“Kau benar, Geni.” Sekar Sari mengangguk. “Dengan jurus ini kita bisa membuat anggota Cakar Setan dan seluruh pasukan pendekar golongan hitam terkunci raganya. Waktu tersebut bisa digunakan Guru Ganawirya dan Kakang Guru Limbur Kancana untuk menyelamatkan Lingga.”
“Aku setuju,” sahut Geni dengan tangan terkepal kuat. Ia menoleh pada tempat pertempuran dengan perasaan yang perlahan lega. Setidaknya, ia tidak akan menjadi beban yang terus-menerus karena melarikan diri dari pertempuran. “Aku pasti akan menolongmu, Lingga.”
“Aku juga setuju,” ujar Jaya dan Barma serempak.
“Aku juga setuju.”
“Kami juga setuju.”
“Kita tidak boleh tinggal diam di saat teman dan guru kita dalam bahaya.”
“Aku setuju.”
Satu per satu murid mulai mengangkat tangan, menyatakan persetujuan meski beberapa orang masih tampak ragu. Akan tetapi, karen
Melihat Kartasura berhasil mengangkap Lingga, Wulung, Bangasera, Brajawesi dan Argaseni segera mengejar Kartasura seraya melayangkan serangan silih bergantian.Kartasura dalam wujud kelelawar mengepakkan sayap kuat-kuat untuk menepis rentetan serangan tersebut, lalu melesat menuju rimbunnya pepohonan. Pendekar itu dengan cepat mengubah wujud menjadi manusia, membawa Lingga yang masih dalam kurungan kubah dengan kawanan kelelewar di atas kepalanya.Wulung melayangkan pukulan ke depan. Angin kencang seketika menerjang ke depan, membelah pepohonan menjadi dua bagian sekaligus membuka pesembunyian Kartasura yang tengah melompati satu per satu dahan pohon.“Pemuda itu milikku, Kartasura!” Argaseni melesat cepat melewati Bangasera, Brajawesi dan Wulung. Tongkat ularnya memanjang seperti ular yang sedang mengejar mangsa.Kartasura menghindar dengan cara memutar tubuh di udara, lalu menendang kepala tongkat Argaseni untuk menghentikan pergerakannya. P
“Aku berada di padepokan,” gumam Lingga seraya mengamati keadaan sekeliling.Saat ini, Lingga tengah berada tepat di depan gerbang padepokan. Bangunan kayu, halaman luas yang biasa digunakan para murid berlatih serta sekeliling padepokan yang dikelilingi pepohonan, begitu terlihat nyata di matanya. Ia bahkan bisa merasakan embusan angin sepoi-sepoi yang merangkak di kulit.“Aku ... benar-benar berada di padepokan,” ujar Lingga dengan tatapan berkaca-kaca. Ada kerinduan, kesedihan dan kebahagiaan yang terpancar dari sorot matanya. Akan tetapi, ketika menyadari sesuatu, ia tiba-tiba terdiam. “Tapi ... bagaimana mungkin aku bisa berada di tempat ini? Bukankah aku sedang berada dalam pertarungan?”Lingga berjalan dengan tatapan yang masih mengamati sekeliling. Dilihat dari sudut manapun, tempat ini benar-benar Padepokan Maung Bodas. Pemuda itu mendekat pada kendi di samping gerbang padepokan. Ia terkejut ketika melihat penampilannya di pantulan air yang masih berwujud sosok pemuda.“Apa y
Lingga kembali berpindah tempat. Saat ini, pemuda itu berada di sebuah jalan setapak. Dari kejauhan, ia melihat sosok kecil dirinya tengah menaiki tanjakan dengan wajah yang masih cemberut. Angin tiba-tiba berembus kencang, menggoyangkan dedaunan, menyelinap masuk ke celah pepohonan bambu di sisi kiri dan jalan hingga mencipta alunan suara.Lingga menyentuh sosok kecil dirinya ketika sosok itu melewatinya. Untuk kedua kalinya, ia berhasil mendaratkan tangan di tubuh masa kecilnya.Lingga kecil tiba-tiba berhenti, mengamati keadaan sekeliling, menggaruk tengkuk beberapa kali. “Sejak tadi, aku merasa ada seseorang yang mengawasiku.”Lingga terhenyak ketika mengingat peristiwa ini. Lima tahun yang lalu, pemuda itu memang merasakan kehadiran seseorang yang mengawasinya, tetapi ia tidak menyadari jika sosok itu adalah dirinya sendiri.Lingga mundur dengan tatapan yang masih tertuju pada sosok kecilnya. “Apa mungkin hal yang terjadi padaku saat ini adalah sebuah petunjuk yang memang dituju
Matahari sudah kembali ke peraduan beberapa jam lalu. Bulan purnama tampak menggantung gagah di langit, memancarkan cahaya keemasan. Suara serangga malam menemani keheningan padepokan. Angin berembus pelan, menyelinap masuk melalui lubang sebuah ruangan, mencumbu kesadaran Lingga kecil yang masih tertidur pulas.Lingga tiba-tiba berada di ruangannya. Pemuda itu melihat sosok dirinya baru saja terbangun, meneguk segelas air, kemudian membawa gulungan dari bawah dipan.“Aku harus segera berlatih.” Lingga kecil melompat dari dipan, berjalan menuju pintu, membukanya perlahan di mana tatapannya mengawasi keadaan sekeliling. “Aman.”Lingga kecil menerobos kegelapan malam, melompati satu per satu dahan pohon hingga akhirnya tiba di dekat air terjun. Anak itu melompat ke tengah sungai, duduk bersila di sebuah batu, kemudian membuka isi gulungan.Lingga mengamati sosok dirinya semenjak keluar dari gubuk kecil di belakang bangunan padepokan hingga ke tempat ini. Ia melompat ke batu yang berada
