“Ha-ha-ha, sudah kubilang Saka, lebih baik kau menyerah saja! Sebelum padepokanmu ini kuhancurkan!” ujar Bara Jagal mencoba terus menekan Saka Dirga.
“Lihat! Aku masih bisa berdiri, Bara Jagal! Tak perlu meremehkanku! Akan kupertahankan perguruanku sampai titik darah penghabisan! Dan Jangan harap kau bisa mendapatkan kitab ilmu silat itu!” sahut Saka Dirga tak goyah sedikit pun.
Meski keadaan mereka sudah sedemikian terdesak, Saka Dirga bersama muridnya tak menyerah begitu saja. Mereka masih mampu memberikan perlawanan-perlawan dengan sisa-sisa tenaga mereka yang nyaris habis. Situasinya makin terpojok dan mereka makin mundur mendekati area padepokan. Sementara separuh murid Saka Dirga sudah tewas terbunuh. Darah mengalir dari tubuh-tubuh yang terluka sehingga membentuk genangan yang mengerikan. Tidak lama lagi halaman padepokan itu akan menjadi kuburan masal.
“Bagaimana ini, Guru?” tanya Arya Wisesa mulai panik.
“Sebisa mungkin aku akan menghadang mereka agar tidak bisa masuk ke padepokan. Dan tugasmu Arya, segera masuk ke dalam dan amankan kitab ilmu silat itu!” perintah Saka Dirga.
“Ta– tapi… bagaimana dengan Guru? Aku tak mau meninggalkan Guru sendirian di sini. Jumlah mereka sangatlah banyak.” Arya tak segera menuruti, karena itu cukup masuk akal. Bagaimanapun ia sangat khawatir dengan keselamatan gurunya.
“Cepat! Arya, sebelum mereka menemukannya. Nasib perguruan ini ada di tanganmu! Pergilah!” perintah Saka Dirga sekali lagi.
“Ba– baik Guru,” sahut Arya. Dan dengan terpaksa akhirnya ia meninggalkan gurunya yang harus bertempur mati-matian seorang diri. Kini ialah satu-satunya orang terkuat di perguruan itu. Sementara para murid-muridnya tampak sudah sangat kewalahan.
“Murid-muridku, bertahanlah!” teriak Saka Dirga memberi perintah. “Jangan sampai mereka berhasil masuk ke padepokan!”
Melihat Saka Dirga dan murid-muridnya yang kian terpojok, Bara Jagal pun langsung berinisiatif menyusupkan beberapa muridnya untuk masuk ke padepokan dan merebut kitab ilmu silat itu. Dipanggilah tiga orang muridnya yang terkuat dan membawa pedang.
“Hei, kalian! Masuklah ke dalam padepokan itu. Geledah semua ruangan, lalu ambil kitab ilmu silat itu! Awas kalian, jangan sampai gagal!” perintah Bara Jagal sangat berambisi.
“Siap Guru,” jawab muridnya sambil menunduk sopan dan langsung pergi menuruti perintahnya.
Mereka diam-diam menyelinap dari samping saat Saka Dirga beserta murid-muridnya sedang sibuk bertarung menghalau serangan demi serangan yang dikomando oleh Ronggowelang dan Amukraga Kencana. Hanya Bara Jagal yang sedari tadi belum turun ke medan pertarungan. Ia masih mengamati situasi sebelum bertindak.
Serangan Ronggowelang dan Amukraga Kencana beserta para anak buahnya sudah cukup untuk menekan Saka Dirga, pikirnya. Hanya tinggal menunggu kemenangan. Ia baru akan turun ketika semua murid Saka Dirga sudah habis. Giliran ia yang akan maju bertarung melawan Saka Dirga.
Insting Saka Dirga benar! Bara Jagal pasti akan merebut kitab ilmu silat itu secara diam-diam saat ia sedang lengah. Ia memang licik dan penuh akal bulus. Beruntunglah Arya Wisesa tak terlambat. Dengan cepat ia bisa masuk terlebih dahulu ke dalam padepokan. Ia tahu betul dimana kitab ilmu silat itu di simpan. Di ruang meditasi gurunya. Ia masuk dan keadaan padepokan benar-benar kosong tanpa penjagaan. Karena semua murid dari perguruan itu memang sedang bertarung habis-habisan di luar padepokan. Tanpa berpikir panjang, Arya Wisesa langsung mengambilnya dan mengamankannya.
