Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak.
Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat. "Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya dengan jelas. "Tapi siapakah orang itu, Tuan Muda?" "Untuk saat ini aku belum bisa menjawabnya. Apalagi yang menggunakan senjata rahasia berupa jarum, jumlahnya sangat banyak," Dalam dunia persilatan, pendekar yang pandai menggunakan jarum sebagai senjata rahasia memang sangat banyak. Bahkan setiap pendekar hampir bisa melakukannya. Tetapi, tidak setiap pendekar itu mampu menguasai ilmu melemparkan senjata rahasia sampai ke titik tertinggi. Apalagi seperti yang dialami saat ini. "Dalam dunia persilatan dewasa ini, yang mampu melempar senjata rahasia dengan sempurna, jumlahnya mungkin tidak lebih dari sepuluh orang," "Tapi seingatku, Keluarga Li tidak pernah mempunyai masalah dengan orang-orang tersebut," kata A San. "Setelah mendiang Ayahku mengundurkan diri dari dunia persilatan, Keluarga Li pun tidak pernah mencari gara-gara. Tapi toh tetap saja ada orang yang ingin membunuhnya," Pada saat berkata demikian, terlihat ekspresi wajah Li Bing sedikit berubah. Seolah-olah pada setiap patah kata itu mengandung rasa sakit yang tidak bisa digambarkan. "Hati manusia, memangnya siapa yang tahu?" lanjutnya dengan suara yang terdengar sangat jauh. Ungkapan itu sangat sesuai dengan kenyataan. Dalam kehidupan ini, memangnya siapa yang bisa mengetahui isi hati manusia secara sempurna? Walaupun gunung tinggi, meskipun samudera dalam, tapi keduanya masih bisa diukur. Masih bisa diketahui. Sedangkan isi hati manusia? Jangankan bisa tahu, bahkan untuk merabanya pun belum tentu setiap orang sanggup melakukannya. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Tuan Muda?" tanya A San yang kini sudah ikut bangkit berdiri. "Tentu saja kita harus membereskan semua persoalan ini. Kita harus tahu siapa dalang pembunuhan belasan tahun lalu. Kita pun harus tahu siapa yang telah menyerangku tadi," "Tapi, ke mana kita harus mencari informasinya, Tuan Muda?" "Ke orang yang tahu," Jawaban Li Bing tidak salah. Malah itu adalah jawaban yang paling benar. Tetapi, siapa orangnya? A San tidak berbicara lagi. Dia langsung diam dan merenung untuk beberapa saat. "Bagaimana kalau kita temui si Tua Jie saja, Tuan Muda?" Si Tua Jie adalah salah satu orang yang dulu ikut bekerja di Keluarga Li. Bahkan dia sudah bekerja lebih dulu daripada A San sendiri. Selama belasan tahun, si Tua Jie bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih kebun. Meskipun usianya cukup jauh jika dibandingkan dengan A San, tetapi hubungan keduanya bisa dibilang lumayan akrab. Maka dari itulah, A San ingin bertanya kepada orang tua itu. "Apakah Paman Jie masih ada?" tanya Li Bing setelah teringat akan nama tersebut. "Dia masih ada, Tuan Muda. Hanya saja usianya sudah sangat tua. Tahun ini mungkin mencapai tujuh puluh empat," "Kau tahu di mana rumahnya?" "Ya," katanya mengangguk. "Walaupun sudah sangat lama aku tidak berkunjung lagi ke sana, tapi aku masih ingat di mana rumah si Tua Jie," "Bagus. Kita akan ke sana besok pagi," "Kenapa tidak sekarang saja, Tuan Muda?" "Sekarang hari sudah larut malam. Udara pun semakin dingin. Daripada harus pergi jauh, lebih baik kita mencari warung arak yang masih buka sekalian beristirahat," "Baiklah," A San tidak berani membantah lagi. Mereka berdua langsung kembali ke kereta kuda. Terhadap mayat ketiga orang tadi, Li Bing sama sekali tidak