Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak.
Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat. "Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya dengan jelas. "Tapi siapakah orang itu, Tuan Muda?" "Untuk saat ini aku belum bisa menjawabnya. Apalagi yang menggunakan senjata rahasia berupa jarum, jumlahnya sangat banyak," Dalam dunia persilatan, pendekar yang pandai menggunakan jarum sebagai senjata rahasia memang sangat banyak. Bahkan setiap pendekar hampir bisa melakukannya. Tetapi, tidak setiap pendekar itu mampu menguasai ilmu melemparkan senjata rahasia sampai ke titik tertinggi. Apalagi seperti yang dialami saat ini. "Dalam dunia persilatan dewasa ini, yang mampu melempar senjata rahasia dengan sempurna, jumlahnya mungkin tidak lebih dari sepuluh orang," "Tapi seingatku, Keluarga Li tidak pernah mempunyai masalah dengan orang-orang tersebut," kata A San. "Setelah mendiang Ayahku mengundurkan diri dari dunia persilatan, Keluarga Li pun tidak pernah mencari gara-gara. Tapi toh tetap saja ada orang yang ingin membunuhnya," Pada saat berkata demikian, terlihat ekspresi wajah Li Bing sedikit berubah. Seolah-olah pada setiap patah kata itu mengandung rasa sakit yang tidak bisa digambarkan. "Hati manusia, memangnya siapa yang tahu?" lanjutnya dengan suara yang terdengar sangat jauh. Ungkapan itu sangat sesuai dengan kenyataan. Dalam kehidupan ini, memangnya siapa yang bisa mengetahui isi hati manusia secara sempurna? Walaupun gunung tinggi, meskipun samudera dalam, tapi keduanya masih bisa diukur. Masih bisa diketahui. Sedangkan isi hati manusia? Jangankan bisa tahu, bahkan untuk merabanya pun belum tentu setiap orang sanggup melakukannya. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Tuan Muda?" tanya A San yang kini sudah ikut bangkit berdiri. "Tentu saja kita harus membereskan semua persoalan ini. Kita harus tahu siapa dalang pembunuhan belasan tahun lalu. Kita pun harus tahu siapa yang telah menyerangku tadi," "Tapi, ke mana kita harus mencari informasinya, Tuan Muda?" "Ke orang yang tahu," Jawaban Li Bing tidak salah. Malah itu adalah jawaban yang paling benar. Tetapi, siapa orangnya? A San tidak berbicara lagi. Dia langsung diam dan merenung untuk beberapa saat. "Bagaimana kalau kita temui si Tua Jie saja, Tuan Muda?" Si Tua Jie adalah salah satu orang yang dulu ikut bekerja di Keluarga Li. Bahkan dia sudah bekerja lebih dulu daripada A San sendiri. Selama belasan tahun, si Tua Jie bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih kebun. Meskipun usianya cukup jauh jika dibandingkan dengan A San, tetapi hubungan keduanya bisa dibilang lumayan akrab. Maka dari itulah, A San ingin bertanya kepada orang tua itu. "Apakah Paman Jie masih ada?" tanya Li Bing setelah teringat akan nama tersebut. "Dia masih ada, Tuan Muda. Hanya saja usianya sudah sangat tua. Tahun ini mungkin mencapai tujuh puluh empat," "Kau tahu di mana rumahnya?" "Ya," katanya mengangguk. "Walaupun sudah sangat lama aku tidak berkunjung lagi ke sana, tapi aku masih ingat di mana rumah si Tua Jie," "Bagus. Kita akan ke sana besok pagi," "Kenapa tidak sekarang saja, Tuan Muda?" "Sekarang hari sudah larut malam. Udara pun semakin dingin. Daripada harus pergi jauh, lebih baik kita mencari warung arak yang masih buka sekalian beristirahat," "Baiklah," A San tidak berani membantah lagi. Mereka berdua langsung kembali ke kereta kuda. Terhadap mayat ketiga orang tadi, Li Bing sama sekali tidak memperdulikannya. Waktu tiba di sana, rupanya dua ekor kuda jempolan itu sudah keinginan. Untung saja kuda-kuda itu merupakan hewan terbaik di tempatnya. Kalau tidak, mungkin sudah sejak tadi keduanya tewas karena tidak tahan dengan hawa dingin. Mengetahui akan hal tersebut, A San