Namun ia mendadak bingung, apakah kembali ke luar padepokan dan ikut bertarung membantu gurunya hingga titik darah penghabisan, dengan resiko kitab ilmu silat itu akan jatuh ke tangan Bara Jagal, atau cepat-cepat melarikan diri dengan resiko perguruannya hancur lebur termasuk gurunya sendiri akan terbunuh dan dibantai oleh Bara Jagal dan sekutunya.
Dua pilihan sulit itu terus berkecamuk hebat dalam pikiran Arya Wisesa. Sejenak ia berpikir sebelum mengambil keputusan.
Baru saja ia akan keluar dari ruangan itu, tiba-tiba tiga orang murid suruhan Bara Jagal sudah berdiri di ambang pintu menghadangnya. Ia pun kaget bukan kepalang. Maka mau tidak mau ia harus bertarung apabila tidak ingin kitab ilmu silat itu jatuh ke tangan Bara Jagal.
“Rupanya ada orang di sini,” sambut salahsatu murid Bara Jagal sambil tertawa angkuh.
“Mundur, atau kalian semua akan celaka!” bentak Arya Wisesa bermaksud mengancam.
“Sudahlah kau menyerah saja! Kami tiga orang. Cepat! Serahkan kitab ilmu silat itu! Apa mau kau kami tikam sampai mampus, hah?!” Yang berdiri paling depan malah balik mengancam sambil tertawa mengejek. Dan dua orang yang di belakangnya juga ikut tertawa.
“Dasar kalian pecundang! Hanya berani keroyokan!” sahut Arya Wisesa tak terlihat gentar sama sekali.
“Kurang ajar! Ayo, kita habisi saja keparat ini!” Yang paling depan langsung emosi dan memberi isyarat dengan lambaian tangan untuk menyerang Arya Wisesa.
‘Sring…! Sring…! Sring…!’
Ketiga murid Bara Jagal itu langsung menghunus pedang yang tersarung di pinggang mereka.
Arya Wisesa sedikit panik, karena sedari tadi ia tak membawa senjata. Keadaannya menjadi cukup berbahaya bagi dirinya. Maka ia melihat ke sekeliling, tak ada pedang di sana. Hanya ada sebuah tongkat kayu jati yang tergeletak di sudut ruangan. Apa boleh buat, hanya itulah satu-satunya senjata yang bisa ia gunakan untuk membela diri. Ia pun mengambilnya dan bersiap memasang sikap kuda-kuda untuk menghalau serangan yang dilancarkan oleh ketiga murid Bara Jagal itu.
Dengan mudah ketiganya mengurung posisi Arya Wisesa. Yang satu siap menyerang dari depan. Yang satu lagi siap menyerang dari samping. Dan satu lagi mengambil posisi di belakang. Arya Wisesa benar-benar terkurung. Ia hanya berusaha tetap tenang dan fokus pada setiap jengkal pergerakan musuh. Matanya benar-benar awas, sambil memegang tongkat itu dengan erat. Bersiap, bila sewaktu-waktu harus diayunkan. Dan ia tidak mau menyerang terlebih dahulu. Menunggu ketiga orang itu dengan waspada, lalu melakukan serangan balasan.
Beruntung Saka Dirga pernah mengajarinya jurus-jurus tongkat. Ia sudah menguasai lima belas jurus tongkat yang cukup mematikan. Ia hanya butuh kelincahan dan kecepatan saja dalam mengaplikasikan jurus itu. Ia juga tahu betul bagian-bagian tubuh mana saja yang harus diserang untuk bisa melumpuhkan lawan.
Tiba-tiba lawannya yang di depan meloncat, mengayunkan pedangnya dari samping menyasar bagian kepala Arya Wisesa. Namun dengan cepat Arya Wisesa merunduk, memiringkan badannya ke bawah menghindari serangan. Alhasil serangan itu hanya mengenai angin saja.
Sekarang giliran Arya Wisesa menyodokkan tongkatnya ke depan menyasar bagian perut lawan. Tentu saja disertai dengan tenaga dalam. Maka lawannya itu pun terseret lima langkah ke belakang sambil memegangi perutnya.
“Kurang ajar!” umpatnya kasar tak terima.
Yang di belakang tak mau kalah, ia langsung lari menerjang hendak menebas pinggang Arya Wisesa. Lagi-lagi Arya Wisesa mampu menghindar hanya dengan gerakan memutar sederhana, meliukkan badannya, lalu mengayunkan tongkatnya itu menyasar betis lawan. Tepat mengenai sasaran.