memperdulikannya. Waktu tiba di sana, rupanya dua ekor kuda jempolan itu sudah keinginan. Untung saja kuda-kuda itu merupakan hewan terbaik di tempatnya. Kalau tidak, mungkin sudah sejak tadi keduanya tewas karena tidak tahan dengan hawa dingin. Mengetahui akan hal tersebut, A San langsung mengambil tindakan cepat. Dia melarikan kereta kuda cukup kencang. Tidak berapa lama kemudian, mereka berhasil menemukan sebuah rumah makan sekaligus penginapan yang cukup besar. A San langsung menuju ke sana. Dengan cepat dia menuju ke belakang, ke tempat di mana kuda para pengunjung di simpan. "Tolong rawat dan hangatkan kedua kuda ini. Ini uang tip untukmu," ucap A San kepada salah satu penjaga kuda sambil memberikan sedikit uang tip. "Baik, Tuan, Baik. Aku pasti akan merawatnya," kata penjaga kuda itu yang terlihat sangat senang. A San mengangguk perlahan. Setelah itu, dia segera kembali ke depan di mana Li Bing sudah menunggunya. Waktu terus berlalu. Mentari pagi mulai menyingsing di ufuk sebelah timur. Walaupun kehangatannya tidak seperti saat musim panas, tetapi saat musim dingin seperti ini, kehangatan itu sudah lebih daripada cukup. Li Bing dan A San sudah melanjutkan perjalanannya lagi. Kini mereka berada di sebuah jalan kecil yang terletak di pinggiran Kota Yu Nan. "Apakah rumah Paman Jie masih jauh?" tanya Li Bing sambil melihat-lihat pemandangan di luar. "Tidak, Tuan Muda. Sebentar lagi kita akan sampai," A San segera mempercepat lari kuda. Lima belas menit kemudian, mereka sudah tiba di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Rumah itu jaraknya cukup jauh dari rumah-rumah yang lain. "Kita sudah sampai," A San berkata cukup keras. Dia langsung turun dan berjalan menuju ke rumah tersebut. "Orang tua, orang tua Jie. Apakah kau ada di dalam?" tanyanya setengah berteriak. "Siapa di luar?" sebuah suara yang agak serak tiba-tiba terdengar dari dalam rumah. "Sahabat lama di Keluarga Li," "Benarkah?" Tiba-tiba pintu terbuka. Dari balik pintu segera muncul sosok pria tua yang wajahnya sudah dipenuhi oleh keriput. "A San?" tanya orang tua itu setelah dia berada tepat di hadapan A San. "Si Tua Jie?" Mereka berpandangan untuk beberapa saat. Sedetik berikutnya, kedua orang itu langsung berpelukan. Mereka tampak bahagia karena pertemuan tersebut. Li Bing hanya berdiri di belakang A San. Dia pun tersenyum melihat kejadian itu. "Apa kabar? Mengapa kau baru muncul sekarang?" tanya si Tua Jie kemudian. "Kabarku baik. Kau sendiri bagaimana, orang tua?" jawabnya seraya tersenyum. "Belakangan ini aku selalu sibuk. Jadi aku belum punya waktu untuk menengokmu," Si Tua Jie manggut-manggut. Dia cukup mengerti akan hal itu. Tiba-tiba dia menoleh ke belakang, ke arah Li Bing. "Siapa pemuda ini, A San?" tanyanya heran."Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?" Si Tua Jie menggelengkan kepala beberapa kali. Walaupun dia sudah mencoba untuk mengingat, tapi ia tetap tidak dapat mengenalinya. "Wajah anak muda ini memang mirip seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu," Saat itu, Li Bing belum memberitahu siapa dirinya. Walaupun ia mendengar ucapan si Tua Jie, tapi pemuda tersebut tetap menutup mulut. Dia hanya tersenyum penuh arti. "Rupanya sekarang kau sudah benar-benar tua," kata A San sambil menghembus nafas panjang. "Dia adalah Tuan Muda Li, Li Bing. Apakah kau ingat?" Mendengar nama Li Bing disebut, seluruh tubuh si Tua Jie tiba-tiba bergetar. Air mata seketika mengembang di kedua pelupuk matanya. Rasa sedih, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. Detik itu juga, dia langsung maju menubruk Li Bing. Si Tua Jie memeluknya dengan sangat erat. "Tuan Muda Li, ah ... akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku tidak menyangka kau masih hidup. Maafkan aku yang sudah tua ini sehingga tidak dapat
