin yang tidak punya uang saja nekat menyambangi Hayati walau akhirnya ditolak. Kau miskin aku miskin, terus kita bisa apa. Padahal bisa jadi setengah kaya. Cewek di mana-mana emang gitu. Cowok juga sama aja, makanya dipertemukan. Aku cobain rasa masakan coto Makassar yang aku buat dengan potongan daging capi. Karena nggak ada perbandingan rasanya menurutku enak.Aku upload di story WA, berharap dia melihatku, tapi cuman adeknya. Ke mana Iqis? Sesibuk itukah jad
Makanan yang aku hidangkan udah siap untuk dicicipin sama para juri. Tapi masih juga pertanyaan receh yang keluar. Ya, nggak apa-apa, sih. Malah jadi seru dibuatnya. “Abdi negara cabang apa?” Aku jawab loreng tapi bukan bagian umum, jadi nggak bisa aku kasih tahu secara spesifik. “Udah berapa tahun tugas.” Aku jawab mau jalan lima sama masa pelatihan. “Emang udah boleh nikah kalau misalnya nih, Iqis terima kamu dan kamu lamar dia.” “Is, Om apaan, sih?” protes gadis bergigi taring satu. “Boleh, paling cepat itu nikah dua tahun sejak masa dinas.” Apakah ini tanda-tanda lamaranku diterima? “Oke, bawa makanannya ke sini.” Chef Aron menyela perbincangan dari kami. Aku maju dan menghidangkan coto Makassar pakai daging sapi. Iqis maju duluan, dia mencicipi sambil melirikku, eh, cieh, agak senyum dikit. Pas sendok itu diambil dan dimasukin dalam mulutnya, pikiranku jadi berkelana. Ekpresi Iqis agak lain dan dia melihatku dengan raut wajah kecewa. Kenapa, menurutku itu enak banget. Ma