Lingga menggunakan jurus merak menukik bumi untuk mengalahkan tiruan Limbur Kancana. Hantaman dua serangan dalam waktu bersamaan itu seketika menimbulkan gelombang kejut yang cukup kuat ke sekeliling.
Lingga melompat mundur sejauh dua tombak, lalu melemparkan kujang ke arah tiruan Limbur Kancana dan berhasil mengenai jantungnya. Sosok tiruan itu tiba-tiba menghilang dan meninggalkan seruling di atas sebuah batu.
Lingga mendekat, mengambil seruling itu. Tatapannya tertuju pada dahan pohon yang biasa digunakan Limbur Kancana untuk berbaring. Hingga saat ini, ia sama sekali tidak mengetahui keberadaan pria itu di mana pun.
“Ke mana sebenarnya paman pergi?” ujar Lingga sembari melompat ke arah pinggiran sungai. “Aku sempat merasakan hawa keberadaannya sesaat tadi, tetapi setelahnya kembali menghilang. Paman hanya mengirimkan tiruannya saja untuk membantuku berlatih.”
Lingga kembali berlatih di air terjun. Pemuda itu menghabiskan waktu
Saat senja sudah tumpah di langit sore, nyatanya Lingga masih berlatih di halaman padepokan seorang diri. Aksinya menjadi tontonan para gadis yang bersembunyi di semak-semak dan dahan pohon.Sekar Sari adalah salah satu dari mereka. Gadis itu berada di dahan pohon dengan tatapan yang tak beralih dari Lingga sejak tadi. Ia tiba-tiba saja teringat dengan kejadian di air terjun di mana dirinya dibopong oleh pemuda itu. Wajahnya kontan memerah.“Ah, tidak!” Sekar Sari tiba-tiba saja menjerit. Aksinya langsung menjadi pusat perhatian teman-temannya yang lain. Pegangannya pada dahan pohon menjadi tak seimbang hingga dirinya mendadak jatuh memimpa beberapa gadis di bawahnya.Lingga yang mendengar suara keributan tiba-tiba saja menoleh. Ia menyeka keringat, kemudian mendekat ke sumber suara. Lingga tiba-tiba berhenti ketika para gadis di depannya langsung menjadikannya pusat perhatian.“Kakang Lingga,” ucap para gadis kompak.Lingga
Lingga menunduk dengan tangan terkepal. Bayangan kebersamaannya dengan teman-temannya silih berganti memenuhi isi kepala. Pemuda itu sangat senang berada di tempat ini, tetapi di sisi lain ia juga memahami maksud Limbur Kancana dan Ganawirya.“Dibanding bersedih, kau lebih baik menikmati hari-harimu selama berada di tempat ini, Lingga. Dengan begitu, kau tidak akan menyesali apa pun. Perkara ingatan teman-temanmu yang menghilang, itu adalah cara terbaik untuk melindungi mereka. Jika mereka lupa padamu, kau hanya perlu kembali membuat kenangan bersama mereka,” ujar Limbur Kancana.Lingga mendongak, mengangguk kecil. “Aku mengerti, Paman.”“Sebaiknya mulai dari sekarang kau berlatih untuk membangkitkan kujang emas secara sadar,” ucap Limbur Kancana, “dengan pusaka itu banyak hal yang bisa kau bisa lakukan. Salah satunya adalah menghilangkan racun Kalong Setan.”“Racun Kalong Setan?” Lingga memastik
Wira tengah berdiri di sebuah dahan pohon, menatap perkampungan yang sudah sepi dari kegiatan penduduk. Dari telapak tangan kirinya tiba-tiba bermunculan kelelawar berukuran kecil yang langsung terbang menyebar ke rumah-rumah penduduk.Pasukan pendekar golongan hitam di bawah komandonya sudah bergerak ke Padepokan Merak Putih sesuai dengan arahan Kartasura sejak pagi. Mereka mengambil jalan memutar yang cukup jauh untuk menghindari serangan dari pendekar golongan putih. Kartasura sendiri sedang mengawasi pergerakan pasukan empat anggota Cakar Setan yang tengah menuju wilayah selatan tatar Pasundan.Kelelawar kecil yang dikirimkan Wira kembali ke telapak tangannya. Pemuda itu diam sesaat, kemudian melompat turun. “Sepertinya penduduk di perkampungan ini sama sekali tidak mengetahui keberadaan Lingga.”Wira berdecak, melompat ke sebuah puncak pohon, lalu duduk bersila. Pemuda itu terpejam untuk menajamkan seluruh indranya. Selama beberapa menit lamanya
“Ada apa, Paman?” tanya Lingga sembari mendekat setelah mengalahkan tiruan Limbur Kancana.Limbur Kancana turun dari dahan pohon, memunggungi Lingga. “Tidak ada apa-apa.”“Aku sempat melihat Paman menghilang tadi.” Lingga kembali mendekat dan berhenti ketika mendapat pukulan di kepala.“Kau teruskan saja latihanmu, Lingga.” Limbur Kancana menatap Lingga. “Aku harus menemui Ganawirya sekarang.”“Paman,” panggil Lingga, “sesaat setelah aku pergi dari tebing, aku merasakan kekuatan yang sangat besar tapi menghangatkan dari arah sama. Apa yang terjadi setelah kepergianku?”Limbur Kancana seketika menegakkan punggung, berjalan menjauh dari Lingga. Ia tidak menduga jika pemuda itu bisa menyadari kehadiran sosok itu. “Kekuatana yang kau maksud berasal dari gabungan kekuatanku dan Ganawirya. Kami berdua membentangi padepokan dan area hutan dengan kekuatan kami berdua.
