Malam gelap telah menyelimuti muka bumi. Hamparan awan hitam menggulung di tengah-tengah langit kota Yu Nan. Gemuruh guntur dan kilat menyambar-nyambar tanpa henti.
Semua penghuni kota Yu Nan sudah masuk dan bersembunyi dibalik selimut karena saking takutnya terhadap badai yang melanda kota itu. Jalan raya yang biasanya ramai, kini tampak sepi sekali. Sepi, seakan-akan kota itu sudah tidak berpenghuni lagi. Dalam waktu sekejap mata, Kota Yu Nan yang tidak pernah sepi, kini selama menjadi kota mati. Di tengah-tengah kota Yu Nan, di sana berdiri sebuah gedung yang terbilang megah. Gedung itu luas. memiliki tembok pembatas setinggi satu atau dua tombak. Di depan gerbang gedung ada sebuah gardu. Di gardu itu ada lima orang penjaga yang diperintahkan oleh tuan rumah untuk tetap melakukan ronda malam. Gedung megah itu milik Keluarga Li. Kepala keluarganya bernama Li Hoan. Ia mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Istri Li Hoan Bernama Bi Lian. Anaknya yang pertama adalah laki-laki dan bernama Li Bing, usianya sekarang baru sepuluh tahun. Sedangkan yang kedua adalah perempuan dan bernama Li Ai Yin, saat ini dia berusia lima tahun. Kehidupan Keluarga Li sangat sejahtera. Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Li Hoan memutuskan untuk membuka perusahaan jasa pengiriman barang. Atau bisa disebut jasa ekspedisi. Bermodalkan nama besarnya dalam dunia persilatan, maka dalam waktu dua tahun saja, perusahaan tersebut sudah berkembang pesat. Semua orang di Kota Yu Nan dan sekitarnya mengenal Perusahaan Burung Hong dan pasti tahu pula siapa pemiliknya. Setiap hari, pasti ada banyak orang-orang yang datang untuk meminta pertolongan perusahaan tersebut. Tengah malam itu, Li Hoan baru saja beranjak dari ruangan kerja. Hari ini benar-benar melelahkan. Orang-orang yang datang juga lebih banyak dari biasanya. Li Hoan berjalan menuju ke kamarnya untuk istirahat. Namun secara tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya, perasannya tidak enak. "Aneh, tidak biasanya aku mempunyai firasat seperti ini," gumam Li Hoan sambil menghela nafas panjang. Akhirnya dia kembali duduk di ruang kerja. Li Hoan menuangkan arak ke dalam cawan lalu meminumnya sampai habis dalam satu kali teguk. Baru saja arak masuk ke tenggorokan, telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar ada sebuah jeritan. Jeritan itu sangat jelas, namun hanya terdengar satu kali. Li Hoan kaget. Suara itu berasal dari halaman depan. Buru-buru dia bangkit berdiri dan menuju ke sana. Begitu tiba di gardu depan, ia dibuat terkejut saat melihat lima orang penjaganya sudah tewas bermandikan darah. Masing-masing dari mereka mendapat luka goresan di lehernya. Saking dalamnya luka tersebut, sampai-sampai leher kelima orang itu hampir putus. "Siapa yang berani melakukan perbuatan keji ini?" Li Hoan bergumam. Ia sangat marah. Tapi sebisa mungkin, Kepala Keluarga Li itu mencoba untuk menahan amarahnya. Li Hoan menatap ke sekeliling tempat. Tapi dia tidak menemukan tanda-tanda apapun. 'Orang itu pasti masih ada di sini,' batinnya bergumam. Dia menarik nafas panjang dan kembali menatap keliling. "Rasanya aku tidak punya masalah dendam dengan siapa pun. Tapi mengapa Tuan mengganggu kehidupanku?" kata Li Hoan cukup keras. Selesai dia berkata seperti itu, tiba-tiba terdengar ada suara tawa yang lantang. Suara tawa itu terasa menusuk-nusuk gendang telinga. Jumlahnya bukan cuma satu, melainkan ada empat. Empat orang! Li Hoan sangat yakin bahwa di sekitar rumahnya sekarang, pasti ada empat orang tokoh dunia persilatan yang