Alhasil, lawannya itu jatuh terjengkang dan mengerang kesakitan. Mengakibatkan sebuah luka memar yang cukup parah di betisnya tampak biru legam kehitaman.
“Arghhhhh…!” teriaknya kesakitan. “Awas kau keparat busuk!”
Sekarang lawan yang dari samping sekoyong-konyong menerjang hendak menusuk bagian perut Arya Wisesa membabi buta. Serangannya itu menjadi sia-sia belaka karena Arya Wisesa memang awas betul dan waspada pada setiap jengkal pergerakan kaki lawannya. Sehingga ia dengan cepat bisa berkelit ke samping hanya dengan memindahkan satu kakinya saja. Lantas ia balik pukulkan tongkatnya itu ke bagian punggung lawan hingga ia tersungkur jatuh hilang keseimbangan.
“Brengsek…!” umpatnya merasa dipecundangi. “Boleh juga kemampuanmu!”
Mereka belum menyerah. Belum benar-benar lumpuh. Mereka kembali berdiri, menegakkan tubuhnya, memasang sikap kuda-kuda dan berbaris sejajar menghadap Arya Wisesa. Siap kembali menyerang.
Waktunya begitu singkat. Arya Wisesa harus segera mengeluarkan jurus tongkat andalannya untuk bisa melumpuhkan ketiganya. Sebelum Bara Jagal dan sekutunya mengetahui, bahwa kitab ilmu silat itu ada di tangannya. Maka jelas mereka akan mengepung, lalu menangkapnya!
Tak ada pilihan lain, ia harus segera mengeluarkan jurus ‘Tongkat Angin Puting Beliung’ yang merupakan jurus andalannya itu sebelum Bara Jagal beserta sekutunya berhasil masuk ke padepokan, lalu merebut kitab ilmu silat yang sekarang sudah ada di tangannya.Lihat juga bagaimana Saka Dirga tengah berjuang begitu hebat menghadang musuhnya di luar padepokan. Tak lama lagi murid-muridnya juga pasti akan mati terbunuh. Tampak tubuh mereka sudah mandi peluh, sebuah pertanda bahwa mereka betul-betul memeras tenaga dalamnya untuk bertarung.Bahkan Saka Dirga terpaksa harus mengeluarkan dua pedang trisula yang menjadi senjata andalannya untuk memukul mundur para prajurit dari tiga aliansi perguruan yang makin beringas itu. Belum lagi Bara Jagal, Ronggowelang dan Amukraga Kencana yang sudah pasti akan segera menyerangnya habis-habisan.“Semoga saja Arya berhasil mengamankan kitab ilmu silat itu!” gumamnya harap-harap cemas.Maka Arya Wisesa mulai memejamkan matanya. Ia hendak memusatkan pikirann
Ikatan batin yang sudah terjalin sedemikian erat membuat Arya Wisesa bisa merasa dan mendengar suara batin yang diucapkan Saka Dirga. Bagaimanapun Arya Wisesa sudah berlatih silat dengan gurunya itu sejak ia masih berusia lima belas tahun, bahkan sebelum padepokan Srigala Putih dibangun di lembah pegunungan tak bertuan itu.Kini ia sudah berusia dua puluh tahun. Artinya sudah lima tahun ia tinggal di sana dan menghabiskan waktu bersama Saka Dirga. Alhasil keduanya menjadi akrab dan dekat, sampai-sampai kedekatan itu serupa ayah dan anak yang menyayangi satu sama lain.Mereka bahkan punya hobi yang sama. Di tengah-tengah kejenuhan belajar ilmu silat, Saka Dirga sering mengajak Arya Wisesa berburu burung elang dan berkemah di tengah-tengah hutan. Dengan ilmu kanuragannya yang begitu tinggi, Saka Dirga mampu menjinakkan hewan liar itu dengan mudah. Ia hanya perlu mengarahkan telapak tangannya ke arah burung elang yang sedang bertengger di puncak pohon, maka tak berapa lama, elang itu pun
