Malam hari yang dingin saat bulan bersinar terang-terangnya di atas lembah, gabungan para pendekar dari tiga perguruan itu berbaris menunggangi kuda mereka masing-masing hendak bergerak ke dalam hutan, mendekati sebuah padepokan milik perguruan silat bernama Srigala Putih. Sebelum serangan mendadak itu dilakukan, mereka pun terlebih dahulu bersiasat.
“Kali ini harus berhasil!” kata Bara Jagal, seorang pendekar kejam yang memimpin Perguruan Naga Api. “Bila perlu kita babat habis mereka semua, kalau Saka Dirga tak mau menyerahkan kitab ilmu silatnya itu!”
“Aku lebih senang Saka Dirga lenyap sekalian! Dan ini akan menjadi malam bagi kehancuran Srigala Putih!” sahut Ronggowelang, pemimpin dari Perguruan Harimau Hitam.
“Ha-ha-ha, aku sudah tidak sabar memenggal kepalanya dan mengaraknya ke alun-alun!” ujar Amukraga Kencana, pemimpin dari Perguruan Ular Merah.
Tiga aliansi perguran besar itu bersekongkol hendak menghancurkan Perguran Srigala Putih yang dipimpin oleh Saka Dirga. Ia merupakan seorang pendekar sakti yang mendirikan sebuah padepokan silat di sebuah lembah yang dikelilingi oleh hutan yang lebat. Mereka mengincar sebuah kitab ilmu silat yang konon menyimpan sebuah kekuatan rahasia yang tak tertandingi, yang bisa mengubah dunia persilatan.
Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di lokasi. Tampak para murid dari Saka Dirga sedang berlatih jurus-jurus silat di halaman padepokan. Sontak mereka langsung berhenti dan mematung sejenak, ketika sadar ada tamu yang datang ke padepokan mereka dengan membawa persenjataan lengkap. Mereka pun langsung siap siaga. Rasa cemas mulai muncul dan mereka merasakan ada niat yang tidak baik, yang hendak dilakukan oleh Bara Jagal dan sekutunya.
“Bagus! Rupanya dari hari ke hari muridmu semakin bertambah banyak saja Saka Dirga,” ucap Bara Jagal yang masih duduk di atas kudanya.
“Mau apa kau datang kemari, Bara Jagal?” tanya Saka Dirga waspada.
“Mencabut nyawamu, Saka Dirga!” jawab Bara Jagal penuh ejekan sambil tertawa lantang, diikuti oleh dua sekutu dan seluruh prajuritnya.
Seorang murid muda yang berdiri di samping Saka Dirga tampak geram. Ia mengepalkan kedua tangannya, dan menggertakkan rahangnya ketika mendengar gurunya diejek seperti itu.
“Hei, bangsat! Tutup mulutmu! Jangan seenaknya kau bicara! Berani-beraninya kau berkata seperti itu pada guru kami!” bentak si murid muda yang merasa geram.
“Tenang Arya, tak perlu emosi,” kata sang guru mencoba menenangkan. “Biar aku yang menghadapi manusia laknat itu, jika dia berani berbuat macam-macam!”
Jelas, ejekan itu juga membuat para murid yang lainnya mulai geram. Wajah mereka tampak marah dan tak terima. Namun mereka baru akan bertindak jika sudah ada perintah dari Saka Dirga.
“Aih, galak sekali kau anak muda, siapa namamu? Cukup besar juga nyalimu tampaknya. Aku jadi tak sabar ingin mencoba kemampuanmu!” ucap Bara Jagal pada murid muda yang bernama Arya Wisesa itu.
“Dia bukan lawan yang seimbang untukmu, Bara Jagal!” kata Saka Dirga langsung pasang badan. “Jangan sampai kau berani macam-macam pada muridku!” tambahnya tegas.
