Malam gelap telah menyelimuti muka bumi. Hamparan awan hitam menggulung di tengah-tengah langit kota Yu Nan. Gemuruh guntur dan kilat menyambar-nyambar tanpa henti.
Semua penghuni kota Yu Nan sudah masuk dan bersembunyi dibalik selimut karena saking takutnya terhadap badai yang melanda kota itu. Jalan raya yang biasanya ramai, kini tampak sepi sekali. Sepi, seakan-akan kota itu sudah tidak berpenghuni lagi. Dalam waktu sekejap mata, Kota Yu Nan yang tidak pernah sepi, kini selama menjadi kota mati. Di tengah-tengah kota Yu Nan, di sana berdiri sebuah gedung yang terbilang megah. Gedung itu luas. memiliki tembok pembatas setinggi satu atau dua tombak. Di depan gerbang gedung ada sebuah gardu. Di gardu itu ada lima orang penjaga yang diperintahkan oleh tuan rumah untuk tetap melakukan ronda malam. Gedung megah itu milik Keluarga Li. Kepala keluarganya bernama Li Hoan. Ia mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Istri Li Hoan Bernama Bi Lian. Anaknya yang pertama adalah laki-laki dan bernama Li Bing, usianya sekarang baru sepuluh tahun. Sedangkan yang kedua adalah perempuan dan bernama Li Ai Yin, saat ini dia berusia lima tahun. Kehidupan Keluarga Li sangat sejahtera. Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Li Hoan memutuskan untuk membuka perusahaan jasa pengiriman barang. Atau bisa disebut jasa ekspedisi. Bermodalkan nama besarnya dalam dunia persilatan, maka dalam waktu dua tahun saja, perusahaan tersebut sudah berkembang pesat. Semua orang di Kota Yu Nan dan sekitarnya mengenal Perusahaan Burung Hong dan pasti tahu pula siapa pemiliknya. Setiap hari, pasti ada banyak orang-orang yang datang untuk meminta pertolongan perusahaan tersebut. Tengah malam itu, Li Hoan baru saja beranjak dari ruangan kerja. Hari ini benar-benar melelahkan. Orang-orang yang datang juga lebih banyak dari biasanya. Li Hoan berjalan menuju ke kamarnya untuk istirahat. Namun secara tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya, perasannya tidak enak. "Aneh, tidak biasanya aku mempunyai firasat seperti ini," gumam Li Hoan sambil menghela nafas panjang. Akhirnya dia kembali duduk di ruang kerja. Li Hoan menuangkan arak ke dalam cawan lalu meminumnya sampai habis dalam satu kali teguk. Baru saja arak masuk ke tenggorokan, telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar ada sebuah jeritan. Jeritan itu sangat jelas, namun hanya terdengar satu kali. Li Hoan kaget. Suara itu berasal dari halaman depan. Buru-buru dia bangkit berdiri dan menuju ke sana. Begitu tiba di gardu depan, ia dibuat terkejut saat melihat lima orang penjaganya sudah tewas bermandikan darah. Masing-masing dari mereka mendapat luka goresan di lehernya. Saking dalamnya luka tersebut, sampai-sampai leher kelima orang itu hampir putus. "Siapa yang berani melakukan perbuatan keji ini?" Li Hoan bergumam. Ia sangat marah. Tapi sebisa mungkin, Kepala Keluarga Li itu mencoba untuk menahan amarahnya. Li Hoan menatap ke sekeliling tempat. Tapi dia tidak menemukan tanda-tanda apapun. 'Orang itu pasti masih ada di sini,' batinnya bergumam. Dia menarik nafas panjang dan kembali menatap keliling. "Rasanya aku tidak punya masalah dendam dengan siapa pun. Tapi mengapa Tuan mengganggu kehidupanku?" kata Li Hoan cukup keras. Selesai dia berkata seperti itu, tiba-tiba terdengar ada suara tawa yang lantang. Suara tawa itu terasa menusuk-nusuk gendang telinga. Jumlahnya bukan cuma satu, melainkan ada empat. Empat orang! Li Hoan sangat yakin bahwa di sekitar rumahnya sekarang, pasti ada empat orang tokoh dunia persilatan yang berilmu tinggi. Hal itu terbukti dari suara tawanya yang mampu membuat darah dalam tubuhnya bergejolak. Ditambah dengan suara guntur dan sambaran kilat, semuanya terasa menjadi lengkap. Malam ini adalah malam paling mendebarkan selama sejarah hidupnya. Selama puluhan