berilmu tinggi. Hal itu terbukti dari suara tawanya yang mampu membuat darah dalam tubuhnya bergejolak. Ditambah dengan suara guntur dan sambaran kilat, semuanya terasa menjadi lengkap. Malam ini adalah malam paling mendebarkan selama sejarah hidupnya. Selama puluhan tahun mengembara dalam dunia persilatan, belum pernah Li Hoan merasa seperti saat ini. "Tuan-tuan, tolong tunjukkan diri kalian," katanya berusaha bersikap tenang. "Hahaha ... kau ingin tahu siapa kami? Baiklah, anggap ini sebagai permintaan terakhirmu, kami akan menunjukkan diri sekarang juga," sebuah suara berat terdengar. Disusul kemudian dengan munculnya deru angin kencang berhawa panas. Begitu semuanya sirna, tiba-tiba di depan Li Hoan sudah ada empat orang yang berdiri menantang. "Siapa kalian?" tanyanya sambil memandangi keempat orang tersebut. "Kau belum pantas untuk mengetahui siapa kami," jawab salah satu dari mereka. "Apa tujuanmu melakukan semua ini?" "Apa lagi? Tentu saja membasmi Keluarga Li," Selesai orang itu berkata. Dia segera melirik ke tiga temannya. Satu tarikan nafas berikutnya, mereka sudah menerjang hebat ke arah Li Hoan. Gerakan orang-orang itu sangat cepat sekali. Secepat kilat yang menyambar di malam tersebut. Empat macam serangan datang dari setiap penjuru. Setiap serangan itu mampu mencabut nyawa dalam waktu singkat. Li Hoan kaget, namun dalam waktu yang bersamaan dia langsung melakukan persiapan. Walaupun dirinya bukan datuk dunia persilatan, tapi kemampuannya juga tidak boleh dipandang ringan. Ia menangkis sambil menghindari semua serangan yang datang. Pertarungan sengit langsung terjadi di halaman rumah Keluarga Li. Lima orang tokoh kelas atas dunia persilatan bertarung mengandalkan kemampuannya masing-masing. Keempat orang misterius yang mengenakan cadar itu menyerang dengan brutal. Li Hoan sendiri berusaha bertahan semaksimal mungkin. Tukar jurus sudah terjadi sejak tadi. Tapi Li Hoan tidak bisa berbuat banyak. Walaupun ia mempunyai kemampuan tinggi, namun kalau menghadapi empat orang sekaligus, rasanya percuma saja. Setelah pertarungan berjalan tiga puluh jurus, posisi Li Hoan semakin terdesak. Seluruh tubuhnya sudah menderita luka-luka. Pada saat itu, tiba-tiba satu orang dari mereka membentak nyaring. Sebuah serangan telapak tangan tiba tanpa diketahui datangnya dan mengenai dada Li Hoan dengan gelak. Kepala Keluarga Li itu langsung terlempar belasan tombak ke belakang. Tubuhnya menghantam tiang depan rumah. Darah segar keluar dari mulutnya. Belasan penjaga langsung berdatangan setelah mendengar suara keras tersebut. Ketika melihat majikan mereka terluka parah, para penjaga itu marah. Mereka langsung melompat dan menyerang keempat orang yang berdiri puas di halaman rumah. "A San, bangunkan anak istriku. Bawa anak-anakku ke Kotaraja," kata Li Hoan kepada seorang penjaga. "Ba-baik, Tuan. Hamba akan segera melaksanakan perintah," A San, pengawal pribadi Li Hoan yang sudah berusia empat puluhan tahun segera menjalankan tugas dari majikannya. Dia berlari ke dalam rumah dan membangunkan anak istri Li Hoan. Saat diberitahukan apa yang sedang terjadi saat itu, mereka terkejut. Terutama sekali Bi Lian. Wanita tua itu menjerit dan nekad ingin melihat keadaan suaminya. "Tidak bisa, Nyonya Li. Tuan Li menyuruhku untuk membawa kalian ke Kotaraja. Kita sudah tidak punya waktu lagi," ucap A Li menjelaskan. "Bawa saja anak-anakku. Aku akan menemui suamiku," kata Bi Lian yang tetap nekad. "Ibu ..." Li Bing dan Li Ai Yin berteriak secara bersama. Dua orang anak kecil itu juga ketakutan setengah mati