Lingga memutar tubuhnya bersamaan dengan tatapannya yang mengawasi semua murid padepokan yang sudah mengelilinginya. Pemuda itu bisa dengan jelas melihat wajah ketakutan yang melingkupi teman-temannya. Ia tak sadar maju beberapa langkah ketika melihat keadaan Indra yang masih tak sadarkan diri. Akan tetapi, lemparan tombak Jaya membuatnya seketika berhenti dan menarik kakinya menjauh.Para murid sontak menjadikan Lingga pusat perhatian. Mereka menatap lekat-lekat, saling berbisik dengan kawan di samping.“Aku seperti pernah melihat pemuda itu di suatu tempat.”“Wajahnya seperti tak asing untukku, tapi aku sama sekali tidak mengingat siapa dia.”“Apakah dia merupakan murid padepokan seperti kita?”“Aku rasa bergitu. Dia memakai pakaian murid seperti yang kita kenakan.”“Tapi aku tidak pernah melihat dia berada di padepokan.”“Adakah seseorang yang mengenalnya?”“Apa mungkin dia justru penyusup yang berusaha menipu kita dengan berpura-pura menjadi murid padepokan?”“Kenapa kita bisa dim
“Apa yang kau lakukan, Sekar Sari?” tanya Geni dengan tatapan tak suka.“Apa kau ingin membelanya?” terka Jaya.“Cepatlah menyingkir dari hadapan kami!” ujar Barma dengan setengah membentak.Sekar Sari menoleh sesaat pada Lingga yang kini berusaha bangkit, lalu menghadap satu per satu para murid. “Aku sama sekali tidak membelanya. Aku ... aku hanya tidak ingin kalian bertindak semena-mena. Guru akan bernar-benar malu jika melihat tindakan kalian.”“Aku tahu kau sudah mengetahui siapa Lingga sebenarnya sejak awal, Sekar Sari,” ketus Geni sembari maju selangkah. “Kaulah yang sudah membawa si pembuat onar itu ke padepokan kita. Dengan kata lain, kau juga sudah membohongi kami karena sudah merahasikannya sosoknya dari kami semua. Mengakulah!”Sekar Sari tercenung sesaat. “Ti-tidak! Aku sama sekali tidak mengetahui siapa lelaki ini. Aku bahkan tidak mengingatnya. Percayalah padaku!”“Hentikan kebohonganmu, Sekar Sari!” sentak Jaya, “kaulah yang sudah mengingatkan aku dan Geni mengenai Ling
“Kita tidak boleh sampai membiarkan si pembuat onar itu kabur!” teriak Geni yang memimpin jalan di depan. “Awasi keadaan sekeliling dengan saksama!”“Baik,” jawab para murid serempak yang berada di berada di belakangnya.“Itu dia!” teriak salah satu murid ketika melihat Lingga berlari di depan, lalu kembali menghilang di rerimbunan pohon.“Kepung dia dari berbagai arah dan jangan biarkan dia lolos!” Geni segera melesat maju.Empat murid perempuan secara bersamaan tiba-tiba melompat ke atas, lalu menggerakkan kipas dengan kuat. Dalam waktu singkat, embusan angin cukup kuat menerjang ke depan. Pepohonan tampak bergoyang, membongkar keberadaan Lingga yang masih melompati satu per satu dahan pohon.Tiga murid laki-laki mendadak berhenti, lalu membidik Lingga dengan serbuan panah. Tak lama setelahnya, empat murid lain melayangkan tombak ke depan. Panah dan tombak itu melesat cepat merobek udara.Lingga menoleh singkat, memutar tubuh di udara seraya menangkis serangan-serangan tersebut deng
Lingga, Sekar Sari dan Indra sontak terkejut ketika tanpa sengaja berpapasan. Ketiganya dengan cepat berhenti di dahan pohon. Lingga dengan segera melepas kain yang menutupi wajah.“Lingga, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Indra dengan pandangan tak percaya. Ia mengamati pemuda di depannya lekat-lekat. Tatapannya dengan segera mengawasi keadaan sekeliling. “Bagaimana mungkin kau bisa berada di tempat ini? Bukankah Kakang Guru sudah menempatkanmu di alam lain?”Lingga tidak langsung menjawab karena lebih dahulu melihat keadaan Indra yang terluka cukup parah. Ia menunduk seraya mengepalkan tangan erat-erat. “A-aku ... berhasil keluar dari alam lain, Kakang.”“Bagaimana mungkin?” Indra dan Sekar Sari berucap bersamaan. Keduanya saling menoleh, mendapati keterkejutan di wajah masing-masing.“Aku juga belum sepenuhnya mengerti, tapi saat aku berada di dalam gua dan memukuli dinding gua, aku tiba-tiba saja terlempar ke hutan ini,” ungkap Lingga, “dan saat melihat Geni, Jaya dan Barma da
