Beberapa waktu sebelum Lingga tiba di tempat pertarunganKedatangan Lingga ke alam lain disambut hujan, angin dan guntur yang bergemuruh. Kilatan petir tampak mencengkeram langit. Lingga tertunduk sembari mengepalkan tangan erat-erat. Bayangan pertarungan dan perkataan teman-temannya silih berganti hadir dalam pikiran. Ia tidak menduga jika perpisahan dengan teman satu padepokannya akan terjadi dengan cara yang tidak pernah dirinya inginkan.Lingga mendongak, mengamati keadaan sekeliling. Beberapa kali petir menyambar pepohonan hingga terbakar. Angin kencang disertai hujan deras seperti tengah mengurungnya.Lingga mematung dengan tatapan kosong. Ia secara tiba-tiba seperti mendengar suara teman-temannya di tempat ini. Akan tetapi, ketika menoleh ke atas, petir justru kembali menyambar dan menghanguskan pepohonan.Suasana menjadi terang untuk sesaat. Lingga terhenyak ketika melihat tiruan Ki Petot, Wira, Kartasura, sosok dirinya masih kecil, sosoknya saat ini, dan sosok Geni, Jaya dan
Semua tatapan dengan cepat tertuju pada Lingga. Keheningan seketika menyeruak meski angin berembus cukup kencang hingga menggoyangkan dan menggugurkan dedaunan.Semua anggota Cakar Setan, termasuk Wira dan Danuseka untuk sementara waktu tak mengalihkan pandangan dari Lingga. Para bawahan Kalong Setan itu menatap lekat-lekat pemuda itu dari atas hingga bawah. Sosok yang mereka cari selama ini nyatanya justru menampakkan diri lebih dahulu tanpa mereka harus bersusah payah untuk mencarinya.Di sisi lain, keterkejutan juga melingkupi Limbur Kancana, Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka dan Arya. Mereka tidak menduga jika Lingga akan menampakkan diri di hadapan musuh.Limbur Kancana dengan cepat menegakkan tubuh meski darah terus mengalir dari dada. Ia hendak mendekat ke arah Lingga meski pada akhirnya kembali jatuh berlutut.“Paman.” Lingga dengan cepat mendekat pada Limbur Kancana, membantu memapah pendekar berambut panjang itu.“Apa yang kau lakukan, Lingga?” tanya Limbur Kancana seraya memu
Wulung, Bangasera, Argaseni, Brajawesi dan Kartasura mengamati Lingga lekat-lekat dan di saat yang sama mengukur kekuatan pendekar muda itu. Mereka cukup terkejut karena menyadari jika Lingga menguasai jurus membelah raga, sebuah jurus tingkat tinggi yang tidak mudah dikuasai. Di saat yang sama, mereka menyadari jika kujang yang digunakan Lingga bukanlah senjata pusaka yang mereka cari-cari. “Dia sudah tumbuh menjadi pendekar hebat,” ujar Kartasura dengan pandangan yang tidak lepas dari Lingga. Ia melirik Wira dan Danuseka yang kembali bersembunyi di rerimbunan pohon. Tatapannya kemudian beralih pada anggota Cakar Setan yang masih mengawasi semua gerak-gerik Lingga.Kartasura kembali mengingat pertarungannya dengan Lingga lima tahun silam. Ia tahu jika pemuda itu memiliki kemampuan di atas rata-rata, bahkan jika dibandingkan dengan Wira dan Danuseka saat ini, Lingga masih lebih unggul dari keduanya. Tak salah jika mengingat jika pemuda itu berada dalam pengawasan dan didikan Aji Pan
Lingga kembali mendarat seraya menepis semua serangan yang tertuju padanya. Ia melihat gerbang alam lain kian mengecil, sedang keadaannya dan teman-temannya terus-menerus diserang tanpa henti. Anggota Cakar Setan begitu bernafsu untuk mencelakainya. Akan tetapi, hal yang membuatnya bingung adalah ketidakikutsertaan Kartasura dan Wira dalam upaya menyerangnya. Kedua sosok itu nyaris tak terlihat sejak serangan tadi.Lingga berusaha menajamkan seluruh indra di sela serangan terus menerjangnya. Ia melompat ke atas dengan tubuh memutar, menghadang serangan ular Bangasera yang kembali akan melahapnya. Di sisi lain, Limbur Kancana dan Ganawirya masih disibukkan dengan melawan Brajawesi dan Argaseni.Lingga melompat mundur setelah berhasil menebas ular Bangasera. Pemuda itu berusaha membebaskan Indra dan yang lain dari jerat tali pecut. Akan tetapi, ia kembali mundur ketika serangan kapak merah Brajawesi dan tongkat Argaseni menyerangnya.Sesudah berhasil menghindar dan menepis serangan, Lin
