Pasukan Kartasura tiba-tiba menghentikan perjalanan karena dihadapkan pada sebuah dinding tak kasat mata. Tanpa disadari, racun kalong setan yang melingkupi mereka perlahan menghilang karena penawar yang dikirimkan Limbur Kancana pada kubah pelindung.
Salah satu pendekar langsung melaporkan hal ini pada Wira yang tengah bersama Danuseka di belakang pasukan.
“Apa yang kau maksud dengan tidak bisa memasuki hutan lebih dalam?” Wira tiba-tiba saja memelotot, menarik kerah baju pendekar yang baru saja melapor padanya.
Pendekar muda itu menunduk ketakutan. “Ka-kami mendapati kubah pelindung yang menghalangi pergerakan kami. Saat ini, kami sedang berusaha menembus penghalang itu.”
Wira berdecak, melempar pendekar tadi sembarang. Ia bergegas membelah kerumunan pendekar di mana beberapa di antara mereka tengah berusaha melenyapkan kubah pelindung.
“Wira tenanglah,” ujar Danuseka sembari menyentuh bahu Wira.
&
Kartasura tiba-tiba melompat. Dalam satu kedipan mata, pria itu berganti wujud menjadi kelelawar. Ia terbang merendah, bertengger di dahan pohon untuk mengawasi pergerakan Argaseni dan pasukannya dari dekat.Kartasura kembali terbang hingga akhirnya berhenti di sebuah tebing, kemudian kembali berganti wujud menjadi manusia. Pria itu tersenyum bengis, berbalik menghadap tumpukan batu yang berada di atasnya. Ia menghimpun kekuatan di kedua tangan, menghantam bebatuan itu dengan tiga kali pukulan. Suara yang dihasilkan serangan itu cukup menggelegar hingga membuat Argaseni yang tengah bersemedi di atas tandu membuka mata.Batu-batu besar itu berguling cepat menuju pasukan Argaseni, ikut membawa beberapa pohon yang tumbang dan juga debu tebal yang menghalangi pandangan mereka.Argaseni yang menyadari bahaya seketika melompat dari tandu, menendang beberapa batu dan memukul benda keras itu dengan tongkat hingga berubah menjadi potongan kecil. Akan tetapi, beberapa ana
Kartasura mengamati Jurig Lolong dan pasukannya yang sedang berusaha menerobos kubah pelindung. “Ini aneh sekali. Kenapa kubah pelindung itu saling sulit dihancurkan oleh Jurig Lolong dan pasukanku? Padahal kubah pelindung itu sama kuatnya dengan kubah pelindung yang sudah dihancurkan ketika aku dan pasukanku tiba di tempat ini.”Kartasura menoleh pada seekor kelelawar kecil yang terbang mendekat ke arahnya. Ia terdiam sesaat, kemudian menatap lurus ke depan dengan senyum tipis. “Aku sependapat dengan rencana yang dibuat Wira. Para murid bodoh itu memang bisa digunakan sebagai umpan agar anak bernama Lingga itu keluar dari tempat persembunyian. Selain itu, Ganawirya dan pendekar berbaju putih itu pasti tidak akan tinggal diam ketika para murid dan Lingga berada dalam bahaya.”Kartasura mengentak tubuh sekali, melesat cepat ke depan dengan satu pukulan kuat. Pepohonan dan tanah seketika berguncang ketika serangan tersebut beradu dengan kubah peli
Limbur Kancana tiba-tiba saja berdiri ketika menyadari jika kubah pelindungnya berhasil dihancurkan. Pria itu juga bisa melihat pasukan Kartasura yang bergerak maju ke pedalaman hutan. “Kartasura ternyata membawa siluman yang dibawanya lima tahun lalu. Saat kejadian itu, aku tidak bisa banyak membantu karena aku sedang berada di tempat lain. Untungnya aku datang tepat waktu saat Lingga terlempar.”Limbur Kancana melompat turun, mendarat dengan sempurna seperti daun gugur ke tanah. Tiruan Lingga yang bersamanya ikut melompat ke bawah. “Tapi aku sama sekali tidak melihat keberadaan Wira. Ke mana perginya si pengkhianat itu?”Ganawirya datang mendekat bersama tiruan Lingga. “Aku sudah menyelesaikan ramuan penawarnya, Raka.”“Bagus, dengan begitu kita bisa menghadapi mereka tanpa harus takut terkena racun bau itu,” sahut Limbur Kancana.Ganawirya memberikan sebuah kendi kecil pada Limbur Kancana. “Kendi it
Kartasura dengan cepat menghimpun kekuatan. Bola matanya berubah menjadi merah seiring dengan tangan menghitam di mana kuku dan gigi taringnya mendadak memanjang. Dalam sekejap, pria itu sudah berada di depan Limbur Kancana, bersiap menyerang.Limbur Kancana segera bertukar tempat dengan tiruannya yang sudah berada di belakang Danuseka. Ia segera menendang punggung pria itu hingga terpelanting ke depan, kemudian kembali muncul di depan Danuseka sembari menghantam pukulan ke arah dada sampai pria itu terdorong ke belakang dan menabrak pohon.Kartasura mundur dengan melakukan salto ke belakang, terkejut ketika Danuseka mengerang kesakitan di salah satu dahan pohon. Ketika menoleh ke arah depan, ia sudah mendapati pendekar berbaju putih itu bersiap menyerang.Limbur Kancana dan Kartasura terlibat dengan jual beli serangan sementara waktu. Keduanya saling menyerang, mengelak dan bertahan dari serangan lawan masing-masing. Kedua perdekar itu bertarung dalam gerakan c