langsung mengambil tindakan cepat. Dia melarikan kereta kuda cukup kencang. Tidak berapa lama kemudian, mereka berhasil menemukan sebuah rumah makan sekaligus penginapan yang cukup besar. A San langsung menuju ke sana. Dengan cepat dia menuju ke belakang, ke tempat di mana kuda para pengunjung di simpan. "Tolong rawat dan hangatkan kedua kuda ini. Ini uang tip untukmu," ucap A San kepada salah satu penjaga kuda sambil memberikan sedikit uang tip. "Baik, Tuan, Baik. Aku pasti akan merawatnya," kata penjaga kuda itu yang terlihat sangat senang. A San mengangguk perlahan. Setelah itu, dia segera kembali ke depan di mana Li Bing sudah menunggunya. Waktu terus berlalu. Mentari pagi mulai menyingsing di ufuk sebelah timur. Walaupun kehangatannya tidak seperti saat musim panas, tetapi saat musim dingin seperti ini, kehangatan itu sudah lebih daripada cukup. Li Bing dan A San sudah melanjutkan perjalanannya lagi. Kini mereka berada di sebuah jalan kecil yang terletak di pinggiran Kota Yu Nan. "Apakah rumah Paman Jie masih jauh?" tanya Li Bing sambil melihat-lihat pemandangan di luar. "Tidak, Tuan Muda. Sebentar lagi kita akan sampai," A San segera mempercepat lari kuda. Lima belas menit kemudian, mereka sudah tiba di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Rumah itu jaraknya cukup jauh dari rumah-rumah yang lain. "Kita sudah sampai," A San berkata cukup keras. Dia langsung turun dan berjalan menuju ke rumah tersebut. "Orang tua, orang tua Jie. Apakah kau ada di dalam?" tanyanya setengah berteriak. "Siapa di luar?" sebuah suara yang agak serak tiba-tiba terdengar dari dalam rumah. "Sahabat lama di Keluarga Li," "Benarkah?" Tiba-tiba pintu terbuka. Dari balik pintu segera muncul sosok pria tua yang wajahnya sudah dipenuhi oleh keriput. "A San?" tanya orang tua itu setelah dia berada tepat di hadapan A San. "Si Tua Jie?" Mereka berpandangan untuk beberapa saat. Sedetik berikutnya, kedua orang itu langsung berpelukan. Mereka tampak bahagia karena pertemuan tersebut. Li Bing hanya berdiri di belakang A San. Dia pun tersenyum melihat kejadian itu. "Apa kabar? Mengapa kau baru muncul sekarang?" tanya si Tua Jie kemudian. "Kabarku baik. Kau sendiri bagaimana, orang tua?" jawabnya seraya tersenyum. "Belakangan ini aku selalu sibuk. Jadi aku belum punya waktu untuk menengokmu," Si Tua Jie manggut-manggut. Dia cukup mengerti akan hal itu. Tiba-tiba dia menoleh ke belakang, ke arah Li Bing. "Siapa pemuda ini, A San?" tanyanya heran."Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?" Si Tua Jie menggelengkan kepala beberapa kali. Walaupun dia sudah mencoba untuk mengingat, tapi ia tetap tidak dapat mengenalinya. "Wajah anak muda ini memang mirip seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu," Saat itu, Li Bing belum memberitahu siapa dirinya. Walaupun ia mendengar ucapan si Tua Jie, tapi pemuda tersebut tetap menutup mulut. Dia hanya tersenyum penuh arti. "Rupanya sekarang kau sudah benar-benar tua," kata A San sambil menghembus nafas panjang. "Dia adalah Tuan Muda Li, Li Bing. Apakah kau ingat?" Mendengar nama Li Bing disebut, seluruh tubuh si Tua Jie tiba-tiba bergetar. Air mata seketika mengembang di kedua pelupuk matanya. Rasa sedih, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Detik itu juga, dia langsung maju menubruk Li Bing. Si Tua Jie memeluknya dengan sangat erat. "Tuan Muda Li, ah ... akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku tidak menyangka kau masih hidup. Maafkan aku yang sudah tua ini sehingga tidak dapat