Manusia mana yang bisa melawan takdir? Manusia mungkin bisa mengubah nasibnya, tapi dia tidak akan pernah mampu mengubah takdirnya. Bukankah sejatinya memang seperti itu? Selain menerima semuanya dengan lapang dada, memangnya apalagi yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi takdirnya? Li Bing mengangguk perlahan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menguasai emosinya.Setelah melihat Li Bing kembali tenang, Si Tua Jie kembali berkata, "Terkadang yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang selalu ada dan dekat dengan kita,"Ucapan orang tua itu benar lagi. Di dunia ini, yang paling sering menyakiti adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Entah itu keluarga, sahabat, teman, atau bahkan pasangan sendiri. Di muka bumi ini, kira-kira berapa banyak yang sakit hati karena ucapan orang-orang di sekitarnya? Berapa banyak pula manusia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena kejamnya mulut manusia? "Paman Jie benar. Hari ini, aku telah menerima ilmu pengetahuan ba
Wushh!!! Sebuah titik keperakan melesat secepat kedipan mata. Target sasarannya adalah Li Bing. Kalau orang lain yang dituju, walaupun dia sudah mengetahui serangan tersebut, niscaya ia tidak akan mampu lagi menghindar. Sebab serangan tersebut terlampau cepat. Dengan jarak sedekat itu, sudah tentu tidak ada waktu lagi untuk melakukan perlawanan. Tetapi dalam hal ini, Li Bing adalah pengecualian! Ia menatap datangnya serangan tersebut dengan tajam. Begitu jaraknya sudah dekat, tiba-tiba tubuhnya berputar dengan cepat. Bersamaan dengan itu, Li Bing mengangkat botol arak dan ditaruh di depan sejajar dengan dadanya. Prakk!!! Botol arak langsung pecah berkeping-keping. Araknya sendiri tumpah membasahi lantai. Dibalik pecahan guci dan arak, terlihat ada sebuah jarum perak sepanjang jari telunjuk. Jarum perak yang sangat kecil. Tapi juga sangat tajam! Kejadian itu berlangsung singkat. Walaupun Li Bing terlihat dengan mudah melakukannya, tetapi ia telah membuang tenaganya cukup banyak
"Aku tidak kenal siapa kalian berdua," ia tiba-tiba bicara. Suaranya terdengar begitu dingin dan kesepian. Lebih dingin dari salju, lebih sepi dari malam tanpa rembulan. "Kau ..." "Biar aku yang bicara dengannya, A San," kata Li Bing segera mencegah A San supaya tidak bicara lebih jauh. Tiba-tiba Li Bing turun dari kereta kuda. Dia kemudian berjalan menghampiri anak muda yang aneh namun unik tersebut."Mari kita makan, aku tahu kau sedang lapar. kebetulan aku juga belum makan," katanya sambil menepuk pundak. "Aku tidak punya uang," "Itu urusan mudah. Kau tinggal makan saja sepuasnya. Masalah bayaran, serahkan kepadaku," "Aku tidak ingin menerima budi kebaikan seseorang tanpa aku bisa membalasnya. Hal ini sama saja dengan hutang," "Kita bicarakan hal ini nanti. Sekarang, ayo kita masuk," Li Bing menarik tangan pemuda tersebut. Saat itu, dia sudah mengerahkan seluruh tenaga supaya Li Bing tidak bisa menariknya. Siapa sangka, usaha itu sia-sia. Li Bing tetap mampu menariknya, bah
