Waktu berlalu begitu cepat. Lima belas tahun telah lewat kembali. Keadaan di setiap penjuru kota telah banyak berubah. Kotaraja semakin maju. Gunung Thai San juga tampak semakin agung.
Lalu bagaimana dengan Kota Yu Nan? Apakah di sana juga telah terjadi banyak perubahan? Apakah semakin maju? Atau malah sebaliknya? Apakah pemandangan alamnya masih indah dan alami? Atau pemandangan itu telah hilang dan digantikan dengan gedung-gedung yang mewah serta megah? Saat itu musim salju telah tiba. Setiap jalanan yang ada dipenuhi oleh salju putih. Sebuah kereta sederhana yang ditarik oleh dua ekor kuda tampak berjalan dengan perlahan. Kereta kuda itu datang dari luar kota dan mungkin berniat untuk memasuki wilayah Kota Yu Nan. Ternyata hal itu tidak salah. Kereta kuda sederhana tersebut benar-benar masuk ke dalam kota. Setelah melewati pemeriksaan, sang kusir kembali menjalankan kudanya. Di dalam kabin kereta, di sana tampak ada seorang pemuda yang sedang duduk sambil menikmati arak. Dia minum arak dengan cara langsung menenggak dari guci nya. Pemuda itu mempunyai wajah tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung, mulutnya berbentuk busur panah dan kulitnya juga putih halus layaknya seorang gadis remaja. Ia pun mempunyai rambut panjang yang di gelung dan ditusuk dengan tusuk konde perak. Pemuda itu mengenakan pakaian ringkas sederhana berwarna putih. Penampilannya sangat mirip dengan orang-orang dunia persilatan. Meskipun barang-barang yang ada padanya bukanlah barang mewah, tapi justru hal itulah yang membuatnya tampak lebih tampan dan berkharisma. "A San, apakah di sekitar sini ada warung yang menjual arak?" tanya si pemuda kepada sang kusir. Suara pemuda itu terdengar merdu namun penuh wibawa. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah. "Aku belum melihatnya, Tuan Muda," jawab sang kusir dengan rasa penuh hormat. "Tapi aku rasa, harusnya sih ada. Apalagi Kota Yu Nan adalah kota besar," Pada zaman ini, arak seolah-olah menjadi salah satu kebutuhan yang utama. Setiap orang, terutama pria, pasti akan menyukai arak. Entah itu arak yang keras, ataupun arak yang lembut. Tidak terkecuali dengan mereka berdua. Keduanya adalah setan arak. Setiap hari, entah berapa banyak arak yang masuk ke dalam perutnya. Satu hari saja tidak minum arak, mungkin keduanya akan mati karena kehausan. Namun di antara mereka, yang paling kuat takaran minumnya adalah si pemuda. Sudah beberapa kali keduanya bertanding minum arak, dan pemenangnya tetap orang yang sama. "Baiklah. Kalau kau melihat warung arak, langsung saja berhenti. Arak yang aku bawa tadi sudah habis," "Baik, Tuan Muda Li," Kusir yang bernama A San itu mengangguk. Dia kembali menjalankan kereta kuda sambil menoleh ke kanan kiri. Dia berharap di sekitar sana ada warung arak yang masih buka. Dan ternyata harapannya langsung dikabulkan. Tidak berapa jauh kereta kuda itu berjalan, tiba-tiba sepasang mata A San melihat ada warung arak. "Tuan Muda, di depan sana ada warung arak," kata A San penuh semangat. "Bagus. Kalau begitu mari kita segera ke sana," "Tapi, sepertinya itu hanya warung arak kecil. Di sana tidak mungkin tersedia arak lembut yang biasa Tuan Muda minum," "Tidak masalah, arak keras pun akan tetap aku minum. Yang penting tetap arak, bukan air kencing," Keduanya tertawa terbahak-bahak. Dalam waktu yang bersamaan, mereka juga segera menuju ke sana. Setelah tiba di depan warung arak, A San lalu menyimpan kudanya di tempat yang sudah disediakan oleh pemilik warung. Kemudian mereka berdua segera masuk ke dalam. Ternyata suasana di dalam warung arak terhitung ramai. Saat itu, kebetulan matahari baru saja tenggelam di ufuk sebelah barat. Sehingga sangat wajar apabila ada banyak orang yang singgah. Baik itu untuk