Share

Bab 003 - Mengeluarkan Jurus Andalan

Tak ada pilihan lain, ia harus segera mengeluarkan jurus ‘Tongkat Angin Puting Beliung’ yang merupakan jurus andalannya itu sebelum Bara Jagal beserta sekutunya berhasil masuk ke padepokan, lalu merebut kitab ilmu silat yang sekarang sudah ada di tangannya.

Lihat juga bagaimana Saka Dirga tengah berjuang begitu hebat menghadang musuhnya di luar padepokan. Tak lama lagi murid-muridnya juga pasti akan mati terbunuh. Tampak tubuh mereka sudah mandi peluh, sebuah pertanda bahwa mereka betul-betul memeras tenaga dalamnya untuk bertarung.

Bahkan Saka Dirga terpaksa harus mengeluarkan dua pedang trisula yang menjadi senjata andalannya untuk memukul mundur para prajurit dari tiga aliansi perguruan yang makin beringas itu. Belum lagi Bara Jagal, Ronggowelang dan Amukraga Kencana yang sudah pasti akan segera menyerangnya habis-habisan.

“Semoga saja Arya berhasil mengamankan kitab ilmu silat itu!” gumamnya harap-harap cemas.

Maka Arya Wisesa mulai memejamkan matanya. Ia hendak memusatkan pikirannya ke satu titik untuk mengakses sebuah energi tenaga dalam yang besar. Harus benar-benar fokus. Ia mengatur keluar masuk nafasnya. Sebuah hawa murni yang disebut energi tenaga dalam itu mulai terkumpul berputar-putar di sekitar telapak tangannya. Hangat.

Lantas ia membuka mata dan menyalurkan energi tenaga dalam itu ke tongkatnya, dan mulai memutar-mutar tongkat itu searah jarum jam. Dari yang mulanya lambat, terus berputar semakin cepat, laksana baling-baling helikopter yang siap lepas landas. Menghasilkan energi angin yang begitu besar! Sehingga barang-barang dan pajangan-pajangan yang ada di sekitar ruangan itu pun langsung beterbangan. Saking cepat sekali putarannya.

“Kurang ajar! Ilmu apa yang akan dia keluarkan?” gerutu salahsatu murid Bara Jagal sedikit panik.

“Sebaiknya kita waspada!” sahut temannya. Yang satu lagi hanya mengangguk sambil memasang kuda-kuda siap siaga.

Ketika energi angin yang dihasilkan itu sudah sedemikian kuat, langsung saja Arya Wisesa mengayunkan tongkatnya ke arah tiga murid Bara Jagal tadi.

‘Wussshhhh…!’

Gelombang angin dahsyat terdengar begitu kencang.

Sontak saja ketiganya langsung terpental sejauh sepuluh tombak, hingga melewati ambang pintu. Tubuh mereka tampak begitu ringan tersapu angin. Seolah ada tangan raksasa tak kasat mata yang menampar mereka sedemikian kencang.

Mereka terguling-guling tak beraturan dan saling terpencar ke segala arah, lalu kompak memegangi bagian bawah perut mereka sambil mengerang-ngerang kesakitan.

“Uhuk… Uhukkk….”

Gumpalan darah segar keluar dari mulut mereka. Dan sekarang tubuh mereka sudah benar-benar lemas. Mustahil mereka bisa kembali menyerang Arya Wisesa. Karena jika nekat melakukannya, sudah pasti mereka akan tamat. Beruntung, itu hanya membikin mereka kritis saja dan tidak sampai nyawa ketiganya melayang.

Sekarang mereka sudah berhasil dilumpuhkan. Tak ada lagi yang menghalangi Arya Wisesa di ambang pintu. Ia pun bulat mengambil keputusan. Dengan berat hati ia tak lagi keluar padepokan untuk membantu yang lainnya bertarung. Bagaimanapun ia harus memilih, meski ada yang harus dikorbankan. Maka cepat-cepat ia berlari menuju pintu rahasia yang ada di belakang padepokan, sebagai jalan untuk melarikan diri sekaligus untuk menyelamatkan kitab ilmu silat itu.

“Maafkan aku, Guru. Ini pilihan yang sulit. Aku berjanji akan menjaga kitab ilmu silat ini sebaik mungkin!” gumamnya dalam hati.

Bersamaan dengan itu, kekalahan di pihak Saka Dirga sudah tak dapat terelakkan lagi. Stamina dari Saka Dirga kian melemah dan ia terus mempertahankan padepokannya hanya bersama lima orang muridnya yang tersisa.

Onggokan mayat yang masih mengeluarkan darah segar tampak bergeletakan di mana-mana. Membuat pemandangan yang amat mengerikan. Dengan cepat, lembah padepokan itu menjadi kuburan masal bagi dua pihak yang terbunuh.

