Share

Bab 004 - Kehancuran Padepokan

Ikatan batin yang sudah terjalin sedemikian erat membuat Arya Wisesa bisa merasa dan mendengar suara batin yang diucapkan Saka Dirga. Bagaimanapun Arya Wisesa sudah berlatih silat dengan gurunya itu sejak ia masih berusia lima belas tahun, bahkan sebelum padepokan Srigala Putih dibangun di lembah pegunungan tak bertuan itu.

Kini ia sudah berusia dua puluh tahun. Artinya sudah lima tahun ia tinggal di sana dan menghabiskan waktu bersama Saka Dirga. Alhasil keduanya menjadi akrab dan dekat, sampai-sampai kedekatan itu serupa ayah dan anak yang menyayangi satu sama lain.

Mereka bahkan punya hobi yang sama. Di tengah-tengah kejenuhan belajar ilmu silat, Saka Dirga sering mengajak Arya Wisesa berburu burung elang dan berkemah di tengah-tengah hutan. Dengan ilmu kanuragannya yang begitu tinggi, Saka Dirga mampu menjinakkan hewan liar itu dengan mudah. Ia hanya perlu mengarahkan telapak tangannya ke arah burung elang yang sedang bertengger di puncak pohon, maka tak berapa lama, elang itu pun langsung terbang melesat menghampirinya dan bertengger di bahunya.

“Kau juga bisa mencobanya Arya,” kata Saka Dirga setelah ia menunjukkan kemampuannya menjinakkan hewan itu.

Ia pun mulai komat-kamit merapalkan mantra yang sudah diajarkan oleh gurunya itu dengan serius. Maka diarahkanlah telapak tangan kanannya ke atas, mengarah ke burung elang yang sedang bertengger di pohon yang lain. Sekonyong-konyong burung itu juga terbang melesat menghampirnya sangat bersahabat, tanpa ada niatan untuk mencelakai sama sekali. Seolah mereka sedang menghadap tuannya sendiri.

“Berhasil! Aku bisa melakukannya Guru,” sahut Arya Wisesa semringah.

“Bagus! Kau memang muridku yang pintar, Arya. Kau bisa menguasai ilmu yang aku ajarkan dengan cepat,” puji Saka Dirga sambil tersenyum.

Kedua burung elang itu tampak manja sekali bertengger di bahu mereka, seolah itu tempat yang paling nyaman bagi dua burung itu. Malahan kedua burung itu menempelkan kepalanya ke leher mereka, mendekatkan tubuhnya dan membiarkan kedua sayapnya tertutup rapat, sehingga terasa leher mereka seperti sedang dielus-elus lembut. Maka mereka membalas dengan mengusap-ngusap bagian atas kepala burung elang itu.

“Arya, sebagai seorang ksatria sejati, kau pun harus hidup sebagaimana burung elang ini,” kata Saka Dirga tiba-tiba memberi nasihat.  

“Mengapa demikian, Guru?” tanya Arya Wisesa.

“Kau harus punya pandangan yang tajam dan luas laksana burung elang ini, Arya. Kau harus peka dengan segala situasi dan melihat masalah dengan bijak. Burung elang tidak pernah takut terbang sendiri. Mereka tidak pernah takut terjatuh, meski goncangan angin menerpa mereka sangat kencang di atas langit sana. Itu memberi pelajaran bagi kita bahwa semakin tinggi ilmu dan kedudukan kita, maka semakin berat rintangan yang akan kita hadapi.

Kuharap kau tidak mudah menyerah dengan apapun ujian hidup yang menerpamu dengan keras. Kelak, akan ada suatu masa dimana kau akan terbang sendirian seperti burung elang ini. Menghadapi masalahmu seorang diri, tak bergantung pada siapa pun dan kau hanya mengandalkan kekuatan dan potensimu sendiri.” Begitulah jawaban sang guru, mengandung pesan bijak yang sangat dalam.

Mendengar nasihat seperti itu, hatinya langsung bergetar. Seolah ada energi tak kasat mata yang langsung merasuki dirinya. Arya Wisesa mendengarkan nasihat itu dengan serius dan memandang gurunya dengan penuh kekaguman.

Dan tak berapa lama setelah Saka Dirga memberi nasihat seperti itu, kedua burung elang yang tadi bertengger di bahu mereka terbang kembali ke atas langit, begitu cepat melesat berpencar satu sama lain. Mengepakkan sayapnya yang gagah. Sampai lama-lama menghilang serupa titik hitam dan tak bisa lagi dijangkau oleh sepasang mata mereka.

Itulah momen yang paling Arya Wisesa ingat selama ia belajar ilmu silat bersama Saka Dirga. Nasihat yang ia terima beberapa tahun silam itu tampaknya akan menjadi kenyataan dan takdir yang sebentar lagi akan ia hadapi. Ialah burung elang yang dimaksud gurunya itu. Ia akan berjuang sendiri manakala Bara Jagal bersama dua sekutunya itu telah menghancurkan Srigala Putih dan melenyapkan Saka Dirga, gurunya yang paling ia sayangi dan kagumi.

