Wira berubah wujud menjadi manusia ketika tiba di sebuah tebing yang cukup jauh dari hutan Lebak Angin. Ia dengan cepat duduk bersila untuk memulihkan kekuatan. Meski marah karena berhasil dipecundangi lawan, tetapi hal itu sepadan karena dirinya berhasil mendapat sebuah kabar.
Sekumpulan kelelawar tiba-tiba bermunculan dari tubuh Wira, lalu pergi ke arah Kartasura berada. Selama beberapa waktu, pemuda itu tetap berada di pinggiran tebing dengan posisi yang sama. Angin sesekali hadir, menggoyangkan pepohonan ke kiri dan kanan.
Malam terus merangkak cepat. Keheningan meruang selama Wira memulihkan diri. pemuda itu perlahan membuka mata, berdiri dari duduknya, menatap hamparan hutan luas di depannya.
“Aku tidak menyangka jika Indra dan Jaka juga masih hidup setelah kejadian lima tahun lalu. Harusnya aku membunuh mereka berempat saat itu,” ujar Wira.
Wira mendongak ke langit ketika melihat sekumpulan kelelawar berukuran kecil dan satu kele
Malam kian mendekap Lebak Angin. Padepokan Merak Putih menjadi sepi setelah para murid kembali ke ruangan untuk beristirahat. Untuk sesaat hanya terdengar suara serangga malam dan embusan angin yang menggerakkan ranting ke jendela ruangan. Api obor tampak menari ke kiri dan kanan.Lingga baru saja berbaring di ranjang ketika pintu ruangannya diketuk dari luar. Ia mendapati Indra sudah berada di depan pintu.“Ikutlah denganku ke tempat guru Ganawirya sekarang.” Tanpa menunggu jawaban Lingga, Indra segera berlari menuju ruangan Ganawirya.Lingga menggaruk rambut sesaat, teringat kembali aksi Indra yang tampak terburu-buru beberapa waktu lalu. Seketika saja pembicaraannya dengan Geni, Jaya dan Barma kembali memenuhi isi kepala. “Apa mungkin sudah terjadi sesuatu yang gawat?”Lingga tiba di tempat Ganawirya tak lama setelahnya. Ia mendapati Limbur Kancana, Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka dan Arya sudah berada di dalam ruangan. Wajah me
Lingga tengah berlatih di sebuah batu di dekat air terjun. Keputusan Limbur Kancana yang memintanya untuk segera pergi dari padepokan membuatnya tidak nyaman. Beberapa kali ia salah melakukan gerakan dan terpaksa harus mengulang dari awal.Lingga dipenuhi amarah, kekesalan dan kekecewaan. Ia marah pada Wira yang sudah berkhianat, ia kesal karena harus meninggalkan padepokan ini dan ia kecewa sebab latihannya belum membuahkan hasil. Hingga saat ini, dirinya belum bisa membangkitkan kujang emas.Lingga mengembus napas panjang, menatap sekelilingnya yang tampak sepi. Setelah percakapan tadi selesai, ia bergegas menuju tempat ini untuk berlatih. Akan tetapi, ia sama sekali tidak bisa berlatih dengan baik.Lingga memutuskan untuk duduk bersila, bersemedi dengan kepalan tangan kiri dan kanan yang menyatu di depan dada. Ia tiba-tiba mengingat ucapan Ki Petot di saat dirinya mengintip di balik pepohonan lima tahun yang lalu. “Ketenangan adalah salah
Tendangan Lingga dan Limbur Kancana menumbuk di titik yang sama, menghasilkan gelombang angin kencang yang langsung menyebar ke sekeliling. Pepohonan tampak berguncang ke kiri dan kanan.Lingga mundur sejauh dua tombak, mendarat di sebuah batu dengan sempurna. Ia kembali ke posisi siaga, sedang di sisi lain Limbur Kancana mendarat di batu tempatnya tadi berdiri. “Paman memang hebat.”“Kau sedang tidak melawan tiruanku, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “aku harap kau memberikan perlawanan yang tidak main-main.”Lingga menghimpun kekuatan di kedua tangan. Tak lama setelahnya, cahaya putih keperakan menyelimuti kedua tangannya. Ia seketika menerjang maju, melayangkan cakaran kuat pada Limbur Kancana. Akan tetapi, serangannya dapat dengan mudah terbaca.Lingga lebih banyak menyerang, sedang Limbur Kancana hanya menghindar sembari sesekali menepis serangan. Lingga mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki, sedang Limbur Kancana