“Guru…, haruskah aku turun dari sini dan ikut bertarung bersamamu?” gumamnya lirih. Dari atas pohon tinggi itu Arya Wisesa masih memantau situasi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca tatkala melihat padepokannya hancur lebur dilalap api. Kedua tangannya mengepal bergetar hebat. Hampir saja ia melesahkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Bara Jagal. Namun ia berusaha menahannya sekuat tenaga. Itu membuat goncangan dahsyat dalam dirinya. Sebuah amarah yang dengan cepat berubah menjadi api kebencian.Lenyap! Padepokan itu rata dengan tanah. Bangunan itu kini tiada. Hanya menyisakan arang dari kayu-kayu yang telah hangus dan abunya beterbangan disapu angin malam.Bara Jagal masih belum puas. Ia sudah benar-benar kalap. Seolah setan sedang merasuki tubuhnya. Maka yang menjadi sasaran terakhir dari ambisinya malam ini setelah gagal merebut kitab ilmu silat incarannya itu adalah membunuh Saka Dirga.Mudah saja untuk mengetahui siapa yang akan menjadi pemenang bila Saka Dirga bertarung satu lawan
“Kenapa Bara Jagal berhenti menyerangku? Apa ia tahu yang menjadi kelemahanku?” desis Saka Dirga dalam hati.Ia masih terus berharap cahaya bulan yang masih tampak terang itu tidak cepat redup, sehingga ia bisa memulihkan tenaga dalamnya dan menambah kekuatannya untuk bisa mengimbangi ketiga lawannya itu. Paling tidak, ia bisa sedikit lama dalam bertarung dan mampu memukul mundur mereka. Karena mustahil bagi Saka Dirga untuk bisa melenyapkan ketiganya sekaligus.Melihat lawannya yang tidak seberingas di awal pertarungan, maka Saka Dirga langsung mengambil inisiatif. Ia mulai memancing Bara Jagal untuk terus mengeluarkan amarahnya dengan tujuan menguras tenaga dalamnya, supaya ia menjadi lemah dan pertarungan pun bisa ia dominasi. Sebelum akhirnya ia lanjut bertarung dengan dua sekutunya, yakni Ronggowelang dan Amukraga Kencana.Serangan-serangan kecil pun mulai dilancarkan oleh Saka Dirga. Ia mengeluarkan jurus-jurus sederhana saja, karena tak perlu mengeluarkan tenaga dalam yang besar
Lihatlah bagaimana kuku-kuku tangannya itu mulai memanjang dengan sendirinya, begitu runcing dan tajam. Tak kalah tajam dari bilah pedang katana. Satu cakaran saja bisa merobek kulit dan mengoyak daging lawannya jika tak punya ilmu silat yang tinggi untuk menahan kekuatannya. Belum lagi racunnya yang berbahaya yang bisa menghambat jalannya peredaran darah, dan bisa membuat lawannya mati secara pelan-pelan!Saka Dirga tak mengendorkan serangannya. Ia kembali menggempur bagian-bagian bawah tubuh Bara Jagal, dan kali ini ia melancarkan serangan kombinasi yang lebih cepat dan mematikan.Pantas saja jurus itu disebut Cakaran Amuk Srigala, karena gerakannya memang sangat gesit sekali seperti srigala.Ia langsung melompat lagi menyasar perut Bara Jagal bagian bawah, namun sebelum satu detik lagi cakaran itu mendarat di perutnya, Bara Jagal berhasil menghindar meloncat dua langkah ke belakang. Maka ia melompat lagi menyerang bagian paha, Bara Jagal pun meloncat lagi dua langkah belakang. Ia t
Ronggowelang tampak kelelahan, dadanya kembang kempis, itu menunjukkan bahwa jurus Harimau Hitam Menerkam Mangsa yang ia keluarkan cukup menguras tenaga dalamnya. Ditambah lagi pingganggnya yang terluka membuat ia untuk sementara waktu berhenti sejenak dari pertarungan, karena harus mengatur nafas dan jalan darahnya sebagai pertolongan pertama.Maka ia mengambil segenggam tanah yang dialiri tenaga dalam untuk menutup luka dan menghambat racun agar tak masuk tubuhnya dan menempelkan tanah itu di pinggangnya. Ia masih tetap dalam mode jurus harimau untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Namun sepertiga tenaga dalamnya harus ia keluarkan sebagai gantinya.Meski Saka Dirga tampak dominan dan menguasai jalannya pertarungan, kemenangannya masihlah jauh ia dapat. Karena ketiga pendekar jahat itu belumlah menyerah. Dan rupanya dominasinya itu tak berlangsung lama, karena saat ia hendak menyerang kembali Ronggowelang dan membuatnya makin terdesak dan merasakan jera, secara t