Saka Dirga dan Bara Jagal sebenarnya adalah kawan yang dulu belajar di perguran yang sama. Mereka belajar silat dan ilmu kanuragan pada seorang guru sakti yang sama. Dan kini mereka telah mendirikan perguruan masing-masing. Namun karena dibakar oleh rasa iri dengki, Bara Jagal merasa ialah yang seharusnya berhak memegang kitab ilmu silat yang menyimpan kekuatan rahasia itu. Namun pada waktu itu, sebelum meninggal, sang guru lebih memercayakan kitab ilmu silat itu pada Saka Dirga untuk menyimpan dan menjaganya. Gurunya amat khawatir, kitab ilmu silat itu akan jatuh ke tangan orang yang salah, lalu kekuatannya akan disalahgunakan untuk kejahatan yang bisa membahayakan dunia persilatan.
“Kau tak usah banyak cingcong, Saka Dirga!” kata Amukraga Kencana ikut menyela. “Cepat berikan kitab ilmu silat itu pada kami, jika kau tak mau celaka!”
“Tidak akan kuberikan!” jawab Saka Dirga tegas.
“Oh begitu? Kau mau cari mati rupanya, hah?!”
“Lebih baik aku mati, daripada harus memberikan kitab ilmu silat ini pada kalian!” kata Saka Dirga tak merasa goyah dengan pendiriannya.
“Kurang ajar! Sepertinya dia hendak menantang kita!” ucap Ronggowelang, si pemimpin Perguruan Harimau Hitam yang memang berwatak tempramental. Ia sangat pemarah dan tak sabaran.
“Apa boleh buat, kau sendiri yang mengambil keputusan. Maka kau akan menanggung akibatnya, Saka Dirga!” ucap Bara Jagal penuh ancaman.
Para murid-murid Saka Dirga pun langsung sigap bersiaga sambil memasang kuda-kuda dan sudah ada yang menghunuskan pedang mereka. Menanti sebuah pertarungan yang tidak lama lagi akan segera terjadi. Beberapa murid yang lain pun sudah siap kalau pun mereka harus bertempur menggunakan tangan kosong, karena tak banyak senjata yang mereka miliki.
“Para pemanah! Bersiap-siap!” ucap Bara Jagal memberi aba-aba pada prajurit pemanah.
Tanpa basa-basi, setelah turun dari kudanya, Ronggowelang si pendekar berangasan itu langsung berlari menerjang ke depan mengawali serangan. Tanpa menghunuskan tombak panjang yang menjadi senjata andalannya pun, ia bisa dengan mudah mengalahkan murid-murid Saka Dirga yang dari segi kemampuan silat dan tenaga dalam memang masih dibawahnya. Ibarat ratu yang mempunyai pergerakan leluasa yang dengan mudahnya membabat pion-pion pada tiap-tiap petak di papan catur. Itulah yang ia lakukan. Menyerang dengan ganas dan tanpa ampun.
“Ha-ha-ha, dasar cecunguk-cecunguk yang tak berguna!” ucapnya sambil tertawa angkuh.
Hanya dengan sekali dua kali pukulan dan jurus-jurus sederhana, ia bisa menumbangkan murid-murid Saka Dirga yang mencoba menghadangnya. Ia cukup menggunakan sepertiga tenaga dalamnya saja untuk membuat lawan-lawannya itu terpental dalam jarak tiga sampai lima tombak.
Pertarungan berlangsung sengit. Lengan-lengan kuat dan kaki-kaki para pendekar itu beradu. Mereka saling mengadu jurus dan berusaha saling membunuh.
‘Tranggg … Trang ….!’
Bunyi pedang terus berdentangan ke seantereo lembah. Memercikan api-api kecil ke udara dari bilah-bilah yang berlanggaran itu.
Pihak Saka Dirga berusaha menghadang dan melawan sekuat tenaga. Meski pada akhirnya satu persatu harus tumbang rubuh ke tanah. Dan dari mulut mereka keluar darah segar menggumpal kehitaman. Tidak salah lagi, mereka pasti terluka di dalam akibat hantaman Ronggowelang yang memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat dahsyat.
