“Ha-ha-ha, sudah kubilang Saka, lebih baik kau menyerah saja! Sebelum padepokanmu ini kuhancurkan!” ujar Bara Jagal mencoba terus menekan Saka Dirga.
“Lihat! Aku masih bisa berdiri, Bara Jagal! Tak perlu meremehkanku! Akan kupertahankan perguruanku sampai titik darah penghabisan! Dan Jangan harap kau bisa mendapatkan kitab ilmu silat itu!” sahut Saka Dirga tak goyah sedikit pun.
Meski keadaan mereka sudah sedemikian terdesak, Saka Dirga bersama muridnya tak menyerah begitu saja. Mereka masih mampu memberikan perlawanan-perlawan dengan sisa-sisa tenaga mereka yang nyaris habis. Situasinya makin terpojok dan mereka makin mundur mendekati area padepokan. Sementara separuh murid Saka Dirga sudah tewas terbunuh. Darah mengalir dari tubuh-tubuh yang terluka sehingga membentuk genangan yang mengerikan. Tidak lama lagi halaman padepokan itu akan menjadi kuburan masal.
“Bagaimana ini, Guru?” tanya Arya Wisesa mulai panik.
“Sebisa mungkin aku akan menghadang mereka agar tidak bisa masuk ke padepokan. Dan tugasmu Arya, segera masuk ke dalam dan amankan kitab ilmu silat itu!” perintah Saka Dirga.
“Ta– tapi… bagaimana dengan Guru? Aku tak mau meninggalkan Guru sendirian di sini. Jumlah mereka sangatlah banyak.” Arya tak segera menuruti, karena itu cukup masuk akal. Bagaimanapun ia sangat khawatir dengan keselamatan gurunya.
“Cepat! Arya, sebelum mereka menemukannya. Nasib perguruan ini ada di tanganmu! Pergilah!” perintah Saka Dirga sekali lagi.
“Ba– baik Guru,” sahut Arya. Dan dengan terpaksa akhirnya ia meninggalkan gurunya yang harus bertempur mati-matian seorang diri. Kini ialah satu-satunya orang terkuat di perguruan itu. Sementara para murid-muridnya tampak sudah sangat kewalahan.
“Murid-muridku, bertahanlah!” teriak Saka Dirga memberi perintah. “Jangan sampai mereka berhasil masuk ke padepokan!”
Melihat Saka Dirga dan murid-muridnya yang kian terpojok, Bara Jagal pun langsung berinisiatif menyusupkan beberapa muridnya untuk masuk ke padepokan dan merebut kitab ilmu silat itu. Dipanggilah tiga orang muridnya yang terkuat dan membawa pedang.
“Hei, kalian! Masuklah ke dalam padepokan itu. Geledah semua ruangan, lalu ambil kitab ilmu silat itu! Awas kalian, jangan sampai gagal!” perintah Bara Jagal sangat berambisi.
“Siap Guru,” jawab muridnya sambil menunduk sopan dan langsung pergi menuruti perintahnya.
Mereka diam-diam menyelinap dari samping saat Saka Dirga beserta murid-muridnya sedang sibuk bertarung menghalau serangan demi serangan yang dikomando oleh Ronggowelang dan Amukraga Kencana. Hanya Bara Jagal yang sedari tadi belum turun ke medan pertarungan. Ia masih mengamati situasi sebelum bertindak.
Serangan Ronggowelang dan Amukraga Kencana beserta para anak buahnya sudah cukup untuk menekan Saka Dirga, pikirnya. Hanya tinggal menunggu kemenangan. Ia baru akan turun ketika semua murid Saka Dirga sudah habis. Giliran ia yang akan maju bertarung melawan Saka Dirga.
