“Lingga?” Geni dan Jaya saling berpandangan sesaat, lalu kembali menoleh pada Sekar Sari.
“Tidak ada murid yang bernama Lingga di padepokan,” ujar Geni.
“Benar yang dikatakan Geni. Apa mungkin kau salah orang?” susul Jaya.
“Apa maksud kalian berdua?” Sekar Sari berkacak pingggang, menatap dengan raut jengkel. “Bukankah kalian sangat dekat dengan Lingga? Aku sering melihat kalian bersamanya di padepokan.”
Geni dan Jaya kembali saling melempar tatapan, menggeleng pada Sekar Sari.
“Berhenti bergurau dan jangan membuatku kehilangan kesabaran!” Sekar Sari setengah memekik meski setelahnya ia meringis kesakitan. “Sekarang katakan, di mana Lingga?”
“Tapi kami tidak mengenal orang kau sebutkan, Sekar Sari.” Geni menggaruk rambut, bingung. “Kami bicara yang sebenarnya. Kamu sama sekali tidak berbohong.”
“Kalian benar-benar membuatk
Sekar Sari, Geni dan Jaya terlempar cukup jauh. Ketiganya mendarat tepat di pinggiran sungai dengan cukup sempurna. Jaka dan Barma yang sedang bersembunyi di balik pohon seketika mendekat saat menyadari kehadiran mereka. “Kalian baik-baik saja?” tanya Jaka dengan satu tangan memegangi perut. “Kakang Jaka,” ucap Sekar Sari, Geni dan Jaya bersamaan. Jaka perlahan berjongkok, merasakan tubuhnya semakin lemah. Setelah mendengar siulan sebanyak tiga kali, pemuda itu segera memerintahkan para murid untuk memasuki kain kembali, lalu bersiaga di mulut gua. Ia hampir saja melukai Barma kalau tidak segera menarik pedangnya dengan cepat. “Geni, Jaya, Sekar Sari,” ucap Barma dengan tatapan khawatir. “Sekar Sari, syukurlah kau selamat,” ujar Jaka, “aku sangat mengkhawatirkanmu karena kau tiba-tiba saja menghilang semenjak siang. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” Sekar Sari menunduk sesaat. “Aku ... pergi ke pinggiran hutan tanpa sepengetahuan siapa pun sejak pagi, Kakang. Ketika menghabisk
Sementara itu, Wira terpaksa mendarat di sebuah pohon dan berubah kembali ke wujud manusia. Tangannya terus-menerus mengeluarkan darah akibat serangan tombak salah satu murid padepokan tadi. Pemuda itu menggeram dengan mata diselimuti sinar kemerahan. Dalam penyerangan ini, ia terus dipermalukan musuh, bahkan oleh seorang murid padepokan.“Aku harus segera menemui raka untuk memberi tahu keberadaan Bangasera di tempat ini. Selain itu, aku juga harus memulihkan diri. Akan sangat berbahaya jika aku bertemu dengan musuh yang kuat. Aku beruntung karena masih bisa melarikan diri dari Bangasera dan pendekar berbaju putih itu.”Wira melompati satu per satu dahan pohon, bergerak cukup lambat karena sesekali luka dan perih di tubuhnya terasa hingga menyebabkannya harus berhenti. Cukup lama ia berlari hingga akhirnya tiba di pertengahan hutan.Wira terpejam, berusaha merasakan hawa keberadaan Kartasura, Danuseka, Jurig Lolong dan pasukannya. “Aneh sekali
Ganawirya menghilang dan muncul kembali di dekat kubah yang menyekap Kartasura. “Kau sepertinya sudah terlalu jauh melangkah, Kartasura. Tujuan hinamu bahkan membawamu pada jalan yang tak seharusnya manusia tapaki.”“Tutup mulut busukmu, Ganawirya! Kejayaan dan kekuasaan adalah hal yang tidak bisa kau pahami dengan otak sungsangmu! Orang bodoh sepertimu tidak akan pernah mengerti apa arti dari kekuasan dan kejayaan sesungguhnya!”Kartasura mengggeram marah di sela tangan dan kakinya memberikan serangan pada kubah yang semakin mengurungnya. Berada di tempat ini membuat tenaganya terkuras dengan cepat, terlebih luka yang diterimanya dari Ganawirya dan pendekar berbaju putih itu masih menggerogoti raganya. Ia beruntung karena Danuseka masih sempat menyelamatkannya.Kartasura menoleh pada Danuseka yang masih terbaring tak berdaya, kemudian menatap Ganawirya dengan pandangan dendam dan amarah. “Sejak dulu, kau selalu saja menghalangi sem
Kartasura dan Wira yang tengah memapah Danuseka segera meninggalkan tempat mereka saat ini. Keduanya bergerak secepat mungkin, melompati satu per satu dahan pohon.Kartasura berdecak ketika melihat sisa-sisa pertempuran di tempat yang dilewatinya. Ia menggertakkan gigi karena merasa berhasil dipecundangi musuh, padahal hanya tinggal beberapa langkah lagi tujuannya tercapai. “Terkutuk! Ganawirya dan Limbur Kancana berhasil menggagalkan seluruh rencana kita!”Wira menoleh. “Raka, sepertinya Ganawirya dan Limbur Kancana memang sudah mempersiapkan semua hal jika padepokan mereka diserang, termasuk menyembunyikan Lingga ke tempat yang aman. Aku sangat yakin jika Lingga memang berada di padepokan ini sebelumnya. Akan tetapi, sampai saat ini aku tidak melihat atau merasakan keberadaan Lingga di mana pun, kecuali sosok tiruannya yang muncul di gua secara sekilas.”Wira melanjutkan, “Limbur Kancana pasti sengaja mematai-matai kita untuk tahu