Belum habis dengan serangan yang dilakukan oleh Ronggowelang bersama para muridnya, kini giliran Amukraga Kencana yang menyerang menyerbu turun dari kudanya. Sebuah palu gada tergantung di punggungnya yang menjadi senjata andalannya. Itu bukanlah sebuah palu biasa, karena hanya dalam sekali hantaman saja, tubuh siapapun yang terkana akan langsung remuk dengan seketika.
Sama seperti Ronggowelang, ia pun tidak cepat-cepat mengeluarkan senjata andalannya itu dan cukup hanya menggunakan tangan kosong saja. Dua tiga murid Saka Dirga pun langsung jatuh terkapar tak berdaya. Sekarang hanya tinggal Bara Jagal yang akan menyerang. Ia pun sudah siap dengan prajuritnya. Apalagi ia membawa divisi khusus. Para pemanah yang sudah terlatih yang bisa dengan sekejap meluluhlantakan murid-murid Saka Dirga. Tapi ia masih menahannya, dan sepertinya punya rencana lain.
Di lain sisi, pihak Saka Dirga makin terdesak dan mustahil mereka bisa memenangkan pertempuran. Dari segi prajurit pun jelas, pihak Perguruan Srigala Putih kalah jumlah.
Arya Wisesa yang merupakan murid muda yang paling menonjol terus berusaha menghalau para prajurit dari ketiga pemimpin perguruan bengis itu. Dua tiga orang berhasil ia jatuhkan. Tapi bagaimanapun kekuatan ilmu silatnya masihlah belum terlalu tinggi.
Lama kelamaan, tenaganya pun melemah dan ia mulai tak yakin bisa menghalau semua lawannya. Apalagi jika harus berhadapan langsung dengan ketiga pemimpinnya. Ilmunya masihlah belum seimbang dan mustahil bisa mengalahkan ketiganya. Ia juga tidak mempunyai senjata andalan sebagaimana Bara Jagal, Ronggowelang, dan Amukraga Kencana. Yang ia punya hanyalah semangat dan tekad untuk mempertahankan perguruannya dari kehancuran.
Saat itulah Arya Wisesa dan perguruannya mulai berada dalam masalah besar.
“Ha-ha-ha, sudah kubilang Saka, lebih baik kau menyerah saja! Sebelum padepokanmu ini kuhancurkan!” ujar Bara Jagal mencoba terus menekan Saka Dirga.“Lihat! Aku masih bisa berdiri, Bara Jagal! Tak perlu meremehkanku! Akan kupertahankan perguruanku sampai titik darah penghabisan! Dan Jangan harap kau bisa mendapatkan kitab ilmu silat itu!” sahut Saka Dirga tak goyah sedikit pun.Meski keadaan mereka sudah sedemikian terdesak, Saka Dirga bersama muridnya tak menyerah begitu saja. Mereka masih mampu memberikan perlawanan-perlawan dengan sisa-sisa tenaga mereka yang nyaris habis. Situasinya makin terpojok dan mereka makin mundur mendekati area padepokan. Sementara separuh murid Saka Dirga sudah tewas terbunuh. Darah mengalir dari tubuh-tubuh yang terluka sehingga membentuk genangan yang mengerikan. Tidak lama lagi halaman padepokan itu akan menjadi kuburan masal.“Bagaimana ini, Guru?” tanya Arya Wisesa mulai panik.“Sebisa mungkin aku akan menghadang mereka agar tidak bisa masuk ke padep