Lingga kembali berpindah tempat. Saat ini, pemuda itu berada di ruangannya. Ia menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka dari luar. Sosok kecilnya memasuki kamar, mengganti busana, menyimpan gulungan di bawah dipan, kemudian berbaring di tempat tidur. Tak lama setelahnya, terdengar dengkuran halus.Lingga masih berada di sisi dipan, mengamati sosok kecilnya yang sudah tertidur pulas. Pintu kembali terbuka dari luar. Lingga terkejut ketika mendapati Ki Petot memasuki kamar.“Apa yang dilakukan aki di kamarku?” tanya Lingga, “apa mungkin aki melihatku baru saja memasuki kamar? Atau justru aki mengikutiku sejak tadi?”Ki Petot mendekat ke arah dipan, melewati Lingga, mengawasi keadaan sekitar sebelum akhirnya duduk di sisi ranjang.“Aki,” gumam Lingga dengan tatapan tertuju pada kakek tua itu.Ki Petot mengembus napas panjang, menggurat senyum di wajah penuh keriputnya. Satu tangannya terulur, mengelus rambut Lingga kecil. “Sepertinya aku terlalu keras padamu hari ini, Lingga. Maafkan
Sementara itu, selama anggota Cakar Setan saling memperebutkan Lingga, Limbur Kancana menghimpun kekuatan di sebuah puncak pohon. Pendekar itu memasang kubah gaib yang memungkinkan siapa pun dari luar tidak bisa melihat keberadaannya, termasuk Ganawirya sekalipun. Meski demikian, di saat yang sama, ia bisa mengawasi keadaan luar.Limbur Kancana duduk bersila dengan keadaan melayang dari puncak pohon. Kedua tangannya menyatu di depan dada dengan mata tertutup. Tubuhnya diselimuti cahaya kuning keemasan. Beberapa tiruannya diperintahkan mengawasi jalannya pertarungan Cakar Setan yang sampai saat ini masih memperebutkan Lingga, sedang sisanya berusaha mengejar pergerakan Indra dan yang lain.Dalam keadaan biasa, Limbur Kancana hanya membutuhkan waktu cukup singkat untuk menyiapkan jurus pamungkasnya. Hanya saja, dalam keadaan dirinya yang sudah lemah dan terkena racun kalong setan beberapa kali, waktu tersebut bertambah panjang hingga dua kali lipat.Di sisi lain, Ganawirya tengah berta
Lingga kontan tercengang ketika melihat semua anggota Cakar Setan bergelimpangan di tanah dengan tubuh yang mengeluarkan asap. Pemuda itu menoleh pada Limbur Kancana yang tiba-tiba jatuh berlutut. Ketika mendongak ke langit, kumpulan awan hitam itu masih menaungi semua anggota Cakar Setan.Limbur Kancana menyentuh dadanya yang terasa sesak. Tubuhnya berguncang hebat dan lemas di saat bersamaan. Pria itu sudah mengeluarkan semua kekuatannya dan berharap semua anggota Cakar Setan bisa dilumpuhkan. Ketika akan berdiri, ia merasakan tulang-tulangnya seperti lidi yang dipatahkan. “Aku harus segera menyelamatkan Lingga sebelum mereka kembali sadarkan diri. Dengan keadaanku saat ini, jurusku tidak bisa langsung mengalahkan mereka.”“Paman,” panggil Lingga dengan satu tangan terulur ke arah Limbur Kancana.“Ganawirya, segera bawa Lingga ke tempat yang aman.” Limbur Kancana berhasil berdiri. “Aku harus segera membereskan semua anggota Cakar Setan sebelum mereka kembali sadar.”Kartasura tersad
“Terkutuk kau, Limbur Kancana!” Wulung memekik sangat keras hingga tanah bergetar. Tubuhnya seketika ambruk di tanah sesudah terkena amukan petir.Semua anggota Cakar Setan seketika menoleh pada Wulung yang sudah berkalang tanah. Mereka tersenyum karena telah kehilangan salah satu ganjalan besar dalam mendapatkan Lingga.Di sisi lain, Limbur Kancana terkejut ketika mendapati Ganawirya sudah rebah di tanah. Saat akan mengerahkan tiruan untuk membantu pria itu, tiba-tiba saja ia terbatuk darah dan jatuh dengan keadaan berlutut. Dadanya terasa sangat sesak dan napasnya mulai terputus-putus. “Aku kembali terkena racun kalong setan.”Kartasura, Bangsera, Argaseni dan Brajawesi seketika menerjang ke arah Lingga. Akan tetapi, petir lagi-lagi menyambar dari awan hitam hingga gerakan mereka terhenti. Keempat anggota Cakar Setan itu disibukkan dengan menghindari serangan petir.Limbur Kancana kembali duduk bersila, memusatkan kekuatan untuk memainkan seruling sakti. Selama benda ini berada dala