Insting Saka Dirga benar! Bara Jagal pasti akan merebut kitab ilmu silat itu secara diam-diam saat ia sedang lengah. Ia memang licik dan penuh akal bulus. Beruntunglah Arya Wisesa tak terlambat. Dengan cepat ia bisa masuk terlebih dahulu ke dalam padepokan. Ia tahu betul dimana kitab ilmu silat itu di simpan. Di ruang meditasi gurunya. Ia masuk dan keadaan padepokan benar-benar kosong tanpa penjagaan. Karena semua murid dari perguruan itu memang sedang bertarung habis-habisan di luar padepokan. Tanpa berpikir panjang, Arya Wisesa langsung mengambilnya dan mengamankannya.
Namun ia mendadak bingung, apakah kembali ke luar padepokan dan ikut bertarung membantu gurunya hingga titik darah penghabisan, dengan resiko kitab ilmu silat itu akan jatuh ke tangan Bara Jagal, atau cepat-cepat melarikan diri dengan resiko perguruannya hancur lebur termasuk gurunya sendiri akan terbunuh dan dibantai oleh Bara Jagal dan sekutunya.
Dua pilihan sulit itu terus berkecamuk hebat dalam pikiran Arya Wisesa. Sejenak ia berpikir sebelum mengambil keputusan.
Baru saja ia akan keluar dari ruangan itu, tiba-tiba tiga orang murid suruhan Bara Jagal sudah berdiri di ambang pintu menghadangnya. Ia pun kaget bukan kepalang. Maka mau tidak mau ia harus bertarung apabila tidak ingin kitab ilmu silat itu jatuh ke tangan Bara Jagal.
“Rupanya ada orang di sini,” sambut salahsatu murid Bara Jagal sambil tertawa angkuh.
“Mundur, atau kalian semua akan celaka!” bentak Arya Wisesa bermaksud mengancam.
“Sudahlah kau menyerah saja! Kami tiga orang. Cepat! Serahkan kitab ilmu silat itu! Apa mau kau kami tikam sampai mampus, hah?!” Yang berdiri paling depan malah balik mengancam sambil tertawa mengejek. Dan dua orang yang di belakangnya juga ikut tertawa.
“Dasar kalian pecundang! Hanya berani keroyokan!” sahut Arya Wisesa tak terlihat gentar sama sekali.
“Kurang ajar! Ayo, kita habisi saja keparat ini!” Yang paling depan langsung emosi dan memberi isyarat dengan lambaian tangan untuk menyerang Arya Wisesa.
‘Sring…! Sring…! Sring…!’
Ketiga murid Bara Jagal itu langsung menghunus pedang yang tersarung di pinggang mereka.
Arya Wisesa sedikit panik, karena sedari tadi ia tak membawa senjata. Keadaannya menjadi cukup berbahaya bagi dirinya. Maka ia melihat ke sekeliling, tak ada pedang di sana. Hanya ada sebuah tongkat kayu jati yang tergeletak di sudut ruangan. Apa boleh buat, hanya itulah satu-satunya senjata yang bisa ia gunakan untuk membela diri. Ia pun mengambilnya dan bersiap memasang sikap kuda-kuda untuk menghalau serangan yang dilancarkan oleh ketiga murid Bara Jagal itu.
Dengan mudah ketiganya mengurung posisi Arya Wisesa. Yang satu siap menyerang dari depan. Yang satu lagi siap menyerang dari samping. Dan satu lagi mengambil posisi di belakang. Arya Wisesa benar-benar terkurung. Ia hanya berusaha tetap tenang dan fokus pada setiap jengkal pergerakan musuh. Matanya benar-benar awas, sambil memegang tongkat itu dengan erat. Bersiap, bila sewaktu-waktu harus diayunkan. Dan ia tidak mau menyerang terlebih dahulu. Menunggu ketiga orang itu dengan waspada, lalu melakukan serangan balasan.
