Lingga langsung memasang kuda-kuda. Untung saja, bagian tubuh yang sempat tegak tadi kembali ke keadaan semula. Tatapannya dengan cepat menyisir keadaan sekeliling.
“Jadi kau pemuda yang seringkali dibicarakan para gadis itu?” tanya seorang pemuda yang datang bersama dua pemuda lain dari arah semak-semak. Ketiganya sama-sama tengah membawa keranjang bambu berisi kayu bakar di punggung.
Lingga kembali bersikap biasa ketika melihat ketiga pemuda itu memakai pakaian murid padepokan. “Apa mau kalian?”
“Apa kau juga sedang dihukum seperti kami?” tanya pemuda yang berdiri di tengah.
“Iya,” jawab Lingga sembari memperhatikan ketiganya bergantian.
“Namaku Geni.” Pemuda yang berdiri di tengah memperkenalkan diri, kemudian menoleh pada dua rekannya yang lain.
“Aku Jaya,” ujar Pemuda yang berada di sebelah kiri Geni.
“Namaku Barma,” ucap pemuda gemuk yang berada
Malam kembali menaungi langit Lebak Angin. Para murid padepokan tengah sibuk menikmati makan malam. Pekarangan tampak sepi di mana sekelilingnya terlihat bercahaya karena dihiasi api obor yang bergerak-gerak ketika tertiup angin.Di salah satu dahan pohon, Limbur Kancana tengah berbaring sembari membersihkan sela gigi dengan batang rumput kecil. Kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Ia bersenandung sembari mengamati taburan bintang di langit.“Raka,” ujar Ganawirya yang mendadak muncul di depan Limbur Kancana. Pria paruh baya itu membungkuk hormat sesaat. “Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Raka mengenai Lingga.”“Apa ini soal Lingga yang berteman dengan tiga muridmu, Ganawirya?” tanya Limbur Kancana yang kemudian melompat turun. Pandangannya tertuju pada ruang makan padepokan. Tampak Lingga bersama tiga kawan barunya tengah menikmati makanan bersama.“Benar, Raka,” ujar Ganawirya yang ikut mengali
Lingga kembali berlatih saat malam sudah berada di puncak. Pemuda itu kini tengah bertarung dengan tiruan Limbur Kancana di sebuah batu yang berada di dekat air terjun.“Kau masih gegabah seperti biasanya Lingga,” ujar Limbur Kancana yang tengah berbaring di dahan pohon. Pria itu menguap beberapa kali dengan mata yang sudah mengantuk berat.Lingga terdorong ke belakang ketika mendapat serangan di perut. Pemuda itu memiliki tugas untuk mengambil seruling dari tiruan Limbur Kancana. Hanya saja sudah lebih dari setengah jam berlalu, ia belum juga berhasil mendapatkannya.Lingga mengamati gerakan tiruan Limbur Kancana dengan saksama. Meski sudah mengerahkan semua kemampuannya, pada kenyataannya ia masih mengalami kesulitan untuk sekadar mendaratkan serangan.“Kemampuanku ternyata masih belum ada apa-apanya dibanding tiruan paman,” ujar Lingga di sela mengawasi gerakan lawan. Kedua tangannya terkepal erat dengan sorot mata menajam. &ldq
Limbur Kancana langsung berjongkok di batu tempat tiruannya menghilang. Pria itu mengamati tubuh Lingga yang mengambang di sungai. Ia mengambil sebuah ranting kecil, kemudian mengorek-gorek telinga dan lubang hidung pemuda itu. “Apa kau sudah mati, Lingga? Aku tidak tahu kalau kau akan pergi secepat ini. Semoga kau tenang di alam sana.” “Hentikan, Paman.” Lingga menepis ranting, lalu melompat ke dekat Limbur Kancana. “Aku hanya kelelahan.” “Aku pikir kau mati.” Limbur Kancana terkekeh. “Padahal kau masih muda dan belum sempat merasakan kenikmatin yang tiada duanya.” “Kenikmatan apa itu, Paman?” Limbur Kancana berbisik di telinga Lingga, “Kenikmatan yang hanya bisa kau capai dengan seorang wanita. Kau akan dibuat terbang ke langit tinggi, merasakan kenyamanan yang luar biasa sampai kau lupa rasanya bersedih.” “Hen-hentikan, Paman.” Lingga mendadak merasakan panas di wajahnya. Ia kemudian melompat ke seberang sungai. “Aku tahu Paman hanya ingin mengerjaiku lagi. Bukan saatnya bagiku