Tidak lama setelah dia berkata, tiba-tiba dari sisi kanan ada lima orang yang melompat secara bersamaan. Gerakan mereka cukup cepat. Bahkan ketika menginjak salju pun, bekas kaki yang ditinggalkannya tidak terlalu dalam. Hal tersebut menandakan bahwa orang-orang itu merupakan pendekar kelas atas. Li Bing dan A San memandangi mereka berlima. Penampilan orang-orang tersebut cukup aneh sekaligus unik. Masing-masing menggunakan pakaian yang berbeda. Ukuran bajunya pun lebih besar daripada tubuhnya. Wajahnya di penuhi oleh bedak yang tidak merata. Sekilas pandang mereka terlihat seperti anak kecil dengan usia tua. "Rupanya Lima Bocah Tua," kata Li Bing. "Apa kabar Tuan Muda Li? Senang bisa bertemu denganmu," kata salah satu dari mereka menyapa Li Bing. "Kabarku baik, tapi nasibku sial," ia menjawab sambil berkelakar. "Aku pun senang bisa bertemu dengan Lima Bocah Tua. Apalagi kalian datang dengan formasi yang lengkap,"Keduanya bicara seperti sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. N
"Tuan Muda Li," kata orang berbaju hijau sambil melangkah ke depan. "Namaku Ji Ko, dan ini adalah rekanku, Su Te," begitu disebut namanya, orang yang bernama Su Te pun langsung maju selangkah. "Karena kau tidak mau menyerahkan barang itu secara sukarela, maka terpaksa kita harus bertarung. Walaupun aku tidak mungkin bisa mengalahkanmu, tapi aku harus tetap melakukannya. Sebab ini adalah tanggungjawabku," kata Ji Ko sungguh-sungguh. Begitu sampai pada kalimat terakhir, ia menaikan suaranya. Mungkin saat itu, Ji Ko sedang menyindir tiga orang di belakangnya. "Bagus, aku sangat menghormati pria yang mau bertanggungjawab," ucap Li Bing. Pria sejati adalah dia yang mau bertanggungjawab. Baik itu karena tugas, maupun karena kewajibannya. "Silahkan dimulai," katanya kepada Ji Ko dan Su Te.Kedua orang yang dimaksud menganggukkan kepala. Satu tarikan nafas kemudian, mereka langsung menerjang ke arah Li Bing. Pertarungan sudah dimulai! Mereka yang tidak ikut dalam pertarungan ini langsu
Walaupun di dunia persilatan banyak pendekar yang ahli dalam hal penyamaran, tapi menurut Li Bing, orang tua itu tidak sedang menyamar. Dia memang sudah tua dan tidak mengerti apa-apa tentang ilmu silat. 'Apakah aku telah salah lihat?' Li Bing sedikit ragu. Tadi, jelas-jelas dia melihat bahwa orang yang sedang dikejar masuk ke dalam warung makan ini. Ia tidak mungkin salah lihat. Mata Li Bing sangat tajam, ia sudah melatih penglihatannya selama belasan tahun sehingga bisa berada di titik tersebut. Di dunia persilatan, jarang ada orang yang mampu lari dari penglihatannya.Tapi, kenapa kejadian kali ini tidak seperti biasanya?Li Bing tidak mau banyak pikiran lagi. Dia langsung menyantap bakmi yang sudah ada di hadapannya. Masalah orang tadi, biarlah diurus nanti saja. Kalau makanan sudah tersedia di depan mata, maka jangan terlalu lama mengabaikannya. Hal itu adalah salah satu ajaran yang diberikan oleh gurunya. Menurut beliau, itu merupakan salah satu bentuk rasa syukur kita kepad
Tangan kanan Li Bing didorong ke depan dengan posisi terbuka. Segulung tenaga dalam yang amat besar namun tak terlihat oleh mata telanjang langsung menerjang ke arah orang bercadar hitam tersebut. Serangan itu mengarah tepat ke arah dada. Ke titik yang paling rawan! Orang bercadar hitam sangat terkejut. Dia tidak pernah menyangka bahwa Li Bing ternyata masih mempunyai tenaga yang begitu dahsyat. Dalam waktu yang bersamaan, dengan gerakan cepat, dia sudah melayang mundur ke belakang. Semua benda-benda di sekitarnya ikut terlempar ke segala arah. Sayangnya usaha orang itu sedikit terlambat. Dia masih kalah cepat dengan serangan Li Bing. Meskipun benar dirinya berhasil melayang mundur, namun tetap saja serangan barusan telah mengenai dadanya dengan telak. Begitu kakinya mendarat di lantai, darah segar langsung keluar dari mulutnya. Darah segar itu merembes membasahi cadar yang ia kenakan. "Bagaimana ..., bagaimana kau masih mempunyai tenaga sebesar ini?" tanyanya dengan susah payah
