Selamat Sore, sehat selalu untuk kita semua❤️ jangan lupa kasih komentar dan bintang lima ya, follow Tik Tok aku @triharfa 🥰
Sarastika masih belum sepenuhnya percaya atas apa yang dikatakan oleh Liam. tiga hari? tidak mungkin ia pingsan selama itu. lantas, siapa yang menggantikan pakaiannya dan mengurusnya selama ini? Saras tak berani bertanya lebih banyak lagi, ia memilih untuk mengganti posisi tidur bersandar pada kepala ranjang. melihat raut wajah Saras yang terlihat berubah agak pucat, Liam memilih untuk meninggalkan gadis cantik itu sendiri didalam kamar. *** Viktor menatap lama layar ponselnya, senyumnya mengembang saat mendapati bahwa orang yang mengirimkan pesan adalah lawan bisnis bosnya. “Sesuai perkiraan anda, Tuan.” Liam yang sudah berada di Perusahaan hanya mengangguk kecil tanpa membalas ucapan Viktor. “Apa anda yakin akan melakukan cara ini?” Liam mengalihkan pandangannya pada foto pernikahannya bersama Saras yang berada di atas meja kerjanya. dalam foto itu, nampak Saras memaksakan senyumnya. “Jangan banyak bertanya, Viktor. aku tahu apa yang aku lakukan.” Viktor membungkuk hormat,
Hari yang dijanjikan Liam telah tiba, dimana Saras harus memenuhi syarat yang diajukan Liam. Saras diantar ke sebuah rumah yang cukup mewah. selama perjalanan, Saras tidak bertanya tentang keberadaan Liam pada Viktor yang ditugaskan untuk mengantarkannya. Ia cukup tahu diri dan tak ingin mengetahui dimana Liam berada. pikirannya sudah terlalu banyak dan hal itu cukup membuatnya pusing. entah hal apa yang akan terjadi padanya saat memasuki rumah yang terlihat tertutup rapat itu. “Seseorang sudah menunggu anda di dalam, nyonya.” Perkataan Viktor membuyarkan lamunannya, gadis cantik itu menatap Viktor yang membukakan pintu untuknya. “Siapa?” Viktor hanya membungkuk hormat, mempersilahkan agar Saras masuk ke dalam saat pintunya sudah terbuka lebar. tidak mendapatkan jawaban dari Viktor,Saras memantapkan hati. ia yakin putusannya ini adalah yang terbaik. Setidaknya Liam tidak akan lagi menyentuh tubuhnya. walau dengan perasaan berkecamuk, Saras tetap saja masuk ke dalam rumah. bersamaan
Bab 16 Luna memutuskan untuk menemui Rosa, ibu Liam yang saat ini sedang berada di Butik. “Luna, apa yang terjadi sayang?” tanya Rosa saat melihat kedatangan Luna yang terlihat tidak bersemangat. Luna menggeleng lemah, keduanya memutuskan untuk ngobrol di ruang kerja Rosa. “Katakan sayang, apa yang terjadi? kau sakit atau-” “Gadis itu sudah mencuci otak Liam, Tante.” “Maksudmu?” tanya Rosa tidak mengerti. “Sikap Liam padaku sudah berubah, tidak sehangat dulu. semenjak menikah dengan Saras, ia tidak peduli lagi denganku. bahkan, tempo hari aku membawakan makanan kesukaannya dan ia justru memilih untuk tidak memakannya. Liam juga mengancamku, Tante…” balas Luna dengan deraian air matanya. Rosa mengepalkan kedua tangannya, tidak menyangka jika Liam berbuat sejauh ini. “Ini salah Tante, terlalu membebaskan Liam. Baiklah, Tante akan cari cara untuk menyingkirkan gadis itu sebelum ayah Liam datang. Kau tenang saja, Luna. Tante akan selalu mendukungmu.” Luna memeluk tubuh
