Limbur Kancana dan Ganawirya terdiam beberapa detik lamanya ketika melihat pasukan Wulung tengah bergerak ke arah hutan. Angin dingin berembus cukup kencang, menerbangkan beberapa helai daun yang terjatuh, menimbulkan suara yang menemani kebisuan dua pendekar itu.“Ganawirya, selamatkan Jaka dan para murid dengan segera,” perintah Limbur Kancana, “kita akan berkumpul di pinggiran hutan di dekat sungai. Aku akan membawa kalian semua ke alam lain untuk berlindung dari serangan anggota Cakar Setan. Dengan kekuatanku sekarang, aku hanya bisa membuka gerbang alam lain satu kali.”“Aku mengerti, Raka,” ucap Ganawirya.Limbur Kancana membuat satu tiruan, kemudian berkata, “Lindungi tiruanku dan jangan sampai menghilang oleh serangan musuh. Aku pastikan aku akan membawa Indra, Meswara dan Arya dengan cepat.”“Baik, Raka.” Ganawirya tiba-tiba menghilang bersama satu tiruan Limbur Kancana.Limbur Kancana memandang keadaan sekitar. Dari arah belakang, ia mulai merasakan hawa keberadaan Argaseni
“Bagaimana mungkin Wulung bisa berada di tempat ini?” gumam Bangasera dengan tatapan terkejut. Matanya membulat lebar bersamaan dengan tubuhnya yang kembali tegak. Tatapannya segera tertuju pada Limbur Kancana dan yang lain di mana saat ini kondisi mereka sudah terikat pecut Wulung.Wulung tersenyum tipis seraya mendekat ke arah Bangasera. “Aku sudah menduga jika kau berada di hutan ini, Bangasera. Aku sama sekali tidak melihatmu dan pasukanmu di tempat biasa kau berkumpul. Sepertinya aku harus berterima kasih pada Kartasura yang secara tidak sengaja justru menunjukkan jalan ke tempat ini. Apa kau bermaksud mendapatkan pemuda bernama Lingga itu seorang diri?”“Bukankah kau juga berpikir demikian, Wulung?” Bangasera balik bertanya, memelotot tajam. “Sungguh sial, aku akan kesulitan untuk mendapatkan pemuda pewaris kujang emas itu jika Wulung berada di hutan ini,” gumamnya.Bangasera terdiam sesaat ketika merasakan kehadiran Argaseni dan Brajawesi. Giginya bergemelatuk ketika kesempatan
Di tempat yang berbeda, tepatnya di pinggiran perkampungan warga, Danuseka baru saja meletakkan Kartasura dan Wira di tanah, lalu menotok tiga titik di dada mereka sampai keduanya terbatuk dan tersadar setelahnya.Kartasura terbatuk beberapa kali ketika matanya sudah sepenuhnya terbuka. Pria itu berusaha duduk meski sekujur tubuhnya terasa remuk. Ia memegang dadanya seraya mengamati keadaan sekeliling, lalu menoleh pada Danuseka yang sedang membantu Wira untuk duduk.“Apa ... yang terjadi, Danuseka?” tanya Kartasura.“Kalian berdua terkena serangan cukup fatal dari Ganawirya,” jawab Danuseka, “untungnya aku masih bisa menyelamatkan kalian dan membawa kalian berdua menjauh dari hutan. Saat ini, kita sedang berada di pinggiran perkampungan warga.”“Kau ... memang bisa kuandalkan, Danuseka.” Kartasura berusaha berdiri meski tampak susah payah. Dadanya serasa ditekan kuat-kuat hingga untuk beberapa waktu ia kesulitan bernapas. Pria itu menggeram marah saat mengingat kembali bagaimana Gana
Empat anggota Cakar Setan tengah berhadapan satu sama lain, mengamati lawan masing-masing, di mana Limbur Kancana dan yang lain masih terperangkap di dalam kubah. Angin berembus cukup kencang, menerbangkan dedaunan dan ranting-ranting kecil. Keheningan yang terasa berbanding terbalik dengan degup jantung yang mulai berdetak kencang. Siapa pun bisa menerka jika akan ada pertarungan dahsyat di antara mereka. “Aku tidak menduga jika kita akan bertemu di hutan ini. Mungkinkah ini sebuah kebetulan atau justru sebuah kesengajaan?” ujar Argaseni membuka percakapan. Tangan kanannya menggeram erat tongkat, sedang tatapannya mengawasi tiga anggota Cakar Setan yang lain dengan waspada. “Sepertinya kita memiliki maksud dan tujuan yang sama datang ke hutan ini,” sahut Wulung sembari tersenyum tipis. Sudah sekian lama semenjak dirinya dan tiga anggota Cakar Setan yang lain berada dalam keadaan tegang seperti ini. “Kau benar, tapi sayangnya aku tidak memiliki waktu untuk meladeni kalian bertiga ka