"Benarkah? Apa kau begitu yakin akan ucapanmu?" tanya Li Bing masih terlihat santai. "Aku sangat-sangat yakin. Sebab seluruh area Kuil Seribu Budha, saat ini sudah dikepung oleh pasukanku," kayanya dengan nada dingin.Li Bing tergetar. Diam-diam dia merasa kaget. Rupanya biksu sesat itu benar-benar telah merencanakan semua ini dengan sangat sempurna. Bahkan dia sudah mengantisipasi apabila rencana gagal. Hebat. Harus Li Bing akui bahwa orang tua itu mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. Namun meskipun demikian, Li Bing tidak memperlihatkan keterkejutannya. Dia masih terlihat tenang dan santai. "Tidak aku sangka, ternyata kau juga memiliki pasukan yang bisa diandalkan," katanya seraya tersenyum. "Itu karena aku tidaklah sesederhana yang kau lihat, bocah keparat!" "Oh, benarkah? Sayangnya, aku tidak peduli akan hal itu," Kemarahan Biksu Bertangan Delapan semakin bergejolak. Semakin dia bicara lebih lama dengan pemuda itu, semakin panas juga hatinya. "Kubunuh kau!" Wushh!!! B
Menghadapi serangan yang bertenaga keras, Li Bing tidak mau bertindak gegabah. Buru-buru ia mundur ke belakang sambil menahan pukulan beruntun yang dilancarkan oleh si Elang Hitam.Plakk!!! Benturan telapak tangan terjadi! Elang Hitam merasa tangannya tergetar. Hawa panas segera menjalar ke seluruh bagian lengannya.'Tenaga sakti yang dia miliki sangat tinggi. Padahal aku sudah mengeluarkan Pukulan Bayangan, tapi ternyata ia masih mampu membalikkan tenaga yang aku berikan,' batinnya sambil menatap Li Bing dengan tajam. Sementara di pihak lain, Li Bing juga merasa telapak tangannya sedikit tergetar. Tapi ia memang sengaja tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Li Bing ingin tahu setinggi apa tenaga musuhnya itu. Setelah terjadinya benturan barusan, Li Bing jadi tahu bahwa kemampuan si Elang Hitam setidaknya masih berada tiga tingkat di bawahnya. 'Kalau aku bertarung langsung melawan Sepasang Elang Hitam Putih dengan kekuatan penuh, mungkin aku bisa membereskannya dalam waktu ti
"Baik, baik. Aku akan menuruti apa yang kau katakan, Biksu To," ujar Li Bing setelah dia terdiam untuk beberapa saat. "Tetapi ada syaratnya," "Syarat apa?" tanya Biksu To dengan cepat. Sekilas wajahnya menggambarkan kegembiraan ketika Li Bing mengatakan akan menuruti ucapannya. Namun ekspresi kegirangan tersebut sirna dalam sekejap pada saat pemuda itu mengajukan sebuah syarat. "Asal kalian bisa bertahan selama lima puluh jurus dari semua seranganku, maka aku akan mengatakan bahwa akulah yang membunuh Biksu Agung Berhati Suci!" katanya dengan suara tegas. Setiap patah kata yang ia ucapkan seolah-olah mengandung daya kekuatan yang mampu menggetarkan hati orang lain. Puluhan orang itu terdiam. Tidak ada satu pun yang berani bicara. Mereka hanya bisa saling pandang satu sama lain. Li Bing juga belum mengambil tindakan apapun. Ia sedang menatap mereka secara bergantian. Tatapan matanya sangat tajam. Setajam pedang pusaka! Ekspresi wajahnya juga berubah menjadi dingin.