Sepuluh murid suruhan Bara Jagal itu terus bergerak memburu Arya Wisesa. Mereka berkeliling di sekitar lembah dan menyisir hingga ke dalam hutan. Mereka berpencar dan masing-masing dua orang bergerak ke setiap arah mata angin. Namun hingga bulan purnama di lembah itu redup, pencarian mereka belum kunjung mendapat hasil. Tak ada satu batang hidung pun yang mereka temui dan curigai sebagai Arya Wisesa.Sebaliknya yang sedang diburu masih anteng-anteng saja bersembunyi di balik pohon yang paling tinggi dan besar dan paling rimbun. Dari atas pohon itulah ia bisa melihat keadaan sekitar lembah dengan leluasa. Bahkan Arya Wisesa bisa melihat bukit yang ada di seberang dengan sangat jelas.Kesepuluh murid itu tidak bisa kembali kalau mereka tidak berhasil menemukan Arya Wisesa. Maka mereka akan kena damprat dan hukuman dari Bara Jagal, jika lagi-lagi mereka gagal dalam melakukan tugas.Hanya mengandalkan obor di tangan-tangan yang mereka bawa, mereka terus menelusuri s
Ketiga pendekar dari golongan hitam itu sudah bersiap dengan senjata andalannya masing-masing. Bara Jagal dengan pedang panjangnya dan bilahnya sangat lebar. Itu bukanlah pedang biasa, butuh tenaga yang luar biasa kuat untuk mengangkat pedang naganya yang besar itu. Hanya orang-orang yang punya ilmu silat yang tinggi saja yang bisa mengangkat pedangnya.Andai pedang itu digunakan untuk menebas pohon besar, yang lingkar batangnya sebesar dua pelukan orang dewasa pun hanya cukup sekali tebas saja disertai tenaga dalam, maka pohon itu akan langsung tumbang ke tanah. Tak perlu diragukan lagi kekuatan dari pedang naga yang dimiliki Bara Jagal.Sementara Ronggowelang yang berdiri di samping kiri Bara Jagal sudah siap dengan tombak panjangnya. Sebuah tombak yang terbuat dari besi hitam yang sangat keras, dan sewaktu-waktu bisa ia lesatkan bagai anak panah. Hebatnya, sejauh apa pun tombaknya itu melesat, tombak itu bisa kembali terbang ke arahnya dan mendarat dengan mulus dala
Dipanggillah Garang Bonggol yang ikut menumpang di kuda rombongan pasukannya itu untuk mendekat ke arahnya dan ia pun langsung menggerendeng, “Sudah berhari-hari kita naik turun menerobos hutan demi hutan, tapi aku belum juga menemukan bocah itu, apakah kau membohongiku?!” Tatapannya begitu tajam dan mengintimidasi.“Ampun Kisanak, aku tidak berbohong, anak buahku sendiri yang bersaksi bahwa mereka sempat bertarung dengan bocah yang dilindungi oleh pendekar bertudung caping itu. Mereka benar-benar bergerak ke arah timur,” sahut Garang Bonggol sedikit gugup.“Kalau benar dia bergerak ke arah timur, kita sudah pasti menemukannya dan berhasil menyusulnya. Tapi kau bisa saksikan sendiri sudah berhari-hari kita menjelajah hingga sampai di kaki gunung ini, tapi kita belum juga menemukannya!” Bara Jagal kembali menggerutu.Tiba-tiba Muladra yang juga ikut menumpang di kuda rombongan pasukan itu ikut mendekat ke arah Bara Jagal dan berkata dengan sopan, “Ampun Kisanak, menurut pengamatanku, m
“Jangan bergerak! Rumah ini sudah kami kepung, kalau kalian bertiga macam-macam, maka kami semua akan menghabisi kalian!” kata pemuda yang paling depan yang memimpin penyergapan itu sambil mengacungkan goloknya ke arah Arya Wisesa, Dewi Raraswati, dan juga Wisangpati.Ketiganya dibuat bingung oleh tingkah si pemuda ini. Pemuda ini pula yang tadi berteriak-teriak histeris sambil berlari singgah dari rumah ke rumah memberi tahu warga desa, bahwa ada orang asing yang datang ke desanya. Tingkahnya begitu aneh dan tampak panik, padahal ketiganya terlihat tidak mengancam sama sekali.Namun sebelum mereka benar-benar berbuat anarkis, si pemilik rumah langsung menenangkan situasi.“Tenanglah, jangan berbuat kasar! Mereka bukan orang jahat, mereka dari Desa Gandareksa dan hanya menumpang sebentar di desa ini. Kami baik-baik saja, jangan khawatir. Kalian kembalilah ke rumah masing-masing,” kata si pemilik rumah.“Bagaimana kalau ketiga orang ini hanya pura-pura baik dan punya maksud tersembunyi
