Malam kembali menggurita. Bulan tampak menggantung gagah, memancarkan cahaya putih keperakan. Di tengah udara dingin dan angin yang sesekali mengembus kencang, sebuah cahaya kemerahan melintasi perkampungan warga, melewati pekatnya hutan Ledok Beurit dengan cepat, lalu berhenti tepat di sebuah bangunan yang setengahnya sudah roboh.
Cahaya kemerahan tersebut mendarat di tanah, lalu berubah menjadi tiruan Limbur Kancana. Tak lama setelahnya, Limbur Kancana yang tengah mengawasi Lingga latihan di air terjun dengan cepat bertukar tempat.
Limbur Kancana mengamati keadaan sekeliling padepokan yang penuh sampah daun dan pohon tumbang. Pria itu menoleh ke arah hutan selama beberapa waktu. Ia melihat beberapa pendekar golongan hitam tersebar di beberapa titik di sekitar hutan.
“Ini cukup aneh,” ujar Limbur Kancana ketika menoleh pada bangunan padepokan yang sudah ditumbuhi tanaman liar.
Limbur Kancana terpejam, menempatkan kedua tangan di depan dada. K
Wira baru saja bangkit setelah seharian ini memulihkan diri. Meski begitu, ia masih merasakan perih di dadanya. Luka yang diberikan musuh yang dilawannya kemarin malam nyatanya tidak main-main. Akan tetapi, dibanding hal itu, hatinya jauh terasa lebih sakit ketika diremehkan oleh kakak sendiri.Wira berdecak, beranjak menuju jendela yang langsung menghadap halaman markas. Ketenangan ini benar-benar membuatnya kesal. Bayangan pertarungan dengan pendekar berambut panjang itu kembali melintas di kepala. Kepalan tangannya menguat hingga dinding kayu retak dan berlubang.“Harusnya aku menggunakan racun kalong setan untuk melumpuhkannya,” ujar Wira, “aku sepertinya terlalu meremehkan pendekar itu. Jika aku bertemu lagi dengannya, aku akan langsung menghabisinya tampa ampun.”Sebuah kendi berwarna merah tiba-tiba saja muncul di tangan kanan Wira. Limbur Kancana seketika memelotot ketika melihatnya.“Jika dulu aku bisa melemahkan kek
Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di ufuk timur, tetapi Limbur Kancana dan Ganawirya sudah berdiri di puncak pohon, mengamati hamparan hutan luas di sekelilingnya. Cahaya sang surya perlahan mengusir langit gelap, mengundang kehangatan dan cicit burung. “Tiruanku bertarung dengan Kartasura semalam. Dia sudah bertambah kuat,” ujar Limbur Kancana, “tapi sepertinya dia masih belum menyadari siapa aku sebenarnya.” Limbur Kancana melanjutkan, “Aku sama sekali tidak melihat pasukannya di sekeliling hutan. Kemungkinan besar Kartasura sudah mengirim pasukannya menuju wilayah selatan. Cepat atau lambat, mereka akan tiba di tempat ini. Selama waktu tersebut, penawar racun kalong setan harus segera kita dapatkan. Sejujurnya, aku memiliki firasat buruk.” “Aku mengerti, Raka. Aku akan mengirim beberapa utusanku untuk berjaga-jaga di jalur menuju tempat ini,” ujar Ganawirya. “Sekarang saatnya, Ganawirya.” Limbur Kancana mendongak sesaat, menikmati sapuan a
“Apa yang kau lakukan, Wulung?” tanya Argaseni tanpa mengendurkan kuda-kuda dan penjagaan, “cepatlah menyingkir. Aku harus memberi pria kerbau itu pelajaran.” “Akulah yang akan memberimu pelajaran, Argaseni,” sahut Brajawesi. Argaseni dan Brajawesi sama-sama mengentak tubuh sekali, melompat tinggi di atas Wulung. Keduanya saling jual beli serangan dengan pukulan dan tendangan. Beragam jurus dan ajian dikerahkan hingga keduanya kembali mendarat di tanah dengan tatapan tak lepas dari lawan masing-masing. “Biarkan saja mereka, Wulung.” Bangasera melompat turun, mendekat ke arah Wulung. “Kedua orang itu memang sama-sama bodoh dan tidak ingin kalah.” Argaseni dan Brajawesi kembali saling menyerang di udara. Keduanya sama-sama tidak sedikit pun mengendurkan kekuatan. Dua anggota Cakar Setan itu berubah menjadi dua bayangan hitam yang saling beradu, menjauh sesaat, kemudian kembali saling menghantam di langit. “Sepertinya Kartasura dan Wira sudah per
Matahari tengah berada di puncak langit saat ini. Debu tanah tampak berterbangan tersapu angin. Dari kejauhan, seorang pria bercaping putih tengah berjalan melewati hutan seorang diri, menaiki sebuah bukit, kemudian turun melalui undakan tangga batu yang tersusun secara alami. Tujuannya saat ini adalah perkampungan yang berada di pinggiran sungai.Pria berbaju hitam yang tak lain adalah Wira melompati beberapa batu untuk sampai ke seberang sungai. Ia disambut dengan beberapa warga yang tengah memancing ikan. Berjalan lebih dalam, pemuda itu mendapati sebuah pasar yang masih disesaki orang-orang.Wira memasuki sebuah warung makan, duduk di sudut ruangan sembari memakan sajian. Ia mencuri dengar pembicaraan beberapa pengunjung yang tengah membicarakan pergerakan pasukan pendekar golong hitam yang sudah memasuki wilayah selatan.“Sepertinya kita harus segera mengungsi ke tempat yang aman dengan cepat,” ujar seorang pria yang duduk di depan Wira.
