Aku kembali ke restaurant dengan raut wajah cerah. Semua bekerja seperti semula. Papa datang sebentar aja dan habis itu langsung ke studio membahas program acara. Aku tebak dulu papa mudanya ganteng banget sampai mama yang tomboi jadi bucin banget dibuatnya. Aku panggil salah satu waitres dan aku minta ke ruangan. Ada yang harus aku lakukan. “Tolong kirim jaket ini ke sini, ya.” Aku sudah membungkus jaket Bang Ale setelah dicuci dan dikasih pewangi. Bisa aja aku antar, tapi malunya itu luar binasa sekali. Aku cek lagi ponsel. Kenapa aku jadi galau gini. Tapi aku tetep kirim pesan sama dia. [Selamat siang, Pak, jaket akan segera dikirim ke tempat bapak mangkal, eh, dinas, terima kasih atas pinjamannya.] Send. Serius aku kirim pesan seserius ini? What the … ahahahaha, kok aku kaku banget kayak kanebo kering? Balasannya?[Jangan lupa makan, ya, Qis, jangan kebanyakan makan daging, imbangi dengan lalapan mentah. Daun plastik apalagi, awet muda kita dibuatnya.] Is, gini aja aku ket
Yes, aku sudah daftar sebagai salah satu peserta. Sebentar lagi kami akan dipertemukan. Semoga aja aku bisa sampai ke dapur yang ada dia berdiri sebagai juri dan mengatakan masakanku enak serta aku layak jadi bapak rumah tangga. Awokwokwokwok. Belajar masak memasak dimulai. Aku search resep di internet demi mendapatkan hasil sempurna. Pengennya, sih, nanya sama dia. Tapi Iqis balik lagi kayak kulkas enam pintu. Dingin, dan membekukan semua yang ada di sekitar. Ah, aku saja yang terlalu pengecut jadi orang. Padahal Zainuddin yang tidak punya uang saja nekat menyambangi Hayati walau akhirnya ditolak. Kau miskin aku miskin, terus kita bisa apa. Padahal bisa jadi setengah kaya. Cewek di mana-mana emang gitu. Cowok juga sama aja, makanya dipertemukan. Aku cobain rasa masakan coto Makassar yang aku buat dengan potongan daging capi. Karena nggak ada perbandingan rasanya menurutku enak.Aku upload di story WA, berharap dia melihatku, tapi cuman adeknya. Ke mana Iqis? Sesibuk itukah jad
Makanan yang aku hidangkan udah siap untuk dicicipin sama para juri. Tapi masih juga pertanyaan receh yang keluar. Ya, nggak apa-apa, sih. Malah jadi seru dibuatnya. “Abdi negara cabang apa?” Aku jawab loreng tapi bukan bagian umum, jadi nggak bisa aku kasih tahu secara spesifik. “Udah berapa tahun tugas.” Aku jawab mau jalan lima sama masa pelatihan. “Emang udah boleh nikah kalau misalnya nih, Iqis terima kamu dan kamu lamar dia.” “Is, Om apaan, sih?” protes gadis bergigi taring satu. “Boleh, paling cepat itu nikah dua tahun sejak masa dinas.” Apakah ini tanda-tanda lamaranku diterima? “Oke, bawa makanannya ke sini.” Chef Aron menyela perbincangan dari kami. Aku maju dan menghidangkan coto Makassar pakai daging sapi. Iqis maju duluan, dia mencicipi sambil melirikku, eh, cieh, agak senyum dikit. Pas sendok itu diambil dan dimasukin dalam mulutnya, pikiranku jadi berkelana. Ekpresi Iqis agak lain dan dia melihatku dengan raut wajah kecewa. Kenapa, menurutku itu enak banget. Ma
Yuhuuuu, iya bener dia ada di sana. Bang Ale menatapku sekilas hingga membuat hati ini menghangat. Apakah Le minerale jadi peserta? And gues what? Pengakuan dia yang dipancing sama Om Putra rasanya membuatku ingin salto dan jungkir balik. Tapi aku harus jaga sikap. Bahkan aku nggak senyum sedikit pun. Di sana, di deket Papa Diandra bilang, "Dasar kanebo kering!" Hufft mau gimana lagi. Aku harus jaga image.Sejujurnya aku seneng dengan pengakuan Bang Ale. Artinya perasaanku nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi aku takut juga ini terlele cepet. Apalagi sampai mengkhayalkan lamaran dan resepsi pakai baju apa? Oh, no, Iqis, wake up, kamu jangan labil sampai oleng. Ingat tanggung jawab besar ada di pundakmu. Soal perasaan Bang Ale, aku acungi empat jempol sama di kaki sekalian. Selanjutnya kita urus belakangan. "Oke silahkan dipersiapkan masakannya," pinta Om Putra. Bang Ale terlihat serius. Dia menyajikan makanan yang cukup rumit yaitu, coto makassar. Aku aja malas buatnya. Aku masu
