Lingga kembali mendarat seraya menepis semua serangan yang tertuju padanya. Ia melihat gerbang alam lain kian mengecil, sedang keadaannya dan teman-temannya terus-menerus diserang tanpa henti. Anggota Cakar Setan begitu bernafsu untuk mencelakainya. Akan tetapi, hal yang membuatnya bingung adalah ketidakikutsertaan Kartasura dan Wira dalam upaya menyerangnya. Kedua sosok itu nyaris tak terlihat sejak serangan tadi.Lingga berusaha menajamkan seluruh indra di sela serangan terus menerjangnya. Ia melompat ke atas dengan tubuh memutar, menghadang serangan ular Bangasera yang kembali akan melahapnya. Di sisi lain, Limbur Kancana dan Ganawirya masih disibukkan dengan melawan Brajawesi dan Argaseni.Lingga melompat mundur setelah berhasil menebas ular Bangasera. Pemuda itu berusaha membebaskan Indra dan yang lain dari jerat tali pecut. Akan tetapi, ia kembali mundur ketika serangan kapak merah Brajawesi dan tongkat Argaseni menyerangnya.Sesudah berhasil menghindar dan menepis serangan, Lin
“Lingga!” pekik Kartasura dan Ganawirya di saat keduanya terdorong ke belakang dengan kuat. Kedua pendekar itu dengan cepat mendorong Indra, Meswara, Jaka dan Arya menjauh hingga membentur bangunan padepokan.Limbur Kancana dan Ganawirya mendarat di badan pohon, mengentak kaki, kemudian melesat maju untuk menyelamatkan Lingga. Akan tetapi, pukulan Wulung membuat mereka kembali terlempar ke belakang.“Ini gawat,” gumam Limbur Kancana sesaat setelah mendarat di dahan pohon, “aku harus segera menyelamatkan Lingga sebelum Wulung berhasil membawanya kabur.”Limbur Kancana tiba-tiba terjatuh dari pohon meski masih bisa mendarat dengan selamat. Napasnya terputus-putus karena kekuatannya sudah mencapai batas. “Kalau saja racun kalong setan itu tidak pernah ada, aku pasti bisa menyelamatkan Lingga dan yang lain lebih cepat.”“Raka, apa yang harus kita lakukan saat ini?” Ganawirya melompat turun, membantu Limbur Kancana berdiri. “Dengan kekuatan kita sekarang, kita berdua akan kesulitan untuk m
Di belakang bangunan padepokan, Indra dan Meswara menggendong Jaka dan Arya yang sudah tidak sadarkan diri untuk menjauh dari pertempuran. Langkah mereka tergopoh-gopoh karena luka yang didapat dari pertempuran panjang yang mereka lewati.“Bertahanlah.” Indra menoleh pada ketiga temannya yang sudah sangat lemah. Hal yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini adalah janji mereka pada Ki Petot untuk melindungi Lingga dan juga dendam yang masih bersemayam di hati pada Kartasura dan Wira.“Ki-kita ... ha-harus segera membantu Guru Ganawirya, Kakang Guru dan Lingga, Indra. Mereka semua dalam bahaya,” ujar Meswara terbata-bata. “Tapi tidak dengan keadaan kita saat ini, Meswara.” Indra menyahut. “Dengan keadaan kita saat ini, kita hanya akan menjadi menjadi incaran musuh dan membebani Guru Ganawirya dan Kakang Guru.”“Ta-tapi ... kita tidak boleh ....” Meswara tiba-tiba terhuyung sampai akan terjatuh. Untungnya, Indra dengan cepat membantunya.“Agar bisa membantu Guru, Kakang Guru
Sekar Sari menoleh pada Geni, Jaya, Barma dan satu per satu murid. Gadis itu bisa melihat raut penolakan dari teman-temannya. Namun, baik dirinya maupun teman-temannya sama sekali tidak memiliki alasan apa pun lagi selain menurut.Suasana mendadak hening. Para murid satu per satu duduk, termasuk Sekar Sari. Gadis itu memunguti barang-barang yang terjatuh. Ia sempat membuka sebuah kitab, memperhatikan isinya sekilas, kemudian menyimpannya bersama benda lain ke dalam lemari kayu.Indra dan Meswara mulai membagi ramuan penyembuh yang berada di dalam sebuah kendi besar pada para murid. Ramuan tersebut hanyalah obat untuk mempercepat proses penyembuhan dari luka dan kelalahan. Untuk sementara waktu, mereka bertahan di dalam ruangan untuk memulihkan diri. Akan sangat berbahaya jika mereka bergerak dalam keadaan lelah dan terluka.Getaran dan keributan dari luar masih terdengar dan terasa hingga ke dalam ruangan. Hanya saja tidak ada siapa pun yang berbicara untuk sementara waktu. Keheningan
