“Kau memang tidak akan langsung mati dengan racun ini, tapi kupastikan kau tidak mungkin bisa lolos dari racun ini. Kau harus tahu jika racun ini berkali-kali lebih kuat dibanding racun yang digunakan Kartasura untuk membunuh sahabatmu, Aji Panday, lima tahun lalu.”
Bangasera tertawa dan tak lama setelahnya mendorong batu bulat tersebut ke arah hidung tiruan Limbur Kancana. Asap hitam samar-samar muncul, kemudian mengelilingi tubuh Limbur Kancana hingga akhirnya lenyap.
“Jika kau berubah pikiran dan mau bekerja sama denganku, aku akan memberikanmu penawar racun kalong setan,” ujar Bangasera dengan senyum penuh kemenangan.
Akan tetapi, senyum Bangasera nyatanya tak bertahan lama. Ia dibuat terkejut ketika tiba-tiba Limbur Kancana menghilang. “Sial!”
Bangasera dengan cepat mengedarkan pandangan ke sekeliling bersamaan dengan tubuhnya yang memutar. Ketika menoleh ke bawah, secara tiba-tiba ia dikejutkan dengan serangan dar
Limbur Kancana seketika menggetok kepala Lingga. “Apa menurutmu keadaanku sedang baik-baik saja, Lingga?”“Aku hanya bertanya, Paman.” Lingga mendadak cemberut, dengan sengaja melepas pegangan pada Limbur Kancana. Akan tetapi, saat melihat pendekar berambut panjang itu akan jatuh ke samping, ia dengan cepat menahannya kembali.“Antarkan aku ke tempat Ganawirya sekarang juga,” perintah Limbur Kancana.“Tapi aku akan pergi berlatih, Paman.”Limbur Kancana tiba-tiba menendang bokong Lingga. “Jangan membantah!”“Paman jahat sekali! Harusnya jika meminta tolong, Paman harus berbuat baik padaku.” Meski mengomel, Lingga pada akhirnya memapah Limbur Kancana, melompati satu per satu puncak pohon menuju ruangan Ganawirya yang ada di sudut padepokan.Sesampainya di sana, Lingga segera mengetuk pintu. Ia melihat wajah penat Limbur Kancana. Tak biasanya pamannya itu dalam kondisi san
Saat ini Wira tengah berada di dahan pohon, mengamati keramaian pasar di sebuah perkampungan. Sesuai dengan perkataan tiga pendekar yang ia kalahkan tempo hari, ia berhasil tiba di kawasan Lebak Angin lebih cepat dibanding jalur yang biasa orang lewati. Di tengah perjalanan melewati hutan, Wira sempat bertarung dengan beberapa siluman dan perampok. Meski tidak terlalu kuat, kehadiran mereka membuat langkahnya terhambat. Alhasil, ia baru bisa tiba di perkampungan ini setelah seminggu melewati perjalanan. Wira menungggu di tempat yang sama hingga matahari berada di puncak langit. Akan tetapi, tak ada keanehan yang ia lihat dari warga perkampungan atau tanda-tanda jika Lingga di tempat ini. Wira memutuskan memasuki perkampungan untuk mencari kabar mengenai Padepokan Merak Putih. Langit sudah menguning ketika Wira meninggalkan perkampungan. Ia mengirim beberapa kelelawar di sekitar pemukiman. Berdasarkan keterangan dari beberapa warga yang dirinya temui, Padepoka
Meswara dan Jaka melayangkan tendangan kuat ke arah musuh. Wira yang belum sepenuhnya siap tak bisa menahan serangan dengan baik hingga menyebabkan tubuhnya terpelanting ke belakang dan menabrak dahan pohon.Meswara dan Jaka kemudian mengambil tombak yang menancap di pohon, kemudian melemparkannya pada musuh. Wira berhasil menendang kedua tombak itu, memilih mundur, lalu turun dan bersembunyi di pekatnya pohon. Ia menghilangkan hawa keberadaan, mengawasi gerak-gerik dua teman lamanya melalui penglihatan kelelawar yang sudah dirinya sebar.“Kami tahu kau masih berada tak jauh dari tempat ini,” ujar Meswara dengan pandangan mengitari sekeliling, “keluarlah dan katakan apa tujuanmu. Jika kau tidak keluar dan memilih melawan, kami akan menganggapmu sebagai musuh dan bertindak tegas padamu!”Jaka mengamati beberapa kelelawar yang seolah terbang ke suatu arah. Ia kembali mengambil tombak yang berada tak jauh darinya, kemudian melemparkannya ke
Wira berubah wujud menjadi manusia ketika tiba di sebuah tebing yang cukup jauh dari hutan Lebak Angin. Ia dengan cepat duduk bersila untuk memulihkan kekuatan. Meski marah karena berhasil dipecundangi lawan, tetapi hal itu sepadan karena dirinya berhasil mendapat sebuah kabar.Sekumpulan kelelawar tiba-tiba bermunculan dari tubuh Wira, lalu pergi ke arah Kartasura berada. Selama beberapa waktu, pemuda itu tetap berada di pinggiran tebing dengan posisi yang sama. Angin sesekali hadir, menggoyangkan pepohonan ke kiri dan kanan. Malam terus merangkak cepat. Keheningan meruang selama Wira memulihkan diri. pemuda itu perlahan membuka mata, berdiri dari duduknya, menatap hamparan hutan luas di depannya.“Aku tidak menyangka jika Indra dan Jaka juga masih hidup setelah kejadian lima tahun lalu. Harusnya aku membunuh mereka berempat saat itu,” ujar Wira.Wira mendongak ke langit ketika melihat sekumpulan kelelawar berukuran kecil dan satu kele
