I love you toooooo, three, four, and i love you 3000 kali. Aku nggak percaya jadi selabil ini. Gusti Allah selamatkan hambaaaa. Ini parah ini, hatiku jadi ngakak guling-guling dibuatnya. Aku terbangun tiba-tiba aja. Pertama banget aku lihat ponsel terus aku buka chat kami. Fiuuh ternyata hanya mimpi. Aku cuman ngetik, [Cari tahu aja sendiri]. Gengsi banget aku tu mau ngakuin. Bang Ale is typing. Aku lihat jam dinding, masih jam tiga pagi. Mau ngapain? [Yang beb, aku pergi dulu ya, kira-kira beberapa hari nggak bisa dihubungi. Nggak usah dicari nggak bakal ketemu. Jangan lupa makan dan senyum.] Lengkap dia kirim emot lope-lope sekalian. Mau ke mana ya dia? [Iya, makasih, btw mau ke mana? Kalau aku boleh kepo. Terus hati-hati di jalan, ya.] Send, tapi checklist satu. Aku cubit pipi sendiri, sakit, kok, artinya aku nggak lagi mimpi. Gini, nih, kalau aku kebangun di sebelum Shubuh jadi nggak bisa tidur lagi. Aku nonton drakor di channel berbayar. Eh, bosen, aku cari dracin. Tepatny
Ditelpon malah nggak diangkat, dasar cewek, di mana-mana sama aja. Terus ngapain kirim pesan masih hidup atau nggak? Ngarep aku mati gitu? Padahal baru pulang dari LN karena ada misi khusus dan sudah selesai. Harap-harap Zainuddin bisa ketemu Hayati. Tapi Hayati nomornya tidak aktif. Semakin kukejar semakin kau terbang Hayati. Tapi tenang aja, aku bisa pakai pesawat tempur untuk membawa kembali dalam pelukanku. Aku kirim pesan aja sama dia. Nanti malam kalau bisa ketemuan, terserah atur aja waktu dan tempat karena di tengah hutan pun oke aja. Dia ini yang repot. Yang papanya ginilah, mamanya gitulah, adeknya apalagi. Tapi, aku maklum, namanya anak perempuan tersayang. Centang biru. Labil, tadi dimatikan. Jawaban pesannya oke doank. Nggak nanyain aku gimana dan sama siapa dan sedang berbuat apa. Turu adalah pilihan yang paling tepat. *** Waktu cepat sekali berlalu. Tahu-tahu aku bangun udah gelap aja. Gawat, lima belas menit lagi waktuku janjian ketemu Iqis. Aku lihat ponsel denga
Ngambek tuan putri sampai aku pulang. Udahlah, apes, padahal kangen. Pengen ajak dia nonton film siksa neraka, tapi nanti tambah ngamuk lagi. Minimal aku nggak kelaperan sama dia. Eh, makan tadi belum aku bayar. Takutnya nggak halal, maksudnya, tuan putri nggak ridho gitu. Jadi aku kirim pesan sama dia. [Tuan putri, makan malam tadi berapaan, ya?] Sekalian nanya dia udah pulang apa belum. Padahal aku nganterin dia diem-diem. [Nggak usah, gratis.] Datar aja jawabannya kayak habis nonton film perang. PMS apa gimana, dia ini. Besok-besok nggak lagi, deh, nyingung dia. Lebih parah daripada komandan kalau marah. [Atau mau dibayar dengan cara kita nginap di hotel, seperti adegan yang kamu bayang-bayangin tapi bahkan bayangannya aja nggak ada?] Rencananya mau aku kirim gitu, tapi nggak jadi. Entar tambah tinggi lagi tensinya. [Makasih, besok giliran aku yang ajak makan. Kalau kamu mau di pinggir jalan, gimana?] Semoga dia yang lagi jadi seleb ada waktu.[Boleh, asal jangan di tengah ja
Di sini aku duduk termenung, merenungi hubungan kami berdua yang baru berjalan. Aku tahu kaku banget jadi orang. Tapi aku udah usaha biar nggak keterlaluan, nggak bisa juga. Pernah aku baca tips hubungan langgeng biar sampai ke jenjang pernikahan. Katanya yang perempuan harus kasih makan ego lelaki. Lah, aku yang udah diajarin mandiri dari kecil harus gimana? Papa sama mama bilang kalau belum jadi suami nggak boleh gini dan gitu, nggak boleh nyusahin orang apalagi minta-minta. Kalau punya uang beli sendiri. Iya, bener banget kata beliau berdua. Dan jadilah setiap kali jalan pergi makan selalu kami gantian bayar. Aku nggak mau dikira matre. Enak aja, aku bisa cari uang sendiri. Soal skin care juga aku bisa bayar, kok. Sampai akhirnya dia nanyain satu hal sama aku. [Kamu nggak mau beli ini itu, Qis?] ujarnya dalam pesan ketika kami nggak jadi ketemuan. Aku syuting dia latihan terus nggak habis-habis. Udah kayak LDR aja. [Nggak, semua kebutuhanku udah dibelikan papa kalau nggak bel