Sampai dua puluh lima jurus kemudian, semua usaha yang dilakukan oleh Biksu Bertangan Delapan tidak pernah membuahkan hasil sedikit pun. Setiap jurus dan serangan yang dia lancarkan, selalu bisa dihindari oleh Li Bing. Pemuda itu benar-benar seperti hantu. Ia sangat sulit untuk disentuh. Gerakannya juga cepat bagai kilat. Kenyataan ini semakin membuat Biksu To penasaran. Bagaimana mungkin seorang pendekar muda seperti Li Bing mampu menghindari semua jurusnya? Padahal setiap jurus yang dia keluarkan bukan jurus kelas rendah. Semua itu adalah jurus kelas atas yang bahkan tidak bisa dipandang sebelah mata oleh pendekar kelas satu sekali pun. Tetapi nyatanya, di hadapan pemuda yang berjuluk Pendekar Tangan Dewa itu, semua jurus yang selama ini dia banggakan seolah-olah sudah hilang keampuhan-nya. "Li Bing!" seru Biksu To yang sudah mengganti panggilannya. "Kenapa kau tidak membalas seranganku?" tanyanya geram. ."Aku tidak ingin mencari permusuhan denganmu, Biksu To. Oleh karena itu
"Dari percakapan itu. Mereka yang terlibat bukan hanya membicarakan tentang bagaimana cara menjebakmu. Mereka juga membicarakan bagaimana cara membunuhku," "Apa yang mereka lakukan?" "Mereka telah menyerangku dengan pukulan beracun. Menurut firasatku, aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari. Dan sekarang adalah hari yang terakhir," Semakin lama Li Bing bercakap-cakap dengan Biksu Agung Berhati Suci, maka semakin terkejut dan marah juga dirinya. Licik! Kejam! Tidak manusiawi! Rasanya hanya tiga kata itu saja yang cocok untuk menggambarkan orang-orang yang menjadi dalang dibalik sandiwara ini! "Biksu Agung, bolehkah aku tahu, kenapa kau bisa terluka?" tanya Li Bing lebih lanjut. Sekarang dia sudah tidak punya pilihan lain lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Maka dari itu, Li Bing hanya ingin tahu lebih banyak tentang sandiwara yang sedang berlangsung saat ini. "Seseorang telah menyimpan racun yang tidak berbau dan tidak berwana dalam makananku. Tidak berhenti sampai di situ, bahk
Biksu To segera tersenyum sambil mengangguk. Ia kemudian berdiri dan mengajak Li Bing menemui Biksu Agung Berhati Suci.Pemuda itu pun segera mengikuti di belakangnya. Keduanya lalu berjalan ke tempat di mana Biksu Agung Berhati Suci selama ini mengasingkan diri. Rupanya, orang tua itu tinggal di sebuah pondok sederhana, tepat di belakang Kuil Seribu Budha. Keadaan di sana sepi sunyi. Tidak ada seorang murid pun yang melakukan penjagaan. "Selama ini guru beristirahat di sana, Tuan Muda Li," kata Biksu To menjelaskan. "Guru menginginkan suasana yang tenang dan sunyi. Sehingga aku tidak memperbolehkan seorang murid pun yang mendekat ke area ini," "Jadi, ini adalah tempat terlarang?" "Ya, bisa dibilang begitu," Li Bing memperhatikan suasana di sekitarnya. Di sana memang tidak ada bangunan lain lagi, kecuali hanya pondok itu saja. Di kanan kirinya diliputi oleh pepohonan yang berjajar. "Tuan Muda Li, silahkan," katanya memberi isyarat supaya Li Bing segera pergi ke sana. Li Bing m
