Sekar Sari tengah duduk di dahan pohon yang letaknya berada di pinggiran hutan, jauh dari padepokan. Gadis itu bolos berlatih dan lebih memilih menghabiskan waktu berada di tempat ini sejak pagi. Ia sengaja mencabuti daun-daun sembari menggoyang-goyangkan kaki, menikmati angin sepoi-sepoi.
“Kenapa ingatanku tentang Lingga harus ikut dihapus segala? Padahal aku bukan orang yang suka berbicara macam-macam,” rutuk Sekar Sari, “kakang guru terlalu berlebihan.”
Sekar Sari berdecak, merasa bosan dengan kegiatannya yang hanya duduk sembari merenung. Tak banyak hal yang dirinya lakukan sejak tadi. Kepergian Lingga yang tiba-tiba membuatnya tak nyaman.
Sekar Sari melompat ke puncak pohon, menatap hamparan hutan di depannya dengan wajah tertekuk sebal. Sejauh mata memandang, hanya ada hijaunya pepohonan. “Aku pasti akan mendapat hukuman dari guru karena bolos berlatih.”
Sekar Sari melompati satu per satu puncak pohon, mendekat ke
Sekar Sari dan Wira masih saling kejar-mengejar di belantara hutan. Dari kejauhan, keduanya seperti dua bayangan yang berkelebat di rindangnya pepohonan. Kawanan burung tampak menjauh ketika kedua pendekar itu melintasi dahan pohon tempat mereka bertengger.“Kau tidak bisa lari dariku, Nyai,” ucap Wira sembari mempercepat langkah kaki. Situasinya tidak terlalu menguntungkan untuknya saat ini. Jika malam sudah tiba, ia bisa mengeluarkan kekuatannya dengan sempurna.Sekar Sari berusaha tenang, melayangkan selandang ke dahan pohon lebih cepat. Ia menjatuhkan bibit tanaman yang sudah dirinya berikan tenaga dalam. Bibit-bibit itu akan langsung tumbuh menjadi tumbuhan merambat yang akan langsung menghalangi jalan Wira.“Gadis itu sangat cepat dan lincah. Dia pasti salah satu murid berbakat dari padepokan ini.” Wira tertawa, semakin tertarik dengan Sekar Sari. Ketika akan melompati dahan pohon, tiba-tiba saja kakinya dihadang oleh sulur tanaman
Kartasura yang akan mengejar Sekar Sari tiba-tiba dikerumuni sulur tanaman. Pria itu memotong tumbuhan itu dengan kuku panjangnya, tetapi sulur baru terus tumbuh dan kian menjeratnya lebih erat.Kartasura berdecak, menggeram penuh amarah. “Terkutuk! Gadis itu nyatanya sempat mempersiapkan serangan balasan saat nyawanya terancam. Tapi dia mendapat serangan telak dariku. Kecil kemungkinan dia berhasil selamat. Kalaupun selamat, gadis itu pasti tidak akan bisa bergerak dalam waktu lama.”Kartasura mengumpulkan kekuatan di kedua tangannya, kembali mencabik-cabik sulur tanaman. Ketika tubuhnya terbebas, tanaman itu kembali menjeratnya. Pria itu membuka tutup kendi, membiarkan asap racun kalong setan mengitarinya. Lambat laun tumbuhan itu layu sampai akhirnya mengering. “Tumbuhan itu membuatku membuang racun kalong setan yang berharga.” Kartasura menoleh ke arah Sekar Sari terlempar. Saat akan mengejarnya, ia tiba-tiba
Lingga mendarat tepat di mulut gua, segera menoleh pada cahaya putih yang mendadak hilang. Pemuda itu tiba-tiba mual karena mencium bau busuk dari arah gua. Ia melompat sejauh dua tombak, mengelus-elus perut. “Pasti ada racun kalong setan di dalam gua.”Lingga menoleh ke sekeliling arah. Langit malam mengungkungi dari atas, sedang sekelilingnya hampir dipenuhi pepohonan tinggi. “Aku harap Paman dan yang lain bisa selamat. Untung saja aku masih sempat menempatkan tiga tiruanku di hutan untuk berjaga-jaga.”Lingga memasuki kawasan pepohonan yang menjulang tinggi, mencari tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menunggu. Pemuda itu menaiki sebuah pohon, duduk di puncaknya. Pandangannya mengawasi sekeliling yang dipenuhi kegelapan. Ia mendadak teringat dengan pria bermahkota emas. Di tempat inilah dirinya pertama kali bertemu dengan sosok pemilik kujang emas itu.Lingga dengan cepat duduk bersila, menyatukan dua kepalan tangan di dada, memej
Para murid kembali meneruskan perjalanan lebih jauh menyusuri gua. Mereka menuruni jalan berbatu, lorong panjang hingga akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang dengan sungai kecil berair jernih. Sinar matahari tampak menerobos atap yang dipenuhi akar tanaman. Sesekali angin mengembus dari atas.“Kalian bisa beristirahat dan memulihkan tenaga di sini,” ujar Indra. Para murid langsung menyebar ke sekeliling, duduk di batu, berselonjor kaki, meneguk air sungai untuk menghilangkan dahaga.Indra mendekat pada ketiga temannya, meminta mereka untuk sedikit menjauh dari para murid. “Kita harus segera membuat rencana.”Indra mengeluarkan kain merah dari balik baju. “Kita bisa menggunakan kain ini jika keadaan bertambah gawat.”“Apa rencanamu, Indra?” tanya Meswara.“Kita akan memasukkan para murid ke dalam kain ini, lalu membawa mereka sejauh mungkin dari Lebak Angin,” terang Indra.