Malam kian mendekap Lebak Angin. Padepokan Merak Putih menjadi sepi setelah para murid kembali ke ruangan untuk beristirahat. Untuk sesaat hanya terdengar suara serangga malam dan embusan angin yang menggerakkan ranting ke jendela ruangan. Api obor tampak menari ke kiri dan kanan.Lingga baru saja berbaring di ranjang ketika pintu ruangannya diketuk dari luar. Ia mendapati Indra sudah berada di depan pintu.“Ikutlah denganku ke tempat guru Ganawirya sekarang.” Tanpa menunggu jawaban Lingga, Indra segera berlari menuju ruangan Ganawirya.Lingga menggaruk rambut sesaat, teringat kembali aksi Indra yang tampak terburu-buru beberapa waktu lalu. Seketika saja pembicaraannya dengan Geni, Jaya dan Barma kembali memenuhi isi kepala. “Apa mungkin sudah terjadi sesuatu yang gawat?”Lingga tiba di tempat Ganawirya tak lama setelahnya. Ia mendapati Limbur Kancana, Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka dan Arya sudah berada di dalam ruangan. Wajah me
Lingga tengah berlatih di sebuah batu di dekat air terjun. Keputusan Limbur Kancana yang memintanya untuk segera pergi dari padepokan membuatnya tidak nyaman. Beberapa kali ia salah melakukan gerakan dan terpaksa harus mengulang dari awal.Lingga dipenuhi amarah, kekesalan dan kekecewaan. Ia marah pada Wira yang sudah berkhianat, ia kesal karena harus meninggalkan padepokan ini dan ia kecewa sebab latihannya belum membuahkan hasil. Hingga saat ini, dirinya belum bisa membangkitkan kujang emas.Lingga mengembus napas panjang, menatap sekelilingnya yang tampak sepi. Setelah percakapan tadi selesai, ia bergegas menuju tempat ini untuk berlatih. Akan tetapi, ia sama sekali tidak bisa berlatih dengan baik.Lingga memutuskan untuk duduk bersila, bersemedi dengan kepalan tangan kiri dan kanan yang menyatu di depan dada. Ia tiba-tiba mengingat ucapan Ki Petot di saat dirinya mengintip di balik pepohonan lima tahun yang lalu. “Ketenangan adalah salah
Tendangan Lingga dan Limbur Kancana menumbuk di titik yang sama, menghasilkan gelombang angin kencang yang langsung menyebar ke sekeliling. Pepohonan tampak berguncang ke kiri dan kanan.Lingga mundur sejauh dua tombak, mendarat di sebuah batu dengan sempurna. Ia kembali ke posisi siaga, sedang di sisi lain Limbur Kancana mendarat di batu tempatnya tadi berdiri. “Paman memang hebat.”“Kau sedang tidak melawan tiruanku, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “aku harap kau memberikan perlawanan yang tidak main-main.”Lingga menghimpun kekuatan di kedua tangan. Tak lama setelahnya, cahaya putih keperakan menyelimuti kedua tangannya. Ia seketika menerjang maju, melayangkan cakaran kuat pada Limbur Kancana. Akan tetapi, serangannya dapat dengan mudah terbaca.Lingga lebih banyak menyerang, sedang Limbur Kancana hanya menghindar sembari sesekali menepis serangan. Lingga mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki, sedang Limbur Kancana
Matahari perlahan bangkit dari ufuk timur. Kawanan burung tampak berkurumun di dahan pohon, saling bercengkerama dan berbalas nyanyian. Embun bening terperangkap di dedaunan, menuruni satu per satu daun hingga akhirnya jatuh membasahi bumi.Sinar mentari menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, mencumbu kesadaran Lingga sedikit demi sedikit. Pemuda itu perlahan membuka mata, merenggangkan tubuh. Badannya terasa sangat pegal karena pertarungan semalam. Ia menggunakan jurus merak menaklukkan bumi yang belum sepenuhnya dikuasai. Akan tetapi, ia bersyukur karena bisa memenang pertarungan. Lingga kian percaya jika selama tidak menyerah dan berputus asa, maka jalan akan selalu terbuka.Lingga meneguk minuman hingga habis, mengucek mata perlahan. Ketika menoleh ke ranjang samping, ia sama sekali tidak menemukan keberadaan Limbur Kancana. Ia bergerak ke arah pintu saat suara ketukan terdengar. Ia mendapati Geni, Jaya, Barma dan teman-temannya yang lain suda