tahun mengembara dalam dunia persilatan, belum pernah Li Hoan merasa seperti saat ini. "Tuan-tuan, tolong tunjukkan diri kalian," katanya berusaha bersikap tenang. "Hahaha ... kau ingin tahu siapa kami? Baiklah, anggap ini sebagai permintaan terakhirmu, kami akan menunjukkan diri sekarang juga," sebuah suara berat terdengar. Disusul kemudian dengan munculnya deru angin kencang berhawa panas. Begitu semuanya sirna, tiba-tiba di depan Li Hoan sudah ada empat orang yang berdiri menantang. "Siapa kalian?" tanyanya sambil memandangi keempat orang tersebut. "Kau belum pantas untuk mengetahui siapa kami," jawab salah satu dari mereka. "Apa tujuanmu melakukan semua ini?" "Apa lagi? Tentu saja membasmi Keluarga Li," Selesai orang itu berkata. Dia segera melirik ke tiga temannya. Satu tarikan nafas berikutnya, mereka sudah menerjang hebat ke arah Li Hoan. Gerakan orang-orang itu sangat cepat sekali. Secepat kilat yang menyambar di malam tersebut. Empat macam serangan datang dari setiap penjuru. Setiap serangan itu mampu mencabut nyawa dalam waktu singkat. Li Hoan kaget, namun dalam waktu yang bersamaan dia langsung melakukan persiapan. Walaupun dirinya bukan datuk dunia persilatan, tapi kemampuannya juga tidak boleh dipandang ringan. Ia menangkis sambil menghindari semua serangan yang datang. Pertarungan sengit langsung terjadi di halaman rumah Keluarga Li. Lima orang tokoh kelas atas dunia persilatan bertarung mengandalkan kemampuannya masing-masing. Keempat orang misterius yang mengenakan cadar itu menyerang dengan brutal. Li Hoan sendiri berusaha bertahan semaksimal mungkin. Tukar jurus sudah terjadi sejak tadi. Tapi Li Hoan tidak bisa berbuat banyak. Walaupun ia mempunyai kemampuan tinggi, namun kalau menghadapi empat orang sekaligus, rasanya percuma saja. Setelah pertarungan berjalan tiga puluh jurus, posisi Li Hoan semakin terdesak. Seluruh tubuhnya sudah menderita luka-luka. Pada saat itu, tiba-tiba satu orang dari mereka membentak nyaring. Sebuah serangan telapak tangan tiba tanpa diketahui datangnya dan mengenai dada Li Hoan dengan gelak. Kepala Keluarga Li itu langsung terlempar belasan tombak ke belakang. Tubuhnya menghantam tiang depan rumah. Darah segar keluar dari mulutnya. Belasan penjaga langsung berdatangan setelah mendengar suara keras tersebut. Ketika melihat majikan mereka terluka parah, para penjaga itu marah. Mereka langsung melompat dan menyerang keempat orang yang berdiri puas di halaman rumah. "A San, bangunkan anak istriku. Bawa anak-anakku ke Kotaraja," kata Li Hoan kepada seorang penjaga. "Ba-baik, Tuan. Hamba akan segera melaksanakan perintah," A San, pengawal pribadi Li Hoan yang sudah berusia empat puluhan tahun segera menjalankan tugas dari majikannya. Dia berlari ke dalam rumah dan membangunkan anak istri Li Hoan. Saat diberitahukan apa yang sedang terjadi saat itu, mereka terkejut. Terutama sekali Bi Lian. Wanita tua itu menjerit dan nekad ingin melihat keadaan suaminya. "Tidak bisa, Nyonya Li. Tuan Li menyuruhku untuk membawa kalian ke Kotaraja. Kita sudah tidak punya waktu lagi," ucap A Li menjelaskan. "Bawa saja anak-anakku. Aku akan menemui suamiku," kata Bi Lian yang tetap nekad. "Ibu ..." Li Bing dan Li Ai Yin berteriak secara bersama. Dua orang anak kecil itu juga ketakutan setengah mati setelah mendengar penjelasan singkat dari A San. "Tuan Muda Li, Nona Li, mari kita pergi sekarang juga," katanya mebhaka mereka. "Tidak mau, aku aku mau bersama Ayah Ibuku," ucap Li Bing berusaha bangkit dari tempat tidur. "Tidak bisa, Tuan Muda. Ini perintah langsung dari Tuan Li," Karena tidak mau membuang waktu dengan percuma, terpaksa A San menotok kedua anak kecil itu. Seketika mereka pun langsung pingsan. "Maafkan aku, tapi ini adalah perintah," A San mengulangi perkataannya lagi.Setelah berhasil menotok kedua anak itu, A Li segera