Beruntung Saka Dirga pernah mengajarinya jurus-jurus tongkat. Ia sudah menguasai lima belas jurus tongkat yang cukup mematikan. Ia hanya butuh kelincahan dan kecepatan saja dalam mengaplikasikan jurus itu. Ia juga tahu betul bagian-bagian tubuh mana saja yang harus diserang untuk bisa melumpuhkan lawan.
Tiba-tiba lawannya yang di depan meloncat, mengayunkan pedangnya dari samping menyasar bagian kepala Arya Wisesa. Namun dengan cepat Arya Wisesa merunduk, memiringkan badannya ke bawah menghindari serangan. Alhasil serangan itu hanya mengenai angin saja.
Sekarang giliran Arya Wisesa menyodokkan tongkatnya ke depan menyasar bagian perut lawan. Tentu saja disertai dengan tenaga dalam. Maka lawannya itu pun terseret lima langkah ke belakang sambil memegangi perutnya.
“Kurang ajar!” umpatnya kasar tak terima.
Yang di belakang tak mau kalah, ia langsung lari menerjang hendak menebas pinggang Arya Wisesa. Lagi-lagi Arya Wisesa mampu menghindar hanya dengan gerakan memutar sederhana, meliukkan badannya, lalu mengayunkan tongkatnya itu menyasar betis lawan. Tepat mengenai sasaran.
Alhasil, lawannya itu jatuh terjengkang dan mengerang kesakitan. Mengakibatkan sebuah luka memar yang cukup parah di betisnya tampak biru legam kehitaman.
“Arghhhhh…!” teriaknya kesakitan. “Awas kau keparat busuk!”
Sekarang lawan yang dari samping sekoyong-konyong menerjang hendak menusuk bagian perut Arya Wisesa membabi buta. Serangannya itu menjadi sia-sia belaka karena Arya Wisesa memang awas betul dan waspada pada setiap jengkal pergerakan kaki lawannya. Sehingga ia dengan cepat bisa berkelit ke samping hanya dengan memindahkan satu kakinya saja. Lantas ia balik pukulkan tongkatnya itu ke bagian punggung lawan hingga ia tersungkur jatuh hilang keseimbangan.
“Brengsek…!” umpatnya merasa dipecundangi. “Boleh juga kemampuanmu!”
Mereka belum menyerah. Belum benar-benar lumpuh. Mereka kembali berdiri, menegakkan tubuhnya, memasang sikap kuda-kuda dan berbaris sejajar menghadap Arya Wisesa. Siap kembali menyerang.
Waktunya begitu singkat. Arya Wisesa harus segera mengeluarkan jurus tongkat andalannya untuk bisa melumpuhkan ketiganya. Sebelum Bara Jagal dan sekutunya mengetahui, bahwa kitab ilmu silat itu ada di tangannya. Maka jelas mereka akan mengepung, lalu menangkapnya!
Tak ada pilihan lain, ia harus segera mengeluarkan jurus ‘Tongkat Angin Puting Beliung’ yang merupakan jurus andalannya itu sebelum Bara Jagal beserta sekutunya berhasil masuk ke padepokan, lalu merebut kitab ilmu silat yang sekarang sudah ada di tangannya.Lihat juga bagaimana Saka Dirga tengah berjuang begitu hebat menghadang musuhnya di luar padepokan. Tak lama lagi murid-muridnya juga pasti akan mati terbunuh. Tampak tubuh mereka sudah mandi peluh, sebuah pertanda bahwa mereka betul-betul memeras tenaga dalamnya untuk bertarung.Bahkan Saka Dirga terpaksa harus mengeluarkan dua pedang trisula yang menjadi senjata andalannya untuk memukul mundur para prajurit dari tiga aliansi perguruan yang makin beringas itu. Belum lagi Bara Jagal, Ronggowelang dan Amukraga Kencana yang sudah pasti akan segera menyerangnya habis-habisan.“Semoga saja Arya berhasil mengamankan kitab ilmu silat itu!” gumamnya harap-harap cemas.Maka Arya Wisesa mulai memejamkan matanya. Ia hendak memusatkan pikirann