Manusia mana yang bisa melawan takdir? Manusia mungkin bisa mengubah nasibnya, tapi dia tidak akan pernah mampu mengubah takdirnya. Bukankah sejatinya memang seperti itu? Selain menerima semuanya dengan lapang dada, memangnya apalagi yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi takdirnya? Li Bing mengangguk perlahan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menguasai emosinya.Setelah melihat Li Bing kembali tenang, Si Tua Jie kembali berkata, "Terkadang yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang selalu ada dan dekat dengan kita,"Ucapan orang tua itu benar lagi. Di dunia ini, yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Entah itu keluarga, sahabat, teman, atau bahkan pasangan sendiri. Di muka bumi ini, kira-kira berapa banyak yang sakit hati karena ucapan orang-orang di sekitarnya? Berapa banyak pula manusia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena kejamnya mulut manusia? "Paman Jie benar. Hari ini, aku telah menerima ilmu pengetahuan ba
Wushh!!! Sebuah titik keperakan melesat secepat kedipan mata. Target sasarannya adalah Li Bing. Kalau orang lain yang dituju, walaupun dia sudah mengetahui serangan tersebut, niscaya ia tidak akan mampu lagi menghindar. Sebab serangan tersebut terlampau cepat. Dengan jarak sedekat itu, sudah tentu tidak ada waktu lagi untuk melakukan perlawanan. Tetapi dalam hal ini, Li Bing adalah pengecualian! Ia menatap datangnya serangan tersebut dengan tajam. Begitu jaraknya sudah dekat, tiba-tiba tubuhnya berputar dengan cepat. Bersamaan dengan itu, Li Bing mengangkat botol arak dan ditaruh di depan sejajar dengan dadanya. Prakk!!! Botol arak langsung pecah berkeping-keping. Araknya sendiri tumpah membasahi lantai. Dibalik pecahan guci dan arak, terlihat ada sebuah jarum perak sepanjang jari telunjuk. Jarum perak yang sangat kecil. Tapi juga sangat tajam! Kejadian itu berlangsung singkat. Walaupun Li Bing terlihat dengan mudah melakukannya, tetapi ia telah membuang tenaganya cukup banyak
Malam gelap telah menyelimuti muka bumi. Hamparan awan hitam menggulung di tengah-tengah langit kota Yu Nan. Gemuruh guntur dan kilat menyambar-nyambar tanpa henti. Semua penghuni kota Yu Nan sudah masuk dan bersembunyi dibalik selimut karena saking takutnya terhadap badai yang melanda kota itu. Jalan raya yang biasanya ramai, kini tampak sepi sekali. Sepi, seakan-akan kota itu sudah tidak berpenghuni lagi. Dalam waktu sekejap mata, Kota Yu Nan yang tidak pernah sepi, kini selama menjadi kota mati. Di tengah-tengah kota Yu Nan, di sana berdiri sebuah gedung yang terbilang megah. Gedung itu luas. memiliki tembok pembatas setinggi satu atau dua tombak.Di depan gerbang gedung ada sebuah gardu. Di gardu itu ada lima orang penjaga yang diperintahkan oleh tuan rumah untuk tetap melakukan ronda malam. Gedung megah itu milik Keluarga Li. Kepala keluarganya bernama Li Hoan. Ia mempunyai seorang istri dan dua orang anak.Istri Li Hoan Bernama Bi Lian. Anaknya yang pertama adalah laki-laki
Setelah berhasil menotok kedua anak itu, A Li segera lari menuju ke halaman belakang di mana terdapat istal kuda. A Li memilih kuda jempolan yang biasa dipakai oleh Li Hoan. Kemudian memilih dua kuda jempolan lainnya. Setelah itu, ia segera menyiapkan kereta kudanya. Begitu semua persiapan selesai, A Li langsung pergi lewat jalur lain. Suara ringkik tiga ekor kuda itu terdengar keras. Li Hoan yang saat itu sudah berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka, dapat mendengar suaranya dengan jelas. Perasaannya menjadi lega. Meskipun dirinya harus tewas malam ini, tapi asalkan dua orang anak itu selamat, maka mati pun tidak menjadi persoalan. Ia rela mati asalkan keturunannya bisa selamat. Ketika Li Hoan menutup kedua mata, mendadak telinganya mendengar suara orang berlari. Dia segera membuka matanya kembali. Dilihatnya Bi Lian sudah berada di sisi sambil menangis tersedu-sedu. Wanita itu lalu mengangkat kepala Lo Hoan. Kini kepalanya berada di atas pangkuan sang istri. "Istriku