Maka saat ia berhasil kabur melalui pintu rahasia yang terletak di belakang padepokan, dengan ilmu meringankan tubuhnya Arya Wisesa segera meloncat ke atas pohon yang paling tinggi dan paling rindang serupa burung elang yang terbang dengan gagahnya. Bertengger di bagian paling atas, bermaksud bersembunyi dari kejaran musuh.

Mustahil murid-murid suruhan Bara Jagal itu bisa menemukannya dengan mudah, karena pohon itu begitu tinggi dengan dahan-dahan yang begitu rapat dan daun-daun yang begitu subur membuat puncak pohon tampak tertutup sempurna. Membuat sepasang mata manapun tak akan bisa menyadari bahwa ada orang yang sedang bersembunyi di situ.

Di atas pohon tinggi besar menjulang itulah Arya Wisesa bisa melihat semuanya dengan jelas dan leluasa. Tampak mayat-mayat dari kedua belah pihak yang mati itu bergelimpangan di mana-mana. Arya Wisesa tak bisa menyembunyikan kesedihan sekaligus amarahnya. Apalagi ketika melihat teman-teman seperguruannya itu tewas dibantai tak bersisa. Itu membuat dadanya sedikit sesak dan merasa bersalah karena tidak bisa berbuat banyak.

Ia bisa melihat sendiri, kini tinggalah Saka Dirga seorang diri. Meski begitu nyalinya tak berkurang sedikit pun. Ia masih berdiri gagah dengan kedua pedang trisula di tangannya. Sekujur tubuhnya banjir keringat. Hampir sepertiga dari tenaga dalamnya sudah ia gunakan untuk memukul mundur lawan.

Bagaimanapun muridnya yang hanya berjumlah lima puluh itu harus bertempur melawan seratus lima puluh prajurit pendekar yang beraliansi itu. Sebuah pertempuran yang licik dan amat tidak seimbang.

Dari kejauhan Arya Wisesa bisa mendengar seruan gurunya pada ketiga lawannya itu. Baginya, kewibawaan Saka Dirga tak pernah luntur meski ia sudah terpojok sendirian.

“Hei, kalian! Sebaiknya mundur dan tinggalkan tempat ini, sebelum aku menggunakan kekerasan!” gertak Saka Dirga sambil menunjuk ke arah Bara Jagal dan sekutunya. “Sampai kapan pun kalian tak akan bisa mendapatkan kitab ilmu silat itu!”

“Jangan banyak bacot kau Saka Dirga!” Bara Jagal balik membentak. “Kalaupun aku tak bisa mendapatkan kitab ilmu silat itu, paling tidak serahkan nyawamu sebagai gantinya!” lanjutnya sambil tertawa angkuh.

“Hanya pendekar pecundang yang masih saja menyerang lawan yang tidak seimbang!” balas Saka Dirga.

“Ha-ha-ha, Bilang saja kau takut padaku, Saka Dirga!” ejek Bara Jagal. “Lihat! di belakangku ada dua puluh muridku yang pandai menggunakan panah. Sebentar lagi kau akan menyaksikan sendiri kehancuran padepokanmu, Saka Dirga!”

Dua puluh pemanah itu tidak akan digunakan oleh Bara Jagal untuk membunuh Saka Dirga, melainkan digunakan untuk membakar padepokannya. Mereka melilitkan kain-kain yang sudah dilumuri minyak tanah di ujung anak panahnya. Hanya dengan satu sambaran api saja, senjata itu siap ditembakkan laksana meriam yang akan membumihanguskan bangunan padepokan itu.

Maka hanya dengan satu gerakan tangan saja, Bara Jagal melambai ke atas sebagai isyarat agar murid-muridnya itu segera menembakkan panah-panah mereka.

Melesatlah puluhan anak panah itu ke udara mengarah ke bangunan padepokan. Membuat warna langit di sekitar padepokan dengan sekejap menjadi merah menyala.

Atap-atap mulai terbakar, dua patung srigala yang berdiri kokoh di depan padepokan juga hangus terbakar, beberapa tiang yang menyangga bangunan itu mulai ambruk, hingga api itu sedemikian cepat melalap bangunan yang didominasi oleh kayu itu. Hingga sekarang yang tampak hanyalah gumpalan api besar yang membumbung tinggi ke udara.

“Lihat, Saka Dirga! Sebentar lagi padepokanmu akan rata dan hangus menyisakan abu!” kata Bara Jagal sambil tertawa puas.

“Kau akan celaka, Bara Jagal! Kelak kau akan mendapat balasan setimpal atas perbuatanmu itu!” respon Saka Dirga seraya mengutuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status