“Tenanglah, aku bukan orang jahat, aku hanya ingin berbicara denganmu. Kau sangat cantik sekali,” kata Dewi Raraswati, memuji sekaligus menenangkan anak itu sambil mengusap kepalanya dengan lembut.Namun tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka dan dua orang dewasa sudah berdiri di ambang pintu dengan memegang senjata di masing-masing tangannya.Seorang pria telah menarik busur panah, dan mengarahkan panah itu ke arah Dewi Raraswati. Sementara seorang wanita telah siap dengan golok panjang di tangannya. Tatapan mereka begitu tajam sekali. Dan pria itu menggertak pada Dewi Raraswati, “Siapa kau orang asing?! Jangan macam-macam! Jika kau berani menyentuh anak kami, maka anak panah ini akan melesat menembus kepalamu!”“Cepat kau pergi dari desa ini, atau kami berdua akan berteriak memanggil warga yang lain untuk mengeroyokmu sampai tewas!” Si wanita yang juga pemilik rumah itu ikut menggertak sambil mengacungkan goloknya ke arah Dewi Raraswati.Mendengar ada keributan di depan rumah itu, A
Setelah berjuang begitu hebat mengerahkan seluruh tenaga dan ilmu kanuragannya, akhirnya Arya Wisesa berhasil mencabut pedang itu. Dan senjata pusaka itu kini telah menjadi miliknya. Tampak keringat membanjiri tubuhnya setelah ia berjuang dengan keras untuk mendapatkan pedang itu dan wajahnya menjadi tampak semringah sekali ketika pedang itu masih saja mengeluarkan cahaya hijau menyelimuti seluruh bilahnya.Namun mereka harus cepat-cepat keluar dari gua itu sebelum atap gua itu benar-benar ambruk, karena tanahnya terus berjatuhan ke bawah dan bebatuan atap gua itu mulai retak pertanda akan juga segera tumpah ke bawah. Mereka harus segera lari melewati lorong demi lorong gua itu kalau tidak ingin mati terkubur hidup-hidup.Karena pedang itu tidak memiliki warangka, bergegas Arya Wisesa membungkus bilahnya dengan kain putih, lalu ia ikatkan tali di kedua ujung pedang itu untuk kemudian ia sarungkan di balik punggungnya. Karena bagaimanapun pedang itu cukup panjang dan memiliki bilah yan
“Aku memang sosok siluman yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di gua ini. Dan aku bukan pemilik pedang pusaka itu, tapi aku punya kewajiban untuk menjaga pedang pusaka itu agar tidak jatuh ke tangan orang yang jahat. Aku juga tidak bermaksud hendak membuat kalian celaka, atau berbuat jahat pada kalian, karena itu bukanlah watakku sebagai siluman golongan putih. Aku menyerang kalian karena aku ingin memastikan kalian bukan hendak berbuat onar. Dan sepertinya kalian adalah orang-orang baik dan jujur yang tampak sesuai dengan tingkah laku kalian,” tutur Wirageni.“Terimakasih atas pengertian Saudara Wirageni, sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu denganmu. Saudara telah menjalankan tugas dengan baik. Soal kejadian tadi, menurutku tak perlu dipersoalkan, karena yang terpenting adalah kita sudah mengenal satu sama lain. Dan Saudara menjadi saksi bahwa muridku Arya Wisesa telah bertekad dan bersumpah untuk menjaga pedang pusaka itu sebaik-baiknya,” sahut Wisangpati berbicara dengan sopa