Ikatan batin yang sudah terjalin sedemikian erat membuat Arya Wisesa bisa merasa dan mendengar suara batin yang diucapkan Saka Dirga. Bagaimanapun Arya Wisesa sudah berlatih silat dengan gurunya itu sejak ia masih berusia lima belas tahun, bahkan sebelum padepokan Srigala Putih dibangun di lembah pegunungan tak bertuan itu.Kini ia sudah berusia dua puluh tahun. Artinya sudah lima tahun ia tinggal di sana dan menghabiskan waktu bersama Saka Dirga. Alhasil keduanya menjadi akrab dan dekat, sampai-sampai kedekatan itu serupa ayah dan anak yang menyayangi satu sama lain.Mereka bahkan punya hobi yang sama. Di tengah-tengah kejenuhan belajar ilmu silat, Saka Dirga sering mengajak Arya Wisesa berburu burung elang dan berkemah di tengah-tengah hutan. Dengan ilmu kanuragannya yang begitu tinggi, Saka Dirga mampu menjinakkan hewan liar itu dengan mudah. Ia hanya perlu mengarahkan telapak tangannya ke arah burung elang yang sedang bertengger di puncak pohon, maka tak berapa lama, elang itu pun
“Guru…, haruskah aku turun dari sini dan ikut bertarung bersamamu?” gumamnya lirih. Dari atas pohon tinggi itu Arya Wisesa masih memantau situasi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca tatkala melihat padepokannya hancur lebur dilalap api. Kedua tangannya mengepal bergetar hebat. Hampir saja ia melesahkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Bara Jagal. Namun ia berusaha menahannya sekuat tenaga. Itu membuat goncangan dahsyat dalam dirinya. Sebuah amarah yang dengan cepat berubah menjadi api kebencian.Lenyap! Padepokan itu rata dengan tanah. Bangunan itu kini tiada. Hanya menyisakan arang dari kayu-kayu yang telah hangus dan abunya beterbangan disapu angin malam.Bara Jagal masih belum puas. Ia sudah benar-benar kalap. Seolah setan sedang merasuki tubuhnya. Maka yang menjadi sasaran terakhir dari ambisinya malam ini setelah gagal merebut kitab ilmu silat incarannya itu adalah membunuh Saka Dirga.Mudah saja untuk mengetahui siapa yang akan menjadi pemenang bila Saka Dirga bertarung satu lawan
“Kenapa Bara Jagal berhenti menyerangku? Apa ia tahu yang menjadi kelemahanku?” desis Saka Dirga dalam hati.Ia masih terus berharap cahaya bulan yang masih tampak terang itu tidak cepat redup, sehingga ia bisa memulihkan tenaga dalamnya dan menambah kekuatannya untuk bisa mengimbangi ketiga lawannya itu. Paling tidak, ia bisa sedikit lama dalam bertarung dan mampu memukul mundur mereka. Karena mustahil bagi Saka Dirga untuk bisa melenyapkan ketiganya sekaligus.Melihat lawannya yang tidak seberingas di awal pertarungan, maka Saka Dirga langsung mengambil inisiatif. Ia mulai memancing Bara Jagal untuk terus mengeluarkan amarahnya dengan tujuan menguras tenaga dalamnya, supaya ia menjadi lemah dan pertarungan pun bisa ia dominasi. Sebelum akhirnya ia lanjut bertarung dengan dua sekutunya, yakni Ronggowelang dan Amukraga Kencana.Serangan-serangan kecil pun mulai dilancarkan oleh Saka Dirga. Ia mengeluarkan jurus-jurus sederhana saja, karena tak perlu mengeluarkan tenaga dalam yang besar
