Bangasera terbahak saat melihat empat pendekar muda di depannya terkejut karena kehadirannya, terlebih ketika mendapati Wira yang tak sadarkan diri dengan keadaan terikat rantai besi. “Harus kuakui kalau kalian berempat cukup kuat dan cerdas.”Indra, Meswara, Jaka dan Arya seketika memasang kuda-kuda siaga.“Kalian berempat memiliki kepercayaan tinggi terhadap satu sama lain. Kepercayaan itu tumbuh karena kalian sudah melewati banyak hal menyakitkan bersama-sama,” ujar Bangasera, “bagaimana jika kalian menjadi bawahanku? Aku akan memberikan apa pun pada kalian selama kalian mau menerima semua perintahku.”“Kami sama sekali tidak tertarik,” sahut Meswara.Bangasera berdecak. “Bocah sombong!”“Apa yang kau mau dari kami?” tanya Indra sembari memberi tanda gerakan jari pada Meswara dan Jaka yang berada di belakangnya.“Aku dan pasukanku sedang mencari pemuda yang bern
Indra dan Arya kembali memasang kuda-kuda siaga. Bahu keduanya naik-turun karena tenaga yang sudah terkuras habis. Mereka berharap jika Meswara dan Jaka bisa menyelamatkan para murid ke tempat yang aman dengan cepat.“Kakang guru pasti sedang kesulitan saat ini sehingga tidak sempat bertukar tempat dengan tiruannya,” ujar Arya di sela berusaha mengendalikan napas yang mulai terputus-putus.“Kau benar. Kita harus bisa menahan pria bersisik ini selama mungkin agar Meswara dan Jaka bisa memiliki waktu untuk menyelamatkan para murid ke tempat yang aman,” sahut Indra.“Kedua teman kalian sedang menghadapi pasukanku saat ini. Mereka tidak akan bisa lolos dengan mudah. Kalaupun mereka berhasil lolos, aku pastian mereka akan terluka sangat parah,” ujar Bangasera, “pasukanku jauh lebih kuat dibanding pasukan Kartasura.”Indra dan Arya saling melirik satu sama lain, dan dengan gerakan cepat menendang tombak-tombak yan
Wira memekik kencang saat dirinya sudah dikepung dari berbagai arah. Kilatan amarahnya terlihat jelas dari tatapannya yang terus mengawasi pasukan Bangasera. Pemuda itu menggeram, melayangkan serangan dengan gerakan memutar pada puluhan pendekar di sekelilingnya hingga mereka mundur sejauh satu tombak. Namun, pasukan itu kembali mendekat dan justru menyerangnya secara bersamaan.“Aku harus segera mengejar Bangasera sebelum dia berhasil menemukan Lingga lebih dulu.” Wira berlutut, mengubah wujud menjadi kelelawar raksasa. Ia terbang tinggi, mengepakkan sayap kuat-kuat. Angin yang tercipta membuat pasukan Bangasera mundur beberapa hasta dan berhasil menggagalkan serangan mereka.Wira mengirimkan kawanan kelelawar dari tubuhnya pada pasukan musuh. Selagi mereka menangkis dan menahan serangannya, ia mendarat di sebuah pohon dan kembali ke wujud manusia. “Aku tidak boleh berlama-lama berurusan dengan pasukan Banterlambat.”Wira dengan cepat be
Meswara sama sekali tidak menjawab. Ia berusaha membuka kendi pemusnah siluman meski tangannya terus dipatuk dan digigiti puluhan ular, sedang kakinya mencoba mendekatkan pedang ke arahnya.“Apa pemuda bernama Lingga itu sudah berhasil menguasai kujang emas?” tanya Bangasera sembari mendekatkan wajahnya pada Meswara hingga kening mereka menyatu. “Apa dia sudah menjadi pendekar yang hebat? Jurus-jurus apa saja yang berhasil dikuasainya?”Meswara berhasil membuka tutup kendi pemusnah siluman. Pedangnya sudah berada di bawah kakinya. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menyerang dan melarikan diri.“Bukalah mulutmu sebelum aku kehilangan kesabaran atau kau akan segera menyusul dua temanmu yang lain.” Bangasera mengambil kendi berisi racun kalong setan.Meswara tiba-tiba saja tertawa, tersenyum meremehkan. “Dibanding menggunakan racun kalong setan padaku, kenapa kau tidak menggunakan racun itu untuk membunuh