melepaskan lelah dan beristirahat, ataupun sekedar ingin menghangatkan badan. Apalagi saat malam tiba, hawa dingin semakin menusuk tulang. A San dan pemuda itu langsung duduk di bangku yang masih kosong. Mereka kemudian pesan dua guci arak dan satu krat daging segar. Sembari menikmati arak, keduanya juga memperhatikan dan mendengarkan obrolan dari orang-orang tersebut. Di dengar dari obrolannya, sepertinya kebanyakan dari mereka merupakan para pendekar dunia persilatan. "A San, bukankah mereka adalah Sepasang Ular Dari Timur?" tanya si pemuda secara tiba-tiba. Sambil bertanya, sepasang matanya melihat ke pintu masuk. Pada saat itu, dari luar memang terlihat ada dua orang yang baru saja datang. Yang satu mengenakan pakaian warna merah. Sedangkan satunya lagi mengenakan pakaian warna hitam. Wajah mereka terlihat sangar. Apalagi jubah yang dikenakan keduanya. "Benar, Tuan Muda. Tapi, mengapa mereka berdua ada di sini?" A San membenarkan ucapannya. Namun di satu sisi, dia pun merasa heran karena kehadiran mereka berdua. "Sepertinya sebentar lagi akan terjadi sesuatu," A San mengangguk. Dia langsung diam dan memperhatikan gerak-gerik Sepasang Ular Dari Timur. Dua orang yang dimaksud saat ini sudah ada di dalam warung arak. Mereka tidak mencari tempat duduk. Melainkan justru menghampiri sebuah meja yang diisi oleh satu kelompok. "Apakah kalian berasal dari Jasa Ekspedisi Elang Putih?" tanya salah satu Sepasang Ular Dari Timur. Sekelompok orang yang tadinya sedang bercerita itu, tiba-tiba langsung terdiam. Mereka kemudian memandangi dua orang tersebut secara selidik. "Siapa Tuan berdua ini?" tanya salah seorang. "Jawab saja pertanyaanku barusan. Iya atau tidak?" "Benar. Kami memang orang-orang dari Jasa Ekspedisi Elang Putih. Apakah Tuan mempunyai keperluan?" "Siapa yang memimpin perjalanan kali ini?" bukannya menjawab pertanyaan, orang tersebut justru malah bertanya lagi. "Aku," salah seorang langsung berdiri. Orang itu mempunyai tubuh tinggi kekar dengan kulit sawo matang. Di pinggangnya terselip sebatang golok panjang. "Kau?" "Ya. Perkenalkan, namaku Cui Si. Orang-orang biasa menyebutku si Golok Panjang Cui Si," katanya memperkenalkan diri secara singkat. Bicaranya tegas. Dia pun memasang wajah serius. "Sebenarnya Tuan berdua mempunyai keperluan apa?" "Kami tidak punya keperluan apa-apa. Kami hanya menginginkan barang yang akan kau antar ke Kota Ji Nan," Wajah Cui Si langsung berubah serius setelah mendengar ucapan tersebut. Sepasang matanya memandangi mereka mulai dari atas sampai bawah. "Kenapa kau malah diam? Mau memberikan barang itu atau tidak?" bentaknya dengan keras. "Tunggu dulu, bukankah kalian adalah Sepasang Ular Dari Timur?" tanya Cui Si menegaskan. "Kau si Ular Merah, dan kau si Ular Hitam," "Hahaha ... tidak malu kau menjadi orang persilatan. Ternyata kau pun mengenali kami berdua," si Ular Merah tertawa lantang. Begitu tawanya berhenti, dia kembali bertanya. "Ini kesempatan yang terakhir. Kau mau memberikan barang itu atau tidak?" "Tidak!" jawab si Golok Panjang Cui Si dengan tegas dan mantap. "Baik, kalau memang itu keputusanmu. Aku harap kau tidak menyesal," Selesai berkata, si Ular Merah langsung mengeluarkan sebuah pedang yang dililitkan di pinggangnya. Begitu digerakkan sedikit, pedang yang lentur tersebut tiba-tiba mengeras layaknya pedang pada umumnya.Tanpa banyak tedeng aling-aling, Ular Merah langsung melancarkan sebuah serangan. Serangan yang sederhana. Namun justru sangat mematikan! Pedangnya menebas dari arah kanan ke kiri. Kecepatan serangan itu sukar untuk dilukiskan. Orang-orang yang ada di sana, tidak ada yang mampu menyaksikannya secara jelas.Kecuali hanya mereka yang sudah mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Satu detik