setelah mendengar penjelasan singkat dari A San. "Tuan Muda Li, Nona Li, mari kita pergi sekarang juga," katanya mebhaka mereka. "Tidak mau, aku aku mau bersama Ayah Ibuku," ucap Li Bing berusaha bangkit dari tempat tidur. "Tidak bisa, Tuan Muda. Ini perintah langsung dari Tuan Li," Karena tidak mau membuang waktu dengan percuma, terpaksa A San menotok kedua anak kecil itu. Seketika mereka pun langsung pingsan. "Maafkan aku, tapi ini adalah perintah," A San mengulangi perkataannya lagi.Setelah berhasil menotok kedua anak itu, A San segera lari menuju ke halaman belakang di mana terdapat istal kuda. A San memilih kuda jempolan yang biasa dipakai oleh Li Hoan. Kemudian memilih dua kuda jempolan lainnya. Setelah itu, ia segera menyiapkan kereta kudanya. Begitu semua persiapan selesai, A San langsung pergi lewat jalur lain. Suara ringkik tiga ekor kuda itu terdengar keras. Li Hoan yang saat itu sudah berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka, dapat mendengar suaranya dengan jelas. Perasaannya menjadi lega. Meskipun dirinya harus tewas malam ini, tapi asalkan dua orang anak itu selamat, maka mati pun tidak menjadi persoalan. Ia rela mati asalkan keturunannya bisa selamat. Ketika Li Hoan menutup kedua mata, mendadak telinganya mendengar suara orang berlari. Dia segera membuka matanya kembali. Dilihatnya Bi Lian sudah berada di sisi sambil menangis tersedu-sedu. Wanita itu lalu mengangkat kepala Lo Hoan. Kini kepalanya berada di atas pangkuan sang istri.
Waktu berlalu begitu cepat. Lima belas tahun telah lewat kembali. Keadaan di setiap penjuru kota telah banyak berubah. Kotaraja semakin maju. Gunung Thai San juga tampak semakin agung. Lalu bagaimana dengan Kota Yu Nan? Apakah di sana juga telah terjadi banyak perubahan? Apakah semakin maju? Atau malah sebaliknya? Apakah pemandangan alamnya masih indah dan alami? Atau pemandangan itu telah hilang dan digantikan dengan gedung-gedung yang mewah serta megah? Saat itu musim salju telah tiba. Setiap jalanan yang ada dipenuhi oleh salju putih. Sebuah kereta sederhana yang ditarik oleh dua ekor kuda tampak berjalan dengan perlahan. Kereta kuda itu datang dari luar kota dan mungkin berniat untuk memasuki wilayah Kota Yu Nan. Ternyata hal itu tidak salah. Kereta kuda sederhana tersebut benar-benar masuk ke dalam kota. Setelah melewati pemeriksaan, sang kusir kembali menjalankan kudanya. Di dalam kabin kereta, di sana tampak ada seorang pemuda yang sedang duduk sambil menikmati arak. Dia
Tanpa banyak tedeng aling-aling, Ular Merah langsung melancarkan sebuah serangan. Serangan yang sederhana. Namun justru sangat mematikan! Pedangnya menebas dari arah kanan ke kiri. Kecepatan serangan itu sukar untuk dilukiskan. Orang-orang yang ada di sana, tidak ada yang mampu menyaksikannya secara jelas.Kecuali hanya mereka yang sudah mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Satu detik kemudian, sebuah kepala tiba-tiba jatuh menggelinding. Tubuh orang tersebut baru ambruk setelah beberapa saat kemudian. "Tuan ..." beberapa orang berseru secara bersamaan. Rupanya kepala yang menggelinding itu milik Cui Si. Dia tewas sebelum sempat mengeluarkan golok andalan yang selama ini telah mengantarkan namanya ke puncak kejayaan.Kini, si Golok Panjang Cui Si hanya tinggal namanya saja. Kalau tidak menyaksikan secara langsung, niscaya siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia tewas tanpa perlawanan sedikit pun. "Apakah masih ada yang ingin enasib dengan dirinya?" si Ular Merah melirik