Lihatlah bagaimana kuku-kuku tangannya itu mulai memanjang dengan sendirinya, begitu runcing dan tajam. Tak kalah tajam dari bilah pedang katana. Satu cakaran saja bisa merobek kulit dan mengoyak daging lawannya jika tak punya ilmu silat yang tinggi untuk menahan kekuatannya. Belum lagi racunnya yang berbahaya yang bisa menghambat jalannya peredaran darah, dan bisa membuat lawannya mati secara pelan-pelan!Saka Dirga tak mengendorkan serangannya. Ia kembali menggempur bagian-bagian bawah tubuh Bara Jagal, dan kali ini ia melancarkan serangan kombinasi yang lebih cepat dan mematikan.Pantas saja jurus itu disebut Cakaran Amuk Srigala, karena gerakannya memang sangat gesit sekali seperti srigala.Ia langsung melompat lagi menyasar perut Bara Jagal bagian bawah, namun sebelum satu detik lagi cakaran itu mendarat di perutnya, Bara Jagal berhasil menghindar meloncat dua langkah ke belakang. Maka ia melompat lagi menyerang bagian paha, Bara Jagal pun meloncat lagi dua langkah belakang. Ia t
Ronggowelang tampak kelelahan, dadanya kembang kempis, itu menunjukkan bahwa jurus Harimau Hitam Menerkam Mangsa yang ia keluarkan cukup menguras tenaga dalamnya. Ditambah lagi pingganggnya yang terluka membuat ia untuk sementara waktu berhenti sejenak dari pertarungan, karena harus mengatur nafas dan jalan darahnya sebagai pertolongan pertama.Maka ia mengambil segenggam tanah yang dialiri tenaga dalam untuk menutup luka dan menghambat racun agar tak masuk tubuhnya dan menempelkan tanah itu di pinggangnya. Ia masih tetap dalam mode jurus harimau untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Namun sepertiga tenaga dalamnya harus ia keluarkan sebagai gantinya.Meski Saka Dirga tampak dominan dan menguasai jalannya pertarungan, kemenangannya masihlah jauh ia dapat. Karena ketiga pendekar jahat itu belumlah menyerah. Dan rupanya dominasinya itu tak berlangsung lama, karena saat ia hendak menyerang kembali Ronggowelang dan membuatnya makin terdesak dan merasakan jera, secara t
Sepuluh murid suruhan Bara Jagal itu terus bergerak memburu Arya Wisesa. Mereka berkeliling di sekitar lembah dan menyisir hingga ke dalam hutan. Mereka berpencar dan masing-masing dua orang bergerak ke setiap arah mata angin. Namun hingga bulan purnama di lembah itu redup, pencarian mereka belum kunjung mendapat hasil. Tak ada satu batang hidung pun yang mereka temui dan curigai sebagai Arya Wisesa.Sebaliknya yang sedang diburu masih anteng-anteng saja bersembunyi di balik pohon yang paling tinggi dan besar dan paling rimbun. Dari atas pohon itulah ia bisa melihat keadaan sekitar lembah dengan leluasa. Bahkan Arya Wisesa bisa melihat bukit yang ada di seberang dengan sangat jelas.Kesepuluh murid itu tidak bisa kembali kalau mereka tidak berhasil menemukan Arya Wisesa. Maka mereka akan kena damprat dan hukuman dari Bara Jagal, jika lagi-lagi mereka gagal dalam melakukan tugas.Hanya mengandalkan obor di tangan-tangan yang mereka bawa, mereka terus menelusuri s