kemudian, sebuah kepala tiba-tiba jatuh menggelinding. Tubuh orang tersebut baru ambruk setelah beberapa saat kemudian. "Tuan ..." beberapa orang berseru secara bersamaan. Rupanya kepala yang menggelinding itu milik Cui Si. Dia tewas sebelum sempat mengeluarkan golok andalan yang selama ini telah mengantarkan namanya ke puncak kejayaan.Kini, si Golok Panjang Cui Si hanya tinggal namanya saja. Kalau tidak menyaksikan secara langsung, niscaya siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia tewas tanpa perlawanan sedikit pun. "Apakah masih ada yang ingin enasib dengan dirinya?" si Ular Merah melirik
Kereta kuda terus berjalan. Setiap jalan raya yang telah dilewatinya pasti meninggalkan jejak kereta yang cukup dalam. Kegelapan semakin menyelimuti muka bumi. Walaupun belum larut, tapi keadaan di Kota Yu Nan sudah terlihat sepi. Hal itu dikarenakan saat ini sedang musim salju. Pada saat seperti ini, kebanyakan orang lebih memilih diam di dalam rumah daripada keluyuran di luar. Mereka lebih memilih tidur dibalik selimut atau menikmati arak yang hangat daripada harus keluar rumah. Sepanjang perjalanan itu, sedikitnya Li Bing telah menghabiskan dua cawan arak. Namun dia tidak kelihatan sudah mabuk. Wajahnya tetap berseri, matanya juga tetap bersinar terang. "Kita sudah sampai, Tuan," ucap A San sambil menghentikan kereta kuda. Begitu ucapan tersebut didengar, Li Bing segera turun dari kereta. Begitu kakinya menginjak tanah bersalju, matanya langsung dihadapkan dengan sebuah rumah yang besar. Dulu, rumah ini adalah salah satu rumah termewah di Kota Yu Nan. Semua penduduk kota past
Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat."Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya den
"Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?" Si Tua Jie menggelengkan kepala beberapa kali. Walaupun dia sudah mencoba untuk mengingat, tapi ia tetap tidak dapat mengenalinya. "Wajah anak muda ini memang mirip seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu," Saat itu, Li Bing belum memberitahu siapa dirinya. Walaupun ia mendengar ucapan si Tua Jie, tapi pemuda tersebut tetap menutup mulut. Dia hanya tersenyum penuh arti. "Rupanya sekarang kau sudah benar-benar tua," kata A San sambil menghembus nafas panjang. "Dia adalah Tuan Muda Li, Li Bing. Apakah kau ingat?" Mendengar nama Li Bing disebut, seluruh tubuh si Tua Jie tiba-tiba bergetar. Air mata seketika mengembang di kedua pelupuk matanya. Rasa sedih, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Detik itu juga, dia langsung maju menubruk Li Bing. Si Tua Jie memeluknya dengan sangat erat. "Tuan Muda Li, ah ... akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku tidak menyangka kau masih hidup. Maafkan aku yang sudah tua ini sehingga tidak dapat
Manusia mana yang bisa melawan takdir? Manusia mungkin bisa mengubah nasibnya, tapi dia tidak akan pernah mampu mengubah takdirnya. Bukankah sejatinya memang seperti itu? Selain menerima semuanya dengan lapang dada, memangnya apalagi yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi takdirnya? Li Bing mengangguk perlahan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menguasai emosinya.Setelah melihat Li Bing kembali tenang, Si Tua Jie kembali berkata, "Terkadang yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang selalu ada dan dekat dengan kita,"Ucapan orang tua itu benar lagi. Di dunia ini, yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Entah itu keluarga, sahabat, teman, atau bahkan pasangan sendiri. Di muka bumi ini, kira-kira berapa banyak yang sakit hati karena ucapan orang-orang di sekitarnya? Berapa banyak pula manusia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena kejamnya mulut manusia? "Paman Jie benar. Hari ini, aku telah menerima ilmu pengetahuan ba