Kereta kuda terus berjalan. Setiap jalan raya yang telah dilewatinya pasti meninggalkan jejak kereta yang cukup dalam. Kegelapan semakin menyelimuti muka bumi. Walaupun belum larut, tapi keadaan di Kota Yu Nan sudah terlihat sepi. Hal itu dikarenakan saat ini sedang musim salju. Pada saat seperti ini, kebanyakan orang lebih memilih diam di dalam rumah daripada keluyuran di luar. Mereka lebih memilih tidur dibalik selimut atau menikmati arak yang hangat daripada harus keluar rumah. Sepanjang perjalanan itu, sedikitnya Li Bing telah menghabiskan dua cawan arak. Namun dia tidak kelihatan sudah mabuk. Wajahnya tetap berseri, matanya juga tetap bersinar terang. "Kita sudah sampai, Tuan," ucap A San sambil menghentikan kereta kuda. Begitu ucapan tersebut didengar, Li Bing segera turun dari kereta. Begitu kakinya menginjak tanah bersalju, matanya langsung dihadapkan dengan sebuah rumah yang besar. Dulu, rumah ini adalah salah satu rumah termewah di Kota Yu Nan. Semua penduduk kota past
Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat."Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya den
"Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?" Si Tua Jie menggelengkan kepala beberapa kali. Walaupun dia sudah mencoba untuk mengingat, tapi ia tetap tidak dapat mengenalinya. "Wajah anak muda ini memang mirip seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu," Saat itu, Li Bing belum memberitahu siapa dirinya. Walaupun ia mendengar ucapan si Tua Jie, tapi pemuda tersebut tetap menutup mulut. Dia hanya tersenyum penuh arti. "Rupanya sekarang kau sudah benar-benar tua," kata A San sambil menghembus nafas panjang. "Dia adalah Tuan Muda Li, Li Bing. Apakah kau ingat?" Mendengar nama Li Bing disebut, seluruh tubuh si Tua Jie tiba-tiba bergetar. Air mata seketika mengembang di kedua pelupuk matanya. Rasa sedih, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Detik itu juga, dia langsung maju menubruk Li Bing. Si Tua Jie memeluknya dengan sangat erat. "Tuan Muda Li, ah ... akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku tidak menyangka kau masih hidup. Maafkan aku yang sudah tua ini sehingga tidak dapat
Manusia mana yang bisa melawan takdir? Manusia mungkin bisa mengubah nasibnya, tapi dia tidak akan pernah mampu mengubah takdirnya. Bukankah sejatinya memang seperti itu? Selain menerima semuanya dengan lapang dada, memangnya apalagi yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi takdirnya? Li Bing mengangguk perlahan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menguasai emosinya.Setelah melihat Li Bing kembali tenang, Si Tua Jie kembali berkata, "Terkadang yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang selalu ada dan dekat dengan kita,"Ucapan orang tua itu benar lagi. Di dunia ini, yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Entah itu keluarga, sahabat, teman, atau bahkan pasangan sendiri. Di muka bumi ini, kira-kira berapa banyak yang sakit hati karena ucapan orang-orang di sekitarnya? Berapa banyak pula manusia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena kejamnya mulut manusia? "Paman Jie benar. Hari ini, aku telah menerima ilmu pengetahuan ba