“Sekar Sari,” ujar Geni sembari menangkap tubuh gadis itu yang akan kembali terseret arus air. “Dia benar-benar Sekar Sari. Apa yang terjadi dengannya?”“Geni,” ucap Jaya dan Barma bersamaan sembari mendekat.“Aku menemukan Sekar Sari.”Geni membawa tubuh Sekar Sari ke sisi sungai. Jaya dan Barma dengan cepat membantu, membaringkan gadis itu.“Apa yang terjadi dengan Sekar Sari?” tanya Jaya.Geni mengamati Sekar Sari dari atas sampai bawah. “Sekar Sari sepertinya terluka parah. Syukurlah dia masih hidup. Cepat bantu aku membawa Sekar Sari ke gua. Dia harus segera mendapatkan pertolongan.”Geni mengangkat tubuh Sekar Sari bagian atas, sedang Jaya mengangkat bagian kaki. Barma sendiri membawa air sembari mengawasi keadaan sekeliling. Namun, baru beberapa langkah berjalan, serbuan angin kencang membuat mereka menghentikan langkah.“Apa itu?” tunjuk Jaya s
“Lingga?” Geni dan Jaya saling berpandangan sesaat, lalu kembali menoleh pada Sekar Sari.“Tidak ada murid yang bernama Lingga di padepokan,” ujar Geni.“Benar yang dikatakan Geni. Apa mungkin kau salah orang?” susul Jaya.“Apa maksud kalian berdua?” Sekar Sari berkacak pingggang, menatap dengan raut jengkel. “Bukankah kalian sangat dekat dengan Lingga? Aku sering melihat kalian bersamanya di padepokan.”Geni dan Jaya kembali saling melempar tatapan, menggeleng pada Sekar Sari.“Berhenti bergurau dan jangan membuatku kehilangan kesabaran!” Sekar Sari setengah memekik meski setelahnya ia meringis kesakitan. “Sekarang katakan, di mana Lingga?”“Tapi kami tidak mengenal orang kau sebutkan, Sekar Sari.” Geni menggaruk rambut, bingung. “Kami bicara yang sebenarnya. Kamu sama sekali tidak berbohong.”“Kalian benar-benar membuatk
Sekar Sari, Geni dan Jaya terlempar cukup jauh. Ketiganya mendarat tepat di pinggiran sungai dengan cukup sempurna. Jaka dan Barma yang sedang bersembunyi di balik pohon seketika mendekat saat menyadari kehadiran mereka. “Kalian baik-baik saja?” tanya Jaka dengan satu tangan memegangi perut. “Kakang Jaka,” ucap Sekar Sari, Geni dan Jaya bersamaan. Jaka perlahan berjongkok, merasakan tubuhnya semakin lemah. Setelah mendengar siulan sebanyak tiga kali, pemuda itu segera memerintahkan para murid untuk memasuki kain kembali, lalu bersiaga di mulut gua. Ia hampir saja melukai Barma kalau tidak segera menarik pedangnya dengan cepat. “Geni, Jaya, Sekar Sari,” ucap Barma dengan tatapan khawatir. “Sekar Sari, syukurlah kau selamat,” ujar Jaka, “aku sangat mengkhawatirkanmu karena kau tiba-tiba saja menghilang semenjak siang. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” Sekar Sari menunduk sesaat. “Aku ... pergi ke pinggiran hutan tanpa sepengetahuan siapa pun sejak pagi, Kakang. Ketika menghabisk
Sementara itu, Wira terpaksa mendarat di sebuah pohon dan berubah kembali ke wujud manusia. Tangannya terus-menerus mengeluarkan darah akibat serangan tombak salah satu murid padepokan tadi. Pemuda itu menggeram dengan mata diselimuti sinar kemerahan. Dalam penyerangan ini, ia terus dipermalukan musuh, bahkan oleh seorang murid padepokan.“Aku harus segera menemui raka untuk memberi tahu keberadaan Bangasera di tempat ini. Selain itu, aku juga harus memulihkan diri. Akan sangat berbahaya jika aku bertemu dengan musuh yang kuat. Aku beruntung karena masih bisa melarikan diri dari Bangasera dan pendekar berbaju putih itu.”Wira melompati satu per satu dahan pohon, bergerak cukup lambat karena sesekali luka dan perih di tubuhnya terasa hingga menyebabkannya harus berhenti. Cukup lama ia berlari hingga akhirnya tiba di pertengahan hutan.Wira terpejam, berusaha merasakan hawa keberadaan Kartasura, Danuseka, Jurig Lolong dan pasukannya. “Aneh sekali