lari menuju ke halaman belakang di mana terdapat istal kuda. A Li memilih kuda jempolan yang biasa dipakai oleh Li Hoan. Kemudian memilih dua kuda jempolan lainnya. Setelah itu, ia segera menyiapkan kereta kudanya. Begitu semua persiapan selesai, A Li langsung pergi lewat jalur lain. Suara ringkik tiga ekor kuda itu terdengar keras. Li Hoan yang saat itu sudah berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka, dapat mendengar suaranya dengan jelas. Perasaannya menjadi lega. Meskipun dirinya harus tewas malam ini, tapi asalkan dua orang anak itu selamat, maka mati pun tidak menjadi persoalan. Ia rela mati asalkan keturunannya bisa selamat. Ketika Li Hoan menutup kedua mata, mendadak telinganya mendengar suara orang berlari. Dia segera membuka matanya kembali. Dilihatnya Bi Lian sudah berada di sisi sambil menangis tersedu-sedu. Wanita itu lalu mengangkat kepala Lo Hoan. Kini kepalanya berada di atas pangkuan sang istri. "Istriku
Waktu berlalu begitu cepat. Lima belas tahun telah lewat kembali. Keadaan di setiap penjuru kota telah banyak berubah. Kotaraja semakin maju. Gunung Thai San juga tampak semakin agung. Lalu bagaimana dengan Kota Yu Nan? Apakah di sana juga telah terjadi banyak perubahan? Apakah semakin maju? Atau malah sebaliknya? Apakah pemandangan alamnya masih indah dan alami? Atau pemandangan itu telah hilang dan digantikan dengan gedung-gedung yang mewah serta megah? Saat itu musim salju telah tiba. Setiap jalanan yang ada dipenuhi oleh salju putih. Sebuah kereta sederhana yang ditarik oleh dua ekor kuda tampak berjalan dengan perlahan. Kereta kuda itu datang dari luar kota dan mungkin berniat untuk memasuki wilayah Kota Yu Nan. Ternyata hal itu tidak salah. Kereta kuda sederhana tersebut benar-benar masuk ke dalam kota. Setelah melewati pemeriksaan, sang kusir kembali menjalankan kudanya. Di dalam kabin kereta, di sana tampak ada seorang pemuda yang sedang duduk sambil menikmati arak. Dia
Tanpa banyak tedeng aling-aling, Ular Merah langsung melancarkan sebuah serangan. Serangan yang sederhana. Namun justru sangat mematikan! Pedangnya menebas dari arah kanan ke kiri. Kecepatan serangan itu sukar untuk dilukiskan. Orang-orang yang ada di sana, tidak ada yang mampu menyaksikannya secara jelas.Kecuali hanya mereka yang sudah mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Satu detik kemudian, sebuah kepala tiba-tiba jatuh menggelinding. Tubuh orang tersebut baru ambruk setelah beberapa saat kemudian. "Tuan ..." beberapa orang berseru secara bersamaan. Rupanya kepala yang menggelinding itu milik Cui Si. Dia tewas sebelum sempat mengeluarkan golok andalan yang selama ini telah mengantarkan namanya ke puncak kejayaan.Kini, si Golok Panjang Cui Si hanya tinggal namanya saja. Kalau tidak menyaksikan secara langsung, niscaya siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia tewas tanpa perlawanan sedikit pun. "Apakah masih ada yang ingin enasib dengan dirinya?" si Ular Merah melirik
Kereta kuda terus berjalan. Setiap jalan raya yang telah dilewatinya pasti meninggalkan jejak kereta yang cukup dalam. Kegelapan semakin menyelimuti muka bumi. Walaupun belum larut, tapi keadaan di Kota Yu Nan sudah terlihat sepi. Hal itu dikarenakan saat ini sedang musim salju. Pada saat seperti ini, kebanyakan orang lebih memilih diam di dalam rumah daripada keluyuran di luar. Mereka lebih memilih tidur dibalik selimut atau menikmati arak yang hangat daripada harus keluar rumah. Sepanjang perjalanan itu, sedikitnya Li Bing telah menghabiskan dua cawan arak. Namun dia tidak kelihatan sudah mabuk. Wajahnya tetap berseri, matanya juga tetap bersinar terang. "Kita sudah sampai, Tuan," ucap A San sambil menghentikan kereta kuda. Begitu ucapan tersebut didengar, Li Bing segera turun dari kereta. Begitu kakinya menginjak tanah bersalju, matanya langsung dihadapkan dengan sebuah rumah yang besar. Dulu, rumah ini adalah salah satu rumah termewah di Kota Yu Nan. Semua penduduk kota past
Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat."Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya den
"Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?" Si Tua Jie menggelengkan kepala beberapa kali. Walaupun dia sudah mencoba untuk mengingat, tapi ia tetap tidak dapat mengenalinya. "Wajah anak muda ini memang mirip seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu," Saat itu, Li Bing belum memberitahu siapa dirinya. Walaupun ia mendengar ucapan si Tua Jie, tapi pemuda tersebut tetap menutup mulut. Dia hanya tersenyum penuh arti. "Rupanya sekarang kau sudah benar-benar tua," kata A San sambil menghembus nafas panjang. "Dia adalah Tuan Muda Li, Li Bing. Apakah kau ingat?" Mendengar nama Li Bing disebut, seluruh tubuh si Tua Jie tiba-tiba bergetar. Air mata seketika mengembang di kedua pelupuk matanya. Rasa sedih, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Detik itu juga, dia langsung maju menubruk Li Bing. Si Tua Jie memeluknya dengan sangat erat. "Tuan Muda Li, ah ... akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku tidak menyangka kau masih hidup. Maafkan aku yang sudah tua ini sehingga tidak dapat
Manusia mana yang bisa melawan takdir? Manusia mungkin bisa mengubah nasibnya, tapi dia tidak akan pernah mampu mengubah takdirnya. Bukankah sejatinya memang seperti itu? Selain menerima semuanya dengan lapang dada, memangnya apalagi yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi takdirnya? Li Bing mengangguk perlahan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menguasai emosinya.Setelah melihat Li Bing kembali tenang, Si Tua Jie kembali berkata, "Terkadang yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang selalu ada dan dekat dengan kita,"Ucapan orang tua itu benar lagi. Di dunia ini, yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Entah itu keluarga, sahabat, teman, atau bahkan pasangan sendiri. Di muka bumi ini, kira-kira berapa banyak yang sakit hati karena ucapan orang-orang di sekitarnya? Berapa banyak pula manusia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena kejamnya mulut manusia? "Paman Jie benar. Hari ini, aku telah menerima ilmu pengetahuan ba
Wushh!!! Sebuah titik keperakan melesat secepat kedipan mata. Target sasarannya adalah Li Bing. Kalau orang lain yang dituju, walaupun dia sudah mengetahui serangan tersebut, niscaya ia tidak akan mampu lagi menghindar. Sebab serangan tersebut terlampau cepat. Dengan jarak sedekat itu, sudah tentu tidak ada waktu lagi untuk melakukan perlawanan. Tetapi dalam hal ini, Li Bing adalah pengecualian! Ia menatap datangnya serangan tersebut dengan tajam. Begitu jaraknya sudah dekat, tiba-tiba tubuhnya berputar dengan cepat. Bersamaan dengan itu, Li Bing mengangkat botol arak dan ditaruh di depan sejajar dengan dadanya. Prakk!!! Botol arak langsung pecah berkeping-keping. Araknya sendiri tumpah membasahi lantai. Dibalik pecahan guci dan arak, terlihat ada sebuah jarum perak sepanjang jari telunjuk. Jarum perak yang sangat kecil. Tapi juga sangat tajam! Kejadian itu berlangsung singkat. Walaupun Li Bing terlihat dengan mudah melakukannya, tetapi ia telah membuang tenaganya cukup banyak
Wushh!!! Sebuah titik keperakan melesat secepat kedipan mata. Target sasarannya adalah Li Bing. Kalau orang lain yang dituju, walaupun dia sudah mengetahui serangan tersebut, niscaya ia tidak akan mampu lagi menghindar. Sebab serangan tersebut terlampau cepat. Dengan jarak sedekat itu, sudah tentu tidak ada waktu lagi untuk melakukan perlawanan. Tetapi dalam hal ini, Li Bing adalah pengecualian! Ia menatap datangnya serangan tersebut dengan tajam. Begitu jaraknya sudah dekat, tiba-tiba tubuhnya berputar dengan cepat. Bersamaan dengan itu, Li Bing mengangkat botol arak dan ditaruh di depan sejajar dengan dadanya. Prakk!!! Botol arak langsung pecah berkeping-keping. Araknya sendiri tumpah membasahi lantai. Dibalik pecahan guci dan arak, terlihat ada sebuah jarum perak sepanjang jari telunjuk. Jarum perak yang sangat kecil. Tapi juga sangat tajam! Kejadian itu berlangsung singkat. Walaupun Li Bing terlihat dengan mudah melakukannya, tetapi ia telah membuang tenaganya cukup banyak