Tak ada pilihan lain, ia harus segera mengeluarkan jurus ‘Tongkat Angin Puting Beliung’ yang merupakan jurus andalannya itu sebelum Bara Jagal beserta sekutunya berhasil masuk ke padepokan, lalu merebut kitab ilmu silat yang sekarang sudah ada di tangannya.Lihat juga bagaimana Saka Dirga tengah berjuang begitu hebat menghadang musuhnya di luar padepokan. Tak lama lagi murid-muridnya juga pasti akan mati terbunuh. Tampak tubuh mereka sudah mandi peluh, sebuah pertanda bahwa mereka betul-betul memeras tenaga dalamnya untuk bertarung.Bahkan Saka Dirga terpaksa harus mengeluarkan dua pedang trisula yang menjadi senjata andalannya untuk memukul mundur para prajurit dari tiga aliansi perguruan yang makin beringas itu. Belum lagi Bara Jagal, Ronggowelang dan Amukraga Kencana yang sudah pasti akan segera menyerangnya habis-habisan.“Semoga saja Arya berhasil mengamankan kitab ilmu silat itu!” gumamnya harap-harap cemas.Maka Arya Wisesa mulai memejamkan matanya. Ia hendak memusatkan pikirann
Ikatan batin yang sudah terjalin sedemikian erat membuat Arya Wisesa bisa merasa dan mendengar suara batin yang diucapkan Saka Dirga. Bagaimanapun Arya Wisesa sudah berlatih silat dengan gurunya itu sejak ia masih berusia lima belas tahun, bahkan sebelum padepokan Srigala Putih dibangun di lembah pegunungan tak bertuan itu.Kini ia sudah berusia dua puluh tahun. Artinya sudah lima tahun ia tinggal di sana dan menghabiskan waktu bersama Saka Dirga. Alhasil keduanya menjadi akrab dan dekat, sampai-sampai kedekatan itu serupa ayah dan anak yang menyayangi satu sama lain.Mereka bahkan punya hobi yang sama. Di tengah-tengah kejenuhan belajar ilmu silat, Saka Dirga sering mengajak Arya Wisesa berburu burung elang dan berkemah di tengah-tengah hutan. Dengan ilmu kanuragannya yang begitu tinggi, Saka Dirga mampu menjinakkan hewan liar itu dengan mudah. Ia hanya perlu mengarahkan telapak tangannya ke arah burung elang yang sedang bertengger di puncak pohon, maka tak berapa lama, elang itu pun
“Guru…, haruskah aku turun dari sini dan ikut bertarung bersamamu?” gumamnya lirih. Dari atas pohon tinggi itu Arya Wisesa masih memantau situasi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca tatkala melihat padepokannya hancur lebur dilalap api. Kedua tangannya mengepal bergetar hebat. Hampir saja ia melesahkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Bara Jagal. Namun ia berusaha menahannya sekuat tenaga. Itu membuat goncangan dahsyat dalam dirinya. Sebuah amarah yang dengan cepat berubah menjadi api kebencian.Lenyap! Padepokan itu rata dengan tanah. Bangunan itu kini tiada. Hanya menyisakan arang dari kayu-kayu yang telah hangus dan abunya beterbangan disapu angin malam.Bara Jagal masih belum puas. Ia sudah benar-benar kalap. Seolah setan sedang merasuki tubuhnya. Maka yang menjadi sasaran terakhir dari ambisinya malam ini setelah gagal merebut kitab ilmu silat incarannya itu adalah membunuh Saka Dirga.Mudah saja untuk mengetahui siapa yang akan menjadi pemenang bila Saka Dirga bertarung satu lawan
“Kenapa Bara Jagal berhenti menyerangku? Apa ia tahu yang menjadi kelemahanku?” desis Saka Dirga dalam hati.Ia masih terus berharap cahaya bulan yang masih tampak terang itu tidak cepat redup, sehingga ia bisa memulihkan tenaga dalamnya dan menambah kekuatannya untuk bisa mengimbangi ketiga lawannya itu. Paling tidak, ia bisa sedikit lama dalam bertarung dan mampu memukul mundur mereka. Karena mustahil bagi Saka Dirga untuk bisa melenyapkan ketiganya sekaligus.Melihat lawannya yang tidak seberingas di awal pertarungan, maka Saka Dirga langsung mengambil inisiatif. Ia mulai memancing Bara Jagal untuk terus mengeluarkan amarahnya dengan tujuan menguras tenaga dalamnya, supaya ia menjadi lemah dan pertarungan pun bisa ia dominasi. Sebelum akhirnya ia lanjut bertarung dengan dua sekutunya, yakni Ronggowelang dan Amukraga Kencana.Serangan-serangan kecil pun mulai dilancarkan oleh Saka Dirga. Ia mengeluarkan jurus-jurus sederhana saja, karena tak perlu mengeluarkan tenaga dalam yang besar