“Hebat kalian, baru pulang jam segini!” sambut Rosa, matanya berkilat marah menatap wajah Saras dan Liam yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Liam nampak acuh, tak menanggapi perkataan Rosa. Saat akan melewati tubuh paruh baya itu, Liam menoleh ke belakang. Menatap wajah Saras, tanpa berkata apa-apa. ditatap seperti itu, Saras hanya mampu menundukkan wajahnya dan mengekor pada Liam. “Sekali lagi kau buat Luna menangis, ibu akan membuat istrimu itu menderita.” Ancam Rosa, membuat suasana semakin tegang. Liam menghentikan langkahnya, dan berbalik ke belakang. hal itu membuat Saras hampir saja menabrak tubuh Liam jika ia tidak melihat ke depan. “Tidak ada yang boleh menyakitinya, kecuali aku.” Liam memang menjawab pertanyaan itu untuk Rosa, namun pandangannya tertuju pada manik cokelat istrinya. Saras menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk kamarnya. hari ini terasa begitu berat, melelahkan dan menguras tenaga. Ia kembali teringat saat Liam menutup kedua matanya saat menin
Liam membalik setiap dokumen yang diserahkan oleh Viktor. gerakannya tertahan saat ia melihat sebuah informasi perusahaan Danuarta yang diselipkan di dokumen tersebut. Liam mendongak, menatap pada Viktor, tatapannya menuntut tanpa harus repot-repot mengeluarkan suara. “Saya yakin, anda juga pasti curiga. tidak hanya manajer Perusahaan, tapi ada orang yang lebih kuat dan belum memunculkan diri.” Viktor menjelaskan secara singkat. “Sudah sejauh mana?” Liam kembali membuka lembaran, membaca seksama. “Beri saya waktu satu Minggu.” “Terlalu lama,” “Tiga hari dan anda akan mendapatkan nama orang itu.” Liam menutup dokumen tersebut, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya. ekspresinya kembali datar dan dingin. “Aku ingin tanah yang diberikan oleh Bondan dibangun taman.” Viktor nampak terkejut, namun ia berusaha bersikap biasa saja. Taman? ini kali pertamanya Liam meminta hal yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan bisnis yang mereka jalani. “Baik Tuan, untuk hari ini j
Liam mengerutkan keningnya, saat menyadari bahwa Saras tidak berada dalam kamarnya. pria itu lantas mengelilingi rumah, mencari keberadaan Sarah. Nihil, gadis itu tidak ada. “Liam, kau sudah pulang?” Rosa terkejut, mendapati Liam sudah berada dirumah. sedangkan ia tidak melihat mobil Liam saat diluar tadi. “Dimana istriku?” Rosa menelan ludahnya susah payah. ini tidak ada dalam rencananya. seharusnya Liam tidak pulang secepat ini. “I-ibu, baru saja pulang. mana mungkin ibu tahu dimana keberadaan istrimu.” Sahutnya tergagap. Liam tidak percaya begitu saja jawaban sang ibu. “Katakan atau-” “Makam ayahnya!” Rosa tidak ingin membuat masalah. Ia yakin, Liam tidak mungkin langsung mempercayai ucapannya. pria berwajah tampan itu lantas melenggang pergi meninggalkan wanita paruh baya itu tanpa mengatakan apa-apa. *** Setelah sudah cukup lama berada di makam ayahnya, Saras memutuskan untuk pergi. Saras tahu, tidak mungkin mertuanya akan kembali menjemput dirinya. Jadi Saras m
Mata wanita paruh baya itu melotot pada Saras, kesal karena dirinya tidak bisa membuat Liam percaya pada kata-katanya. tidak ingin membuat Liam kembali marah, Rosa memutuskan untuk pergi begitu saja. diam-diam Saras merasa lega, setidaknya wanita itu tidak akan membuat masalah baru dengannya. tapi, dalam hati Saras juga berterima kasih pada Rosa karena sudah mengantarkannya ke pemakaman ayahnya. rindunya sedikit terobati dengan mengunjungi makam. “Sudah melamunnya?” Saras mendongak, menatap manik hitam milik Liam. pria yang berdiri di hadapannya ini memiliki daya tarik tersendiri. alis mata yang tebal, hidung mancung menambah wajahnya semakin terlihat begitu sempurna. Tangan Liam terulur, mengelus lembut pipi Saras. gerakan tiba-tiba itu tentunya membuat Saras begitu terkejut. “Masuklah, istirahat.” Saras mengangguk mengiyakan, lalu memilih untuk pergi tanpa melihat ke arah Liam. Setelah Saras masuk kedalam rumah, Liam kembali masuk ke dalam mobil untuk kembali menjalani rutinita
