Tak ada pilihan lain, ia harus segera mengeluarkan jurus ‘Tongkat Angin Puting Beliung’ yang merupakan jurus andalannya itu sebelum Bara Jagal beserta sekutunya berhasil masuk ke padepokan, lalu merebut kitab ilmu silat yang sekarang sudah ada di tangannya.
Lihat juga bagaimana Saka Dirga tengah berjuang begitu hebat menghadang musuhnya di luar padepokan. Tak lama lagi murid-muridnya juga pasti akan mati terbunuh. Tampak tubuh mereka sudah mandi peluh, sebuah pertanda bahwa mereka betul-betul memeras tenaga dalamnya untuk bertarung.
Bahkan Saka Dirga terpaksa harus mengeluarkan dua pedang trisula yang menjadi senjata andalannya untuk memukul mundur para prajurit dari tiga aliansi perguruan yang makin beringas itu. Belum lagi Bara Jagal, Ronggowelang dan Amukraga Kencana yang sudah pasti akan segera menyerangnya habis-habisan.
“Semoga saja Arya berhasil mengamankan kitab ilmu silat itu!” gumamnya harap-harap cemas.
Maka Arya Wisesa mulai memejamkan matanya. Ia hendak memusatkan pikirannya ke satu titik untuk mengakses sebuah energi tenaga dalam yang besar. Harus benar-benar fokus. Ia mengatur keluar masuk nafasnya. Sebuah hawa murni yang disebut energi tenaga dalam itu mulai terkumpul berputar-putar di sekitar telapak tangannya. Hangat.
Lantas ia membuka mata dan menyalurkan energi tenaga dalam itu ke tongkatnya, dan mulai memutar-mutar tongkat itu searah jarum jam. Dari yang mulanya lambat, terus berputar semakin cepat, laksana baling-baling helikopter yang siap lepas landas. Menghasilkan energi angin yang begitu besar! Sehingga barang-barang dan pajangan-pajangan yang ada di sekitar ruangan itu pun langsung beterbangan. Saking cepat sekali putarannya.
“Kurang ajar! Ilmu apa yang akan dia keluarkan?” gerutu salahsatu murid Bara Jagal sedikit panik.
“Sebaiknya kita waspada!” sahut temannya. Yang satu lagi hanya mengangguk sambil memasang kuda-kuda siap siaga.
Ketika energi angin yang dihasilkan itu sudah sedemikian kuat, langsung saja Arya Wisesa mengayunkan tongkatnya ke arah tiga murid Bara Jagal tadi.
‘Wussshhhh…!’
Gelombang angin dahsyat terdengar begitu kencang.
Sontak saja ketiganya langsung terpental sejauh sepuluh tombak, hingga melewati ambang pintu. Tubuh mereka tampak begitu ringan tersapu angin. Seolah ada tangan raksasa tak kasat mata yang menampar mereka sedemikian kencang.
Mereka terguling-guling tak beraturan dan saling terpencar ke segala arah, lalu kompak memegangi bagian bawah perut mereka sambil mengerang-ngerang kesakitan.
“Uhuk… Uhukkk….”
Gumpalan darah segar keluar dari mulut mereka. Dan sekarang tubuh mereka sudah benar-benar lemas. Mustahil mereka bisa kembali menyerang Arya Wisesa. Karena jika nekat melakukannya, sudah pasti mereka akan tamat. Beruntung, itu hanya membikin mereka kritis saja dan tidak sampai nyawa ketiganya melayang.
Sekarang mereka sudah berhasil dilumpuhkan. Tak ada lagi yang menghalangi Arya Wisesa di ambang pintu. Ia pun bulat mengambil keputusan. Dengan berat hati ia tak lagi keluar padepokan untuk membantu yang lainnya bertarung. Bagaimanapun ia harus memilih, meski ada yang harus dikorbankan. Maka cepat-cepat ia berlari menuju pintu rahasia yang ada di belakang padepokan, sebagai jalan untuk melarikan diri sekaligus untuk menyelamatkan kitab ilmu silat itu.
“Maafkan aku, Guru. Ini pilihan yang sulit. Aku berjanji akan menjaga kitab ilmu silat ini sebaik mungkin!” gumamnya dalam hati.
Bersamaan dengan itu, kekalahan di pihak Saka Dirga sudah tak dapat terelakkan lagi. Stamina dari Saka Dirga kian melemah dan ia terus mempertahankan padepokannya hanya bersama lima orang muridnya yang tersisa.
Onggokan mayat yang masih mengeluarkan darah segar tampak bergeletakan di mana-mana. Membuat pemandangan yang amat mengerikan. Dengan cepat, lembah padepokan itu menjadi kuburan masal bagi dua pihak yang terbunuh.