Wushh!!! Sebuah titik keperakan melesat secepat kedipan mata. Target sasarannya adalah Li Bing. Kalau orang lain yang dituju, walaupun dia sudah mengetahui serangan tersebut, niscaya ia tidak akan mampu lagi menghindar. Sebab serangan tersebut terlampau cepat. Dengan jarak sedekat itu, sudah tentu tidak ada waktu lagi untuk melakukan perlawanan. Tetapi dalam hal ini, Li Bing adalah pengecualian! Ia menatap datangnya serangan tersebut dengan tajam. Begitu jaraknya sudah dekat, tiba-tiba tubuhnya berputar dengan cepat. Bersamaan dengan itu, Li Bing mengangkat botol arak dan ditaruh di depan sejajar dengan dadanya. Prakk!!! Botol arak langsung pecah berkeping-keping. Araknya sendiri tumpah membasahi lantai. Dibalik pecahan guci dan arak, terlihat ada sebuah jarum perak sepanjang jari telunjuk. Jarum perak yang sangat kecil. Tapi juga sangat tajam! Kejadian itu berlangsung singkat. Walaupun Li Bing terlihat dengan mudah melakukannya, tetapi ia telah membuang tenaganya cukup banyak
"Benarkah? Apa kau begitu yakin akan ucapanmu?" tanya Li Bing masih terlihat santai. "Aku sangat-sangat yakin. Sebab seluruh area Kuil Seribu Budha, saat ini sudah dikepung oleh pasukanku," kayanya dengan nada dingin.Li Bing tergetar. Diam-diam dia merasa kaget. Rupanya biksu sesat itu benar-benar telah merencanakan semua ini dengan sangat sempurna. Bahkan dia sudah mengantisipasi apabila rencana gagal. Hebat. Harus Li Bing akui bahwa orang tua itu mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. Namun meskipun demikian, Li Bing tidak memperlihatkan keterkejutannya. Dia masih terlihat tenang dan santai. "Tidak aku sangka, ternyata kau juga memiliki pasukan yang bisa diandalkan," katanya seraya tersenyum. "Itu karena aku tidaklah sesederhana yang kau lihat, bocah keparat!" "Oh, benarkah? Sayangnya, aku tidak peduli akan hal itu," Kemarahan Biksu Bertangan Delapan semakin bergejolak. Semakin dia bicara lebih lama dengan pemuda itu, semakin panas juga hatinya. "Kubunuh kau!" Wushh!!! B
Menghadapi serangan yang bertenaga keras, Li Bing tidak mau bertindak gegabah. Buru-buru ia mundur ke belakang sambil menahan pukulan beruntun yang dilancarkan oleh si Elang Hitam.Plakk!!! Benturan telapak tangan terjadi! Elang Hitam merasa tangannya tergetar. Hawa panas segera menjalar ke seluruh bagian lengannya.'Tenaga sakti yang dia miliki sangat tinggi. Padahal aku sudah mengeluarkan Pukulan Bayangan, tapi ternyata ia masih mampu membalikkan tenaga yang aku berikan,' batinnya sambil menatap Li Bing dengan tajam. Sementara di pihak lain, Li Bing juga merasa telapak tangannya sedikit tergetar. Tapi ia memang sengaja tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Li Bing ingin tahu setinggi apa tenaga musuhnya itu. Setelah terjadinya benturan barusan, Li Bing jadi tahu bahwa kemampuan si Elang Hitam setidaknya masih berada tiga tingkat di bawahnya. 'Kalau aku bertarung langsung melawan Sepasang Elang Hitam Putih dengan kekuatan penuh, mungkin aku bisa membereskannya dalam waktu ti
"Baik, baik. Aku akan menuruti apa yang kau katakan, Biksu To," ujar Li Bing setelah dia terdiam untuk beberapa saat. "Tetapi ada syaratnya," "Syarat apa?" tanya Biksu To dengan cepat. Sekilas wajahnya menggambarkan kegembiraan ketika Li Bing mengatakan akan menuruti ucapannya. Namun ekspresi kegirangan tersebut sirna dalam sekejap pada saat pemuda itu mengajukan sebuah syarat. "Asal kalian bisa bertahan selama lima puluh jurus dari semua seranganku, maka aku akan mengatakan bahwa akulah yang membunuh Biksu Agung Berhati Suci!" katanya dengan suara tegas. Setiap patah kata yang ia ucapkan seolah-olah mengandung daya kekuatan yang mampu menggetarkan hati orang lain. Puluhan orang itu terdiam. Tidak ada satu pun yang berani bicara. Mereka hanya bisa saling pandang satu sama lain. Li Bing juga belum mengambil tindakan apapun. Ia sedang menatap mereka secara bergantian. Tatapan matanya sangat tajam. Setajam pedang pusaka! Ekspresi wajahnya juga berubah menjadi dingin.
