Pagi, sehat selalu untuk kita semua. jangan lupa komentar dan bintang limanya, ya... follow Tik Tok aku ya @triharfa 🥰❤️
Bab 16 Luna memutuskan untuk menemui Rosa, ibu Liam yang saat ini sedang berada di Butik. “Luna, apa yang terjadi sayang?” tanya Rosa saat melihat kedatangan Luna yang terlihat tidak bersemangat. Luna menggeleng lemah, keduanya memutuskan untuk ngobrol di ruang kerja Rosa. “Katakan sayang, apa yang terjadi? kau sakit atau-” “Gadis itu sudah mencuci otak Liam, Tante.” “Maksudmu?” tanya Rosa tidak mengerti. “Sikap Liam padaku sudah berubah, tidak sehangat dulu. semenjak menikah dengan Saras, ia tidak peduli lagi denganku. bahkan, tempo hari aku membawakan makanan kesukaannya dan ia justru memilih untuk tidak memakannya. Liam juga mengancamku, Tante…” balas Luna dengan deraian air matanya. Rosa mengepalkan kedua tangannya, tidak menyangka jika Liam berbuat sejauh ini. “Ini salah Tante, terlalu membebaskan Liam. Baiklah, Tante akan cari cara untuk menyingkirkan gadis itu sebelum ayah Liam datang. Kau tenang saja, Luna. Tante akan selalu mendukungmu.” Luna memeluk tubuh
“Hebat kalian, baru pulang jam segini!” sambut Rosa, matanya berkilat marah menatap wajah Saras dan Liam yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Liam nampak acuh, tak menanggapi perkataan Rosa. Saat akan melewati tubuh paruh baya itu, Liam menoleh ke belakang. Menatap wajah Saras, tanpa berkata apa-apa. ditatap seperti itu, Saras hanya mampu menundukkan wajahnya dan mengekor pada Liam. “Sekali lagi kau buat Luna menangis, ibu akan membuat istrimu itu menderita.” Ancam Rosa, membuat suasana semakin tegang. Liam menghentikan langkahnya, dan berbalik ke belakang. hal itu membuat Saras hampir saja menabrak tubuh Liam jika ia tidak melihat ke depan. “Tidak ada yang boleh menyakitinya, kecuali aku.” Liam memang menjawab pertanyaan itu untuk Rosa, namun pandangannya tertuju pada manik cokelat istrinya. Saras menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk kamarnya. hari ini terasa begitu berat, melelahkan dan menguras tenaga. Ia kembali teringat saat Liam menutup kedua matanya saat menin
Liam membalik setiap dokumen yang diserahkan oleh Viktor. gerakannya tertahan saat ia melihat sebuah informasi perusahaan Danuarta yang diselipkan di dokumen tersebut. Liam mendongak, menatap pada Viktor, tatapannya menuntut tanpa harus repot-repot mengeluarkan suara. “Saya yakin, anda juga pasti curiga. tidak hanya manajer Perusahaan, tapi ada orang yang lebih kuat dan belum memunculkan diri.” Viktor menjelaskan secara singkat. “Sudah sejauh mana?” Liam kembali membuka lembaran, membaca seksama. “Beri saya waktu satu Minggu.” “Terlalu lama,” “Tiga hari dan anda akan mendapatkan nama orang itu.” Liam menutup dokumen tersebut, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya. ekspresinya kembali datar dan dingin. “Aku ingin tanah yang diberikan oleh Bondan dibangun taman.” Viktor nampak terkejut, namun ia berusaha bersikap biasa saja. Taman? ini kali pertamanya Liam meminta hal yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan bisnis yang mereka jalani. “Baik Tuan, untuk hari ini j