Sementara para prajurit dari tiga aliansi perguruan itu makin beringas seperti harimau yang kelaparan. Mereka terus menyerang dengan pedang-pedang mereka hendak merangsek masuk ke padepokan. Maka meledaklah amarah dalam diri Saka Dirga. Ia segera memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam dan memusatkan tenaga dalamnya untuk dialirkan ke dua pedang trisula yang ia genggam sambil mementangkan kedua kakinya lebar-lebar.

Seberkas cahaya putih menyala terang langsung membungkus kedua bilah pedangnya itu. Kedua tangan Saka Dirga bergetar hebat. Kedua pedang itu menghasilkan energi yang demikian dahsyat!

Langsung saja Saka Dirga mengayunkan kedua pedangnya itu ke arah lawan dalam jarak sepuluh tombak.

Maka hanya dalam sekali ayunan saja cahaya putih dari kedua pedangnya itu melesat cepat bergulung-gulung, membentuk gumpalan angin laksana bola raksasa yang melayang di udara. Menerjang ke arah lawan sampai mereka terpental sedemikian jauhnya.

Alhasil sebanyak dua puluh prajurit dari pihak Bara Jagal dan sekutunya pun tewas dengan seketika. Mereka semua muntah darah, mati dalam keadaan yang mengenaskan. Bahkan pohon-pohon besar yang tinggi menjulang di belakang mereka sampai rubuh ke tanah, tercerabut dari akarnya saking begitu besar energi yang dihasilkan dari kedua pedang itu.

Ronggowelang dan Amukraga Kencana langsung terkesiap ketika mendapat serangan yang begitu rupa. Namun karena mereka sudah terlatih, sebelum energi bola angin itu menerjang ke arah mereka, cepat-cepat keduanya melompat dengan ilmu meringangkan tubuh mereka ke samping, sehingga berhasil lolos dari serangan maut yang amat dahsyat itu.

Melihat keadaan itu, Bara Jagal pun langsung menggerendeng, “Hmmm, sepertinya ini waktunya aku harus segera turun tangan!”

Baru saja ia berjalan beberapa langkah hendak bergabung bersama dua sekutunya itu, tampak tiga orang muridnya lari tergopoh-gopoh menghampirinya sambil membungkuk memegangi bagian perutnya tampak kesakitan. Salahsatu dari mereka pun melapor panik, “Gu– guru, gawat, Guru!”

“Apanya yang gawat, hah?!”

“Satu murid Saka Dirga berhasil lolos dan membawa kitab ilmu silat itu.”

Mendengar hal itu, meledaklah amarah Bara Jagal.

“Bodoh! Diberi tugas begitu saja kalian tak becus!” bentaknya sangat kasar. “Arghhh…! Dasar murid-murid yang tidak berguna!”

‘Plakk…! Plakk…! Plakk…!’

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mereka masing-masing. Bara Jagal mengamuk begitu rupa. Dipanggilah sepuluh muridnya yang tersisa.

“Cepat! Kalian semua berpencar dan sisir setiap area padepokan ini sebelum murid Saka Dirga itu kabur semakin jauh!” perintahnya tegas. “Kalian baru boleh ke sini lagi, kalau cecunguk itu sudah ditemukan! Dan jangan sampai kalian kembali dengan tangan kosong!”

“Si– siap, Guru.” Salahsatu muridnya menyahut sangat gugup.

Mereka pun langsung berpencar mengepung padepokan. Beberapa yang lainnya menyisir hutan. Suasananya begitu gelap. Pohon-pohon dan semak-semak yang tumbuh begitu tinggi dan rapat. Cahaya bulan yang bersinar tak mampu secara jelas menerangi keadaan sekitar dan mereka hanya mengandalkan cahaya dari obor yang mereka bawa sebagai penerangan.

Dengan begitu Arya Wisesa bisa leluasa bersembunyi tanpa khawatir ketahuan atau tertangkap oleh sepuluh murid Bara Jagal yang mencarinya itu.

Mengetahui hal itu, Saka Dirga pun langsung menyunggingkan senyum. Meski tak lama lagia ia akan segera menghadapi pertempuran terakhir yang sengit. Jiwa ksatria telah membentuknya menjadi pribadi yang berani mati demi mempertahankan kitab ilmu silat itu sesuai dengan amanat gurunya.

“Bagus Arya, kau berhasil menjalankan tugasku. Tak masalah, andaipun aku harus mati malam ini. Asalkan kitab ilmu silat itu tetap berada di tanganmu. Maka aku akan mati dengan tenang,” batin Saka Dirga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status