Keempat anggota Cakar Setan itu masih saling menyerang, di mana Wulung masih memegang kendali atas kubah yang berada di atas kepalanya. Pria itu berusaha menghadang serangan Bangasera, Argaseni dan Brajawesi yang datang bergantian hingga membuatnya cukup kerepotan.
Wulung tiba-tiba melempar kubah ke langit, menarik tali pecutnya dari sana. Kubah yang menjerat Limbur Kancana dan yang lain itu tampak melayang di udara.
Wulung dengan cepat menghadang tendangan Bangasera, Argaseni dan Brajawesi dengan tangan menyilang di depan dada ketika ketiganya berniat mendekat pada kubah. “Kalian tidak akan kubiarkan mendekat dengan mudah.”
Bangasera, Argaseni dan Brajawesi kembali mendarat di tanah, menatap Wulung geram.
Wulung segera memutar-mutar pecut. Dalam sekejap, angin berembus kencang sampai pepohonan di sekitar tempat pertarungan bergoyang ke kiri dan kanan. Secara tiba-tiba, tali pecutnya diselimuti api merah menyala.
Wulung mengayunkan tali
Sementara itu, Indra tak sadarkan diri setelah terpelanting jauh dan membentur pepohonan. Tubuhnya jatuh ke sungai, terbawa arus dan melewati bebatuan. Kain merah, tempat di mana para murid berada, masih dalam genggamannya dengan kondisi basah. “Apa yang terjadi?” tanya Geni ketika ruangannya bersama para murid mulai dipenuhi air. Dalam waktu cepat, air sudah setinggi betis.“Apa mungkin terjadi sesuatu pada Kakang Jaka?” Jaya ikut bertanya.“Mungkin saja Kakang Jaka tenggelam di sungai sehingga air memasuki ruangan ini,” terka Barma yang langsung diangguki murid lain.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah satu murid perempuan yang berada di samping Sekar Sari, “kita tidak boleh berada di tempat ini jika air terus-menerus masuk.”“Kekuatan dan tenaga kita secara perlahan terus terserap, terlebih keadaan di ruangan ini mulai dipenuhi air,” ucap murid perempuan yang lain, “jika kita terus berada di sini, lambat laun kita akan lemas dan tenggelam.”Sekar Sari mulai siuman
“Bagaimana dengan keadaan Kakang Indra saat ini?” tanya Geni.“Kakang Indra ... masih tak sadarkan diri,” jawab salah satu murid yang duduk di samping Indra, “tapi ... kami sudah memberi ramuan untuk mengobati luka luarnya.”Hampir semua murid sudah berkumpul di dalam gua, sedang beberapa murid berjaga di pintu masuk untuk mengawasi pergerakan pasukan Wulung yang kini masih berada di sekitar sungai. Raut penat, khawatir dan ketakutan tampak jelas terlihat. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah satu murid laki-laki, “kita tidak mungkin berada di dalam gua selamanya. Cepat atau lambat pasukan pendekar golongan hitam akan menemukan kita.”“Tentu saja kita harus segera keluar dari hutan ini untuk menyelamatkan diri,” jawab murid laki-laki yang lain, “bukannya tujuan Kakang Indra, Kakang Jaka dan yang lainnya adalah untuk menyelamatkan kita?”“Apa ... itu langkah yang tepat di saat pasukan pendekar golongan hitam dan anggota Cakar Setan berada di hutan ini?” Seorang murid p
Geni dan Jaya kembali saling menatap. Kedua pemuda itu dibuat bingung dengan keadaan yang terjadi saat ini. Bagaimana mungkin para murid tidak mengetahui soal Lingga?“Geni, Jaya, apa yang kalian bicarakan?” tanya Barma yang berada di samping keduanya.“Apa kau juga tidak mengingat Lingga, Barma?” Jaya balik bertanya.Barma menggeleng, mengendikkan bahu.Geni menggertakkan gigi, berbisik di telinga Jaya, “Kenapa para murid sama sekali tidak mengingat apa pun soal Lingga?”“Entahlah.” Jaya diam sejenak, berusaha berpikir lebih dalam. “Bukankah kita juga sempat tidak mengingat Lingga untuk sementara waktu? Mungkin saja hal itu juga terjadi pada mereka. Hal yang harus kita lakukan adalah terus mengingatkan mereka.” “Kau benar.” Geni segera menoleh pada Sekar Sari ketika mengingat jika gadis itu pernah bertanya mengenai Lingga padanya dan Jaya ketika keduanya belum mengingat sosok Lingga. “Sekar Sari, aku tahu kau mengetahui sesuatu soal Lingga. Segera bantu kami untuk mengingatkan para