Kungkungan angin yang mengurung perlahan menghilang. Para murid sudah bersiap menyerang. Ketika aliran udara itu sepenuhnya menghilang, Geni dan yang lain segera menerjang maju. Akan tetapi, mereka harus kecewa saat tidak mendapati Lingga berada di sana.“Bagaimana mungkin dia bisa kabur?” tanya Jaya dengan wajah terkejut bercampur amarah.“Sepertinya dia berhasil kabur dengan menggunakan tiruannya,” terka Barma.Geni berdecak, mengamati keadaan sekeliling. “Bagaimanapun caranya kita harus segera menemukan Lingga.”“Geni, sebaiknya kita memisahkan diri dengan berkelompok agar lebih cepat mencari keberadaan Lingga,” usul Jaya.“Aku setuju,” sahut Barma.“Baiklah.” Geni menatap satu para murid yang berada di sekelilingnya. “Buat kelompok yang terdiri dari tiga sampai empat orang. Kita akan berpencar untuk mencari si pembuat onar itu lebih cepat. Jika kalian menemukannya, segera beri tanda pada kelompok yang lain.”Para murid seketika terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil, lalu menye
“Jaya, apa kita akan meninggalkan Geni begitu saja?” tanya Barma di sela melompati dahan pohon. Tatapannya menoleh ke belakang sesaat.Jaya tiba-tiba berhenti. “Kita biarkan Geni menenangkan dirinya lebih dulu. Aku yakin Geni hanya sedang dikuasai amarah hingga tidak bisa berpikir jernih. Di antara kita bertiga, Geni-lah yang paling menderita karena kehilangan keluarganya, dan di antara para murid yang lain, kita berdualah yang paling dekat dengannya.”“Kau benar.” Barma mengangguk.“Kita akan menunggunya di sini beberapa saat. Jika Geni tidak menyusul kita, kita yang akan menyusulnya.”Kepulan asap tiba-tiba membumbung tinggi di udara, disusul guncangan kuat dari suatu arah. Tiga panah api tampak melayangkan ke udara, lalu kembali jatuh ke bawah.“Apa mungkin itu ... Barma, kita harus segera menuju tempat itu,” ucap Jaya seraya menunjuk tempat di mana tiga panah itu muncul. “Aku yakin Geni juga akan pergi ke tempat itu.”Jaya dan Barma kembali berlari, melompati dahan pohon dengan ce
Jaya dan Barma segera membaringkan Geni di tanah dengan perlahan. Pemuda itu terluka di bagian lengan, kaki dan leher dengan darah yang masih sesekali menetes. Sekar Sari dengan cekatan menutup luka-luka itu dengan sisa ramuan obat yang ia terima dari murid-murid perempuan saat merawatnya, lalu menutupnya dengan kain.“Geni,” gumam Jaya dan Barma yang tampak cemas saat melihat keadaan Geni saat ini.“Kami minta maaf karena kami berdua sudah meninggalkanmu sendiri,” ujar Jaya.Geni berusaha duduk meski terlihat susah payah. Jaya dan Barma dengan segera membantunya. Ia menunduk wajah bersamaan tangan yang terkepal kuat. Tatapannya kembali mengawasi satu per satu orang di sekelilingnya. “A-aku yang seharusnya meminta maaf pada kalian berdua. Tidak, maksudku aku yang seharusnya meminta maaf pada kalian semua. Aku ... aku lebih memintangkan amarah dan dendamku dibandingkan menyelamatkan kalian semua. Aku ... benar-benar menyesal, padahal saat aku kesulitan kalianlah yang datang menolongku.
Sekar Sari ikut berbicara setelah mendapat tanda dari Indra. “Beberapa bulan lalu, aku tidak sengaja bertemu dengan Kakang Guru, Limbur Kancana, saat aku pergi ke perkampungan warga. Aku sempat bertarung dengannya hingga berakhir dengan aku yang terjebak di alam lain. Di dalam gua, aku menemukan Lingga sedang tergantung di dinding gua dengan tubuh yang diselimuti tanaman. Tiba-tiba saja Lingga terbangun dan tak lama setelahnya tak sadarkan diri kembali. Aku kemudian membawa Kakang Guru dan Lingga ke padepokan.”Geni, Jaya dan Barma kini mengetahui kejadian sebenarnya di balik kedatangan Lingga ke padepokan, termasuk kedekatan Indra dan yang lain dengan Lingga. Ketiganya larut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Kenyataan-kenyataan ini sedikit demi sedikit membuka tabis siapa Lingga sesungguhnya.Indra kembali mengambil alih pembicaraan. “Guru Ganawirya tak lain adalah murid dari Ki Petot dan Kakang Guru Limbur Kancana. Keduanya diberikan tugas untuk melatih dan melindungi Lingga