Saras memandang pada bungkusan plastik yang sudah diletakkan Liam. Pria berambut hitam itu menarik kursi untuk diduduki. “Apa kau tuli?” Saras menggeleng, walau saat ini pandangan Liam tidak tertuju pada dirinya. otaknya masih dapat meresap semua jawaban yang baru saja keluar dari bibir sang suami. karena tak ingin membuat Liam marah, Saras segera mengambil piring dan sendok. ternyata makanan yang dibeli Liam cukup banyak. Ayam goreng, ayam bakar, ayam kecap dan juga sate. Makanan sebanyak ini, siapa yang akan menghabiskan? ah, mungkin anak buah Liam yang berjaga di rumah ini akan bisa menghabiskan makanan ini. “Apa kau akan memberikan ini pada anak buah mu?” Liam tidak menjawab, ia mengambil sepotong daging ayam kecap untuk dinikmati. baginya, pertanyaan Saras tidak masuk akal. ia membeli ini semua untuk Saras makan dan tidak ada hubungannya dengan anak buahnya. “Aku panggil ib-” “Liam!” ucapan Saras terpotong saat suara wanita menggema. ‘Dia lagi,’ batin Saras. “Makanlah sel
“Saras, masuk ke kamar.” Ucap Liam yang sudah berada di ruang tamu.Ruang tamu yang sebelumnya penuh kehangatan karena tangisan Saras,kini terasa dingin dan tegang. Saras masih berdiri di samping Vinso,matanya terlihat kosong dan dingin, menatap Liam dengan tatapan tajam. Wajahnya pucat, dan tubuhnya terlihat lemah. Ia memegang tas kecil di tangan kanannya.Liam berdiri di seberangnya, matanya memancarkan kemarahan. "Kau tidak bisa pergi!" katanya dengan suara keras. "Kita masih terikat kontrak pernikahan. Kau tidak bisa meninggalkan aku begitu saja!"Saras tidak terpengaruh. Ia mempertahankan tatapannya, suaranya datar. "Aku tidak ingin tinggal di sini lagi. Aku tidak ingin hidup dengan pria yang tidak mengakui anakku."Vinso, pria paruh baya yang berdiri di samping Saras, menatap Liam dengan kekecewaan. "Liam, kau harus memahami. Saras sudah tidak tahan lagi."Liam mengambil langkah maju, matanya memancarkan kemarahan. "Kau tidak bisa membawanya pergi! Aku tidak akan membiarkannya!
Saras membuka pintu kamar mandi dengan lembut, kabut hangat mengikutinya seperti selubung misterius. Rambut hitamnya tergerai basah di bahu, memperlihatkan lekuk-lekuk wajah yang masih merona setelah mandi. Mata coklatnya berkilauan dengan senyum lembut. Handuk putih yang terlipat rapi menutupi tubuhnya, membuatnya terlihat seperti patung dewi yang elegan. Aroma sabun yang lembut dan harum mengisi ruangan, membangkitkan kesan kesegaran dan keanggunan.Liam menatap wajah Saras yang terlihat lelah, namun tetap terlihat begitu cantik. Gadis itu terlihat membuka pintu lemari, memiliki baju yang akan ia pakai. Liam pikir Saras akan kembali ke kamar mandi untuk memakai bajunya, nyatanya pikirannya salah besar. biasanya Saras akan bersikap malu-malu dan tidak berani ganti baju di hadapannya. tapi kini, yang Liam lihat adalah kebalikannya.Tanpa ada rasa malu, Saras membuka handuknya membuat tubuh polosnya terlihat jelas membelakangi Liam. Pria itu lantas mengalihkan pandangannya, jakunnya na