Waktu berlalu begitu cepat. Lima belas tahun telah lewat kembali. Keadaan di setiap penjuru kota telah banyak berubah. Kotaraja semakin maju. Gunung Thai San juga tampak semakin agung. Lalu bagaimana dengan Kota Yu Nan? Apakah di sana juga telah terjadi banyak perubahan? Apakah semakin maju? Atau malah sebaliknya? Apakah pemandangan alamnya masih indah dan alami? Atau pemandangan itu telah hilang dan digantikan dengan gedung-gedung yang mewah serta megah? Saat itu musim salju telah tiba. Setiap jalanan yang ada dipenuhi oleh salju putih. Sebuah kereta sederhana yang ditarik oleh dua ekor kuda tampak berjalan dengan perlahan. Kereta kuda itu datang dari luar kota dan mungkin berniat untuk memasuki wilayah Kota Yu Nan. Ternyata hal itu tidak salah. Kereta kuda sederhana tersebut benar-benar masuk ke dalam kota. Setelah melewati pemeriksaan, sang kusir kembali menjalankan kudanya. Di dalam kabin kereta, di sana tampak ada seorang pemuda yang sedang duduk sambil menikmati arak. Dia
Tanpa banyak tedeng aling-aling, Ular Merah langsung melancarkan sebuah serangan. Serangan yang sederhana. Namun justru sangat mematikan! Pedangnya menebas dari arah kanan ke kiri. Kecepatan serangan itu sukar untuk dilukiskan. Orang-orang yang ada di sana, tidak ada yang mampu menyaksikannya secara jelas.Kecuali hanya mereka yang sudah mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Satu detik kemudian, sebuah kepala tiba-tiba jatuh menggelinding. Tubuh orang tersebut baru ambruk setelah beberapa saat kemudian. "Tuan ..." beberapa orang berseru secara bersamaan. Rupanya kepala yang menggelinding itu milik Cui Si. Dia tewas sebelum sempat mengeluarkan golok andalan yang selama ini telah mengantarkan namanya ke puncak kejayaan.Kini, si Golok Panjang Cui Si hanya tinggal namanya saja. Kalau tidak menyaksikan secara langsung, niscaya siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia tewas tanpa perlawanan sedikit pun. "Apakah masih ada yang ingin enasib dengan dirinya?" si Ular Merah melirik
Kereta kuda terus berjalan. Setiap jalan raya yang telah dilewatinya pasti meninggalkan jejak kereta yang cukup dalam. Kegelapan semakin menyelimuti muka bumi. Walaupun belum larut, tapi keadaan di Kota Yu Nan sudah terlihat sepi. Hal itu dikarenakan saat ini sedang musim salju. Pada saat seperti ini, kebanyakan orang lebih memilih diam di dalam rumah daripada keluyuran di luar. Mereka lebih memilih tidur dibalik selimut atau menikmati arak yang hangat daripada harus keluar rumah. Sepanjang perjalanan itu, sedikitnya Li Bing telah menghabiskan dua cawan arak. Namun dia tidak kelihatan sudah mabuk. Wajahnya tetap berseri, matanya juga tetap bersinar terang. "Kita sudah sampai, Tuan," ucap A San sambil menghentikan kereta kuda. Begitu ucapan tersebut didengar, Li Bing segera turun dari kereta. Begitu kakinya menginjak tanah bersalju, matanya langsung dihadapkan dengan sebuah rumah yang besar. Dulu, rumah ini adalah salah satu rumah termewah di Kota Yu Nan. Semua penduduk kota past
Wushh!!! Sebuah titik keperakan melesat secepat kedipan mata. Target sasarannya adalah Li Bing. Kalau orang lain yang dituju, walaupun dia sudah mengetahui serangan tersebut, niscaya ia tidak akan mampu lagi menghindar. Sebab serangan tersebut terlampau cepat. Dengan jarak sedekat itu, sudah tentu tidak ada waktu lagi untuk melakukan perlawanan. Tetapi dalam hal ini, Li Bing adalah pengecualian! Ia menatap datangnya serangan tersebut dengan tajam. Begitu jaraknya sudah dekat, tiba-tiba tubuhnya berputar dengan cepat. Bersamaan dengan itu, Li Bing mengangkat botol arak dan ditaruh di depan sejajar dengan dadanya. Prakk!!! Botol arak langsung pecah berkeping-keping. Araknya sendiri tumpah membasahi lantai. Dibalik pecahan guci dan arak, terlihat ada sebuah jarum perak sepanjang jari telunjuk. Jarum perak yang sangat kecil. Tapi juga sangat tajam! Kejadian itu berlangsung singkat. Walaupun Li Bing terlihat dengan mudah melakukannya, tetapi ia telah membuang tenaganya cukup banyak