“Lingga!” pekik Kartasura dan Ganawirya di saat keduanya terdorong ke belakang dengan kuat. Kedua pendekar itu dengan cepat mendorong Indra, Meswara, Jaka dan Arya menjauh hingga membentur bangunan padepokan.Limbur Kancana dan Ganawirya mendarat di badan pohon, mengentak kaki, kemudian melesat maju untuk menyelamatkan Lingga. Akan tetapi, pukulan Wulung membuat mereka kembali terlempar ke belakang.“Ini gawat,” gumam Limbur Kancana sesaat setelah mendarat di dahan pohon, “aku harus segera menyelamatkan Lingga sebelum Wulung berhasil membawanya kabur.”Limbur Kancana tiba-tiba terjatuh dari pohon meski masih bisa mendarat dengan selamat. Napasnya terputus-putus karena kekuatannya sudah mencapai batas. “Kalau saja racun kalong setan itu tidak pernah ada, aku pasti bisa menyelamatkan Lingga dan yang lain lebih cepat.”“Raka, apa yang harus kita lakukan saat ini?” Ganawirya melompat turun, membantu Limbur Kancana berdiri. “Dengan kekuatan kita sekarang, kita berdua akan kesulitan untuk m
Di belakang bangunan padepokan, Indra dan Meswara menggendong Jaka dan Arya yang sudah tidak sadarkan diri untuk menjauh dari pertempuran. Langkah mereka tergopoh-gopoh karena luka yang didapat dari pertempuran panjang yang mereka lewati.“Bertahanlah.” Indra menoleh pada ketiga temannya yang sudah sangat lemah. Hal yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini adalah janji mereka pada Ki Petot untuk melindungi Lingga dan juga dendam yang masih bersemayam di hati pada Kartasura dan Wira.“Ki-kita ... ha-harus segera membantu Guru Ganawirya, Kakang Guru dan Lingga, Indra. Mereka semua dalam bahaya,” ujar Meswara terbata-bata. “Tapi tidak dengan keadaan kita saat ini, Meswara.” Indra menyahut. “Dengan keadaan kita saat ini, kita hanya akan menjadi menjadi incaran musuh dan membebani Guru Ganawirya dan Kakang Guru.”“Ta-tapi ... kita tidak boleh ....” Meswara tiba-tiba terhuyung sampai akan terjatuh. Untungnya, Indra dengan cepat membantunya.“Agar bisa membantu Guru, Kakang Guru
Sekar Sari menoleh pada Geni, Jaya, Barma dan satu per satu murid. Gadis itu bisa melihat raut penolakan dari teman-temannya. Namun, baik dirinya maupun teman-temannya sama sekali tidak memiliki alasan apa pun lagi selain menurut.Suasana mendadak hening. Para murid satu per satu duduk, termasuk Sekar Sari. Gadis itu memunguti barang-barang yang terjatuh. Ia sempat membuka sebuah kitab, memperhatikan isinya sekilas, kemudian menyimpannya bersama benda lain ke dalam lemari kayu.Indra dan Meswara mulai membagi ramuan penyembuh yang berada di dalam sebuah kendi besar pada para murid. Ramuan tersebut hanyalah obat untuk mempercepat proses penyembuhan dari luka dan kelalahan. Untuk sementara waktu, mereka bertahan di dalam ruangan untuk memulihkan diri. Akan sangat berbahaya jika mereka bergerak dalam keadaan lelah dan terluka.Getaran dan keributan dari luar masih terdengar dan terasa hingga ke dalam ruangan. Hanya saja tidak ada siapa pun yang berbicara untuk sementara waktu. Keheningan
“Diamlah.” Sekar Sari menekan bibirnya dengan satu jari, memelotot dengan mata yang nyaris keluar dari tempatnya. Gadis itu bahkan melayangkan selendangnya hingga menutup wajah Geni, Jaya dan Barma.“Ada apa denganmu, Sekar Sari?” tanya Geni kebingungan, “kau seperti pencuri yang tertangkap basah oleh orang banyak.”“Kubilang diam!” Sekar Sari menoleh ke depan dan belakang, mengawasi keadaan di depan dan belakang. Akan jadi masalah jika Indra atau yang lain mengetahui jika dirinya mengambil sesuatu dari ruangan Ganawirya. Mencuri adalah kesalahan fatal dengan hukuman paling berat yang harus diterima siapa pun yang berani melakukannya.Geni, Jaya dan Barma mengamati buku yang dipegang Sekar Sari sampai akhirnya gadis itu menyembunyikannya di dalam baju.“Sekar Sari, Geni, Jaya, Barma!” teriak Indra dari depan.Keempat pendekar muda itu kembali berjalan. Para murid saat ini tengah menyebrangi sungai, lalu diteruskan dengan melewati rerimbunan pohon. Tampak sisa pertarungan berupa tombak