Liam mengerutkan keningnya, saat menyadari bahwa Saras tidak berada dalam kamarnya. pria itu lantas mengelilingi rumah, mencari keberadaan Sarah. Nihil, gadis itu tidak ada. “Liam, kau sudah pulang?” Rosa terkejut, mendapati Liam sudah berada dirumah. sedangkan ia tidak melihat mobil Liam saat diluar tadi. “Dimana istriku?” Rosa menelan ludahnya susah payah. ini tidak ada dalam rencananya. seharusnya Liam tidak pulang secepat ini. “I-ibu, baru saja pulang. mana mungkin ibu tahu dimana keberadaan istrimu.” Sahutnya tergagap. Liam tidak percaya begitu saja jawaban sang ibu. “Katakan atau-” “Makam ayahnya!” Rosa tidak ingin membuat masalah. Ia yakin, Liam tidak mungkin langsung mempercayai ucapannya. pria berwajah tampan itu lantas melenggang pergi meninggalkan wanita paruh baya itu tanpa mengatakan apa-apa. *** Setelah sudah cukup lama berada di makam ayahnya, Saras memutuskan untuk pergi. Saras tahu, tidak mungkin mertuanya akan kembali menjemput dirinya. Jadi Saras m
Mata wanita paruh baya itu melotot pada Saras, kesal karena dirinya tidak bisa membuat Liam percaya pada kata-katanya. tidak ingin membuat Liam kembali marah, Rosa memutuskan untuk pergi begitu saja. diam-diam Saras merasa lega, setidaknya wanita itu tidak akan membuat masalah baru dengannya. tapi, dalam hati Saras juga berterima kasih pada Rosa karena sudah mengantarkannya ke pemakaman ayahnya. rindunya sedikit terobati dengan mengunjungi makam. “Sudah melamunnya?” Saras mendongak, menatap manik hitam milik Liam. pria yang berdiri di hadapannya ini memiliki daya tarik tersendiri. alis mata yang tebal, hidung mancung menambah wajahnya semakin terlihat begitu sempurna. Tangan Liam terulur, mengelus lembut pipi Saras. gerakan tiba-tiba itu tentunya membuat Saras begitu terkejut. “Masuklah, istirahat.” Saras mengangguk mengiyakan, lalu memilih untuk pergi tanpa melihat ke arah Liam. Setelah Saras masuk kedalam rumah, Liam kembali masuk ke dalam mobil untuk kembali menjalani rutinita
Saras memandang pada bungkusan plastik yang sudah diletakkan Liam. Pria berambut hitam itu menarik kursi untuk diduduki. “Apa kau tuli?” Saras menggeleng, walau saat ini pandangan Liam tidak tertuju pada dirinya. otaknya masih dapat meresap semua jawaban yang baru saja keluar dari bibir sang suami. karena tak ingin membuat Liam marah, Saras segera mengambil piring dan sendok. ternyata makanan yang dibeli Liam cukup banyak. Ayam goreng, ayam bakar, ayam kecap dan juga sate. Makanan sebanyak ini, siapa yang akan menghabiskan? ah, mungkin anak buah Liam yang berjaga di rumah ini akan bisa menghabiskan makanan ini. “Apa kau akan memberikan ini pada anak buah mu?” Liam tidak menjawab, ia mengambil sepotong daging ayam kecap untuk dinikmati. baginya, pertanyaan Saras tidak masuk akal. ia membeli ini semua untuk Saras makan dan tidak ada hubungannya dengan anak buahnya. “Aku panggil ib-” “Liam!” ucapan Saras terpotong saat suara wanita menggema. ‘Dia lagi,’ batin Saras. “Makanlah sel
Bab 22 Liam selalu saja menggaungkan kata rencana dan rencana. tapi Saras tidak pernah sekalipun merasa bahwa Liam merencanakan sesuatu. yang pria itu lakukan hanyalah mengurungnya di rumah dan tidak pernah sekalipun membawa Saras keluar, kecuali saat akan bertemu dengan Bondan. tentunya sebagai alat tukar. “Apa sebenarnya rencanamu?” Saras mencoba untuk kuat. mata cokelatnya menatap manik hitam milik Liam. “Menghancurkan dirimu.” Saras mendorong tubuh Liam, membuat pria itu sedikit mundur. “Apa salahku?” “Kau tidak berhak menuntut jawabannya,” Liam maju, tangannya hendak menyentuh dagu Saras. namun gadis itu menepis tangan Liam, membuat pria itu terkejut melihat keberanian yang timbul dalam diri Saras. “Jangan sentuh aku!” teriak Saras tubuhnya bergerak turun dari kasur hendak pergi.namun,belum sempat tangannya menyentuh handle pintu tubuhnya sudah dipeluk oleh Liam dari belakang, mendekap erat tubuh Saras seakan-akan takut kehilangan istrinya itu. Liam dapat mencium aroma tu