Lingga benar-benar kelelahan hingga tertidur pulas sepulang dari latihan. Dengkuran cukup keras terdengar memenuhi kamar. Di sisi lain, Limbur Kancana nyatanya pergi ke sebuah tempat tanpa sepengetahuan Lingga.Malam akhirnya terusir pagi. Kokok ayam terdengar besahutan. Embusan angin merangkak ke lubang jendela, menerbangkan api obor yang menyala di dinding kayu. Lingga menggeliat sesaat, menggaruk rambut, kemudian kembali tertidur. Tanpa diketahuinya, kamar sudah dipenuhi oleh murid laki-laki padepokan.“Lingga.” Geni menggoyang-goyangkan lengan Lingga.“Aku masih mengantuk, paman.” Lingga menepis tangan Geni, mengubah posisi tidur menjadi menyamping.“Lingga.” Jaya dan Barma menggoyang-goyangkan kaki Lingga.“Hentikan, paman.” Lingga menendang pelan tangan Jaya dan Barma. “Jangan mengangguku.”Geni, Jaya, Barma dan beberapa murid padepokan saling melempar tatapan, kemudian kembal
Sekar Sari dan para gadis langsung bergegas menuju padepokan. Ketika tiba di sana, mereka melihat jika para murid laki-laki sudah berbaris di halaman.Sekar Sari terkejut ketika melihat Lingga berada di antara para murid laki-laki yang akan dihukum. “Apa yang sebenarnya Lingga lakukan? Apa mungkin dia ikut mengintip bersama para murid mata keranjang itu? Ternyata dia sama saja dengan laki-laki lain.”“Kalian segeralah membersihkan diri,” perintah Ganawirya tanpa menoleh sedikit pun pada para gadis.“Baik, Guru,” jawab para gadis serentak.Para gadis dengan cepat kembali ke sungai, sedang Sekar Sari masih berada di sisi halaman dengan wajah cemberut ketika melihat Lingga.“Sekar Sari, apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya Ganawirya sembari berbalik.“Ma-maafkan aku, Guru.” Sekar Sari membungkuk sesaat, kemudian segera menyusul teman-temannya yang lain.Sekembalinya para g
Para murid perempuan tampak lahap menikmati hidangan di ruang makan. Mereka dengan sengaja memamerkan makanan pada para murid laki-laki yang tengah mengintip di luar ruangan.Dibanding ikut mengintip, Lingga lebih memilih berada di dahan pohon, memegang perutnya yang keroncongan. Setelah pulang dari hutan, Ganawirya mengambil semua makanan yang dibawa, kemudian menyerahkan pada para pelayan untuk segera dimasak.Lingga mengernyit ketika perih di bokongnya kembali terasa. Pukulan Ganawirya tidak main-main. Sampai sekarang, ia masih kesulitan jika ingin duduk atau berjongkok.Lingga menoleh pada teman-temannya yang masih mengerumuni ruang makan. Ia berdiri ketika Ganawirya mendadak muncul dan langsung meminta para murid laki-laki menjauh. Lingga mendengar suara tawa membahana dari dalam ruang makan bersamaan dengan teman-temannya yang lari terbirit-birit ketika Ganawirya mengacungkan tongkat kayu.Lingga kemudian turun dari dahan pohon, mengedarkan pandanga
Limbur Kancana tengah berada di puncak pohon dengan kedua tangan berada di belakang punggung. Tatapannya tertuju pada bulan purnama yang memancarkan cahaya keemasan. Ia menoleh sesaat ketika mendapati Ganawirya muncul di puncak pohon di belakangnya.“Apa ini sudah waktunya, Raka?” tanya Ganawirya.Limbur Kancana berbalik. “Aku sudah mengetahui bagaimana si pengkhianat Wira itu meracuni Aji Panday. Dia ternyata menggunakan sebuah lukisan yang sudah dialiri racun Kalong Setan. Lukisan itu diberikan Wira sebagai hadiah ketika dirinya tiba di Padepokan Maung Bodas.”“Ampun, Raka.” Ganawirya membungkuk. “Dari mana Raka mengetahui hal tersebut?”“Aku mengetahuinya dari Lingga. Lingga mengatakan jika lukisan itu memiliki bau seperti bangkai yang dibakar. Sepertinya di antara kita hanya Lingga yang bisa mencium bau racun tersebut,” ungkap Limbur Kancana, “aku cukup yakin jika lukisan itu masih terg
Lingga menggunakan jurus merak menukik bumi untuk mengalahkan tiruan Limbur Kancana. Hantaman dua serangan dalam waktu bersamaan itu seketika menimbulkan gelombang kejut yang cukup kuat ke sekeliling.Lingga melompat mundur sejauh dua tombak, lalu melemparkan kujang ke arah tiruan Limbur Kancana dan berhasil mengenai jantungnya. Sosok tiruan itu tiba-tiba menghilang dan meninggalkan seruling di atas sebuah batu.Lingga mendekat, mengambil seruling itu. Tatapannya tertuju pada dahan pohon yang biasa digunakan Limbur Kancana untuk berbaring. Hingga saat ini, ia sama sekali tidak mengetahui keberadaan pria itu di mana pun.“Ke mana sebenarnya paman pergi?” ujar Lingga sembari melompat ke arah pinggiran sungai. “Aku sempat merasakan hawa keberadaannya sesaat tadi, tetapi setelahnya kembali menghilang. Paman hanya mengirimkan tiruannya saja untuk membantuku berlatih.”Lingga kembali berlatih di air terjun. Pemuda itu menghabiskan waktu