Matahari perlahan bangkit dari ufuk timur. Kawanan burung tampak berkurumun di dahan pohon, saling bercengkerama dan berbalas nyanyian. Embun bening terperangkap di dedaunan, menuruni satu per satu daun hingga akhirnya jatuh membasahi bumi.Sinar mentari menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, mencumbu kesadaran Lingga sedikit demi sedikit. Pemuda itu perlahan membuka mata, merenggangkan tubuh. Badannya terasa sangat pegal karena pertarungan semalam. Ia menggunakan jurus merak menaklukkan bumi yang belum sepenuhnya dikuasai. Akan tetapi, ia bersyukur karena bisa memenang pertarungan. Lingga kian percaya jika selama tidak menyerah dan berputus asa, maka jalan akan selalu terbuka.Lingga meneguk minuman hingga habis, mengucek mata perlahan. Ketika menoleh ke ranjang samping, ia sama sekali tidak menemukan keberadaan Limbur Kancana. Ia bergerak ke arah pintu saat suara ketukan terdengar. Ia mendapati Geni, Jaya, Barma dan teman-temannya yang lain suda
Sekar Sari tengah duduk di dahan pohon yang letaknya berada di pinggiran hutan, jauh dari padepokan. Gadis itu bolos berlatih dan lebih memilih menghabiskan waktu berada di tempat ini sejak pagi. Ia sengaja mencabuti daun-daun sembari menggoyang-goyangkan kaki, menikmati angin sepoi-sepoi.“Kenapa ingatanku tentang Lingga harus ikut dihapus segala? Padahal aku bukan orang yang suka berbicara macam-macam,” rutuk Sekar Sari, “kakang guru terlalu berlebihan.”Sekar Sari berdecak, merasa bosan dengan kegiatannya yang hanya duduk sembari merenung. Tak banyak hal yang dirinya lakukan sejak tadi. Kepergian Lingga yang tiba-tiba membuatnya tak nyaman.Sekar Sari melompat ke puncak pohon, menatap hamparan hutan di depannya dengan wajah tertekuk sebal. Sejauh mata memandang, hanya ada hijaunya pepohonan. “Aku pasti akan mendapat hukuman dari guru karena bolos berlatih.”Sekar Sari melompati satu per satu puncak pohon, mendekat ke
Sekar Sari dan Wira masih saling kejar-mengejar di belantara hutan. Dari kejauhan, keduanya seperti dua bayangan yang berkelebat di rindangnya pepohonan. Kawanan burung tampak menjauh ketika kedua pendekar itu melintasi dahan pohon tempat mereka bertengger.“Kau tidak bisa lari dariku, Nyai,” ucap Wira sembari mempercepat langkah kaki. Situasinya tidak terlalu menguntungkan untuknya saat ini. Jika malam sudah tiba, ia bisa mengeluarkan kekuatannya dengan sempurna.Sekar Sari berusaha tenang, melayangkan selandang ke dahan pohon lebih cepat. Ia menjatuhkan bibit tanaman yang sudah dirinya berikan tenaga dalam. Bibit-bibit itu akan langsung tumbuh menjadi tumbuhan merambat yang akan langsung menghalangi jalan Wira.“Gadis itu sangat cepat dan lincah. Dia pasti salah satu murid berbakat dari padepokan ini.” Wira tertawa, semakin tertarik dengan Sekar Sari. Ketika akan melompati dahan pohon, tiba-tiba saja kakinya dihadang oleh sulur tanaman
Kartasura yang akan mengejar Sekar Sari tiba-tiba dikerumuni sulur tanaman. Pria itu memotong tumbuhan itu dengan kuku panjangnya, tetapi sulur baru terus tumbuh dan kian menjeratnya lebih erat.Kartasura berdecak, menggeram penuh amarah. “Terkutuk! Gadis itu nyatanya sempat mempersiapkan serangan balasan saat nyawanya terancam. Tapi dia mendapat serangan telak dariku. Kecil kemungkinan dia berhasil selamat. Kalaupun selamat, gadis itu pasti tidak akan bisa bergerak dalam waktu lama.”Kartasura mengumpulkan kekuatan di kedua tangannya, kembali mencabik-cabik sulur tanaman. Ketika tubuhnya terbebas, tanaman itu kembali menjeratnya. Pria itu membuka tutup kendi, membiarkan asap racun kalong setan mengitarinya. Lambat laun tumbuhan itu layu sampai akhirnya mengering. “Tumbuhan itu membuatku membuang racun kalong setan yang berharga.” Kartasura menoleh ke arah Sekar Sari terlempar. Saat akan mengejarnya, ia tiba-tiba
Lingga mendarat tepat di mulut gua, segera menoleh pada cahaya putih yang mendadak hilang. Pemuda itu tiba-tiba mual karena mencium bau busuk dari arah gua. Ia melompat sejauh dua tombak, mengelus-elus perut. “Pasti ada racun kalong setan di dalam gua.”Lingga menoleh ke sekeliling arah. Langit malam mengungkungi dari atas, sedang sekelilingnya hampir dipenuhi pepohonan tinggi. “Aku harap Paman dan yang lain bisa selamat. Untung saja aku masih sempat menempatkan tiga tiruanku di hutan untuk berjaga-jaga.”Lingga memasuki kawasan pepohonan yang menjulang tinggi, mencari tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menunggu. Pemuda itu menaiki sebuah pohon, duduk di puncaknya. Pandangannya mengawasi sekeliling yang dipenuhi kegelapan. Ia mendadak teringat dengan pria bermahkota emas. Di tempat inilah dirinya pertama kali bertemu dengan sosok pemilik kujang emas itu.Lingga dengan cepat duduk bersila, menyatukan dua kepalan tangan di dada, memej
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me