Lingga dengan cepat memutar tubuh ke belakang, mendarat sempurna di puncak pohon. Cahaya merah kehitaman dari kedua tangannya mendadak menghilang.Lingga tercenung ketika melihat sosok Ki Petot di depannya. Amarahnya perlahan reda dan berganti dengan kesedihan dan kerinduan yang begitu mendalam. Air matanya mendadak berjatuhan membasahi pipi. Secara tiba-tiba, hujan mengguyur deras.“Aki,” ujar Lingga dengan tatapan tak percaya, “ini aku, Ki. Ini aku, Lingga.”Sosok Ki Petot hanya diam mematung tanpa bisa berkedip sekalipun.Lingga mendekat dengan tatapan yang mengunci pada Ki Petot. “Aki, tolong maafkan aku, Ki. Maafkan aku karena ... aku sudah membuat Aki menderita. Kalau saja ... aku lebih bersabar, kalau saja ... aku lebih mendengar perkataan Aki, pasti saat ini ... Aki masih ada di sisiku. Aku ... aku benar-benar minta maaf, Ki.”Lingga tiba-tiba berhenti, menunduk dalam dengan kedua tangan terkepal er
“Siapa aku dan apa tujuanku?” lirih Lingga, “aku adalah ....”Lingga tiba-tiba kembali tak bisa berbicara meski mulutnya terbuka dan dapat bergerak leluasa. Di tengah kebingungan, ia dibuat terkejut ketika melihat sosok tiruan dirinya, tiruan Kartasura dan Wira serta tiruan Ki Petot tiba-tiba muncul di samping pria bermahkota emas.“Kau masih belum bisa mengalahkan mereka,” ujar pria bermahkota emas, “lebih tepatnya kau belum bisa mengalahkan dirimu sendiri. Kau juga belum mengetahui siapa dirimu dan untuk apa kau menggunakan pusaka kujang emas itu.”Apa maksudnya dengan belum bisa mengalahkan mereka? batin Lingga dengan tatapan yang tidak beralih dari depan, mengunci pada sosok yang wajahnya belum ia ketahui hingga saat ini.“Kau harus mencari tahu jawabannya sendiri.” Pria bermahkota emas itu menjentikkan satu jari. Secara tiba-tiba muncul cahaya putih dari atas Lingga yang kemudian berubah men
Lingga memukul dinding gua dengan jurus harimau putih. Getaran sekali lagi menjalar ke sekeliling gua. Suara benturan pukulan pemuda itu dengan kerasnya batu terdengar hingga keluar gua. Beberapa kali bebatuan kecil terjatuh dari atap.Lingga terus menyerang dinding gua, berharap bila dugaannya tepat dan ia bisa menolong teman-temannya yang sedang kesulitan saat ini juga. Akan tetapi, sinar kecil itu justru mendadak mengecil hingga akhirnya menghilang.Lingga menggertakkan gigi, mengepalkan tangan erat-erat. Pemuda itu mundur beberapa langkah, memasang kuda-kuda menyerang, kemudian memukul dinding sekuat tenaga. Getaran besar seketika menjalar ke sekeliling. Suaranya saling bersahutan dengan hujan angin di luar gua. Sinar putih itu kembali muncul dan tak lama setelahnya lenyap.Lingga mendengkus kesal. Napasnya mulai memburu dengan tatapan yang berkilat tajam. Dadanya sesak karena amarah yang mulai menguasai diri. Ia harus bertarung dengan waktu agar bisa menyel
Teriakan Lingga seketika membuat Geni, Jaya dan Barma mendongak ke langit. Ketiganya sontak terkejut saat melihat Lingga, di mana tubuhnya diselimuti cahaya putih. Keterkejutan juga terjadi pada pasukan Wulung.“Lingga,” gumam Geni, Jaya dan Barma bersamaan. Ketiganya saling membantu untuk berdiri di mana tatapan mereka masih tertuju pada Lingga yang kini terbang memutar di langit.“Siapa pemuda itu?” tanya salah satu pasukan Wulung, “apa mungkin dia salah satu dari para murid padepokan? Persiapkan diri kalian untuk menangkapnya.”Geni, Jaya dan Barma sontak menoleh pada sosok pendekar tinggi yang menyerang mereka tadi dengan kasar dan brutal, lalu berjalan mundur di saat para pendekar golongan hitam itu masih mengawasi Lingga.Lingga menggerakkan tangan seperti burung yang mengepakkan sayap. Dalam sekejap, muncul ribuan panah putih di sekitarnya yang dengan cepat melesat turun menuju pasukan Wulung. Di saat yang sama, Lingga kembali menggerakkan tangan untuk kedua kalinya. Terjangan
