Wira baru saja bangkit setelah seharian ini memulihkan diri. Meski begitu, ia masih merasakan perih di dadanya. Luka yang diberikan musuh yang dilawannya kemarin malam nyatanya tidak main-main. Akan tetapi, dibanding hal itu, hatinya jauh terasa lebih sakit ketika diremehkan oleh kakak sendiri.
Wira berdecak, beranjak menuju jendela yang langsung menghadap halaman markas. Ketenangan ini benar-benar membuatnya kesal. Bayangan pertarungan dengan pendekar berambut panjang itu kembali melintas di kepala. Kepalan tangannya menguat hingga dinding kayu retak dan berlubang.
“Harusnya aku menggunakan racun kalong setan untuk melumpuhkannya,” ujar Wira, “aku sepertinya terlalu meremehkan pendekar itu. Jika aku bertemu lagi dengannya, aku akan langsung menghabisinya tampa ampun.”
Sebuah kendi berwarna merah tiba-tiba saja muncul di tangan kanan Wira. Limbur Kancana seketika memelotot ketika melihatnya.
“Jika dulu aku bisa melemahkan kek
Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di ufuk timur, tetapi Limbur Kancana dan Ganawirya sudah berdiri di puncak pohon, mengamati hamparan hutan luas di sekelilingnya. Cahaya sang surya perlahan mengusir langit gelap, mengundang kehangatan dan cicit burung. “Tiruanku bertarung dengan Kartasura semalam. Dia sudah bertambah kuat,” ujar Limbur Kancana, “tapi sepertinya dia masih belum menyadari siapa aku sebenarnya.” Limbur Kancana melanjutkan, “Aku sama sekali tidak melihat pasukannya di sekeliling hutan. Kemungkinan besar Kartasura sudah mengirim pasukannya menuju wilayah selatan. Cepat atau lambat, mereka akan tiba di tempat ini. Selama waktu tersebut, penawar racun kalong setan harus segera kita dapatkan. Sejujurnya, aku memiliki firasat buruk.” “Aku mengerti, Raka. Aku akan mengirim beberapa utusanku untuk berjaga-jaga di jalur menuju tempat ini,” ujar Ganawirya. “Sekarang saatnya, Ganawirya.” Limbur Kancana mendongak sesaat, menikmati sapuan a
“Apa yang kau lakukan, Wulung?” tanya Argaseni tanpa mengendurkan kuda-kuda dan penjagaan, “cepatlah menyingkir. Aku harus memberi pria kerbau itu pelajaran.” “Akulah yang akan memberimu pelajaran, Argaseni,” sahut Brajawesi. Argaseni dan Brajawesi sama-sama mengentak tubuh sekali, melompat tinggi di atas Wulung. Keduanya saling jual beli serangan dengan pukulan dan tendangan. Beragam jurus dan ajian dikerahkan hingga keduanya kembali mendarat di tanah dengan tatapan tak lepas dari lawan masing-masing. “Biarkan saja mereka, Wulung.” Bangasera melompat turun, mendekat ke arah Wulung. “Kedua orang itu memang sama-sama bodoh dan tidak ingin kalah.” Argaseni dan Brajawesi kembali saling menyerang di udara. Keduanya sama-sama tidak sedikit pun mengendurkan kekuatan. Dua anggota Cakar Setan itu berubah menjadi dua bayangan hitam yang saling beradu, menjauh sesaat, kemudian kembali saling menghantam di langit. “Sepertinya Kartasura dan Wira sudah per
Matahari tengah berada di puncak langit saat ini. Debu tanah tampak berterbangan tersapu angin. Dari kejauhan, seorang pria bercaping putih tengah berjalan melewati hutan seorang diri, menaiki sebuah bukit, kemudian turun melalui undakan tangga batu yang tersusun secara alami. Tujuannya saat ini adalah perkampungan yang berada di pinggiran sungai.Pria berbaju hitam yang tak lain adalah Wira melompati beberapa batu untuk sampai ke seberang sungai. Ia disambut dengan beberapa warga yang tengah memancing ikan. Berjalan lebih dalam, pemuda itu mendapati sebuah pasar yang masih disesaki orang-orang.Wira memasuki sebuah warung makan, duduk di sudut ruangan sembari memakan sajian. Ia mencuri dengar pembicaraan beberapa pengunjung yang tengah membicarakan pergerakan pasukan pendekar golong hitam yang sudah memasuki wilayah selatan.“Sepertinya kita harus segera mengungsi ke tempat yang aman dengan cepat,” ujar seorang pria yang duduk di depan Wira.