Setelah beberapa waktu kemudian, akhirnya Li Bing berhasil membebaskan diri dari kepungan barisan tersebut. Pemuda itu kemudian melesat ke arah pintu utama Kuil Seribu Budha. Begitu kakinya tiba di lantai, pintu mendadak terbuka. Seorang biksu yang usianya sudah enam puluhan tahun menyambut kedatangan Li Bing. Biksu itu mempunyai janggut yang panjangnya sampai menyentuh dada. Tangan kanannya berada di depan dada dengan gaya menyembah. Tangan kirinya memegang tasbih berukuran seibu jari. Sinar mata biksu tua itu terlihat tenang. Tapi sekaligus juga tajam. Pertanda bahwa dia mempunyai tenaga dalam yang sangat tinggi. "Maaf, apakah aku sedang berhadapan dengan Biksu Bertangan Delapan, Ketua Kuil Seribu Budha?" tanya Li Bing dengan hormat. "Amithaba ...," biksu tersebut terdengar memuji Sang Budha. "Benar, Tuan Muda. Kalau boleh tahu, siapa Tuan Muda ini?" "Ah, syukurlah. Perkenalkan, namaku Li Bing ...," "Tuan Muda Li dari Kota Yu Nan?" "Benar, Biksu," "Tuan Muda Li yang berju
Li Bing tidak berhenti. Dia meneruskan perjalannya. Pemuda itu mulai menaiki bukit yang nantinya akan mengantarkan ia ke Kuil Seribu Budha. Kuil itu memang berdiri di puncak bukit yang berdekatan dengan Gunung Song. Sehingga dari kejauhan pun orang bisa melihat Kuil yang berdiri dengan megah dan kokoh tersebut. Pihak Kuil Seribu Budha sudah membuatkan jalan khusus untuk mereka yang ingin beribadah ataupun berkunjung ke kuilnya. Hal ini tentu mempermudah para wisatawan sehingga perjalanan mereka bisa lebih cepat daripada yang seharusnya. Li Bing berhasil tiba di pintu masuk kuil ketika matahari tenggelam dibalik bukit. Selama perjalanannya itu, tidak ada halangan yang berarti. Tetapi bukan tidak ada gangguan juga. Li Bing tahu bahwa sejak awal dirinya sudah diintai dari beberapa penjuru. Maklum, bukit itu mempunyai banyak pohon-pohon yang tinggi dan rimbun, sehingga untuk melakukan pengintaian bukanlah suatu pekerjaan yang sulit. Beberapa kali pemuda itu memergoki ada seseorang ya
"Musnahkan semua Keluarga Li!" Sepucuk surat itu hanya berisi tiga kata saja. Tiga kata perintah! Tiga kata yang mewajibkan untuk menghabisi semua Keluarga Li! Walaupun dalam surat itu tidak menjelaskan Keluarga Li yang mana, namun Li Bing tahu, Keluarga Li yang mempunyai nama besar dalam dunia persilatan, hanya Keluarga Li miliknya saja. Itu artinya, selama dalang dibalik layar ini belum ditemukan atau dibunuh, maka selama itu pula hidupnya tidak akan pernah tenang. Tetapi kalau benar dalang dibalik layar ini adalah orang-orang yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan mendiang ayahnya, apakah dia juga harus tetap membunuhnya? Li Bing tidak tahu. Setiap kali pertanyaan semacam itu muncul dalam benaknya, dia selalu tidak mempunyai jawaban yang pasti. Dia hanya berharap, semoga saja apa yang di khawatirkan-nya selama ini tidak pernah terjadi. Pemuda itu kemudian membuka topeng penyerangnya tadi. Ketika seraut wajah yang asli terlihat, ketika itu pula Li Bing terkejut setengah