Sementara para prajurit dari tiga aliansi perguruan itu makin beringas seperti harimau yang kelaparan. Mereka terus menyerang dengan pedang-pedang mereka hendak merangsek masuk ke padepokan. Maka meledaklah amarah dalam diri Saka Dirga. Ia segera memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam dan memusatkan tenaga dalamnya untuk dialirkan ke dua pedang trisula yang ia genggam sambil mementangkan kedua kakinya lebar-lebar.
Seberkas cahaya putih menyala terang langsung membungkus kedua bilah pedangnya itu. Kedua tangan Saka Dirga bergetar hebat. Kedua pedang itu menghasilkan energi yang demikian dahsyat!
Langsung saja Saka Dirga mengayunkan kedua pedangnya itu ke arah lawan dalam jarak sepuluh tombak.
Maka hanya dalam sekali ayunan saja cahaya putih dari kedua pedangnya itu melesat cepat bergulung-gulung, membentuk gumpalan angin laksana bola raksasa yang melayang di udara. Menerjang ke arah lawan sampai mereka terpental sedemikian jauhnya.
Alhasil sebanyak dua puluh prajurit dari pihak Bara Jagal dan sekutunya pun tewas dengan seketika. Mereka semua muntah darah, mati dalam keadaan yang mengenaskan. Bahkan pohon-pohon besar yang tinggi menjulang di belakang mereka sampai rubuh ke tanah, tercerabut dari akarnya saking begitu besar energi yang dihasilkan dari kedua pedang itu.
Ronggowelang dan Amukraga Kencana langsung terkesiap ketika mendapat serangan yang begitu rupa. Namun karena mereka sudah terlatih, sebelum energi bola angin itu menerjang ke arah mereka, cepat-cepat keduanya melompat dengan ilmu meringangkan tubuh mereka ke samping, sehingga berhasil lolos dari serangan maut yang amat dahsyat itu.
Melihat keadaan itu, Bara Jagal pun langsung menggerendeng, “Hmmm, sepertinya ini waktunya aku harus segera turun tangan!”
Baru saja ia berjalan beberapa langkah hendak bergabung bersama dua sekutunya itu, tampak tiga orang muridnya lari tergopoh-gopoh menghampirinya sambil membungkuk memegangi bagian perutnya tampak kesakitan. Salahsatu dari mereka pun melapor panik, “Gu– guru, gawat, Guru!”
“Apanya yang gawat, hah?!”
“Satu murid Saka Dirga berhasil lolos dan membawa kitab ilmu silat itu.”
Mendengar hal itu, meledaklah amarah Bara Jagal.
“Bodoh! Diberi tugas begitu saja kalian tak becus!” bentaknya sangat kasar. “Arghhh…! Dasar murid-murid yang tidak berguna!”
‘Plakk…! Plakk…! Plakk…!’
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mereka masing-masing. Bara Jagal mengamuk begitu rupa. Dipanggilah sepuluh muridnya yang tersisa.
“Cepat! Kalian semua berpencar dan sisir setiap area padepokan ini sebelum murid Saka Dirga itu kabur semakin jauh!” perintahnya tegas. “Kalian baru boleh ke sini lagi, kalau cecunguk itu sudah ditemukan! Dan jangan sampai kalian kembali dengan tangan kosong!”
“Si– siap, Guru.” Salahsatu muridnya menyahut sangat gugup.
Mereka pun langsung berpencar mengepung padepokan. Beberapa yang lainnya menyisir hutan. Suasananya begitu gelap. Pohon-pohon dan semak-semak yang tumbuh begitu tinggi dan rapat. Cahaya bulan yang bersinar tak mampu secara jelas menerangi keadaan sekitar dan mereka hanya mengandalkan cahaya dari obor yang mereka bawa sebagai penerangan.
Dengan begitu Arya Wisesa bisa leluasa bersembunyi tanpa khawatir ketahuan atau tertangkap oleh sepuluh murid Bara Jagal yang mencarinya itu.
Mengetahui hal itu, Saka Dirga pun langsung menyunggingkan senyum. Meski tak lama lagia ia akan segera menghadapi pertempuran terakhir yang sengit. Jiwa ksatria telah membentuknya menjadi pribadi yang berani mati demi mempertahankan kitab ilmu silat itu sesuai dengan amanat gurunya.
“Bagus Arya, kau berhasil menjalankan tugasku. Tak masalah, andaipun aku harus mati malam ini. Asalkan kitab ilmu silat itu tetap berada di tanganmu. Maka aku akan mati dengan tenang,” batin Saka Dirga.