Sementara di saat bersamaan, Wisangpati tidak kalah berjuang hebat demi bisa lolos dari jerat akar yang tiba-tiba membelit kakinya dengan misterius itu. Ia justru membiarkan tubuhnya terus ditarik oleh akar itu dan mengikuti kemana akar itu bergerak dengan terus melemaskan tubuhnya.Ia hanya memindahkan dan sedikit menggerakkan tubuhnya apabila ia terseret di area yang cukup membahayakan dirinya. Dan saat ia tau bahwa akar itu menariknya mendekati sebuah pohon dan pastilah ia akan menabrak pohon besar tersebut, maka cepat-cepat ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga ia terangkat dan mengapung ke atas.Lalu ia meraih salahsatu dahan pohon itu dan di saat bersamaan mengayunkan kakinya ke atas kuat-kuat disertai tenaga dalamnya. Hingga akhirnya akar pohon yang membelit kedua kakinya itu pun putus. Dan ia tampak bergelantungan di pohon, setelah berhasil meloloskan diri dari jerat akar yang misterius itu.Mereka berkumpul kembali setelah terpisah puluhan tombak, akibat terkena
Tak disangka pada saat mereka baru saja melewati setengah panjang danau itu, hujan yang begitu deras tiba-tiba turun merepotkan mereka bertiga. Angin bertiup kencang menggoyang keseimbangan mereka. Raut panik mulai terpancar di wajah mereka. Kondisi cuaca nampaknya sedang kurang bersahabat, namun dengan sekuat tenaga mereka berpegangan erat pada rakit itu dan terus mendayung lebih cepat.Petir terus menggelegar di seantero langit, kondisi air yang sebelumnya tampak tenang menjadi sedikit bergejolak beriak-riak, membuat laju rakit yang mereka dayung itu menjadi tersendat-sendat, sehingga mereka tampak terombang-ambing di tengah danau.Seluruh tubuh mereka kontan basah kuyup, dan untung saja kitab itu mempunyai sampul pelindung yang berbahan perak, sehingga tahan dari serangan air yang berusaha menembus kitab itu. Itulah barang yang paling berharga yang harus dijaga oleh Arya Wisesa dalam keadaan seperti itu.Karena riak-riak air disertai angin yang semakin kencang menggoyang rakit mere
“Aku tidak peduli dengan laki-laki paruh baya itu, dan seberapa sakti ilmu yang dia miliki. Yang sedang aku cari saat ini hanyalah pemuda itu, pemuda bernama Arya Wisesa yang telah lama kucari sejak berbulan-bulan yang lalu. Tapi apabila laki-laki paruh baya itu yang menjadi penghalang untuk menangkap pemuda itu, maka pedangku sendiri yang akan memenggal kepalanya!” tegas Bara Jagal.“Ya, kisanak. Sejauh ini hanya itu yang aku ketahui. Karena sejak beredarnya selebaran itu, kami juga jadi ikut mencari-cari di mana pemuda itu. Tapi sebaiknya kisanak merubah tujuan ke arah timur, karena pemuda itu memang sudah meninggalkan Desa Gandareksa beberapa hari yang lalu.” Garang Bonggol memberanikan diri memberi saran pada Bara Jagal.“Hmmm, kau benar juga. Apakah kau masih tertarik mengikuti sayembara itu dan mendapatkan hadiahnya?” tanya Bara Jagal.“Oh, tentu saja kisanak, bagiku itu adalah hadiah yang sangat besar, karena bagi perampok pinggiran desa seperti kami butuh waktu berbulan-bulan
Di kuil yang ada di puncak gunung itu Arya Wisesa menjadi semakin rajin melakukan meditasi.Di tempat itulah, dari hasil meditasinya ia mulai mendapat petunjuk tentang di mana keberadaan dua pedang sakti yang saat ini sedang ia cari. Ia menyimpan petunjuk yang telah ia baca di dalam kitab ilmu silat itu dalam kepalanya. Setelah ini, ia akan memulai perjalanan baru untuk menemukan kedua pedang tersebut.Pada pagi hari, setelah lima hari berturut-turut bermeditasi di kuil tersebut, Arya Wisesa memberi tahu Wisangpati tentang rencananya yang akan segera pergi mencari kedua pedang sakti sesuai dengan petunjuk yang telah didapatkannya.Sambil duduk bersila berhadap-hadapan, mereka pun terlihat mengobrol dengan serius.“Paman, dari petunjuk yang telah aku dapat dari kitab ilmu silat, dua pedang sakti itu berada di arah barat. Tersimpan di sebuah gua yang berbeda. Aku meminta izin untuk pergi mencari kedua pedang tersebut,” kata Arya Wisesa.“Apa kau sudah benar-benar yakin, Arya? Kedua peda