Liam kembali ke kamar Saras, ia sudah mandi dan terlihat begitu segar. Liam tidak menemukan Saras, sepertinya gadis itu sedang berada didalam kamar mandi membersihkan diri. Liam duduk ditepi kasur, menyalakan rokok. pandangannya tertuju pada pintu kamar mandi yang terbuka, menampilkan tubuh Saras yang terbalut handuk yang hanya menutupi bagian tubuhnya. Saras tidak menyangka jika Liam kembali lagi kedalam kamarnya. Ia pikir, pria itu akan pergi dan tidak kembali lagi setelah berhasil menikmati tubuhnya. Saras masih berdiri diambang pintu, enggan untuk menuju ke lemari pakaian. “Apa ingin aku pakaikan baju?” Saras menggeleng cepat, ia langsung menundukkan wajahnya dan berjalan cepat ke arah lemari pakaian lalu kembali lagi ke dalam kamar mandi. Saras tidak ingin tubuhnya kembali dilihat oleh Liam, walaupun pria itu sudah berulang kali merasakan tubuhnya. “Besok aku ada jadwal ke rumah sakit.” Ucap Liam saat Saras sudah keluar dari kamar mandi dan menduduki sofa kamar. sengaja duduk
Mobil itu berjalan dengan pelan di depan gerbang rumah Liam, terkesan sengaja ingin memperhatikan rumah yang elegan dan mewah itu. Pria paruh baya yang mengendarai mobil itu memandang ke arah rumah Liam dengan mata yang tajam, tapi tidak terlihat wajahnya karena kaca riben yang menutupi wajahnya.Mobil itu berhenti sejenak di depan gerbang rumah Liam, seolah-olah pria paruh baya itu ingin memastikan bahwa rumah itu adalah rumah yang dia cari. Setelah beberapa detik, mobil itu melanjutkan perjalanan, tapi tidak sebelum pria paruh baya itu memandang ke arah rumah Liam sekali lagi.Gerakan mobil itu tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menarik perhatian seseorang yang sedang memperhatikan. Dan, kebetulan, ada seseorang yang sedang memperhatikan mobil itu. Saras, yang sedang berada di dalam kamarnya yang berada dilantai paling atas, melihat mobil itu berjalan di depan gerbang rumah dengan pelan.Saras merasa sedikit penasaran dengan mobil itu, Tapi, karena dia tidak bisa melihat wajah
Pria itu duduk di atas tempat tidur yang sederhana, di dalam sebuah rumah kecil yang terletak di pinggir hutan. Rumah itu terlihat sederhana, dengan dinding yang terbuat dari kayu dan atap yang terbuat dari daun rumbia. Tapi, meskipun sederhana, rumah itu terlihat nyaman dan hangat.Pria itu, sedang membuka lilitan kain yang membalut lengannya. Lengan itu terkena tembakan beberapa hari yang lalu, dan lukanya sudah mulai membaik. Danuarta memandang lengan itu dengan mata yang tajam, memeriksa apakah lukanya sudah sembuh.Saat dia membuka lilitan kain, terlihatlah luka yang masih merah dan bengkak. Tapi, meskipun masih terlihat sakit, luka itu sudah mulai membaik. Pria paruh baya itu memandang luka dengan mata yang lega, merasa bahwa dia sudah mulai sembuh.Ia nampak memandang sekeliling ruangan, memeriksa apakah ada yang perlu dia lakukan. Ruangan itu terlihat sederhana, dengan beberapa perabotan yang terbuat dari kayu dan beberapa bantal yang terletak di atas tempat tidur. Tapi, mes
