Kungkungan angin yang mengurung perlahan menghilang. Para murid sudah bersiap menyerang. Ketika aliran udara itu sepenuhnya menghilang, Geni dan yang lain segera menerjang maju. Akan tetapi, mereka harus kecewa saat tidak mendapati Lingga berada di sana.“Bagaimana mungkin dia bisa kabur?” tanya Jaya dengan wajah terkejut bercampur amarah.“Sepertinya dia berhasil kabur dengan menggunakan tiruannya,” terka Barma.Geni berdecak, mengamati keadaan sekeliling. “Bagaimanapun caranya kita harus segera menemukan Lingga.”“Geni, sebaiknya kita memisahkan diri dengan berkelompok agar lebih cepat mencari keberadaan Lingga,” usul Jaya.“Aku setuju,” sahut Barma.“Baiklah.” Geni menatap satu para murid yang berada di sekelilingnya. “Buat kelompok yang terdiri dari tiga sampai empat orang. Kita akan berpencar untuk mencari si pembuat onar itu lebih cepat. Jika kalian menemukannya, segera beri tanda pada kelompok yang lain.”Para murid seketika terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil, lalu menye
“Jaya, apa kita akan meninggalkan Geni begitu saja?” tanya Barma di sela melompati dahan pohon. Tatapannya menoleh ke belakang sesaat.Jaya tiba-tiba berhenti. “Kita biarkan Geni menenangkan dirinya lebih dulu. Aku yakin Geni hanya sedang dikuasai amarah hingga tidak bisa berpikir jernih. Di antara kita bertiga, Geni-lah yang paling menderita karena kehilangan keluarganya, dan di antara para murid yang lain, kita berdualah yang paling dekat dengannya.”“Kau benar.” Barma mengangguk.“Kita akan menunggunya di sini beberapa saat. Jika Geni tidak menyusul kita, kita yang akan menyusulnya.”Kepulan asap tiba-tiba membumbung tinggi di udara, disusul guncangan kuat dari suatu arah. Tiga panah api tampak melayangkan ke udara, lalu kembali jatuh ke bawah.“Apa mungkin itu ... Barma, kita harus segera menuju tempat itu,” ucap Jaya seraya menunjuk tempat di mana tiga panah itu muncul. “Aku yakin Geni juga akan pergi ke tempat itu.”Jaya dan Barma kembali berlari, melompati dahan pohon dengan ce
Jaya dan Barma segera membaringkan Geni di tanah dengan perlahan. Pemuda itu terluka di bagian lengan, kaki dan leher dengan darah yang masih sesekali menetes. Sekar Sari dengan cekatan menutup luka-luka itu dengan sisa ramuan obat yang ia terima dari murid-murid perempuan saat merawatnya, lalu menutupnya dengan kain.“Geni,” gumam Jaya dan Barma yang tampak cemas saat melihat keadaan Geni saat ini.“Kami minta maaf karena kami berdua sudah meninggalkanmu sendiri,” ujar Jaya.Geni berusaha duduk meski terlihat susah payah. Jaya dan Barma dengan segera membantunya. Ia menunduk wajah bersamaan tangan yang terkepal kuat. Tatapannya kembali mengawasi satu per satu orang di sekelilingnya. “A-aku yang seharusnya meminta maaf pada kalian berdua. Tidak, maksudku aku yang seharusnya meminta maaf pada kalian semua. Aku ... aku lebih memintangkan amarah dan dendamku dibandingkan menyelamatkan kalian semua. Aku ... benar-benar menyesal, padahal saat aku kesulitan kalianlah yang datang menolongku.