Lihatlah bagaimana kuku-kuku tangannya itu mulai memanjang dengan sendirinya, begitu runcing dan tajam. Tak kalah tajam dari bilah pedang katana. Satu cakaran saja bisa merobek kulit dan mengoyak daging lawannya jika tak punya ilmu silat yang tinggi untuk menahan kekuatannya. Belum lagi racunnya yang berbahaya yang bisa menghambat jalannya peredaran darah, dan bisa membuat lawannya mati secara pelan-pelan!Saka Dirga tak mengendorkan serangannya. Ia kembali menggempur bagian-bagian bawah tubuh Bara Jagal, dan kali ini ia melancarkan serangan kombinasi yang lebih cepat dan mematikan.Pantas saja jurus itu disebut Cakaran Amuk Srigala, karena gerakannya memang sangat gesit sekali seperti srigala.Ia langsung melompat lagi menyasar perut Bara Jagal bagian bawah, namun sebelum satu detik lagi cakaran itu mendarat di perutnya, Bara Jagal berhasil menghindar meloncat dua langkah ke belakang. Maka ia melompat lagi menyerang bagian paha, Bara Jagal pun meloncat lagi dua langkah belakang. Ia t
Ronggowelang tampak kelelahan, dadanya kembang kempis, itu menunjukkan bahwa jurus Harimau Hitam Menerkam Mangsa yang ia keluarkan cukup menguras tenaga dalamnya. Ditambah lagi pingganggnya yang terluka membuat ia untuk sementara waktu berhenti sejenak dari pertarungan, karena harus mengatur nafas dan jalan darahnya sebagai pertolongan pertama.Maka ia mengambil segenggam tanah yang dialiri tenaga dalam untuk menutup luka dan menghambat racun agar tak masuk tubuhnya dan menempelkan tanah itu di pinggangnya. Ia masih tetap dalam mode jurus harimau untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Namun sepertiga tenaga dalamnya harus ia keluarkan sebagai gantinya.Meski Saka Dirga tampak dominan dan menguasai jalannya pertarungan, kemenangannya masihlah jauh ia dapat. Karena ketiga pendekar jahat itu belumlah menyerah. Dan rupanya dominasinya itu tak berlangsung lama, karena saat ia hendak menyerang kembali Ronggowelang dan membuatnya makin terdesak dan merasakan jera, secara t
Sepuluh murid suruhan Bara Jagal itu terus bergerak memburu Arya Wisesa. Mereka berkeliling di sekitar lembah dan menyisir hingga ke dalam hutan. Mereka berpencar dan masing-masing dua orang bergerak ke setiap arah mata angin. Namun hingga bulan purnama di lembah itu redup, pencarian mereka belum kunjung mendapat hasil. Tak ada satu batang hidung pun yang mereka temui dan curigai sebagai Arya Wisesa.Sebaliknya yang sedang diburu masih anteng-anteng saja bersembunyi di balik pohon yang paling tinggi dan besar dan paling rimbun. Dari atas pohon itulah ia bisa melihat keadaan sekitar lembah dengan leluasa. Bahkan Arya Wisesa bisa melihat bukit yang ada di seberang dengan sangat jelas.Kesepuluh murid itu tidak bisa kembali kalau mereka tidak berhasil menemukan Arya Wisesa. Maka mereka akan kena damprat dan hukuman dari Bara Jagal, jika lagi-lagi mereka gagal dalam melakukan tugas.Hanya mengandalkan obor di tangan-tangan yang mereka bawa, mereka terus menelusuri s