Seminggu berlalu begitu cepat. Lingga masih disibukkan dengan latihannya di padepokan saat pagi dan latihan di air terjun ketika malam di bawah pengawasan Limbur Kancana. Di sisi lain, kebersamaannya dengan teman-temannya di padepokan kian bertambah dekat. Lingga benar-benar menikmati hidupnya yang damai dan menyenangkan. Namun, seperti kata pepatah, hidup tidak akan selamanya berjalan mudah. Kedamaian dan kekacauan akan saling berganti peran. Pagi buta, Lingga sudah bersiap membersihkan diri di sungai. Namun, ia kebingungan sebab Limbur Kancana tak ada di ranjang samping. Biasanya pria itu masih terlelap dan mengorok cukup kencang. “Ke mana Paman?” tanya Lingga seraya bergerak ke luar gubuk. Padepokan masih tampak sepi pagi ini. Udara dingin sesekali mencubit kulit. “Hampir beberapa hari ini aku juga jarang melihat paman Ganawirya melatih para murid.” Lingga melompat ke atap bangunan. Tanpa diduga, ia melihat Limbur Kancana dan Ganawirya berada di sebuah pun
Limbur Kancana tiba-tiba saja menjewer telinga Lingga, melompat ke arah tanah lapang kembali. “Kau terlalu banyak mengkhayal, Lingga. Ini karena kau terus mengintip para gadis saat mereka mandi sampai matamu menjadi kotor.”“Lepaskan, Paman.” Lingga berjinjit sembari meringis. “Aku tidak pernah lagi mengintip para gadis mandi. Lagi pula kenapa Paman justru terlihat kesal hanya karena aku bertanya?”Limbur Kancana melepas jeweran. “Karena kau mengikuti aku dan Ganawirya tanpa izin. Apa kau tidak tahu kalau kami berdua sedang mengerjakan sesuatu yang sangat penting?”“Bagaimana aku bisa tahu kalau Paman saja tidak pernah memberi tahuku.” Lingga cemberut, mengelus-elus telingannya yang terasa panas.Ganawirya ikut melompat turun. “Raka, aku akan memulainya.”Limbur Kancana mengangguk. “Mundurlah, Lingga.”Lingga menurut meski masih dengan wajah jengkel. Pemuda i
Limbur Kancana mengayunkan kedua tangan ke depan sekali, dan dalam waktu singkat asap tebal mendadak menghilang. Ia melompat ke dekat dinding dan menemukan sebuah batu kecil di antara potongan lukisan yang sudah hancur. “Sesuai dugaanku, aku hanya bisa mencium bau busuk ketika Lingga mengirimkan tenaga dalamnya saja.”Limbur Kancana berjongkok, bermaksud mengambil batu tersebut. Namun, tangannya mendadak terasa terbakar sesaat sebelum menyentuhnya.“Ada apa, Raka?” Ganawirya mendekat, mengamati batu bulat dengan mata menyipit. Ia menyelimuti benda itu dengan cahaya putih dari tangannya, lalu melompat kembali ke arah Lingga bersama Limbur Kancana.“Bau sekalim, bahkan lebih bau dari kentut aki.” Lingga meloncat mundur dengan kedua tangan menutup mulut.Limbur Kancana memberi anggukan kecil pada Ganawirya.Ganawirya mulai terpejam bersamaan dengan kedua tangannya yang mengelurkan sinar putih untuk menyelimuti
Limbur Kancana segera berbalik, memandang pria bersisik ular itu dengan tatapan dingin dari atas hingga bawah. Ia sama sekali tidak menduga akan bertemu dengan salah satu anggota Cakar Setan di sini. Kemungkin besar Bangasera menyelidikinya dari pertarungan di tengah hutan waktu itu. Namun, ini kesempatan bagus baginya untuk mengetahui penawar racun kalong setan dari anggota Cakar Setan secara langsung.“Ini benar sesuatu yang sangat menggembirakan bagiku,” ujar Bangasera sembari tertawa keras. “Aku sudah bertanya-tanya sejak pertarungan kita di tengah hutan tempo hari. Aku tahu kalau itu hanya tiruanmu saja. Setelah menyelidiki cukup lama, akhirnya aku bisa mengetahui siapa penguntit yang menguping pembicaraan aku dan anggota Cakar Setan.”Limbur Kancana hanya diam dengan posisi kedua tangan di belakang punggung.“Terakhir kuingat kita pernah bertemu dan bertarung sekitar puluhan tahun lalu. Hanya saja sepertinya kau sama sekali ti
“Kau memang tidak akan langsung mati dengan racun ini, tapi kupastikan kau tidak mungkin bisa lolos dari racun ini. Kau harus tahu jika racun ini berkali-kali lebih kuat dibanding racun yang digunakan Kartasura untuk membunuh sahabatmu, Aji Panday, lima tahun lalu.”Bangasera tertawa dan tak lama setelahnya mendorong batu bulat tersebut ke arah hidung tiruan Limbur Kancana. Asap hitam samar-samar muncul, kemudian mengelilingi tubuh Limbur Kancana hingga akhirnya lenyap.“Jika kau berubah pikiran dan mau bekerja sama denganku, aku akan memberikanmu penawar racun kalong setan,” ujar Bangasera dengan senyum penuh kemenangan.Akan tetapi, senyum Bangasera nyatanya tak bertahan lama. Ia dibuat terkejut ketika tiba-tiba Limbur Kancana menghilang. “Sial!”Bangasera dengan cepat mengedarkan pandangan ke sekeliling bersamaan dengan tubuhnya yang memutar. Ketika menoleh ke bawah, secara tiba-tiba ia dikejutkan dengan serangan dar