I love you toooooo, three, four, and i love you 3000 kali. Aku nggak percaya jadi selabil ini. Gusti Allah selamatkan hambaaaa. Ini parah ini, hatiku jadi ngakak guling-guling dibuatnya. Aku terbangun tiba-tiba aja. Pertama banget aku lihat ponsel terus aku buka chat kami. Fiuuh ternyata hanya mimpi. Aku cuman ngetik, [Cari tahu aja sendiri]. Gengsi banget aku tu mau ngakuin. Bang Ale is typing. Aku lihat jam dinding, masih jam tiga pagi. Mau ngapain? [Yang beb, aku pergi dulu ya, kira-kira beberapa hari nggak bisa dihubungi. Nggak usah dicari nggak bakal ketemu. Jangan lupa makan dan senyum.] Lengkap dia kirim emot lope-lope sekalian. Mau ke mana ya dia? [Iya, makasih, btw mau ke mana? Kalau aku boleh kepo. Terus hati-hati di jalan, ya.] Send, tapi checklist satu. Aku cubit pipi sendiri, sakit, kok, artinya aku nggak lagi mimpi. Gini, nih, kalau aku kebangun di sebelum Shubuh jadi nggak bisa tidur lagi. Aku nonton drakor di channel berbayar. Eh, bosen, aku cari dracin. Tepatny
Ditelpon malah nggak diangkat, dasar cewek, di mana-mana sama aja. Terus ngapain kirim pesan masih hidup atau nggak? Ngarep aku mati gitu? Padahal baru pulang dari LN karena ada misi khusus dan sudah selesai. Harap-harap Zainuddin bisa ketemu Hayati. Tapi Hayati nomornya tidak aktif. Semakin kukejar semakin kau terbang Hayati. Tapi tenang aja, aku bisa pakai pesawat tempur untuk membawa kembali dalam pelukanku. Aku kirim pesan aja sama dia. Nanti malam kalau bisa ketemuan, terserah atur aja waktu dan tempat karena di tengah hutan pun oke aja. Dia ini yang repot. Yang papanya ginilah, mamanya gitulah, adeknya apalagi. Tapi, aku maklum, namanya anak perempuan tersayang. Centang biru. Labil, tadi dimatikan. Jawaban pesannya oke doank. Nggak nanyain aku gimana dan sama siapa dan sedang berbuat apa. Turu adalah pilihan yang paling tepat. *** Waktu cepat sekali berlalu. Tahu-tahu aku bangun udah gelap aja. Gawat, lima belas menit lagi waktuku janjian ketemu Iqis. Aku lihat ponsel denga
Ngambek tuan putri sampai aku pulang. Udahlah, apes, padahal kangen. Pengen ajak dia nonton film siksa neraka, tapi nanti tambah ngamuk lagi. Minimal aku nggak kelaperan sama dia. Eh, makan tadi belum aku bayar. Takutnya nggak halal, maksudnya, tuan putri nggak ridho gitu. Jadi aku kirim pesan sama dia. [Tuan putri, makan malam tadi berapaan, ya?] Sekalian nanya dia udah pulang apa belum. Padahal aku nganterin dia diem-diem. [Nggak usah, gratis.] Datar aja jawabannya kayak habis nonton film perang. PMS apa gimana, dia ini. Besok-besok nggak lagi, deh, nyingung dia. Lebih parah daripada komandan kalau marah. [Atau mau dibayar dengan cara kita nginap di hotel, seperti adegan yang kamu bayang-bayangin tapi bahkan bayangannya aja nggak ada?] Rencananya mau aku kirim gitu, tapi nggak jadi. Entar tambah tinggi lagi tensinya. [Makasih, besok giliran aku yang ajak makan. Kalau kamu mau di pinggir jalan, gimana?] Semoga dia yang lagi jadi seleb ada waktu.[Boleh, asal jangan di tengah ja
Di sini aku duduk termenung, merenungi hubungan kami berdua yang baru berjalan. Aku tahu kaku banget jadi orang. Tapi aku udah usaha biar nggak keterlaluan, nggak bisa juga. Pernah aku baca tips hubungan langgeng biar sampai ke jenjang pernikahan. Katanya yang perempuan harus kasih makan ego lelaki. Lah, aku yang udah diajarin mandiri dari kecil harus gimana? Papa sama mama bilang kalau belum jadi suami nggak boleh gini dan gitu, nggak boleh nyusahin orang apalagi minta-minta. Kalau punya uang beli sendiri. Iya, bener banget kata beliau berdua. Dan jadilah setiap kali jalan pergi makan selalu kami gantian bayar. Aku nggak mau dikira matre. Enak aja, aku bisa cari uang sendiri. Soal skin care juga aku bisa bayar, kok. Sampai akhirnya dia nanyain satu hal sama aku. [Kamu nggak mau beli ini itu, Qis?] ujarnya dalam pesan ketika kami nggak jadi ketemuan. Aku syuting dia latihan terus nggak habis-habis. Udah kayak LDR aja. [Nggak, semua kebutuhanku udah dibelikan papa kalau nggak bel