Lingga sontak terperangah ketika mendengar penuturan Geni. Kakinya melangkah mundur dengan tatapan yang terkunci pada ketiga sahabatnya. Ia seperti diterbangkan ke langit tinggi dan dijatuhkan ke tanah dengan tiba-tiba. Ada ketakutan yang dengan cepat menjalar ke seluruh hati dan pikirannya.Lingga menggertakkan gigi, mengepal tangan kuat-kuat. Ia tidak menduga jika kenyataan mengenai siapa sosok dirinya sebenarnya akan terungkap di tengah-tengah keadaan genting seperti sekarang. Untuk sesaat, ia hanya bisa mematung tanpa bergerak sedikit pun.Lingga membuka setengah mulut, tetapi dengan cepat menutup kembali rapat-rapat. Hal itu terus berulang sebanyak tiga kali hingga akhirnya ia memilih menundukkan wajah.“Kenapa kau hanya diam, Lingga?” tanya Geni dengan tatapan penuh kebencian, “diammu akan kami anggap sebagai jawaban.”“Kurang ajar! Ternyata selama ini aku berteman dengan orang yang paling kubenci!” teriak Jaya tiba-tiba, “kau secara tidak langsung sudah membunuh keluargaku, Lin
Jaya memulai pertarungan dengan melempar tombaknya ke atas, melompat tinggi, kemudian menendang tombaknya dengan sekuat tenaga. Senjata itu melesat cepat dengan gerakan memutar ke arah Lingga. Lingga menghindar ke samping di mana tombak nyaris saja mengenai tubuhnya. Ia melompat mundur ketika Geni dan Barma menghunuskan pedang dan kapak secara bersamaan. Lingga dengan cepat mengeluarkan kujang untuk menangkis serangan tersebut. Jaya melompat di atas Lingga, Geni dan Barma yang kini tengah telibat dalam adu senjata. Pemuda itu segera menghentikan laju tombaknya meski harus terbawa mundur beberapa langkah. Ketika tombak sudah berada dalam genggaman, ia seketika melesat maju menyerang Lingga. Lingga melompat tinggi saat Jaya melayangkan tombak dari belakang, lalu mendarat sempurna di ujung tombak. Geni, Jaya dan Barma terperangah sesaat, lalu dengan segera kembali bersiap menyerang. Jaya memutar-mutar tombaknya, menariknya dengan gerakan cepat. Saat Lingga melompat dari tombaknya, ia
Lingga memutar tubuhnya bersamaan dengan tatapannya yang mengawasi semua murid padepokan yang sudah mengelilinginya. Pemuda itu bisa dengan jelas melihat wajah ketakutan yang melingkupi teman-temannya. Ia tak sadar maju beberapa langkah ketika melihat keadaan Indra yang masih tak sadarkan diri. Akan tetapi, lemparan tombak Jaya membuatnya seketika berhenti dan menarik kakinya menjauh.Para murid sontak menjadikan Lingga pusat perhatian. Mereka menatap lekat-lekat, saling berbisik dengan kawan di samping.“Aku seperti pernah melihat pemuda itu di suatu tempat.”“Wajahnya seperti tak asing untukku, tapi aku sama sekali tidak mengingat siapa dia.”“Apakah dia merupakan murid padepokan seperti kita?”“Aku rasa bergitu. Dia memakai pakaian murid seperti yang kita kenakan.”“Tapi aku tidak pernah melihat dia berada di padepokan.”“Adakah seseorang yang mengenalnya?”“Apa mungkin dia justru penyusup yang berusaha menipu kita dengan berpura-pura menjadi murid padepokan?”“Kenapa kita bisa dim
“Apa yang kau lakukan, Sekar Sari?” tanya Geni dengan tatapan tak suka.“Apa kau ingin membelanya?” terka Jaya.“Cepatlah menyingkir dari hadapan kami!” ujar Barma dengan setengah membentak.Sekar Sari menoleh sesaat pada Lingga yang kini berusaha bangkit, lalu menghadap satu per satu para murid. “Aku sama sekali tidak membelanya. Aku ... aku hanya tidak ingin kalian bertindak semena-mena. Guru akan bernar-benar malu jika melihat tindakan kalian.”“Aku tahu kau sudah mengetahui siapa Lingga sebenarnya sejak awal, Sekar Sari,” ketus Geni sembari maju selangkah. “Kaulah yang sudah membawa si pembuat onar itu ke padepokan kita. Dengan kata lain, kau juga sudah membohongi kami karena sudah merahasikannya sosoknya dari kami semua. Mengakulah!”Sekar Sari tercenung sesaat. “Ti-tidak! Aku sama sekali tidak mengetahui siapa lelaki ini. Aku bahkan tidak mengingatnya. Percayalah padaku!”“Hentikan kebohonganmu, Sekar Sari!” sentak Jaya, “kaulah yang sudah mengingatkan aku dan Geni mengenai Ling