Wira tiba di markas ketika matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur. Pemuda itu kembali ke wujud manusia, lalu mengerang kesakitan seraya memegang dada. Ia dengan susah payah berdiri, memasuki markas dengan cara berpegangan pada dinding.“Sepertinya raka belum kembali,” ujar Wira ketika melihat kursi singgasana masih kosong. Ia hanya melihat beberapa prajurit yang berjaga di depan gerbang. “Aku ... harus memberi tahu raka soal pendekar berbaju putih itu.”Wira memasuki sebuah ruangan, duduk bersila di atas dipan panjang, kemudian berusaha memulihkan diri. Sinar matahari lambat laun mulai menerobos celah kamar, mengubah langit gelap menjadi terang. Cicit burung terdengar bersahutan di luar. Api obor di halaman mendadak mati dalam waktu bersamaan.Kartasura tiba saat matahari sudah berada di pertengahan langit. Wajahnya tampak diselimuti amarah ketika mengingat pasukan pendekar golongan hitam yang merupakan bawahan dari empat anggota
Malam kembali menggurita. Bulan tampak menggantung gagah, memancarkan cahaya putih keperakan. Di tengah udara dingin dan angin yang sesekali mengembus kencang, sebuah cahaya kemerahan melintasi perkampungan warga, melewati pekatnya hutan Ledok Beurit dengan cepat, lalu berhenti tepat di sebuah bangunan yang setengahnya sudah roboh.Cahaya kemerahan tersebut mendarat di tanah, lalu berubah menjadi tiruan Limbur Kancana. Tak lama setelahnya, Limbur Kancana yang tengah mengawasi Lingga latihan di air terjun dengan cepat bertukar tempat.Limbur Kancana mengamati keadaan sekeliling padepokan yang penuh sampah daun dan pohon tumbang. Pria itu menoleh ke arah hutan selama beberapa waktu. Ia melihat beberapa pendekar golongan hitam tersebar di beberapa titik di sekitar hutan.“Ini cukup aneh,” ujar Limbur Kancana ketika menoleh pada bangunan padepokan yang sudah ditumbuhi tanaman liar.Limbur Kancana terpejam, menempatkan kedua tangan di depan dada. K
Wira baru saja bangkit setelah seharian ini memulihkan diri. Meski begitu, ia masih merasakan perih di dadanya. Luka yang diberikan musuh yang dilawannya kemarin malam nyatanya tidak main-main. Akan tetapi, dibanding hal itu, hatinya jauh terasa lebih sakit ketika diremehkan oleh kakak sendiri.Wira berdecak, beranjak menuju jendela yang langsung menghadap halaman markas. Ketenangan ini benar-benar membuatnya kesal. Bayangan pertarungan dengan pendekar berambut panjang itu kembali melintas di kepala. Kepalan tangannya menguat hingga dinding kayu retak dan berlubang.“Harusnya aku menggunakan racun kalong setan untuk melumpuhkannya,” ujar Wira, “aku sepertinya terlalu meremehkan pendekar itu. Jika aku bertemu lagi dengannya, aku akan langsung menghabisinya tampa ampun.”Sebuah kendi berwarna merah tiba-tiba saja muncul di tangan kanan Wira. Limbur Kancana seketika memelotot ketika melihatnya.“Jika dulu aku bisa melemahkan kek
Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di ufuk timur, tetapi Limbur Kancana dan Ganawirya sudah berdiri di puncak pohon, mengamati hamparan hutan luas di sekelilingnya. Cahaya sang surya perlahan mengusir langit gelap, mengundang kehangatan dan cicit burung. “Tiruanku bertarung dengan Kartasura semalam. Dia sudah bertambah kuat,” ujar Limbur Kancana, “tapi sepertinya dia masih belum menyadari siapa aku sebenarnya.” Limbur Kancana melanjutkan, “Aku sama sekali tidak melihat pasukannya di sekeliling hutan. Kemungkinan besar Kartasura sudah mengirim pasukannya menuju wilayah selatan. Cepat atau lambat, mereka akan tiba di tempat ini. Selama waktu tersebut, penawar racun kalong setan harus segera kita dapatkan. Sejujurnya, aku memiliki firasat buruk.” “Aku mengerti, Raka. Aku akan mengirim beberapa utusanku untuk berjaga-jaga di jalur menuju tempat ini,” ujar Ganawirya. “Sekarang saatnya, Ganawirya.” Limbur Kancana mendongak sesaat, menikmati sapuan a