Danuarta berjalan dengan langkah yang mantap, meninggalkan Anjaswara yang berdiri tegak di belakangnya. ia telah memutuskan untuk mengikuti jejak preman yang telah dia kalahkan beberapa hari yang lalu.Anjaswara memandang Danuarta dengan mata yang khawatir. ia tahu bahwa Danuarta telah mulai terpengaruh oleh dunia hitam, dan ia tidak ingin kehilangan temannya."Danu, tunggu!" Anjaswara berteriak, berlari mengejar Danuarta.Danuarta berhenti dan memandang Anjaswara dengan mata yang dingin. "Apa yang kau inginkan, Jas?" ia bertanya dengan suara yang kasar."Aku tidak ingin kau terlibat terlalu jauh dengan dunia hitam," Anjaswara berkata dengan suara yang santai. "Kau tahu bahwa itu tidak baik untukmu."Danuarta tertawa. "Kau pikir, kau bisa menghentikanku? Aku telah memutuskan untuk mengikuti jejak mereka dan bukan tanpa alasan, itulah halnya aku tidak akan berhenti."Anjaswara memandang Danuarta dengan mata yang sedih. Ia tahu bahwa Danuarta telah mulai terpengaruh oleh dunia hitam, d
Masih dengan latar belakang tahun 1995.Danuarta dan Anjaswara bekerja di sebuah restoran roti yang terletak di jantung kota. Mereka berdua menjadi pramusaji, bertugas untuk melayani pelanggan dan menyajikan roti yang segar dan lezat.Restoran roti yang menjadi tempat kerja mereka telah menjadi tempat favorit bagi banyak orang di kota. Roti yang disajikan di sana sangat lezat dan segar, dengan aroma yang menggugah selera.Danuarta dan Anjaswara terlihat mengenakan seragam pramusaji yang rapi dan bersih. Mereka berdua memiliki senyum yang ramah dan sopan, sehingga membuat pelanggan merasa nyaman dan senang.Saat itu, restoran roti itu sedang sibuk dengan pelanggan yang datang untuk makan siang. Liam dan Anjaswara berdua berlari ke sana ke mari, melayani pelanggan dan menyajikan roti yang segar dan lezat.Liam, yang mengenakan seragam pramusaji berwarna putih dan biru, memandang pelanggan dengan senyum yang ramah. "Selamat siang, apa yang bisa saya bantu hari ini?" ia bertanya dengan su
(Flashback)Tahun 1995, sebuah kota yang masih terlihat sederhana dan damai. Malam itu, Anjaswara dan Danuarta duduk di sebuah warung kecil di pinggiran kota, menikmati minuman mereka. Warung itu terletak di sebuah gang kecil, dengan lampu yang redup dan suasana yang tenang.Anjaswara, seorang pemuda berusia 25 tahun, dengan rambut hitam yang panjang dan mata yang tajam, memandang Danuarta dengan senyum. "Kamu tahu, Danu, aku sudah lama tidak minum seperti ini," katanya dengan suara yang santai.Danuarta, seorang pemuda berusia 26 tahun, dengan rambut coklat yang pendek dan mata yang cerah, tersenyum. "Aku juga, Jas. Aku sudah lama tidak merasa santai seperti ini."Mereka berdua menikmati minuman mereka, berbicara tentang berbagai hal, dari pekerjaan mereka hingga rencana mereka untuk masa depan. Suasana di warung itu sangat tenang, dengan hanya beberapa pelanggan lain yang duduk di sudut-sudut warung.Tiba-tiba, suasana di warung itu berubah. Sebuah kelompok berandal, dengan wajah ya
Malam itu, Liam dan Saras memasuki restoran termahal dan mewah di kota. Restoran ini dikenal dengan masakannya yang lezat dan suasana yang elegan. Liam telah memesan tempat ini sebelumnya, sehingga mereka bisa menikmati makan malam yang romantis dan tenang.Saat mereka memasuki restoran, mereka disambut oleh pelayan yang ramah dan sopan. Pelayan tersebut membawa mereka ke meja yang telah dipesan oleh Liam, yang terletak di sudut restoran dengan pemandangan kota yang indah.Liam dan Saras duduk di meja yang elegan, dengan kain putih yang rapi dan peralatan makan yang mewah. Mereka memandang menu yang disajikan oleh pelayan, yang berisi berbagai jenis masakan yang lezat.Liam memutuskan untuk memesan berbagai jenis seafood, karena dia tahu bahwa Saras sangat menyukai masakan laut. Mereka memesan udang rebus, lobster panggang, dan ikan bakar yang segar.Sambil menunggu makanan mereka datang, Liam dan Saras berbincang tentang hari mereka. Mereka berbicara tentang pekerjaan Liam, tentang R
