POV Ale Sejak SD aku memang sering berantem sama dia. Terus tamat dan misah jalani hidup sesuai keputusan orang tua masing-masing. Aku yang dipilihkan SMP deket rumah pun menjalani serangkaian perawatan yang dipercaya oleh mamaku. Soal gigi memang dulu berantakan banget. Dan beberapa tahun menggunakan kawat akhirya wajahku jadi enak dipandang, alias handsome dikit. Sejak SMP aku nggak ada kabar apa pun soal siru abc, kecuali iklan di bulan puasa yang sliweran terus. Tapi sesekali aku lihat wajahnya yang nongol di TV.“Hebat kamu, ya, jadi apa yang kamu mau,” gumamku ketika Iqis dapat juara lagi setelah SD juga pernah. Aku jadi minder kalau ketemu dia. Kemudian kedua orang tuaku memintaku melatih fisik. Katanya daripada aku ngelamun. Memasuki SMA, takdir mempertemukan kami berdua lagi. Iqis satu SMA denganku. Jilbab putih yang dia kenakan berkibar dan terbang terbawa angin sambi dia memandangku. “Hai,” sapaku sama dia. Tapi nggak jumpa beberapa tahun sama dia, banyak banget per
Bus berhenti di desa yang tak seharusnya aku kunjungi. Terpaksa aku ikut turun daripada ditinggal sama orang asing nggak dikenal. Heh, Bang Ale satu SMA sama aku, tapi nggak ada satu pun ingatan bahwa kami pernah ketemu. Sekaku itu aku jadi orang. Emang, sih, temen-temenku bilang aku kurang menikmati masa muda. Tahunya belajar sama masak doank. Dibilang udah kayak ibu-ibu. Aminin aja, belum tahu aja enaknya jadi ibu-ibu yang mandiri finansial. “Kamu kuat jalan kaki, kan, Qis?” tanya Bang Ale. “Kuat, tenang aja, aku udah biasa jalan ke pasar cari bahan.” Kemudian aku pun mengikuti rombongan cogan abdi negara yang kerap dipasangkan sama nakes. Kalau foto studio yang satu pakai baju dinas sesuai cabang yang satu baju putih sambil pegang teleskop. Bang Ale dan teman-temannya liburan simpel banget. Bawa tas ransel sebijik doank. Apa muat semua baju di dalamnya? Pemandangan di desa ini masih sangat asri. Tapi uppps, kenapa ada eek sapi dan kambing di sepanjang jalan. Adoheei gimana ko
Sakit banget pantat aku diseruduk domba. Tapi, setidaknya aku bisa melihat senyum Iqis disertai gigi gingsulnya yang langka. Katanya cewek kalau punya gigi lebihan, tandanya setia. Terus kalau gingsulnya dicabut, hilang setianya gitu?“Kalau gigimu dicabut semua jadi gimana, Qis?” tanyaku iseng.“Jadi ompong kayak nenek-nenek, ngapain nanya gituan, Bang?” Dia melirikku sambil menaikkan alis. “Nanya aja, mana tahu, kan, ada niat jual gigi gingsulmu.” Plak! Satu pukulannya melayang ke bahuku. Udahlah diseruduk domba sekarang ditempeleng sama cewek. Untung aja cantik dan aku sayang. “Nanya lagi aneh-aneh, gigi gingsulku ini pemanis. Mending aku jadi jomlo daripada harus jual gigi.” “Terus pacar kamu dari India, gimana?” Akhirnya aku tahu tipu daya Iqis. Nama pacar yang berarti kunyit. Agak lain otak anak ini aku rasa. “Ya, gak gimana-gimana. Terus gimana ini, aku tinggal di mana? Ada hotel nggak di sini?” Sudah jauh kami berjalan tapi belum juga sampai di penginapan yang aku booki
Kamar mandi yang luar biasa dengan percampuran lendir bekicot dan cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap. Tapi, aku nggak punya pilihan lain, pulang nggak juga bisa. Sinyal bener-bener nggak ada di sini. Mana perut laper banget. Mau cari makan ke mana aku nggak tahu juga. Bang Ale juga nggak nongol. Nggak peka banget jadi orang. Sampai sore aku nggak bisa tidur karena cacing demo di dalam perut. Aku lihat ponsel entar lagi maghrib. Aku intip dari kaca ternyata suasana sepi. Aku takut kalau asal keluar diculik dinosaurus. Kan, dagingku lumayan kalau disantap. Selesai sholat aku putuskan keluar saja daripada jadi fosil karena mati kelaparan. Tepat waktu ada yang mengetuk pintu. Dia yang aku harapan datang juga dan ngajak makan. Pun masalah bayar malah berantem duluan. Please, ini persis banget kayak kami waktu SD. Akhirnya bayar dibagi dua aja. Makanan termasuk murah padahal aku ngunyah banyak banget. Tahu apa yang membuatku nafsu makan? Karena ada yang nemenin. Ehm, biasanya