Wushh!!! Sebuah titik keperakan melesat secepat kedipan mata. Target sasarannya adalah Li Bing. Kalau orang lain yang dituju, walaupun dia sudah mengetahui serangan tersebut, niscaya ia tidak akan mampu lagi menghindar. Sebab serangan tersebut terlampau cepat. Dengan jarak sedekat itu, sudah tentu tidak ada waktu lagi untuk melakukan perlawanan. Tetapi dalam hal ini, Li Bing adalah pengecualian! Ia menatap datangnya serangan tersebut dengan tajam. Begitu jaraknya sudah dekat, tiba-tiba tubuhnya berputar dengan cepat. Bersamaan dengan itu, Li Bing mengangkat botol arak dan ditaruh di depan sejajar dengan dadanya. Prakk!!! Botol arak langsung pecah berkeping-keping. Araknya sendiri tumpah membasahi lantai. Dibalik pecahan guci dan arak, terlihat ada sebuah jarum perak sepanjang jari telunjuk. Jarum perak yang sangat kecil. Tapi juga sangat tajam! Kejadian itu berlangsung singkat. Walaupun Li Bing terlihat dengan mudah melakukannya, tetapi ia telah membuang tenaganya cukup banyak
Malam gelap telah menyelimuti muka bumi. Hamparan awan hitam menggulung di tengah-tengah langit kota Yu Nan. Gemuruh guntur dan kilat menyambar-nyambar tanpa henti. Semua penghuni kota Yu Nan sudah masuk dan bersembunyi dibalik selimut karena saking takutnya terhadap badai yang melanda kota itu. Jalan raya yang biasanya ramai, kini tampak sepi sekali. Sepi, seakan-akan kota itu sudah tidak berpenghuni lagi. Dalam waktu sekejap mata, Kota Yu Nan yang tidak pernah sepi, kini selama menjadi kota mati. Di tengah-tengah kota Yu Nan, di sana berdiri sebuah gedung yang terbilang megah. Gedung itu luas. memiliki tembok pembatas setinggi satu atau dua tombak.Di depan gerbang gedung ada sebuah gardu. Di gardu itu ada lima orang penjaga yang diperintahkan oleh tuan rumah untuk tetap melakukan ronda malam. Gedung megah itu milik Keluarga Li. Kepala keluarganya bernama Li Hoan. Ia mempunyai seorang istri dan dua orang anak.Istri Li Hoan Bernama Bi Lian. Anaknya yang pertama adalah laki-laki
Setelah berhasil menotok kedua anak itu, A Li segera lari menuju ke halaman belakang di mana terdapat istal kuda. A Li memilih kuda jempolan yang biasa dipakai oleh Li Hoan. Kemudian memilih dua kuda jempolan lainnya. Setelah itu, ia segera menyiapkan kereta kudanya. Begitu semua persiapan selesai, A Li langsung pergi lewat jalur lain. Suara ringkik tiga ekor kuda itu terdengar keras. Li Hoan yang saat itu sudah berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka, dapat mendengar suaranya dengan jelas. Perasaannya menjadi lega. Meskipun dirinya harus tewas malam ini, tapi asalkan dua orang anak itu selamat, maka mati pun tidak menjadi persoalan. Ia rela mati asalkan keturunannya bisa selamat. Ketika Li Hoan menutup kedua mata, mendadak telinganya mendengar suara orang berlari. Dia segera membuka matanya kembali. Dilihatnya Bi Lian sudah berada di sisi sambil menangis tersedu-sedu. Wanita itu lalu mengangkat kepala Lo Hoan. Kini kepalanya berada di atas pangkuan sang istri. "Istriku
Wushh!!! Sebuah titik keperakan melesat secepat kedipan mata. Target sasarannya adalah Li Bing. Kalau orang lain yang dituju, walaupun dia sudah mengetahui serangan tersebut, niscaya ia tidak akan mampu lagi menghindar. Sebab serangan tersebut terlampau cepat. Dengan jarak sedekat itu, sudah tentu tidak ada waktu lagi untuk melakukan perlawanan. Tetapi dalam hal ini, Li Bing adalah pengecualian! Ia menatap datangnya serangan tersebut dengan tajam. Begitu jaraknya sudah dekat, tiba-tiba tubuhnya berputar dengan cepat. Bersamaan dengan itu, Li Bing mengangkat botol arak dan ditaruh di depan sejajar dengan dadanya. Prakk!!! Botol arak langsung pecah berkeping-keping. Araknya sendiri tumpah membasahi lantai. Dibalik pecahan guci dan arak, terlihat ada sebuah jarum perak sepanjang jari telunjuk. Jarum perak yang sangat kecil. Tapi juga sangat tajam! Kejadian itu berlangsung singkat. Walaupun Li Bing terlihat dengan mudah melakukannya, tetapi ia telah membuang tenaganya cukup banyak