Manusia mana yang bisa melawan takdir? Manusia mungkin bisa mengubah nasibnya, tapi dia tidak akan pernah mampu mengubah takdirnya. Bukankah sejatinya memang seperti itu? Selain menerima semuanya dengan lapang dada, memangnya apalagi yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi takdirnya? Li Bing mengangguk perlahan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menguasai emosinya.Setelah melihat Li Bing kembali tenang, Si Tua Jie kembali berkata, "Terkadang yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang selalu ada dan dekat dengan kita,"Ucapan orang tua itu benar lagi. Di dunia ini, yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Entah itu keluarga, sahabat, teman, atau bahkan pasangan sendiri. Di muka bumi ini, kira-kira berapa banyak yang sakit hati karena ucapan orang-orang di sekitarnya? Berapa banyak pula manusia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena kejamnya mulut manusia? "Paman Jie benar. Hari ini, aku telah menerima ilmu pengetahuan ba
"Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?" Si Tua Jie menggelengkan kepala beberapa kali. Walaupun dia sudah mencoba untuk mengingat, tapi ia tetap tidak dapat mengenalinya. "Wajah anak muda ini memang mirip seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu," Saat itu, Li Bing belum memberitahu siapa dirinya. Walaupun ia mendengar ucapan si Tua Jie, tapi pemuda tersebut tetap menutup mulut. Dia hanya tersenyum penuh arti. "Rupanya sekarang kau sudah benar-benar tua," kata A San sambil menghembus nafas panjang. "Dia adalah Tuan Muda Li, Li Bing. Apakah kau ingat?" Mendengar nama Li Bing disebut, seluruh tubuh si Tua Jie tiba-tiba bergetar. Air mata seketika mengembang di kedua pelupuk matanya. Rasa sedih, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Detik itu juga, dia langsung maju menubruk Li Bing. Si Tua Jie memeluknya dengan sangat erat. "Tuan Muda Li, ah ... akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku tidak menyangka kau masih hidup. Maafkan aku yang sudah tua ini sehingga tidak dapat
Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat."Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya den
Kereta kuda terus berjalan. Setiap jalan raya yang telah dilewatinya pasti meninggalkan jejak kereta yang cukup dalam. Kegelapan semakin menyelimuti muka bumi. Walaupun belum larut, tapi keadaan di Kota Yu Nan sudah terlihat sepi. Hal itu dikarenakan saat ini sedang musim salju. Pada saat seperti ini, kebanyakan orang lebih memilih diam di dalam rumah daripada keluyuran di luar. Mereka lebih memilih tidur dibalik selimut atau menikmati arak yang hangat daripada harus keluar rumah. Sepanjang perjalanan itu, sedikitnya Li Bing telah menghabiskan dua cawan arak. Namun dia tidak kelihatan sudah mabuk. Wajahnya tetap berseri, matanya juga tetap bersinar terang. "Kita sudah sampai, Tuan," ucap A San sambil menghentikan kereta kuda. Begitu ucapan tersebut didengar, Li Bing segera turun dari kereta. Begitu kakinya menginjak tanah bersalju, matanya langsung dihadapkan dengan sebuah rumah yang besar. Dulu, rumah ini adalah salah satu rumah termewah di Kota Yu Nan. Semua penduduk kota past