Ganawirya mendarat di tanah dengan tubuh yang sudah dibanjiri keringat. Pria itu menarik napas dalam, mengembus perlahan. Tubuhnya oleng sesaat ketika ia akan berdiri. Tenaganya benar-benar terkuras akibat pertarungan malam ini, sedang masih banyak hal yang harus ia selesaikan malam ini. “Aku gagal menjalankan tugas dari raka Limbur Kancana untuk mengawasi Kartasura dan pria bernama Danuseka itu,” ujar Ganawirya, “tapi sepertinya mereka mendapat luka fatal karena serangan tadi. Kemungkinan besar mereka akan memilih mundur untuk memulihkan diri sementara waktu. Aku harus segera mengobati Indra dan yang lain serta memastikan keamaan para murid.” Ganawirya menoleh ke belakang ketika merasakan kehadiran seseorang. Ia mendapati Limbur Kancana tengah berdiri di puncak pohon, memandangnya dengan tatapan menyelidik. “Apa yang terjadi, Ganawirya?” tanya Limbur Kancana sembari melompat turun, berdiri bersisian dengan Ganawirya. “Kartasura, Wira dan pria
Limbur Kancana tengah duduk bersila di dalam sebuah kubah kecil yang menaunginya. Darah segar tampak menghiasi mulut dengan beberapa luka di tangan, leher dan kaki. Ratusan ular Bangasera berada di sekelilingnya, mengitari kubah, berusaha menembus penghalang.Limbur Kancana mendapat luka cukup patal setelah menerima serangan dari Bangasera di pertarungan terakhir. Pendekar berbaju putih itu mulai membuka mata, menatap sekeliling di mana empat ular siluman Bangasera masih mengawasinya dari empat arah mata angin. Limbur Kancana kembali terpejam, melihat keadaan hutan melalui tiruannya yang berhasil dirinya sebar sebelum mendapat serangan telak Bangasera. Ia melihat satu tiruannya tengah membawa Meswara ke dalam gua, lalu meletakkannya di samping Indra dan Arya yang sedang duduk bersila dengan mata tertutup. Satu tiruannya yang lain berusaha mengejar Jaka dan para murid. Satu sisanya mencari keberadaan Bangasera yang bergerak ke arah padepokan. Limbur
Limbur Kancana terhenyak dengan gigi bergemelatuk. Ketika tubuhnya kembali mendarat di puncak pohon, tanpa diduga ia mendapat serangan dari Argaseni dan Brajawesi.Limbur Kancana seketika terpelanting ke belakang dengan tubuh berputar-putar, menerobos pepohonan, terjatuh berguling-guling hingga rebah di tanah. Ia segera menghindar ketika kedua anggota Cakar Setan itu kembali menyerang.Limbur Kancana mendarat di tanah dan seketika dihadapkan dengan Argaseni dan Brajawesi yang kembali melayangkan serangan. Ketiganya saling berbalas serangan dan beradu kekuatan untuk sementara waktu hingga kembali merenggangkan jarak.Limbur Kancana terbatuk darah, mundur beberapa langkah. Racun kalong setan membuat indra-indranya menumpul hingga tak menyadari kedatangan Argaseni dan Brajawesi. Menghadapai kedua anggota Cakar Setan itu sekaligus, di tengah keadaannya saat ini, tentu akan jadi masalah besar. “Firasatku ternyata benar. Keadaannya ak
Argaseni dan Brajawesi melayangkan tongkat dan kapak bersamaan hingga terdengar suara benturan cukup keras. Percikan api tercipta dari tumbukan dua senjata itu. Kedua anggota Cakar Setan itu saling menguliti masing-masing, lalu kembali menarik senjata menjauh. Argaseni dan Brajawesi segera menerjang ke arah Limbur Kancana, dan dalam waktu bersamaan, keduanya melayangkan tongkat dan kapak. Limbur Kancana menghindar dengan melompat, menendang dua senjata itu, lalu mengirimkan serangan tenaga dalam jarak jauh. Aragaseni dan Brajawesi segera menangkap kembali tongkat dan kapaknya selagi menghindari semua serangan Limbur Kancana. Brajawesi memukul tanah kuat-kuat dengan kapak. Retakan besar di tanah menjalar cepat ke arah Limbur Kancana. Ketika Limbur Kancana akan melompat, Argaseni tiba-tiba muncul di atasnya, kemudian menghantam tongkat dengan kuat. Limbur Kancana menepis serangan Argaseni dengan kedua tangan, kemudian menghindar ke samping. Nahasnya, Brajawesi sudah bersiap dengan s