Seminggu berlalu begitu cepat. Lingga masih disibukkan dengan latihannya di padepokan saat pagi dan latihan di air terjun ketika malam di bawah pengawasan Limbur Kancana. Di sisi lain, kebersamaannya dengan teman-temannya di padepokan kian bertambah dekat. Lingga benar-benar menikmati hidupnya yang damai dan menyenangkan. Namun, seperti kata pepatah, hidup tidak akan selamanya berjalan mudah. Kedamaian dan kekacauan akan saling berganti peran. Pagi buta, Lingga sudah bersiap membersihkan diri di sungai. Namun, ia kebingungan sebab Limbur Kancana tak ada di ranjang samping. Biasanya pria itu masih terlelap dan mengorok cukup kencang. “Ke mana Paman?” tanya Lingga seraya bergerak ke luar gubuk. Padepokan masih tampak sepi pagi ini. Udara dingin sesekali mencubit kulit. “Hampir beberapa hari ini aku juga jarang melihat paman Ganawirya melatih para murid.” Lingga melompat ke atap bangunan. Tanpa diduga, ia melihat Limbur Kancana dan Ganawirya berada di sebuah pun
Limbur Kancana tiba-tiba saja menjewer telinga Lingga, melompat ke arah tanah lapang kembali. “Kau terlalu banyak mengkhayal, Lingga. Ini karena kau terus mengintip para gadis saat mereka mandi sampai matamu menjadi kotor.”“Lepaskan, Paman.” Lingga berjinjit sembari meringis. “Aku tidak pernah lagi mengintip para gadis mandi. Lagi pula kenapa Paman justru terlihat kesal hanya karena aku bertanya?”Limbur Kancana melepas jeweran. “Karena kau mengikuti aku dan Ganawirya tanpa izin. Apa kau tidak tahu kalau kami berdua sedang mengerjakan sesuatu yang sangat penting?”“Bagaimana aku bisa tahu kalau Paman saja tidak pernah memberi tahuku.” Lingga cemberut, mengelus-elus telingannya yang terasa panas.Ganawirya ikut melompat turun. “Raka, aku akan memulainya.”Limbur Kancana mengangguk. “Mundurlah, Lingga.”Lingga menurut meski masih dengan wajah jengkel. Pemuda i
Limbur Kancana mengayunkan kedua tangan ke depan sekali, dan dalam waktu singkat asap tebal mendadak menghilang. Ia melompat ke dekat dinding dan menemukan sebuah batu kecil di antara potongan lukisan yang sudah hancur. “Sesuai dugaanku, aku hanya bisa mencium bau busuk ketika Lingga mengirimkan tenaga dalamnya saja.”Limbur Kancana berjongkok, bermaksud mengambil batu tersebut. Namun, tangannya mendadak terasa terbakar sesaat sebelum menyentuhnya.“Ada apa, Raka?” Ganawirya mendekat, mengamati batu bulat dengan mata menyipit. Ia menyelimuti benda itu dengan cahaya putih dari tangannya, lalu melompat kembali ke arah Lingga bersama Limbur Kancana.“Bau sekalim, bahkan lebih bau dari kentut aki.” Lingga meloncat mundur dengan kedua tangan menutup mulut.Limbur Kancana memberi anggukan kecil pada Ganawirya.Ganawirya mulai terpejam bersamaan dengan kedua tangannya yang mengelurkan sinar putih untuk menyelimuti
Limbur Kancana segera berbalik, memandang pria bersisik ular itu dengan tatapan dingin dari atas hingga bawah. Ia sama sekali tidak menduga akan bertemu dengan salah satu anggota Cakar Setan di sini. Kemungkin besar Bangasera menyelidikinya dari pertarungan di tengah hutan waktu itu. Namun, ini kesempatan bagus baginya untuk mengetahui penawar racun kalong setan dari anggota Cakar Setan secara langsung.“Ini benar sesuatu yang sangat menggembirakan bagiku,” ujar Bangasera sembari tertawa keras. “Aku sudah bertanya-tanya sejak pertarungan kita di tengah hutan tempo hari. Aku tahu kalau itu hanya tiruanmu saja. Setelah menyelidiki cukup lama, akhirnya aku bisa mengetahui siapa penguntit yang menguping pembicaraan aku dan anggota Cakar Setan.”Limbur Kancana hanya diam dengan posisi kedua tangan di belakang punggung.“Terakhir kuingat kita pernah bertemu dan bertarung sekitar puluhan tahun lalu. Hanya saja sepertinya kau sama sekali ti
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me