Tanpa banyak tedeng aling-aling, Ular Merah langsung melancarkan sebuah serangan. Serangan yang sederhana. Namun justru sangat mematikan! Pedangnya menebas dari arah kanan ke kiri. Kecepatan serangan itu sukar untuk dilukiskan. Orang-orang yang ada di sana, tidak ada yang mampu menyaksikannya secara jelas.Kecuali hanya mereka yang sudah mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Satu detik kemudian, sebuah kepala tiba-tiba jatuh menggelinding. Tubuh orang tersebut baru ambruk setelah beberapa saat kemudian. "Tuan ..." beberapa orang berseru secara bersamaan. Rupanya kepala yang menggelinding itu milik Cui Si. Dia tewas sebelum sempat mengeluarkan golok andalan yang selama ini telah mengantarkan namanya ke puncak kejayaan.Kini, si Golok Panjang Cui Si hanya tinggal namanya saja. Kalau tidak menyaksikan secara langsung, niscaya siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia tewas tanpa perlawanan sedikit pun. "Apakah masih ada yang ingin enasib dengan dirinya?" si Ular Merah melirik
Waktu berlalu begitu cepat. Lima belas tahun telah lewat kembali. Keadaan di setiap penjuru kota telah banyak berubah. Kotaraja semakin maju. Gunung Thai San juga tampak semakin agung. Lalu bagaimana dengan Kota Yu Nan? Apakah di sana juga telah terjadi banyak perubahan? Apakah semakin maju? Atau malah sebaliknya? Apakah pemandangan alamnya masih indah dan alami? Atau pemandangan itu telah hilang dan digantikan dengan gedung-gedung yang mewah serta megah? Saat itu musim salju telah tiba. Setiap jalanan yang ada dipenuhi oleh salju putih. Sebuah kereta sederhana yang ditarik oleh dua ekor kuda tampak berjalan dengan perlahan. Kereta kuda itu datang dari luar kota dan mungkin berniat untuk memasuki wilayah Kota Yu Nan. Ternyata hal itu tidak salah. Kereta kuda sederhana tersebut benar-benar masuk ke dalam kota. Setelah melewati pemeriksaan, sang kusir kembali menjalankan kudanya. Di dalam kabin kereta, di sana tampak ada seorang pemuda yang sedang duduk sambil menikmati arak. Dia
Setelah berhasil menotok kedua anak itu, A Li segera lari menuju ke halaman belakang di mana terdapat istal kuda. A Li memilih kuda jempolan yang biasa dipakai oleh Li Hoan. Kemudian memilih dua kuda jempolan lainnya. Setelah itu, ia segera menyiapkan kereta kudanya. Begitu semua persiapan selesai, A Li langsung pergi lewat jalur lain. Suara ringkik tiga ekor kuda itu terdengar keras. Li Hoan yang saat itu sudah berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka, dapat mendengar suaranya dengan jelas. Perasaannya menjadi lega. Meskipun dirinya harus tewas malam ini, tapi asalkan dua orang anak itu selamat, maka mati pun tidak menjadi persoalan. Ia rela mati asalkan keturunannya bisa selamat. Ketika Li Hoan menutup kedua mata, mendadak telinganya mendengar suara orang berlari. Dia segera membuka matanya kembali. Dilihatnya Bi Lian sudah berada di sisi sambil menangis tersedu-sedu. Wanita itu lalu mengangkat kepala Lo Hoan. Kini kepalanya berada di atas pangkuan sang istri. "Istriku
Malam gelap telah menyelimuti muka bumi. Hamparan awan hitam menggulung di tengah-tengah langit kota Yu Nan. Gemuruh guntur dan kilat menyambar-nyambar tanpa henti. Semua penghuni kota Yu Nan sudah masuk dan bersembunyi dibalik selimut karena saking takutnya terhadap badai yang melanda kota itu. Jalan raya yang biasanya ramai, kini tampak sepi sekali. Sepi, seakan-akan kota itu sudah tidak berpenghuni lagi. Dalam waktu sekejap mata, Kota Yu Nan yang tidak pernah sepi, kini selama menjadi kota mati. Di tengah-tengah kota Yu Nan, di sana berdiri sebuah gedung yang terbilang megah. Gedung itu luas. memiliki tembok pembatas setinggi satu atau dua tombak.Di depan gerbang gedung ada sebuah gardu. Di gardu itu ada lima orang penjaga yang diperintahkan oleh tuan rumah untuk tetap melakukan ronda malam. Gedung megah itu milik Keluarga Li. Kepala keluarganya bernama Li Hoan. Ia mempunyai seorang istri dan dua orang anak.Istri Li Hoan Bernama Bi Lian. Anaknya yang pertama adalah laki-laki