Sementara itu, Limbur Kancana, Ganawirya, Meswara, Jaka dan Arya mendadak muncul di atas puncak pohon yang agak jauh dari lokasi pertarungan empat anggota Cakar Setan tadi. Mereka terus berpindah tempat hingga akhirnya tiba di pekarangan padepokan dengan keringat bercucuran dan napas terputus-putus.“Sebaiknya ... kita segera memulihkan diri dengan cepat sebelum keempat anggota Cakar Setan kembali menemukan kita. Ambil semua ramuan yang bisa kita gunakan untuk membantu memulihkan diri kita sekaligus ramun untuk melawan mereka,” ujar Ganawirya.Meswara, Arya dan Jaka segera menyebar ke beberapa ruangan. Ketiganya mengambil beragam ramuan obat, beberapa kendi, lalu kembali ke pekarangan padepokan. “Aku harus segera memulihkan kekuatanku lebih dulu,” ujar Limbur Kancana tiba-tiba saja menghilang, dan dalam satu kedipan mata ia sudah berada di sebuah puncak pohon. Pendekar berambut panjang itu segera duduk bersila dengan mata yang mulai terpejam.“Kita harus segera mencari keberadaan In
Di alam lain, Lingga terus-menerus masuk ke ruangan yang dipenuhi asap putih setiap kali bersemedi. Ketika berusaha berjalan maju untuk menemui pria bermahkota emas dan kujang emas yang mengapung di atasnya, ia tetap dihadang oleh dinding tak kasat mata. Berapa kali pun mencoba, hasilnya sama sekali tidak berubah. Ia akan kembali mundur.Lingga membuka mata perlahan, dan dalam waktu bersamaan dirinya kembali ke tempat semula. Pemuda itu masih berada di salah satu puncak pohon. Ketika menoleh ke sekeliling, pemandangan hanya dipenuhi oleh pepohonan yang menjulang tinggi dengan langit malam.Lingga melompat turun, mendarat di sebuah batu, duduk di atasnya, berusaha mengingat terakhir kali tiruannya berada di hutan Lebak Angin. “Semua tiruanku sudah menghilang. Sepertinya keadaan di hutan sudah bertambah gawat. Terakhir kali sebelum tiruanku menghilang, aku sempat melihat keadaan Kakang Indra, Kakang Arya dan Kakang Meswara yang hampir celaka ketika menghadapi salah satu anggota Cakar S
Lingga dengan cepat memutar tubuh ke belakang, mendarat sempurna di puncak pohon. Cahaya merah kehitaman dari kedua tangannya mendadak menghilang.Lingga tercenung ketika melihat sosok Ki Petot di depannya. Amarahnya perlahan reda dan berganti dengan kesedihan dan kerinduan yang begitu mendalam. Air matanya mendadak berjatuhan membasahi pipi. Secara tiba-tiba, hujan mengguyur deras.“Aki,” ujar Lingga dengan tatapan tak percaya, “ini aku, Ki. Ini aku, Lingga.”Sosok Ki Petot hanya diam mematung tanpa bisa berkedip sekalipun.Lingga mendekat dengan tatapan yang mengunci pada Ki Petot. “Aki, tolong maafkan aku, Ki. Maafkan aku karena ... aku sudah membuat Aki menderita. Kalau saja ... aku lebih bersabar, kalau saja ... aku lebih mendengar perkataan Aki, pasti saat ini ... Aki masih ada di sisiku. Aku ... aku benar-benar minta maaf, Ki.”Lingga tiba-tiba berhenti, menunduk dalam dengan kedua tangan terkepal er
“Siapa aku dan apa tujuanku?” lirih Lingga, “aku adalah ....”Lingga tiba-tiba kembali tak bisa berbicara meski mulutnya terbuka dan dapat bergerak leluasa. Di tengah kebingungan, ia dibuat terkejut ketika melihat sosok tiruan dirinya, tiruan Kartasura dan Wira serta tiruan Ki Petot tiba-tiba muncul di samping pria bermahkota emas.“Kau masih belum bisa mengalahkan mereka,” ujar pria bermahkota emas, “lebih tepatnya kau belum bisa mengalahkan dirimu sendiri. Kau juga belum mengetahui siapa dirimu dan untuk apa kau menggunakan pusaka kujang emas itu.”Apa maksudnya dengan belum bisa mengalahkan mereka? batin Lingga dengan tatapan yang tidak beralih dari depan, mengunci pada sosok yang wajahnya belum ia ketahui hingga saat ini.“Kau harus mencari tahu jawabannya sendiri.” Pria bermahkota emas itu menjentikkan satu jari. Secara tiba-tiba muncul cahaya putih dari atas Lingga yang kemudian berubah men
Lingga memukul dinding gua dengan jurus harimau putih. Getaran sekali lagi menjalar ke sekeliling gua. Suara benturan pukulan pemuda itu dengan kerasnya batu terdengar hingga keluar gua. Beberapa kali bebatuan kecil terjatuh dari atap.Lingga terus menyerang dinding gua, berharap bila dugaannya tepat dan ia bisa menolong teman-temannya yang sedang kesulitan saat ini juga. Akan tetapi, sinar kecil itu justru mendadak mengecil hingga akhirnya menghilang.Lingga menggertakkan gigi, mengepalkan tangan erat-erat. Pemuda itu mundur beberapa langkah, memasang kuda-kuda menyerang, kemudian memukul dinding sekuat tenaga. Getaran besar seketika menjalar ke sekeliling. Suaranya saling bersahutan dengan hujan angin di luar gua. Sinar putih itu kembali muncul dan tak lama setelahnya lenyap.Lingga mendengkus kesal. Napasnya mulai memburu dengan tatapan yang berkilat tajam. Dadanya sesak karena amarah yang mulai menguasai diri. Ia harus bertarung dengan waktu agar bisa menyel