“Diamlah.” Sekar Sari menekan bibirnya dengan satu jari, memelotot dengan mata yang nyaris keluar dari tempatnya. Gadis itu bahkan melayangkan selendangnya hingga menutup wajah Geni, Jaya dan Barma.“Ada apa denganmu, Sekar Sari?” tanya Geni kebingungan, “kau seperti pencuri yang tertangkap basah oleh orang banyak.”“Kubilang diam!” Sekar Sari menoleh ke depan dan belakang, mengawasi keadaan di depan dan belakang. Akan jadi masalah jika Indra atau yang lain mengetahui jika dirinya mengambil sesuatu dari ruangan Ganawirya. Mencuri adalah kesalahan fatal dengan hukuman paling berat yang harus diterima siapa pun yang berani melakukannya.Geni, Jaya dan Barma mengamati buku yang dipegang Sekar Sari sampai akhirnya gadis itu menyembunyikannya di dalam baju.“Sekar Sari, Geni, Jaya, Barma!” teriak Indra dari depan.Keempat pendekar muda itu kembali berjalan. Para murid saat ini tengah menyebrangi sungai, lalu diteruskan dengan melewati rerimbunan pohon. Tampak sisa pertarungan berupa tombak
“Kau benar, Geni.” Sekar Sari mengangguk. “Dengan jurus ini kita bisa membuat anggota Cakar Setan dan seluruh pasukan pendekar golongan hitam terkunci raganya. Waktu tersebut bisa digunakan Guru Ganawirya dan Kakang Guru Limbur Kancana untuk menyelamatkan Lingga.”“Aku setuju,” sahut Geni dengan tangan terkepal kuat. Ia menoleh pada tempat pertempuran dengan perasaan yang perlahan lega. Setidaknya, ia tidak akan menjadi beban yang terus-menerus karena melarikan diri dari pertempuran. “Aku pasti akan menolongmu, Lingga.”“Aku juga setuju,” ujar Jaya dan Barma serempak.“Aku juga setuju.”“Kami juga setuju.”“Kita tidak boleh tinggal diam di saat teman dan guru kita dalam bahaya.”“Aku setuju.”Satu per satu murid mulai mengangkat tangan, menyatakan persetujuan meski beberapa orang masih tampak ragu. Akan tetapi, karen
Melihat Kartasura berhasil mengangkap Lingga, Wulung, Bangasera, Brajawesi dan Argaseni segera mengejar Kartasura seraya melayangkan serangan silih bergantian.Kartasura dalam wujud kelelawar mengepakkan sayap kuat-kuat untuk menepis rentetan serangan tersebut, lalu melesat menuju rimbunnya pepohonan. Pendekar itu dengan cepat mengubah wujud menjadi manusia, membawa Lingga yang masih dalam kurungan kubah dengan kawanan kelelewar di atas kepalanya.Wulung melayangkan pukulan ke depan. Angin kencang seketika menerjang ke depan, membelah pepohonan menjadi dua bagian sekaligus membuka pesembunyian Kartasura yang tengah melompati satu per satu dahan pohon.“Pemuda itu milikku, Kartasura!” Argaseni melesat cepat melewati Bangasera, Brajawesi dan Wulung. Tongkat ularnya memanjang seperti ular yang sedang mengejar mangsa.Kartasura menghindar dengan cara memutar tubuh di udara, lalu menendang kepala tongkat Argaseni untuk menghentikan pergerakannya. P
“Aku berada di padepokan,” gumam Lingga seraya mengamati keadaan sekeliling.Saat ini, Lingga tengah berada tepat di depan gerbang padepokan. Bangunan kayu, halaman luas yang biasa digunakan para murid berlatih serta sekeliling padepokan yang dikelilingi pepohonan, begitu terlihat nyata di matanya. Ia bahkan bisa merasakan embusan angin sepoi-sepoi yang merangkak di kulit.“Aku ... benar-benar berada di padepokan,” ujar Lingga dengan tatapan berkaca-kaca. Ada kerinduan, kesedihan dan kebahagiaan yang terpancar dari sorot matanya. Akan tetapi, ketika menyadari sesuatu, ia tiba-tiba terdiam. “Tapi ... bagaimana mungkin aku bisa berada di tempat ini? Bukankah aku sedang berada dalam pertarungan?”Lingga berjalan dengan tatapan yang masih mengamati sekeliling. Dilihat dari sudut manapun, tempat ini benar-benar Padepokan Maung Bodas. Pemuda itu mendekat pada kendi di samping gerbang padepokan. Ia terkejut ketika melihat penampilannya di pantulan air yang masih berwujud sosok pemuda.“Apa y