Sekar Sari ikut berbicara setelah mendapat tanda dari Indra. “Beberapa bulan lalu, aku tidak sengaja bertemu dengan Kakang Guru, Limbur Kancana, saat aku pergi ke perkampungan warga. Aku sempat bertarung dengannya hingga berakhir dengan aku yang terjebak di alam lain. Di dalam gua, aku menemukan Lingga sedang tergantung di dinding gua dengan tubuh yang diselimuti tanaman. Tiba-tiba saja Lingga terbangun dan tak lama setelahnya tak sadarkan diri kembali. Aku kemudian membawa Kakang Guru dan Lingga ke padepokan.”Geni, Jaya dan Barma kini mengetahui kejadian sebenarnya di balik kedatangan Lingga ke padepokan, termasuk kedekatan Indra dan yang lain dengan Lingga. Ketiganya larut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Kenyataan-kenyataan ini sedikit demi sedikit membuka tabis siapa Lingga sesungguhnya.Indra kembali mengambil alih pembicaraan. “Guru Ganawirya tak lain adalah murid dari Ki Petot dan Kakang Guru Limbur Kancana. Keduanya diberikan tugas untuk melatih dan melindungi Lingga
Satu per satu anggota Cakar Setan berhasil lepas dari jerat tanaman merambat setelah menggunakan racun kalong setan. Mereka dengan cepat mengepung Limbur Kancana dan yang lain. Tatapan empat orang itu mengawasi keadaan sekeliling sesaat, menerka siapa sosok yang melesatkan tombak hingga musuh gagal melarikan diri.Tiga bayangan hitam terlihat bergerak melewati rerimbunan pohon, lalu muncul dari arah kegelapan. Kartasura berjalan mendekat bersama Wira dan Danuseka di belakangnya. Semua tatapan pendekar yang ada di sana seketika tertuju pada mereka.“Wira,” gumam Indra, Meswara, Jaka dan Arya bersamaan.Wira menatap keempat bekas temannya dengan senyum bengis. Pemuda itu begitu menikmati sorot kebencian dan dendam yang mereka pancarkan.“Aku terkejut karena kalian bisa berada di tempat ini,” ujar Kartasura.“Kebodohanmu yang mengantarku ke tempat ini, Kartasura,” sahut Argaseni dengan tatapan geram seraya memutar-mutar tongkatnya. “Upayamu untuk menghalangiku justru membuka jalan bagiku
Limbur Kancana kembali membuka mata, segera berdiri. Ia memukul ruang kosong di depan dua kali, kemudian memusatkan pikiran dan kekuatan untuk membuka kembali gerbang menuju alam lain. Melihat hal itu, Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka dan Arya semakin mengetatkan penjagaan dan pengawasan.“Mereka akan melarikan diri,” gumam Wulung dengan mata menghunus tajam. Pecutnya dengan cepat diselubungi api.“Aku tidak akan membiarkan mereka melarikan diri dengan mudah. Bagaimanapun juga, aku setidaknya harus mendapatkan kabar di mana pemuda pewaris kujang emas itu berada,” rutuk Argaseni.Ketika angin kembali berembus dan dedaunan berguguran, semua anggota Cakar Setan seketika menerjang maju bersamaan.Indra, Meswara, Jaka dan Arya dengan cepat melempar bibit tanaman terakhir ke sekeliling arah. Sulur-sulur besar dari tumbuhan merambat saling tersambung hingga membentuk sebuah kubah. Ganawirya dengan cepat mengalirkan tenaga dalamnya ke tengah kubah tanaman. Dalam sekejap, kubah itu membesar hin
Beberapa waktu sebelum Lingga tiba di tempat pertarunganKedatangan Lingga ke alam lain disambut hujan, angin dan guntur yang bergemuruh. Kilatan petir tampak mencengkeram langit. Lingga tertunduk sembari mengepalkan tangan erat-erat. Bayangan pertarungan dan perkataan teman-temannya silih berganti hadir dalam pikiran. Ia tidak menduga jika perpisahan dengan teman satu padepokannya akan terjadi dengan cara yang tidak pernah dirinya inginkan.Lingga mendongak, mengamati keadaan sekeliling. Beberapa kali petir menyambar pepohonan hingga terbakar. Angin kencang disertai hujan deras seperti tengah mengurungnya.Lingga mematung dengan tatapan kosong. Ia secara tiba-tiba seperti mendengar suara teman-temannya di tempat ini. Akan tetapi, ketika menoleh ke atas, petir justru kembali menyambar dan menghanguskan pepohonan.Suasana menjadi terang untuk sesaat. Lingga terhenyak ketika melihat tiruan Ki Petot, Wira, Kartasura, sosok dirinya masih kecil, sosoknya saat ini, dan sosok Geni, Jaya dan
Semua tatapan dengan cepat tertuju pada Lingga. Keheningan seketika menyeruak meski angin berembus cukup kencang hingga menggoyangkan dan menggugurkan dedaunan.Semua anggota Cakar Setan, termasuk Wira dan Danuseka untuk sementara waktu tak mengalihkan pandangan dari Lingga. Para bawahan Kalong Setan itu menatap lekat-lekat pemuda itu dari atas hingga bawah. Sosok yang mereka cari selama ini nyatanya justru menampakkan diri lebih dahulu tanpa mereka harus bersusah payah untuk mencarinya.Di sisi lain, keterkejutan juga melingkupi Limbur Kancana, Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka dan Arya. Mereka tidak menduga jika Lingga akan menampakkan diri di hadapan musuh.Limbur Kancana dengan cepat menegakkan tubuh meski darah terus mengalir dari dada. Ia hendak mendekat ke arah Lingga meski pada akhirnya kembali jatuh berlutut.“Paman.” Lingga dengan cepat mendekat pada Limbur Kancana, membantu memapah pendekar berambut panjang itu.“Apa yang kau lakukan, Lingga?” tanya Limbur Kancana seraya memu