Sampai dua puluh lima jurus kemudian, semua usaha yang dilakukan oleh Biksu Bertangan Delapan tidak pernah membuahkan hasil sedikit pun. Setiap jurus dan serangan yang dia lancarkan, selalu bisa dihindari oleh Li Bing. Pemuda itu benar-benar seperti hantu. Ia sangat sulit untuk disentuh. Gerakannya juga cepat bagai kilat. Kenyataan ini semakin membuat Biksu To penasaran. Bagaimana mungkin seorang pendekar muda seperti Li Bing mampu menghindari semua jurusnya? Padahal setiap jurus yang dia keluarkan bukan jurus kelas rendah. Semua itu adalah jurus kelas atas yang bahkan tidak bisa dipandang sebelah mata oleh pendekar kelas satu sekali pun. Tetapi nyatanya, di hadapan pemuda yang berjuluk Pendekar Tangan Dewa itu, semua jurus yang selama ini dia banggakan seolah-olah sudah hilang keampuhan-nya. "Li Bing!" seru Biksu To yang sudah mengganti panggilannya. "Kenapa kau tidak membalas seranganku?" tanyanya geram. ."Aku tidak ingin mencari permusuhan denganmu, Biksu To. Oleh karena itu
"Dari percakapan itu. Mereka yang terlibat bukan hanya membicarakan tentang bagaimana cara menjebakmu. Mereka juga membicarakan bagaimana cara membunuhku," "Apa yang mereka lakukan?" "Mereka telah menyerangku dengan pukulan beracun. Menurut firasatku, aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari. Dan sekarang adalah hari yang terakhir," Semakin lama Li Bing bercakap-cakap dengan Biksu Agung Berhati Suci, maka semakin terkejut dan marah juga dirinya. Licik! Kejam! Tidak manusiawi! Rasanya hanya tiga kata itu saja yang cocok untuk menggambarkan orang-orang yang menjadi dalang dibalik sandiwara ini! "Biksu Agung, bolehkah aku tahu, kenapa kau bisa terluka?" tanya Li Bing lebih lanjut. Sekarang dia sudah tidak punya pilihan lain lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Maka dari itu, Li Bing hanya ingin tahu lebih banyak tentang sandiwara yang sedang berlangsung saat ini. "Seseorang telah menyimpan racun yang tidak berbau dan tidak berwana dalam makananku. Tidak berhenti sampai di situ, bahk
Biksu To segera tersenyum sambil mengangguk. Ia kemudian berdiri dan mengajak Li Bing menemui Biksu Agung Berhati Suci.Pemuda itu pun segera mengikuti di belakangnya. Keduanya lalu berjalan ke tempat di mana Biksu Agung Berhati Suci selama ini mengasingkan diri. Rupanya, orang tua itu tinggal di sebuah pondok sederhana, tepat di belakang Kuil Seribu Budha. Keadaan di sana sepi sunyi. Tidak ada seorang murid pun yang melakukan penjagaan. "Selama ini guru beristirahat di sana, Tuan Muda Li," kata Biksu To menjelaskan. "Guru menginginkan suasana yang tenang dan sunyi. Sehingga aku tidak memperbolehkan seorang murid pun yang mendekat ke area ini," "Jadi, ini adalah tempat terlarang?" "Ya, bisa dibilang begitu," Li Bing memperhatikan suasana di sekitarnya. Di sana memang tidak ada bangunan lain lagi, kecuali hanya pondok itu saja. Di kanan kirinya diliputi oleh pepohonan yang berjajar. "Tuan Muda Li, silahkan," katanya memberi isyarat supaya Li Bing segera pergi ke sana. Li Bing m