Manusia mana yang bisa melawan takdir? Manusia mungkin bisa mengubah nasibnya, tapi dia tidak akan pernah mampu mengubah takdirnya. Bukankah sejatinya memang seperti itu? Selain menerima semuanya dengan lapang dada, memangnya apalagi yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi takdirnya? Li Bing mengangguk perlahan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menguasai emosinya.Setelah melihat Li Bing kembali tenang, Si Tua Jie kembali berkata, "Terkadang yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang selalu ada dan dekat dengan kita,"Ucapan orang tua itu benar lagi. Di dunia ini, yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Entah itu keluarga, sahabat, teman, atau bahkan pasangan sendiri. Di muka bumi ini, kira-kira berapa banyak yang sakit hati karena ucapan orang-orang di sekitarnya? Berapa banyak pula manusia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena kejamnya mulut manusia? "Paman Jie benar. Hari ini, aku telah menerima ilmu pengetahuan ba
"Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?" Si Tua Jie menggelengkan kepala beberapa kali. Walaupun dia sudah mencoba untuk mengingat, tapi ia tetap tidak dapat mengenalinya. "Wajah anak muda ini memang mirip seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu," Saat itu, Li Bing belum memberitahu siapa dirinya. Walaupun ia mendengar ucapan si Tua Jie, tapi pemuda tersebut tetap menutup mulut. Dia hanya tersenyum penuh arti. "Rupanya sekarang kau sudah benar-benar tua," kata A San sambil menghembus nafas panjang. "Dia adalah Tuan Muda Li, Li Bing. Apakah kau ingat?" Mendengar nama Li Bing disebut, seluruh tubuh si Tua Jie tiba-tiba bergetar. Air mata seketika mengembang di kedua pelupuk matanya. Rasa sedih, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Detik itu juga, dia langsung maju menubruk Li Bing. Si Tua Jie memeluknya dengan sangat erat. "Tuan Muda Li, ah ... akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku tidak menyangka kau masih hidup. Maafkan aku yang sudah tua ini sehingga tidak dapat
Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat."Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya den
Kereta kuda terus berjalan. Setiap jalan raya yang telah dilewatinya pasti meninggalkan jejak kereta yang cukup dalam. Kegelapan semakin menyelimuti muka bumi. Walaupun belum larut, tapi keadaan di Kota Yu Nan sudah terlihat sepi. Hal itu dikarenakan saat ini sedang musim salju. Pada saat seperti ini, kebanyakan orang lebih memilih diam di dalam rumah daripada keluyuran di luar. Mereka lebih memilih tidur dibalik selimut atau menikmati arak yang hangat daripada harus keluar rumah. Sepanjang perjalanan itu, sedikitnya Li Bing telah menghabiskan dua cawan arak. Namun dia tidak kelihatan sudah mabuk. Wajahnya tetap berseri, matanya juga tetap bersinar terang. "Kita sudah sampai, Tuan," ucap A San sambil menghentikan kereta kuda. Begitu ucapan tersebut didengar, Li Bing segera turun dari kereta. Begitu kakinya menginjak tanah bersalju, matanya langsung dihadapkan dengan sebuah rumah yang besar. Dulu, rumah ini adalah salah satu rumah termewah di Kota Yu Nan. Semua penduduk kota past