Aku mematikan ponsel setelah menyelesaikan obrolan dengan Tuan Putri Aqila Bilqis Cahyani, sebuah nama yang membuat hidupku galau bertahun-tahun. Dapetinnya susah, udah gitu orangnya kaku. Tapi entah kenapa aku suka. Nggak lama kemudian, kami berbaris dan antre masuk ke dalam pesawat yang khusus membawa anggota pasukan perdamaian yang akan berjaga di Lebanon. Sebelum lepas landas, aku mematikan ponsel di mana foto Iqis waktu di desa kujadikan walpaper. Suatu hari nanti aku akan mengulang moment indah itu bersamanya. Tanpa gangguan serudukan domba sama sekali. Sialan! Sakit pantatku dibuatnya. Tepat sekali, akhirnya hal yang wajar dirasakan para senior dulu aku alami juga. LDR, sebuah singkatan dengan makna sangat mendalam. Di mana sebuah kesetiaan akan diuji mati-matian. Ada banyak kisah cinta yang kandas sebelum ke pelaminan karena tidak kuat menjalani hubungan jarak jauh. Sedangkan aku dan Iqis baru ini mencoba. Entah bagaimana jadinya, kita lihat saja nanti. Dia belum jadi ist
Di sini aku sekarang, di dalam restaurant di mana seharusnya kami makan malam bersama. Udah nggak kehitung berapa kali kami janjian tapi harus dibatalin. I think our problem is about time. Bukan orang ketiga yang jadi kendala. Karena aku mau sama satu orang aja udah bagus. Setiap hari aku mikirin mending udahan aja, tapi cuman di kepala aja gaes. Aslinya kicep aku, wkwkwkwk, banyak gaya memang. Sesaat kemudian aku v call sama dia. Aku tunjukkin kalau aku juga serius. Ya, jam tangan dan kue tart adalah salah satu bukti kalau aku bukan gadis lugu tapi nggak komitmen. Sebentar aja kami ngobrol soalnya dia bilang mau sampai di markas. Aku kasih dia pesan cinta, awas kawin banyak-banyak di sana. Jangankan banyak, satu aja aku nggak terima. Oke, nggak usah debat aku tahu itu hak laki-laki. Perempuan juga punya hak untuk memilih. Setelah balasan dari pesannya nggak muncul lagi, aku makan sendirian di restaurant. Kue tartnya aku bagiin sama pegawainya aja. Siapa yang mau makan di rumah? U
Suasana di pinggiran Lebanon sangat mencekam. Udah beberapa kali kami hampir aja bentrok dengan tentara Israel yang mulai kelewat batas. Biasanya aku cuman baca gimana perangai mereka yang suka kelewat batas sama penduduk sipil tak bersenjata pula. Sekarang aku rasakan sendiri. Terbayang olehku wajah perempuan yang lemah dan berlarian demi menyelamatkan harga diri serta kesucian. Pernah aku angkat senjata dan teman-teman karena mereka berkelakuan layaknya binatang. Sudahlah di sini kami tidak bisa kontak dengan keluarga, ditambah beban mental mengayomi para tentara kurang pendidikan. Yang aku dengar di sana ada wamil dan asal comot tentara. Gimana ceritanya banci bisa pegang senjata. Mana dia tahu wilayah yang boleh diserang atau nggak, atau yang diprioritaskan untuk ditolong. Di mata tentara Israel semua yang ada di hadapan mereka adalah kecoak yang boleh diinjak. Keadaan agak tenang sedikit ketika kami memasuki pedesaan yang berbatasan langsung dengan Israel. Warga desanya takut
Aku harus tetep profesional dalam bekerja. Walau jantung degupnya bukan main lagi dan keringat dingin sudah mengucur deras. Tapi nama pemenang tetap kami umumkan. Gegap gempita dan perayaan dimulai, itu bagi mereka, tidak bagiku. Aku hanya terpaku dan tersenyum palsu tanpa tahu harus bagaimana. Kamera masih menyorotku dan aku nggak bisa pergi. Senyumanku palsu pada semua orang. Sampai ada kira-kira setengah jam perayaan belum juga selesai. Aku minta izin sama papa untuk undur diri. Nyatanya aku nggak kuat dan duduk di kursi sebelah papa. Kakiku lemes. “Kenapa?” tanya papaku yang habis minum air putih. Aku nggak sanggup bicara lagi dan hanya memberikan ponselku pada papa. Beliau juga diam dan mengembalikan benda itu padaku. “Sudah pernah Papa bilang gimana resikonya. Sekarang kamu duduk yang tenang dan tunggu kabar aja, semoga semuanya selamat. Biasanya nanti ada berita resmi atau kalau nggak, ada kabar-kabar burung di sosmed. Jangan mikir untuk buat macem-macem, ya, Nak.” Papa, m