Setelah beberapa waktu kemudian, akhirnya Li Bing berhasil membebaskan diri dari kepungan barisan tersebut. Pemuda itu kemudian melesat ke arah pintu utama Kuil Seribu Budha. Begitu kakinya tiba di lantai, pintu mendadak terbuka. Seorang biksu yang usianya sudah enam puluhan tahun menyambut kedatangan Li Bing. Biksu itu mempunyai janggut yang panjangnya sampai menyentuh dada. Tangan kanannya berada di depan dada dengan gaya menyembah. Tangan kirinya memegang tasbih berukuran seibu jari. Sinar mata biksu tua itu terlihat tenang. Tapi sekaligus juga tajam. Pertanda bahwa dia mempunyai tenaga dalam yang sangat tinggi. "Maaf, apakah aku sedang berhadapan dengan Biksu Bertangan Delapan, Ketua Kuil Seribu Budha?" tanya Li Bing dengan hormat. "Amithaba ...," biksu tersebut terdengar memuji Sang Budha. "Benar, Tuan Muda. Kalau boleh tahu, siapa Tuan Muda ini?" "Ah, syukurlah. Perkenalkan, namaku Li Bing ...," "Tuan Muda Li dari Kota Yu Nan?" "Benar, Biksu," "Tuan Muda Li yang berju
Li Bing tidak berhenti. Dia meneruskan perjalannya. Pemuda itu mulai menaiki bukit yang nantinya akan mengantarkan ia ke Kuil Seribu Budha. Kuil itu memang berdiri di puncak bukit yang berdekatan dengan Gunung Song. Sehingga dari kejauhan pun orang bisa melihat Kuil yang berdiri dengan megah dan kokoh tersebut. Pihak Kuil Seribu Budha sudah membuatkan jalan khusus untuk mereka yang ingin beribadah ataupun berkunjung ke kuilnya. Hal ini tentu mempermudah para wisatawan sehingga perjalanan mereka bisa lebih cepat daripada yang seharusnya. Li Bing berhasil tiba di pintu masuk kuil ketika matahari tenggelam dibalik bukit. Selama perjalanannya itu, tidak ada halangan yang berarti. Tetapi bukan tidak ada gangguan juga. Li Bing tahu bahwa sejak awal dirinya sudah diintai dari beberapa penjuru. Maklum, bukit itu mempunyai banyak pohon-pohon yang tinggi dan rimbun, sehingga untuk melakukan pengintaian bukanlah suatu pekerjaan yang sulit. Beberapa kali pemuda itu memergoki ada seseorang ya
"Musnahkan semua Keluarga Li!" Sepucuk surat itu hanya berisi tiga kata saja. Tiga kata perintah! Tiga kata yang mewajibkan untuk menghabisi semua Keluarga Li! Walaupun dalam surat itu tidak menjelaskan Keluarga Li yang mana, namun Li Bing tahu, Keluarga Li yang mempunyai nama besar dalam dunia persilatan, hanya Keluarga Li miliknya saja. Itu artinya, selama dalang dibalik layar ini belum ditemukan atau dibunuh, maka selama itu pula hidupnya tidak akan pernah tenang. Tetapi kalau benar dalang dibalik layar ini adalah orang-orang yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan mendiang ayahnya, apakah dia juga harus tetap membunuhnya? Li Bing tidak tahu. Setiap kali pertanyaan semacam itu muncul dalam benaknya, dia selalu tidak mempunyai jawaban yang pasti. Dia hanya berharap, semoga saja apa yang di khawatirkan-nya selama ini tidak pernah terjadi. Pemuda itu kemudian membuka topeng penyerangnya tadi. Ketika seraut wajah yang asli terlihat, ketika itu pula Li Bing terkejut setengah