Ketiga pendekar dari golongan hitam itu sudah bersiap dengan senjata andalannya masing-masing. Bara Jagal dengan pedang panjangnya dan bilahnya sangat lebar. Itu bukanlah pedang biasa, butuh tenaga yang luar biasa kuat untuk mengangkat pedang naganya yang besar itu. Hanya orang-orang yang punya ilmu silat yang tinggi saja yang bisa mengangkat pedangnya.Andai pedang itu digunakan untuk menebas pohon besar, yang lingkar batangnya sebesar dua pelukan orang dewasa pun hanya cukup sekali tebas saja disertai tenaga dalam, maka pohon itu akan langsung tumbang ke tanah. Tak perlu diragukan lagi kekuatan dari pedang naga yang dimiliki Bara Jagal.Sementara Ronggowelang yang berdiri di samping kiri Bara Jagal sudah siap dengan tombak panjangnya. Sebuah tombak yang terbuat dari besi hitam yang sangat keras, dan sewaktu-waktu bisa ia lesatkan bagai anak panah. Hebatnya, sejauh apa pun tombaknya itu melesat, tombak itu bisa kembali terbang ke arahnya dan mendarat dengan mulus dala
“Ya, betul. Mulai saat ini aku dan seluruh pendekar Gagak Hitam menyatakan akan selalu setia pada Saudara Arya Wisesa. Untuk itu kami mempersilahkan Saudara Arya yang memilih sendiri nama perguruan yang cocok untuk kami.” Jaya Wiguna ikut menambahkan.“Terimakasih atas penawaran dari Saudara semuanya. Untuk menjadi pemimpin, sepertinya aku masihlah belum layak. Aku sungguh sangat menghargai niat Saudara berdua yang ingin menyatukan perguruan, aku mendukung niat baik Saudara berdua. Tapi maaf aku belum bersedia untuk menerima tawaran ini.” Arya Wisesa menjawab.Namun penolakan itu sepertinya membuat Purwasena dan Jaya Wiguna makin berusaha keras membujuknya untuk bersedia menjadi pemimpin mereka dan mendirikan perguruan baru yang lebih kuat.Karena tentu harus ada pemimpin baru ketika dua perguruan ini ingin bersatu. Tak mungkin Purwasena atau Jaya Wiguna sendiri yang menjadi pemimpin dari dua perguruan ini, yang pasti akan menimbulkan banyak ketidaksetujuan. Mereka hanya ingin Arya Wis
Para pendekar itu menjadi saling pandang dan bertanya-tanya, pedang apa yang sedang dipegang oleh Arya Wisesa? Dan dari mana pula ia bisa mendapatkan pedang sebagus itu? Mereka tampak takjub dan perhatian mereka kini justru menjadi terfokus pada Arya Wisesa. Dan untuk sementara menghentikan pertarungan yang sempat berlangsung sengit.“Sekali lagi kuperingatkan! Hentikan pertarungan kalian, atau akan kubuat rata tempat ini!” ancam Arya Wisesa tak main-main sambil ia mengacungkan pedang itu ke atas langit.Sebuah sinar hijau terus memancar dan kini bumi menjadi sedikit bergoncang. Membuat mereka tak percaya dan tubuh mereka sedikit terhuyung terombang-ambing ke kanan dan ke kiri.Mereka mulai takut dan dibikin ngeri oleh Arya Wisesa. Kepanikan itu tak bisa disembunyikan dari wajah mereka. Membuat salahsatu pendekar Bangau Merah akhirnya mau menuruti perintah Arya Wisesa.“Cukup Saudara, kami mengakui kau pendekar hebat. Dan pedang yang kau punya itu sepertinya punya kekuatan yang tak ter
Mereka berlari ke arah gerobak yang ditarik oleh kuda itu. Dan ketika kain hitam itu tersingkap, barulah ketahuan bahwa yang mereka bawa digerobak itu ternyata adalah senjata! Bukan perbekalan atau pun logistik seperti yang dikatakan oleh Jaya Wiguna.Apakah Gagak Hitam sengaja melakukan itu? Kalau itu sengaja dan sudah direncanakan, maka jelas Jaya Wiguna telah berdusta dan melanggar kesepakatan. Ia telah berkhianat dan ia bukan saja telah menyakiti hati para pendekar Bangau Merah, tapi juga sudah memicu api dendam dalam diri mereka.Kini bukan saja jumlah mereka yang jauh lebih unggul, tapi mereka juga menggunakan senjata untuk bertarung. Situasi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Bangau Merah. Sehingga itu membuat Purwasena makin naik darah.“Jahanam, kau Jaya Wiguna! Rupanya kau telah berdusta dan melanggar kesepakatan di antara kita. Kau memang bedebah dan licik!” gerutu Purwasena, wajahnya makin membesi dibalut amarah.“Hua-ha-ha, ini konsekuensi yang pantas diterim