Tanpa banyak tedeng aling-aling, Ular Merah langsung melancarkan sebuah serangan. Serangan yang sederhana. Namun justru sangat mematikan! Pedangnya menebas dari arah kanan ke kiri. Kecepatan serangan itu sukar untuk dilukiskan. Orang-orang yang ada di sana, tidak ada yang mampu menyaksikannya secara jelas.Kecuali hanya mereka yang sudah mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Satu detik kemudian, sebuah kepala tiba-tiba jatuh menggelinding. Tubuh orang tersebut baru ambruk setelah beberapa saat kemudian. "Tuan ..." beberapa orang berseru secara bersamaan. Rupanya kepala yang menggelinding itu milik Cui Si. Dia tewas sebelum sempat mengeluarkan golok andalan yang selama ini telah mengantarkan namanya ke puncak kejayaan.Kini, si Golok Panjang Cui Si hanya tinggal namanya saja. Kalau tidak menyaksikan secara langsung, niscaya siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia tewas tanpa perlawanan sedikit pun. "Apakah masih ada yang ingin enasib dengan dirinya?" si Ular Merah melirik
Waktu berlalu begitu cepat. Lima belas tahun telah lewat kembali. Keadaan di setiap penjuru kota telah banyak berubah. Kotaraja semakin maju. Gunung Thai San juga tampak semakin agung. Lalu bagaimana dengan Kota Yu Nan? Apakah di sana juga telah terjadi banyak perubahan? Apakah semakin maju? Atau malah sebaliknya? Apakah pemandangan alamnya masih indah dan alami? Atau pemandangan itu telah hilang dan digantikan dengan gedung-gedung yang mewah serta megah? Saat itu musim salju telah tiba. Setiap jalanan yang ada dipenuhi oleh salju putih. Sebuah kereta sederhana yang ditarik oleh dua ekor kuda tampak berjalan dengan perlahan. Kereta kuda itu datang dari luar kota dan mungkin berniat untuk memasuki wilayah Kota Yu Nan. Ternyata hal itu tidak salah. Kereta kuda sederhana tersebut benar-benar masuk ke dalam kota. Setelah melewati pemeriksaan, sang kusir kembali menjalankan kudanya. Di dalam kabin kereta, di sana tampak ada seorang pemuda yang sedang duduk sambil menikmati arak. Dia
Setelah berhasil menotok kedua anak itu, A Li segera lari menuju ke halaman belakang di mana terdapat istal kuda. A Li memilih kuda jempolan yang biasa dipakai oleh Li Hoan. Kemudian memilih dua kuda jempolan lainnya. Setelah itu, ia segera menyiapkan kereta kudanya. Begitu semua persiapan selesai, A Li langsung pergi lewat jalur lain. Suara ringkik tiga ekor kuda itu terdengar keras. Li Hoan yang saat itu sudah berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka, dapat mendengar suaranya dengan jelas. Perasaannya menjadi lega. Meskipun dirinya harus tewas malam ini, tapi asalkan dua orang anak itu selamat, maka mati pun tidak menjadi persoalan. Ia rela mati asalkan keturunannya bisa selamat. Ketika Li Hoan menutup kedua mata, mendadak telinganya mendengar suara orang berlari. Dia segera membuka matanya kembali. Dilihatnya Bi Lian sudah berada di sisi sambil menangis tersedu-sedu. Wanita itu lalu mengangkat kepala Lo Hoan. Kini kepalanya berada di atas pangkuan sang istri. "Istriku
Malam gelap telah menyelimuti muka bumi. Hamparan awan hitam menggulung di tengah-tengah langit kota Yu Nan. Gemuruh guntur dan kilat menyambar-nyambar tanpa henti. Semua penghuni kota Yu Nan sudah masuk dan bersembunyi dibalik selimut karena saking takutnya terhadap badai yang melanda kota itu. Jalan raya yang biasanya ramai, kini tampak sepi sekali. Sepi, seakan-akan kota itu sudah tidak berpenghuni lagi. Dalam waktu sekejap mata, Kota Yu Nan yang tidak pernah sepi, kini selama menjadi kota mati. Di tengah-tengah kota Yu Nan, di sana berdiri sebuah gedung yang terbilang megah. Gedung itu luas. memiliki tembok pembatas setinggi satu atau dua tombak.Di depan gerbang gedung ada sebuah gardu. Di gardu itu ada lima orang penjaga yang diperintahkan oleh tuan rumah untuk tetap melakukan ronda malam. Gedung megah itu milik Keluarga Li. Kepala keluarganya bernama Li Hoan. Ia mempunyai seorang istri dan dua orang anak.Istri Li Hoan Bernama Bi Lian. Anaknya yang pertama adalah laki-laki