Keempat anggota Cakar Setan itu masih saling menyerang, di mana Wulung masih memegang kendali atas kubah yang berada di atas kepalanya. Pria itu berusaha menghadang serangan Bangasera, Argaseni dan Brajawesi yang datang bergantian hingga membuatnya cukup kerepotan.Wulung tiba-tiba melempar kubah ke langit, menarik tali pecutnya dari sana. Kubah yang menjerat Limbur Kancana dan yang lain itu tampak melayang di udara.Wulung dengan cepat menghadang tendangan Bangasera, Argaseni dan Brajawesi dengan tangan menyilang di depan dada ketika ketiganya berniat mendekat pada kubah. “Kalian tidak akan kubiarkan mendekat dengan mudah.”Bangasera, Argaseni dan Brajawesi kembali mendarat di tanah, menatap Wulung geram.Wulung segera memutar-mutar pecut. Dalam sekejap, angin berembus kencang sampai pepohonan di sekitar tempat pertarungan bergoyang ke kiri dan kanan. Secara tiba-tiba, tali pecutnya diselimuti api merah menyala.Wulung mengayunkan tali
Sementara itu, Indra tak sadarkan diri setelah terpelanting jauh dan membentur pepohonan. Tubuhnya jatuh ke sungai, terbawa arus dan melewati bebatuan. Kain merah, tempat di mana para murid berada, masih dalam genggamannya dengan kondisi basah. “Apa yang terjadi?” tanya Geni ketika ruangannya bersama para murid mulai dipenuhi air. Dalam waktu cepat, air sudah setinggi betis.“Apa mungkin terjadi sesuatu pada Kakang Jaka?” Jaya ikut bertanya.“Mungkin saja Kakang Jaka tenggelam di sungai sehingga air memasuki ruangan ini,” terka Barma yang langsung diangguki murid lain.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah satu murid perempuan yang berada di samping Sekar Sari, “kita tidak boleh berada di tempat ini jika air terus-menerus masuk.”“Kekuatan dan tenaga kita secara perlahan terus terserap, terlebih keadaan di ruangan ini mulai dipenuhi air,” ucap murid perempuan yang lain, “jika kita terus berada di sini, lambat laun kita akan lemas dan tenggelam.”Sekar Sari mulai siuman
“Bagaimana dengan keadaan Kakang Indra saat ini?” tanya Geni.“Kakang Indra ... masih tak sadarkan diri,” jawab salah satu murid yang duduk di samping Indra, “tapi ... kami sudah memberi ramuan untuk mengobati luka luarnya.”Hampir semua murid sudah berkumpul di dalam gua, sedang beberapa murid berjaga di pintu masuk untuk mengawasi pergerakan pasukan Wulung yang kini masih berada di sekitar sungai. Raut penat, khawatir dan ketakutan tampak jelas terlihat. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah satu murid laki-laki, “kita tidak mungkin berada di dalam gua selamanya. Cepat atau lambat pasukan pendekar golongan hitam akan menemukan kita.”“Tentu saja kita harus segera keluar dari hutan ini untuk menyelamatkan diri,” jawab murid laki-laki yang lain, “bukannya tujuan Kakang Indra, Kakang Jaka dan yang lainnya adalah untuk menyelamatkan kita?”“Apa ... itu langkah yang tepat di saat pasukan pendekar golongan hitam dan anggota Cakar Setan berada di hutan ini?” Seorang murid p
Geni dan Jaya kembali saling menatap. Kedua pemuda itu dibuat bingung dengan keadaan yang terjadi saat ini. Bagaimana mungkin para murid tidak mengetahui soal Lingga?“Geni, Jaya, apa yang kalian bicarakan?” tanya Barma yang berada di samping keduanya.“Apa kau juga tidak mengingat Lingga, Barma?” Jaya balik bertanya.Barma menggeleng, mengendikkan bahu.Geni menggertakkan gigi, berbisik di telinga Jaya, “Kenapa para murid sama sekali tidak mengingat apa pun soal Lingga?”“Entahlah.” Jaya diam sejenak, berusaha berpikir lebih dalam. “Bukankah kita juga sempat tidak mengingat Lingga untuk sementara waktu? Mungkin saja hal itu juga terjadi pada mereka. Hal yang harus kita lakukan adalah terus mengingatkan mereka.” “Kau benar.” Geni segera menoleh pada Sekar Sari ketika mengingat jika gadis itu pernah bertanya mengenai Lingga padanya dan Jaya ketika keduanya belum mengingat sosok Lingga. “Sekar Sari, aku tahu kau mengetahui sesuatu soal Lingga. Segera bantu kami untuk mengingatkan para