Manusia mana yang bisa melawan takdir? Manusia mungkin bisa mengubah nasibnya, tapi dia tidak akan pernah mampu mengubah takdirnya. Bukankah sejatinya memang seperti itu? Selain menerima semuanya dengan lapang dada, memangnya apalagi yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi takdirnya? Li Bing mengangguk perlahan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menguasai emosinya.Setelah melihat Li Bing kembali tenang, Si Tua Jie kembali berkata, "Terkadang yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang selalu ada dan dekat dengan kita,"Ucapan orang tua itu benar lagi. Di dunia ini, yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Entah itu keluarga, sahabat, teman, atau bahkan pasangan sendiri. Di muka bumi ini, kira-kira berapa banyak yang sakit hati karena ucapan orang-orang di sekitarnya? Berapa banyak pula manusia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena kejamnya mulut manusia? "Paman Jie benar. Hari ini, aku telah menerima ilmu pengetahuan ba
"Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?" Si Tua Jie menggelengkan kepala beberapa kali. Walaupun dia sudah mencoba untuk mengingat, tapi ia tetap tidak dapat mengenalinya. "Wajah anak muda ini memang mirip seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu," Saat itu, Li Bing belum memberitahu siapa dirinya. Walaupun ia mendengar ucapan si Tua Jie, tapi pemuda tersebut tetap menutup mulut. Dia hanya tersenyum penuh arti. "Rupanya sekarang kau sudah benar-benar tua," kata A San sambil menghembus nafas panjang. "Dia adalah Tuan Muda Li, Li Bing. Apakah kau ingat?" Mendengar nama Li Bing disebut, seluruh tubuh si Tua Jie tiba-tiba bergetar. Air mata seketika mengembang di kedua pelupuk matanya. Rasa sedih, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Detik itu juga, dia langsung maju menubruk Li Bing. Si Tua Jie memeluknya dengan sangat erat. "Tuan Muda Li, ah ... akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku tidak menyangka kau masih hidup. Maafkan aku yang sudah tua ini sehingga tidak dapat
Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat."Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya den
Kereta kuda terus berjalan. Setiap jalan raya yang telah dilewatinya pasti meninggalkan jejak kereta yang cukup dalam. Kegelapan semakin menyelimuti muka bumi. Walaupun belum larut, tapi keadaan di Kota Yu Nan sudah terlihat sepi. Hal itu dikarenakan saat ini sedang musim salju. Pada saat seperti ini, kebanyakan orang lebih memilih diam di dalam rumah daripada keluyuran di luar. Mereka lebih memilih tidur dibalik selimut atau menikmati arak yang hangat daripada harus keluar rumah. Sepanjang perjalanan itu, sedikitnya Li Bing telah menghabiskan dua cawan arak. Namun dia tidak kelihatan sudah mabuk. Wajahnya tetap berseri, matanya juga tetap bersinar terang. "Kita sudah sampai, Tuan," ucap A San sambil menghentikan kereta kuda. Begitu ucapan tersebut didengar, Li Bing segera turun dari kereta. Begitu kakinya menginjak tanah bersalju, matanya langsung dihadapkan dengan sebuah rumah yang besar. Dulu, rumah ini adalah salah satu rumah termewah di Kota Yu Nan. Semua penduduk kota past