Pasukan Kartasura tiba-tiba menghentikan perjalanan karena dihadapkan pada sebuah dinding tak kasat mata. Tanpa disadari, racun kalong setan yang melingkupi mereka perlahan menghilang karena penawar yang dikirimkan Limbur Kancana pada kubah pelindung.Salah satu pendekar langsung melaporkan hal ini pada Wira yang tengah bersama Danuseka di belakang pasukan.“Apa yang kau maksud dengan tidak bisa memasuki hutan lebih dalam?” Wira tiba-tiba saja memelotot, menarik kerah baju pendekar yang baru saja melapor padanya.Pendekar muda itu menunduk ketakutan. “Ka-kami mendapati kubah pelindung yang menghalangi pergerakan kami. Saat ini, kami sedang berusaha menembus penghalang itu.”Wira berdecak, melempar pendekar tadi sembarang. Ia bergegas membelah kerumunan pendekar di mana beberapa di antara mereka tengah berusaha melenyapkan kubah pelindung.“Wira tenanglah,” ujar Danuseka sembari menyentuh bahu Wira.&
Kartasura tiba-tiba melompat. Dalam satu kedipan mata, pria itu berganti wujud menjadi kelelawar. Ia terbang merendah, bertengger di dahan pohon untuk mengawasi pergerakan Argaseni dan pasukannya dari dekat.Kartasura kembali terbang hingga akhirnya berhenti di sebuah tebing, kemudian kembali berganti wujud menjadi manusia. Pria itu tersenyum bengis, berbalik menghadap tumpukan batu yang berada di atasnya. Ia menghimpun kekuatan di kedua tangan, menghantam bebatuan itu dengan tiga kali pukulan. Suara yang dihasilkan serangan itu cukup menggelegar hingga membuat Argaseni yang tengah bersemedi di atas tandu membuka mata.Batu-batu besar itu berguling cepat menuju pasukan Argaseni, ikut membawa beberapa pohon yang tumbang dan juga debu tebal yang menghalangi pandangan mereka.Argaseni yang menyadari bahaya seketika melompat dari tandu, menendang beberapa batu dan memukul benda keras itu dengan tongkat hingga berubah menjadi potongan kecil. Akan tetapi, beberapa ana
Kartasura mengamati Jurig Lolong dan pasukannya yang sedang berusaha menerobos kubah pelindung. “Ini aneh sekali. Kenapa kubah pelindung itu saling sulit dihancurkan oleh Jurig Lolong dan pasukanku? Padahal kubah pelindung itu sama kuatnya dengan kubah pelindung yang sudah dihancurkan ketika aku dan pasukanku tiba di tempat ini.”Kartasura menoleh pada seekor kelelawar kecil yang terbang mendekat ke arahnya. Ia terdiam sesaat, kemudian menatap lurus ke depan dengan senyum tipis. “Aku sependapat dengan rencana yang dibuat Wira. Para murid bodoh itu memang bisa digunakan sebagai umpan agar anak bernama Lingga itu keluar dari tempat persembunyian. Selain itu, Ganawirya dan pendekar berbaju putih itu pasti tidak akan tinggal diam ketika para murid dan Lingga berada dalam bahaya.”Kartasura mengentak tubuh sekali, melesat cepat ke depan dengan satu pukulan kuat. Pepohonan dan tanah seketika berguncang ketika serangan tersebut beradu dengan kubah peli
Limbur Kancana tiba-tiba saja berdiri ketika menyadari jika kubah pelindungnya berhasil dihancurkan. Pria itu juga bisa melihat pasukan Kartasura yang bergerak maju ke pedalaman hutan. “Kartasura ternyata membawa siluman yang dibawanya lima tahun lalu. Saat kejadian itu, aku tidak bisa banyak membantu karena aku sedang berada di tempat lain. Untungnya aku datang tepat waktu saat Lingga terlempar.”Limbur Kancana melompat turun, mendarat dengan sempurna seperti daun gugur ke tanah. Tiruan Lingga yang bersamanya ikut melompat ke bawah. “Tapi aku sama sekali tidak melihat keberadaan Wira. Ke mana perginya si pengkhianat itu?”Ganawirya datang mendekat bersama tiruan Lingga. “Aku sudah menyelesaikan ramuan penawarnya, Raka.”“Bagus, dengan begitu kita bisa menghadapi mereka tanpa harus takut terkena racun bau itu,” sahut Limbur Kancana.Ganawirya memberikan sebuah kendi kecil pada Limbur Kancana. “Kendi it