Ikatan batin yang sudah terjalin sedemikian erat membuat Arya Wisesa bisa merasa dan mendengar suara batin yang diucapkan Saka Dirga. Bagaimanapun Arya Wisesa sudah berlatih silat dengan gurunya itu sejak ia masih berusia lima belas tahun, bahkan sebelum padepokan Srigala Putih dibangun di lembah pegunungan tak bertuan itu.Kini ia sudah berusia dua puluh tahun. Artinya sudah lima tahun ia tinggal di sana dan menghabiskan waktu bersama Saka Dirga. Alhasil keduanya menjadi akrab dan dekat, sampai-sampai kedekatan itu serupa ayah dan anak yang menyayangi satu sama lain.Mereka bahkan punya hobi yang sama. Di tengah-tengah kejenuhan belajar ilmu silat, Saka Dirga sering mengajak Arya Wisesa berburu burung elang dan berkemah di tengah-tengah hutan. Dengan ilmu kanuragannya yang begitu tinggi, Saka Dirga mampu menjinakkan hewan liar itu dengan mudah. Ia hanya perlu mengarahkan telapak tangannya ke arah burung elang yang sedang bertengger di puncak pohon, maka tak berapa lama, elang itu pun
“Guru…, haruskah aku turun dari sini dan ikut bertarung bersamamu?” gumamnya lirih. Dari atas pohon tinggi itu Arya Wisesa masih memantau situasi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca tatkala melihat padepokannya hancur lebur dilalap api. Kedua tangannya mengepal bergetar hebat. Hampir saja ia melesahkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Bara Jagal. Namun ia berusaha menahannya sekuat tenaga. Itu membuat goncangan dahsyat dalam dirinya. Sebuah amarah yang dengan cepat berubah menjadi api kebencian.Lenyap! Padepokan itu rata dengan tanah. Bangunan itu kini tiada. Hanya menyisakan arang dari kayu-kayu yang telah hangus dan abunya beterbangan disapu angin malam.Bara Jagal masih belum puas. Ia sudah benar-benar kalap. Seolah setan sedang merasuki tubuhnya. Maka yang menjadi sasaran terakhir dari ambisinya malam ini setelah gagal merebut kitab ilmu silat incarannya itu adalah membunuh Saka Dirga.Mudah saja untuk mengetahui siapa yang akan menjadi pemenang bila Saka Dirga bertarung satu lawan
“Kenapa Bara Jagal berhenti menyerangku? Apa ia tahu yang menjadi kelemahanku?” desis Saka Dirga dalam hati.Ia masih terus berharap cahaya bulan yang masih tampak terang itu tidak cepat redup, sehingga ia bisa memulihkan tenaga dalamnya dan menambah kekuatannya untuk bisa mengimbangi ketiga lawannya itu. Paling tidak, ia bisa sedikit lama dalam bertarung dan mampu memukul mundur mereka. Karena mustahil bagi Saka Dirga untuk bisa melenyapkan ketiganya sekaligus.Melihat lawannya yang tidak seberingas di awal pertarungan, maka Saka Dirga langsung mengambil inisiatif. Ia mulai memancing Bara Jagal untuk terus mengeluarkan amarahnya dengan tujuan menguras tenaga dalamnya, supaya ia menjadi lemah dan pertarungan pun bisa ia dominasi. Sebelum akhirnya ia lanjut bertarung dengan dua sekutunya, yakni Ronggowelang dan Amukraga Kencana.Serangan-serangan kecil pun mulai dilancarkan oleh Saka Dirga. Ia mengeluarkan jurus-jurus sederhana saja, karena tak perlu mengeluarkan tenaga dalam yang besar
Lihatlah bagaimana kuku-kuku tangannya itu mulai memanjang dengan sendirinya, begitu runcing dan tajam. Tak kalah tajam dari bilah pedang katana. Satu cakaran saja bisa merobek kulit dan mengoyak daging lawannya jika tak punya ilmu silat yang tinggi untuk menahan kekuatannya. Belum lagi racunnya yang berbahaya yang bisa menghambat jalannya peredaran darah, dan bisa membuat lawannya mati secara pelan-pelan!Saka Dirga tak mengendorkan serangannya. Ia kembali menggempur bagian-bagian bawah tubuh Bara Jagal, dan kali ini ia melancarkan serangan kombinasi yang lebih cepat dan mematikan.Pantas saja jurus itu disebut Cakaran Amuk Srigala, karena gerakannya memang sangat gesit sekali seperti srigala.Ia langsung melompat lagi menyasar perut Bara Jagal bagian bawah, namun sebelum satu detik lagi cakaran itu mendarat di perutnya, Bara Jagal berhasil menghindar meloncat dua langkah ke belakang. Maka ia melompat lagi menyerang bagian paha, Bara Jagal pun meloncat lagi dua langkah belakang. Ia t