Setelah pergumulan panasnya dengan Saras, Liam masih betah berada di dalam kamar bersama dengan Saras yang kini nampak masih tertidur pulas. Liam berjalan menuju ke arah jendela kamar, ia nyalakan rokok. lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, sebelum meniupkan asapnya ke udara. Pikirannya kembali pada kata dokter yang menyatakan bahwa saat ini Saras telah mengandung anaknya. namun, disisi lain ia masih belum bisa mengenyahkan pikirannya dari perkataan yang terlontar dari mulut ibunya. ya, bisa saja janin yang dikandung oleh Saras adalah milik Ricard, karena malam itu kakaknya telah menculik istrinya.“Li-liam…” Saras terlihat sudah bangun. gadis itu nampak malu dan berusaha untuk menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke leher.“Kau hamil.” Ucap Liam berterus terang.“Si-siapa yang hamil?” Saras masih berharap jika isi kepalanya tidak sama dengan ucapan yang nantinya Liam katakan.“Kau Saras, kau hamil.” Liam memandangnya dengan tatapan mata yang begitu dingin. Diam-diam, dari balik
“Jaga mulut anda, Saras adalah gadis baik-baik dan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu!” Vinso yang mendengar tuduhan Rosa langsung membela anak bosnya yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.“Aku percaya pada Saras, tapi bagaimana dengan Ricard? bisa saja, ia melakukannya tanpa sepengetahuan Saras. dan benih Ricard terta-”“Keluar!” nada dingin itu terdengar begitu menyeramkan di telinga setiap orang yang berada di dalam ruangan. mendengar hal itu, Viktor bergegas untuk mendampingi sang dokter agar keluar terlebih dahulu, disusul Vinso yang terlihat diberi isyarat agar mengikuti Viktor.“Apa kalian tuli?” Liam sudah tidak sabar saat melihat Luna dan Rosa yang masih berada didalam kamarnya. Tidak ingin mencari masalah dengan Liam, akhirnya Luna keluar disusul oleh Rosa. setelah semua orang pergi, Liam mengunci kamarnya.“Saras bangun!” katanya sambil terus menggoyangkan tubuh Saras berharap agar gadis cantik yang masih memejamkan matanya itu membuka mata. Karena tida
Rumah Liam terasa seperti peti mati yang terbuka, mengeluarkan aroma kebusukan dan kebohongan. Suasana tegang menggantung di udara, seperti pedang yang siap menembus hati. Cahaya lampu yang lembut tidak bisa menghilangkan bayangan gelap yang menyelimuti ruangan. Liam berdiri di tengah ruangan, wajahnya penuh kekhawatiran. Rosa dan Luna berdiri di belakangnya, mata mereka terpaku pada Vinso yang terlihat duduk tenang namun ketenangan itu seperti sebuah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Vinso, dengan wajah serius, kembali melanjutkan percakapan yang akan mengubah segalanya. "Anjaswara datang untuk memohon agar Perusahaannya diselamatkan." Suara Vinso memecah kesunyian, seperti guntur yang menghantam bumi. Liam dan Rosa saling menatap, kekhawatiran terlihat jelas di wajah mereka. Luna menggigit bibirnya, mata penuh kebencian menatap Sarastika. Sarastika berdiri tegak, hatinya berdebar. Ia siap menghadapi kebenaran yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya. Viktor berdiri d
Langkah-langkah Vinso terdengar pelan di antara makam-makam yang berderet. ia membawa keranjang bunga, wajahnya menunjukkan kesedihan. Ketika melihat Sarastika menangis di depan makam Bagas Danuarta, Vinso terkejut."Sarastika?" katanya dengan suara yang terdengar begitu terkejut.Sarastika menoleh, mata coklatnya merah karena tangis. "Pak Vinso...," katanya dengan suara bergetar. "Pak Vinso, benarkah itu kau?"Vinso meletakkan keranjang bunga di dekat makam Bagas, lalu mendekati Sarastika. ia memeluknya dengan hangat. "Saras," katanya dengan suara penuh empati.Sarastika menangis lebih keras, melepaskan kesedihannya. Vinso membiarkannya menangis, memeluknya erat. Ia mengingat Bagas, merasa begitu bersalah.Setelah beberapa saat, Sarastika tenang. Vinso melepaskan pelukannya, menatap wajahnya dengan khawatir. "Ceritakan, apa yang dilakukan oleh Liam?"Sarastika mengambil napas dalam-dalam, menceritakan kesulitan rumah tangganya. Vinso mendengarkan dengan sabar, wajahnya menunjukkan ke