“Saudara Jaya Wiguna seharusnya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini. Saudara seharusnya bisa mencegah hal itu tidak terjadi. Saudara tidak bisa lepas tangan begitu saja!” kata Purwasena mulai menekan.“Saudara tidak perlu menasehatiku terlalu jauh! Muridku juga tidak akan bertindak sejauh itu, kalau Saudara bisa mendidik murid Saudara sendiri dengan benar! Dan tidak menjadi pendekar yang gemar mengeroyok pendekar perguruan lain sampai meninggal!” Jaya Wiguna tak mau kalah dan malah balik menekan.“Aku tidak bermaksud menasehati, Saudara. Tapi aku sangat menyayangkan tindakan dari pendekar Gagak Hitam yang merespon kejadian itu terlalu berlebihan dan sangat tidak manusiawi! Itu sangat biadab, Saudara!” Purwasena tidak berhenti dan terus menekan.“Huh! Lalu apakah tindakan pengeroyokan sampai menghilangkan nyawa itu adalah tindakan yang tidak biadab? Saudara harusnya berkaca dulu sebelum berbicara!” timpal Jaya Wiguna tak kalah keras.Kedua pemimpin Perguruan
“Baik, kami akan menyampaikan ini pada Perguruan Bangau Merah. Semoga pada waktunya kita bisa bertemu kembali dan menyepakati apa yang telah kita bicarakan.” Wisangpati menyahut.“Oh ya, sebelumnya aku meminta izin untuk memperkenalkan diri. Aku Jaya Wiguna, ketua Perguruan Gagak Hitam.” Akhirnya orang itu memberi tahu namanya.“Sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu dengan saudara Jaya Wiguna,” sahut Wisangpati.“Baiklah saudara Wisangpati, kami perkenankan kalian berdua untuk kembali ke Perguruan Bangau Merah dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan kami,” kata Jaya Wiguna.Wisangpati dan Arya Wisesa kompak menjura dan mereka pun segera bergegas kembali ke Perguruan Bangau Merah.Dengan menunggangi kuda perjalanan mereka menjadi lebih cepat. Terlihat para pendekar Bangau Merah sudah menunggu kepulangan mereka sore itu. Mereka penasaran apa hasil yang didapat oleh Wisangpati dan Arya Wisesa yang mereka utus melaksanakan misi diplomasi mewakili perguruan mereka.Namun karena hari ma
Mereka segera berangkat ke Perguruan Gagak Hitam yang ada di desa sebelah utara. Memang batas desa ini hanya dipisah oleh sebuah sungai lebar yang membentang dari timur ke barat.Untuk masuk ke desa itu harus melalui sebuah jembatan yang lebarnya hanya bisa dimasuki dua kuda. Itu sudah cukup bagi mereka. Dan Perguruan Bangau Merah tak keberatan untuk meminjamkan kuda sebagai tumpangan mereka.Cukup dalam setengah hari dengan menunggangi kuda waktu yang mereka tempuh untuk sampai di Padepokan Perguruan Gagak Hitam. Saat mereka tiba di sana, situasi tak kalah ramai dan nampaknya orang-orang di perguruan itu juga sedang mengadakan rapat darurat. Rapat itu lebih sunyi dan rahasia, karena mereka terlihat hanya berbisik satu sama lain.Namun mereka terlihat panik tatkala melihat kedatangan dua orang asing yang menunggangi kuda menuju padepokan mereka. Beberapa orang langsung cabut senjata dari balik pinggang mereka, hanya pemimpinnya saja yang terlihat tenang sambil memperhatikan waspada.D