Sementara itu, di alam lain, Lingga tiba-tiba tersadar ketika dua tiruannya mendadak menghilang. Pemuda itu merengut kesal sembari berdiri dari duduknya. “Paman jahat sekali. Kenapa paman justru memukul tiruanku? Padahal aku ingin membantunya dan paman Ganawirya.”Lingga kembali terpejam, mengamati kawasan air terjun dari penglihatan salah satu tiruannya yang tersisa. Pemuda itu melihat asap mengepul dari jarak cukup jauh, disusul bayangan hitam di belakang kepulan asap tersebut. Tak lama setelahnya, ia mendapati siluman hitam legam tengah berjalan menuju air terjun dengan seseorang yang tengah berdiri di bahunya. Puluhan pasukan pnedekar saling melompati dahan pohon di belakang siluman raksasa itu.Lingga terhenyak ketika melihat siapa sosok yang sedang berdiri di bahu siluman yang mirip dengan siluman yang dirinya hadapi lima tahun yang lalu. Sekujur tubuhnya mendadak bergetar bersamaan dengan darah berdesir kuat. Rahangnya mengetat seiring dengan urat-ur
Wira berjalan ke luar gua, melihat beberapa pasukannya yang terluka, di mana sebagian tergeletak tak berdaya di pinggiran sungai karena serangan musuh. “Obati yang terluka dengan segera dan tinggalkan mereka yang mati. Kita akan meneruskan pengejaran para murid.”“Baik,” jawab pasukan serempak.Wira menoleh pada Jurig Lolong yang tengah mengendus bau. “Jurig Lolong, ubah ukuran tubuhmu dan ikuti aku ke dalam gua.”Jurig Lolong menggeram dan dalam satu kedipan mata ukuran tubuhnya menyusut hampir seukuran pria dewasa. Siluman itu memasuki gua lebih dahulu, memukul tubuh seraya memekik kencang hingga beberapa batu kecil berjatuhan dari atap gua.Wira dan pasukannya segera memasuki gua, berjalan di belakang Jurig Lolong. Kedatangan mereka nyatanya disambut dengan hujan panah dan tombak api dari arah depan. Wira berhasil menghindari semua serangan dan beberapa kali menepis panah dan tombak, sedang beberapa pasukannya dibuat
Indra dan Arya segera memasang kuda-kuda, memperhatikan Wira lekat-lekat meski amarah sudah mencapai puncak. Keduanya berusaha menguasai diri.Wira terkekeh, berjalan mondar-mandir di depan Indra dan Arya. Ia memberi tanda pada Jurig Lolong dan pasukannya untuk menyerang. Akan tetapi, dua tiruan Limbur Kancana berhasil menghadang pergerakan mereka melalui hujan panah api dan serbuan tombak.Jurig Lolong menghadapi satu tiruan Limbur Kancana. Siluman itu mengayun-ayunkan palu godam seiring dengan pergerakan lawan yang berpindah-pindah dengan cepat. Getaran kuat terasa saat senjatanya menumbuk tanah dan bebatuan. Sementara itu, tiruan Limbur Kancana yang lain menghadapi pasukan Wira yang berjumlah tak lebih dari dua puluh orang.Wira mendongak ke langit-langit gua sekilas, tersenyum meremehkan saat melihat Indra dan Arya yang masih dalam posisi siaga. “Aku bahagia karena kalian masih hidup setelah penyerangan lima tahun yang lalu. Kalian berdua harus berteri
Indra tak menggubris, melayangkan ayunan kapak dan tendangan bergantian lebih cepat. Pemuda itu tercengang ketika tangannya tiba-tiba saja bergetar hingga kapaknya terjatuh. Ia terbatuk darah, menyebabkan pertahannya mengendur. Alhasil, ia mendapat pukulan telak dari Wira hingga terpelanting ke belakang. Arya berhasil menahan Indra, membawa sahabatnya bersembunyi di balik sebuah batu. Ia ikut terbatuk darah. “Ini pasti karena racun kalong setan. Seperti yang dikatakan guru, tanpa bantuan Lingga kita tidak bisa mencium baunya.” Arya segera membuka kendi berisi penawar racun kalong setan, membiarkan asap putih menyelimutinya dan Indra selama beberapa saat. Namun, ia dan Indra masih terbatuk darah. Penglihatannya juga mulai mengabur dan dadanya mulai sesak dan terasa terbakar di saat bersamaan. “Apa penawar racun itu tidak berfungsi?” tanya Arya. “Aku rasa ... penawar itu memiliki waktu untuk bekerja,” jawab Indra, “selama menunggu, kita harus tetap memberikan perlawanan.” “Aku menge