Tanpa banyak tedeng aling-aling, Ular Merah langsung melancarkan sebuah serangan. Serangan yang sederhana. Namun justru sangat mematikan! Pedangnya menebas dari arah kanan ke kiri. Kecepatan serangan itu sukar untuk dilukiskan. Orang-orang yang ada di sana, tidak ada yang mampu menyaksikannya secara jelas.Kecuali hanya mereka yang sudah mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Satu detik kemudian, sebuah kepala tiba-tiba jatuh menggelinding. Tubuh orang tersebut baru ambruk setelah beberapa saat kemudian. "Tuan ..." beberapa orang berseru secara bersamaan. Rupanya kepala yang menggelinding itu milik Cui Si. Dia tewas sebelum sempat mengeluarkan golok andalan yang selama ini telah mengantarkan namanya ke puncak kejayaan.Kini, si Golok Panjang Cui Si hanya tinggal namanya saja. Kalau tidak menyaksikan secara langsung, niscaya siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia tewas tanpa perlawanan sedikit pun. "Apakah masih ada yang ingin enasib dengan dirinya?" si Ular Merah melirik
Waktu berlalu begitu cepat. Lima belas tahun telah lewat kembali. Keadaan di setiap penjuru kota telah banyak berubah. Kotaraja semakin maju. Gunung Thai San juga tampak semakin agung. Lalu bagaimana dengan Kota Yu Nan? Apakah di sana juga telah terjadi banyak perubahan? Apakah semakin maju? Atau malah sebaliknya? Apakah pemandangan alamnya masih indah dan alami? Atau pemandangan itu telah hilang dan digantikan dengan gedung-gedung yang mewah serta megah? Saat itu musim salju telah tiba. Setiap jalanan yang ada dipenuhi oleh salju putih. Sebuah kereta sederhana yang ditarik oleh dua ekor kuda tampak berjalan dengan perlahan. Kereta kuda itu datang dari luar kota dan mungkin berniat untuk memasuki wilayah Kota Yu Nan. Ternyata hal itu tidak salah. Kereta kuda sederhana tersebut benar-benar masuk ke dalam kota. Setelah melewati pemeriksaan, sang kusir kembali menjalankan kudanya. Di dalam kabin kereta, di sana tampak ada seorang pemuda yang sedang duduk sambil menikmati arak. Dia
Setelah berhasil menotok kedua anak itu, A Li segera lari menuju ke halaman belakang di mana terdapat istal kuda. A Li memilih kuda jempolan yang biasa dipakai oleh Li Hoan. Kemudian memilih dua kuda jempolan lainnya. Setelah itu, ia segera menyiapkan kereta kudanya. Begitu semua persiapan selesai, A Li langsung pergi lewat jalur lain. Suara ringkik tiga ekor kuda itu terdengar keras. Li Hoan yang saat itu sudah berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka, dapat mendengar suaranya dengan jelas. Perasaannya menjadi lega. Meskipun dirinya harus tewas malam ini, tapi asalkan dua orang anak itu selamat, maka mati pun tidak menjadi persoalan. Ia rela mati asalkan keturunannya bisa selamat. Ketika Li Hoan menutup kedua mata, mendadak telinganya mendengar suara orang berlari. Dia segera membuka matanya kembali. Dilihatnya Bi Lian sudah berada di sisi sambil menangis tersedu-sedu. Wanita itu lalu mengangkat kepala Lo Hoan. Kini kepalanya berada di atas pangkuan sang istri. "Istriku
Malam gelap telah menyelimuti muka bumi. Hamparan awan hitam menggulung di tengah-tengah langit kota Yu Nan. Gemuruh guntur dan kilat menyambar-nyambar tanpa henti. Semua penghuni kota Yu Nan sudah masuk dan bersembunyi dibalik selimut karena saking takutnya terhadap badai yang melanda kota itu. Jalan raya yang biasanya ramai, kini tampak sepi sekali. Sepi, seakan-akan kota itu sudah tidak berpenghuni lagi. Dalam waktu sekejap mata, Kota Yu Nan yang tidak pernah sepi, kini selama menjadi kota mati. Di tengah-tengah kota Yu Nan, di sana berdiri sebuah gedung yang terbilang megah. Gedung itu luas. memiliki tembok pembatas setinggi satu atau dua tombak.Di depan gerbang gedung ada sebuah gardu. Di gardu itu ada lima orang penjaga yang diperintahkan oleh tuan rumah untuk tetap melakukan ronda malam. Gedung megah itu milik Keluarga Li. Kepala keluarganya bernama Li Hoan. Ia mempunyai seorang istri dan dua orang anak.Istri Li Hoan Bernama Bi Lian. Anaknya yang pertama adalah laki-laki