“Mereka semua sangat biadab! Kenapa harus menyerang warga desa yang tidak bersalah? Mereka telah melanggar sumpah mereka sendiri sebagai seorang pendekar!” Arya Wisesa ikut marah ketika mendengar penjelasan dari nenek tua itu. Ia tampak terkejut dan tidak percaya dengan kebiadaban yang telah dilakukan oleh Perguruan Gagak Hitam.“Aku pun tak tahu, Den. Sepertinya tidak lama lagi akan terjadi peperangan besar antara dua perguruan ini. Aku hanya bisa berharap pertolongan Dewa segera datang. Dan ada orang yang bisa menengahi konflik ini, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan,“ sahut si nenek terlihat lemas dan pasrah terhadap keadaan.“Kalau kami boleh tahu, di mana letak Perguruan Bangau Merah itu, Nek?” tanya Wisangpati.“Kisanak berdua terus saja menyusuri jalan desa ini. Setelah melewati rumah terakhir, Kisanak berdua belok saja ke kanan, ada jalan yang agak menanjak menuju sebuah bukit. Nah, dari kejauhan pasti terlihat ada bangunan padepokan di bukit itu,” jawab si nenek.Mere
“Idemu tidak terlalu buruk,” kata Garang Bonggol.“Tapi sedari awal aku ingin pemuda itu yang berhasil kautangkap, sehingga aku bisa langsung membawa pemuda itu ke hadapan Tuan Bara Jagal. Dengan begitu, dia akan memberiku imbalan besar dan kenaikan pangkat. Sayangnya kau tak bisa memenuhi keinginanku, jadi aku terpaksa tak akan memberimu imbalan tambahan,” lanjutnya.“Sekarang, begini saja Tuan, cepat atau lambat pemuda itu pasti akan datang ke Padepokan Perguruan Naga Api. Kita sebar seluruh pasukan kita untuk berpatroli di setiap sudut sebelum masuk ke area padepokan. Saat dia datang dan sebelum benar-benar sampai di padepokan, kita akan sergap dan lumpuhkan dia bersama-sama!” Kebo Ijo memberi ide lagi.Garang Bonggol tampak berpikir dan tak langsung setuju dengan ide Kebo Ijo. Setelah berpikir sejenak ia pun menyahut, “Hmmm, aku kurang setuju dengan idemu. Karena tentu kita perlu mengerahkan pasukan yang lumayan banyak, sedangkan kita tidak tahu pemuda itu akan masuk ke padepokan
“Kalian semua mundur! Dan kembalilah ke kuda kalian masing-masing!” seru Kebo Ijo kepada sepuluh orang prajurit itu.Mereka senang bukan kepalang, karena beberapa orang di antaranya terlihat sudah mulai kehabisan tenaga. Ada yang terpincang-pincang, ada yang lebam-lebam di bagian wajah, ada yang memegangi perutnya, dan ada yang terluka di bagian bibirnya akibat bertarung dengan Wisangpati.“Dengar, orangtua payah dan pemuda bodoh! Jika kalian ingin gadis ini selamat, temui aku di Padepokan Perguruan Naga Api!” kata Kebo Ijo memberi pesan ancaman kepada Arya Wisesa dan Wisangpati.“Keparat kau, manusia hina! Aku akan menghajar dan memenggal kepalamu sekarang juga!” bentak Arya Wisesa seraya berdiri dan satu tangannya sudah mulai memegang hulu pedang yang tergantung di punggungnya.Ia sadar kekuatan fisiknya mulai melemah akibat racun yang terus masuk menjalari seluruh tubuhnya itu.“Terus saja kau mengoceh sesukamu! Dan serang aku jika tenagamu masih cukup. Ketahuilah, kalau kau tak pa