Ronggowelang tampak kelelahan, dadanya kembang kempis, itu menunjukkan bahwa jurus Harimau Hitam Menerkam Mangsa yang ia keluarkan cukup menguras tenaga dalamnya. Ditambah lagi pingganggnya yang terluka membuat ia untuk sementara waktu berhenti sejenak dari pertarungan, karena harus mengatur nafas dan jalan darahnya sebagai pertolongan pertama.Maka ia mengambil segenggam tanah yang dialiri tenaga dalam untuk menutup luka dan menghambat racun agar tak masuk tubuhnya dan menempelkan tanah itu di pinggangnya. Ia masih tetap dalam mode jurus harimau untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Namun sepertiga tenaga dalamnya harus ia keluarkan sebagai gantinya.Meski Saka Dirga tampak dominan dan menguasai jalannya pertarungan, kemenangannya masihlah jauh ia dapat. Karena ketiga pendekar jahat itu belumlah menyerah. Dan rupanya dominasinya itu tak berlangsung lama, karena saat ia hendak menyerang kembali Ronggowelang dan membuatnya makin terdesak dan merasakan jera, secara t
Sepuluh murid suruhan Bara Jagal itu terus bergerak memburu Arya Wisesa. Mereka berkeliling di sekitar lembah dan menyisir hingga ke dalam hutan. Mereka berpencar dan masing-masing dua orang bergerak ke setiap arah mata angin. Namun hingga bulan purnama di lembah itu redup, pencarian mereka belum kunjung mendapat hasil. Tak ada satu batang hidung pun yang mereka temui dan curigai sebagai Arya Wisesa.Sebaliknya yang sedang diburu masih anteng-anteng saja bersembunyi di balik pohon yang paling tinggi dan besar dan paling rimbun. Dari atas pohon itulah ia bisa melihat keadaan sekitar lembah dengan leluasa. Bahkan Arya Wisesa bisa melihat bukit yang ada di seberang dengan sangat jelas.Kesepuluh murid itu tidak bisa kembali kalau mereka tidak berhasil menemukan Arya Wisesa. Maka mereka akan kena damprat dan hukuman dari Bara Jagal, jika lagi-lagi mereka gagal dalam melakukan tugas.Hanya mengandalkan obor di tangan-tangan yang mereka bawa, mereka terus menelusuri s
Ketiga pendekar dari golongan hitam itu sudah bersiap dengan senjata andalannya masing-masing. Bara Jagal dengan pedang panjangnya dan bilahnya sangat lebar. Itu bukanlah pedang biasa, butuh tenaga yang luar biasa kuat untuk mengangkat pedang naganya yang besar itu. Hanya orang-orang yang punya ilmu silat yang tinggi saja yang bisa mengangkat pedangnya.Andai pedang itu digunakan untuk menebas pohon besar, yang lingkar batangnya sebesar dua pelukan orang dewasa pun hanya cukup sekali tebas saja disertai tenaga dalam, maka pohon itu akan langsung tumbang ke tanah. Tak perlu diragukan lagi kekuatan dari pedang naga yang dimiliki Bara Jagal.Sementara Ronggowelang yang berdiri di samping kiri Bara Jagal sudah siap dengan tombak panjangnya. Sebuah tombak yang terbuat dari besi hitam yang sangat keras, dan sewaktu-waktu bisa ia lesatkan bagai anak panah. Hebatnya, sejauh apa pun tombaknya itu melesat, tombak itu bisa kembali terbang ke arahnya dan mendarat dengan mulus dala
Malam hari yang dingin saat bulan bersinar terang-terangnya di atas lembah, gabungan para pendekar dari tiga perguruan itu berbaris menunggangi kuda mereka masing-masing hendak bergerak ke dalam hutan, mendekati sebuah padepokan milik perguruan silat bernama Srigala Putih. Sebelum serangan mendadak itu dilakukan, mereka pun terlebih dahulu bersiasat.“Kali ini harus berhasil!” kata Bara Jagal, seorang pendekar kejam yang memimpin Perguruan Naga Api. “Bila perlu kita babat habis mereka semua, kalau Saka Dirga tak mau menyerahkan kitab ilmu silatnya itu!”“Aku lebih senang Saka Dirga lenyap sekalian! Dan ini akan menjadi malam bagi kehancuran Srigala Putih!” sahut Ronggowelang, pemimpin dari Perguruan Harimau Hitam.“Ha-ha-ha, aku sudah tidak sabar memenggal kepalanya dan mengaraknya ke alun-alun!” ujar Amukraga Kencana, pemimpin dari Perguruan Ular Merah.Tiga aliansi perguran besar itu bersekongkol hendak menghancurkan Perguran Srigala Putih yang dipimpin oleh Saka Dirga. Ia merupakan