Pagi hari , rumah Liam terasa tegang. Aroma kopi dan roti panggang tidak bisa menghilangkan kesan tidak nyaman. Liam, Saras, dan mertuanya, Rosa, duduk di meja makan dengan suasana kaku.Rosa menatap Saras dengan mata yang dingin, tidak menyembunyikan kebencian. "Kamu masih di sini?" tanyanya dengan nada tajam.Liam mencoba menenangkan. "Bu, aku sudah menjelaskan--"Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Liam berdiri untuk membuka pintu. Dia terkejut melihat Luna berdiri di ambang pintu, wajahnya basah oleh air mata."Liam, aku tidak percaya kamu tidak datang ke acara ulang tahunku," kata Luna, suaranya bergetar.Rosa langsung berdiri, memeluk Luna. "Sayang, aku minta maaf atas kelakuan Liam."Saras merasa tidak nyaman, menatap Liam dengan keheranan. Suasana sarapan yang sudah kaku menjadi semakin tidak nyaman.Liam berusaha menjelaskan, tapi Rosa memotong. "Liam, kamu tidak perlu menjelaskan. Yang jelas, kamu menyakiti Luna."Luna menangis lebih keras, memeluk Liam. Rosa membantu Luna, menat
Suasana di bangunan kosong itu terasa mencekam, seperti udara yang terjebak dalam ruang hampa. Dinding-dinding yang retak dan kusam, lantai yang berdebu, dan jendela-jendela yang pecah, semuanya menambah kesan kemurungan dan kehancuran.Tiba-tiba, suara tembakan pecah, menghentakkan kesunyian. Dua kelompok besar, bersenjata dan berwajah keras, berhadapan dengan penuh kebencian. Suara tembakan terus menggema, seperti rentetan petir yang tidak berhenti.Cahaya matahari yang masuk melalui jendela pecah, memantulkan bayangan-bayangan yang bergerak cepat. Asap peluru mengambang di udara, menciptakan kabut yang mematikan. Suara teriakan dan raungan kesakitan terdengar di antara suara tembakan.Lantai bangunan bergetar di bawah kaki mereka, seperti gempa yang menghantam. Dinding-dinding retak semakin parah, seolah-olah bangunan itu sendiri merasakan sakit.Kelompok pertama, dipimpin oleh Liam, bergerak maju dengan strategis. Mereka menembakkan senjata dengan tepat, mengenai target dengan pre
Suasana dalam mobil terasa hangat dan tegang. Cahaya matahari sore memancar melalui kaca, menciptakan bayangan-bayangan yang lembut di wajah Liam dan Saras.Liam mengemudi dengan mata fokus pada jalan, wajahnya serius. Saras duduk di sebelahnya, memandang ke luar jendela dengan mata yang kosong.Udara dalam mobil terasa kaku, dipenuhi kesunyian yang tidak terputus. Suara mesin mobil terdengar monoton, seperti detak jantung yang berdegup kencang.Liam tidak berbicara, hanya memandang jalan. Saras juga diam, membiarkan kesunyian memisahkan mereka. Tapi, di balik kesunyian itu, terdapat kecemasan dan ketakutan yang tidak terucapkan.Tiba-tiba, Liam memperlambatkan mobil, memandang Saras dengan mata yang tajam. "Apa yang Ricard katakan padamu dan apa maksud Video yang kau ucapkan?" tanyanya dengan suara yang rendah.Saras menoleh, mata cokelatnya bertemu dengan mata hitam Liam. Ia melihat kekhawatiran dan kemarahan di mata itu. "Entahlah Liam, aku juga bingung dengan semua ini." jawabnya