Ricard dan Luna memutuskan untuk pergi ke sebuah Club, tentu saja hal itu mereka lakukan untuk melampiaskan kekesalannya karena tidak dapat berbicara langsung pada Rosa. mereka memilih untuk berada di sebuah kamar yang disiapkan oleh pemilik Club, karena sang pemilik yang mengenal baik Ricard. Keduanya memesan beberapa minuman beralkohol.“Apa yang harus kita lakukan, Ricard?” tanya Luna, suaranya terdengar nyaris seperti bisikan. tapi, untunglah kamar ini bisa meredam suara diluar, suara dentuman musik yang keras dan tawa para pengunjung club.Ricard tidak menjawab, justru ia fokus pada belahan dada Luna yang terlihat begitu menantangnya. Ricard menuangkan isi botol minumannya ke gelas yang berada dihadapan Luna. dengan perasaan kacau, Luna langsung meneguk habis tanpa berpikir panjang. melihat respon Luna, Ricard kembali menuangkan minumannya dan hal yang sama kembali terjadi. Luna kembali meneguk habis minuman itu, walaupun wajahnya terlihat sudah memerah.“Saat ini, Saras hamil. a
Saras duduk di samping tempat tidur Rosa, memandang wajah ibu mertuanya yang lemah. Ia tidak bisa menahan perasaan khawatir dan cemas, melihat Rosa yang terbaring di tempat tidur.Tiba-tiba, Liam berdiri di depannya, memandangnya dengan senyum. "Saras, aku ingin bicara denganmu di luar ruangan. Ada beberapa hal yang ingin aku diskusikan denganmu."Saras menggelengkan kepala, tidak mau meninggalkan Rosa sendiri. "Tidak, Liam. Aku tidak ingin meninggalkan Ibu."Liam memandangnya dengan keheranan. "Tapi, Saras, aku ingin bicara denganmu tentang beberapa hal yang penting."Saras menatap Liam. "Maaf Liam. Aku tidak ingin meninggalkan Ibu, terutama saat Luna dan Ricard ada disini."Ucap Saras dengan volume suara yang pelan.Liam memandangnya dengan keheranan, lalu memahami perasaan Saras. "Aku mengerti, Saras. Aku juga tidak terlalu suka dengan kehadiran mereka."Saras mengangguk, merasa lega bahwa Liam memahami perasaannya. "Aku tidak tahu apa yang mereka inginkan, tapi aku tidak percaya p
Gudang tua yang terletak di pinggiran kota menjadi saksi bisu pertempuran sengit antara dua kelompok besar. Suara tembakan bergema di udara, membuat gudang yang sepi menjadi medan perang yang mengerikan.Viktor,berlari dengan cepat di antara tumpukan peti kemas yang berdebu. Ia membawa senjata otomatis yang siap menembak, matanya tajam memantau sekitarnya.Tiba-tiba, suara tembakan menggema dari arah kanan. Viktor merunduk dengan cepat, tapi terlambat. Sebuah peluru mengenai bahunya, membuatnya terjatuh ke tanah.Viktor mengerang kesakitan, tapi ia tahu ia harus bangun dan melawan. ia memeriksa lukanya dan lega mengetahui bahwa peluru hanya meleset dan tidak bersarang di tubuhnya.Sambil meringis kesakitan, Viktor bangun dan melanjutkan pertempuran. ia menembakkan senjatanya ke arah lawan, membuat mereka berlari untuk mencari perlindungan.Kelompok lawan, yang dipimpin oleh seorang pria kejam bernama Jack, tidak mau kalah. Mereka menembakkan senjata mereka dengan gencar, membuat Vikto