Awokwokwokwokwok, sirup abc kenak tipu. Sengaja aku iseng mau lihat reaksi dia kalau aku pura-pura mati. Dia nangis woooi, nangess. Apakah dia takut kehilanganku? Atau aku lamar saja dia di sini sekalian? Emang uangku udah cukup buat lamar anak gadis orang. Sedangkan Iqis pasti penghasilannya lebih besar daripada aku. “Le minerale, dengan kekuatan bulan, akan menghukummu.” Kupikir dia nggak marah. Ternyata Iqis ambil batu besar dan mau dihantamnya ke kepalaku. Wahaha, toloooong, kabur. Nanti aku diseruduk lagi. “Tolooooong,” ucapku serius. Iqis marah nggak main-main. Anak itu kayaknya lagi PMS. Rombongan yang lain pada ke mana lagi? “Woi, ale-ale tak pites kepalamu.” Dia lari lebih lebar. Tadi katanya capek nggak sanggup lagi. Tibake mau nimpuk aku, kok, sehat wal’afiat. Ada apa denganmu, Iqis? Kupikir kita saling memendam rasa, ternyata rasa mi ayam jauh lebih enak. “Damai, Qis, damai, kiss me, Qis.” Adeh, salah bicara lagi, tapi … Iqis bengong, jangan bilang kesambet. “Qis,
Serem banget bukit ini, katanya nggak ada penampakan, kok, bisa-bisanya aku dilihatin pemandangan ultramen goyang ngebor sambil bawa bunga. Ah, ini mataku juling apa rabun sebenere? Aku nggak terlaku ngerti juga kenapa, antara ada dan tiada, sampai-sampai le minerale harus mengikat tanganku pakai tali. Dikira aku domba apa, ya? “Biar gak kesapaan, Qis, sama penghuni sini,” katanya gitu. “Yah, apes deh, rencana liburan di pinggir pantai malah jadi naik bukit,” gerutuku. Tapi itu juga kena tegur dia, katanya jangan ngomong macem-macem, ini di tengah hutan. Lagian ngapain, yak, kunti wewe demen banget di sini. Coba tinggalnya di gedung DPR, kan, keren. Baru aja aku bayangin kunti, eh, ada makhluk jelek ngikutin aku dari belakang. Laki-laki yang kayaknya nggak pernah mandi satu abad lamanya, terus pakai kolor ijo doank, astaghfirullah. Ya Allah, maafkan hamba yang julid. Giginya tongos kayak Bang Ale dulu. Udah gitu dia manggil-manggil aku lagi. “Neng, ikut abang dangdutan, yok.” L
Setelah drama kejar-kejaran sama domba dan akhirnya aku terselamatkan itu pun kecebur di parit, tapi akhirnya Iqis nggak marah lagi. Liburan masih tiga hari. Aku dan Iqis bener-bener menjalin keakraban seperti waktu SD dulu. Tapi ada nggak baiknya juga. Buset, aku jadi makin cinta sama dia. Susah mengendalikan hati, sedangkan gimana perasaan Iqis, aku nggak tahu. “Sebenernya kamu bisa jatuh cinta sama orang nggak, sih?” tanyaku pada kambing dan sapi di hari kedua kami menjelajah desa. Aku dan Iqis ke peternakan dan nanti akan memerah susu. Susu sapi bukan orang.“Kamu nanya sama siapa?” tanya Iqis. “Sama kambing,” jawabku bohong. Habis kalau nanya sama dia malah diajarin masak. Sudah deketin orang sekering kayu bakar memang. “Oh, kirain nanya aku. Aku bisa, kok, jatuh cinta sama orang,” ucapnya sambil kasih pakan kambing. “Siapa?” “Aku.” Dia menunjuk diri sendiri. “Yang nanyak.” Awokwokwokwokwok, kena prank lagi. Dia diem, udah capek marah kayaknya, tapi malah diem jadi kale
Di sinilah aku, di dalam mobil dijemput mama, papa, dan Dian. Sejurus kemudian aku menoleh, melihat rombongan lelaki tentara yang menunggu taksi buat pulang. Jujur, empat hari ini emosiku lepas selepas-lepasnya. Biasanya aku meledak-ledak di dapur. Hadeeeh, apakah aku ada rasa dengan si tonggos yang giginya udah rapi. “Oleh-oleh mana, Mbak?” Dian membongkar tasku. Bunga mini kemasan sachet jadi cenderamata. Daripada aku bawa bulu domba. “Kok, gini, doank?” tanyanya. “Baju kotor ada,” sahutku. “Dian, mbaknya baru pulang, capek itu sabar ya,” kata papaku. “Yah, nanti minta sama Mas Ale aja deh.” “Hei, tidack sopan kamu minta-minta sama orang. Sejak kapan deket sama dia. Lihat, Pa, Diandra pacaran.” Aku aja masih jomlo. Aku iri, sih, dikit. “Enak aja, ih dasar irian, makanya cari pacar sono, udah tua loh.” Cablak banget mulut si Dian ya Allah. “Udah, jangan ribut, Pa, makan di luar aja sekalian, yok, kan nggak masak di rumah tadi.” Kanjeng Mama sudah kasih perintah. Kalau beli