“Terkutuk kau, Limbur Kancana!” Wulung memekik sangat keras hingga tanah bergetar. Tubuhnya seketika ambruk di tanah sesudah terkena amukan petir.Semua anggota Cakar Setan seketika menoleh pada Wulung yang sudah berkalang tanah. Mereka tersenyum karena telah kehilangan salah satu ganjalan besar dalam mendapatkan Lingga.Di sisi lain, Limbur Kancana terkejut ketika mendapati Ganawirya sudah rebah di tanah. Saat akan mengerahkan tiruan untuk membantu pria itu, tiba-tiba saja ia terbatuk darah dan jatuh dengan keadaan berlutut. Dadanya terasa sangat sesak dan napasnya mulai terputus-putus. “Aku kembali terkena racun kalong setan.”Kartasura, Bangsera, Argaseni dan Brajawesi seketika menerjang ke arah Lingga. Akan tetapi, petir lagi-lagi menyambar dari awan hitam hingga gerakan mereka terhenti. Keempat anggota Cakar Setan itu disibukkan dengan menghindari serangan petir.Limbur Kancana kembali duduk bersila, memusatkan kekuatan untuk memainkan seruling sakti. Selama benda ini berada dala
“Kau benar-benar menjijikkan, Wira,” ucap Lingga dengan mata berkaca-kaca, “kau sudah membunuh aki dan murid-murid padepokan yang sangat baik padamu. Mereka sangat mempercayaimu, tetapi kau justru mengkhianati mereka. Kau bahkan lebih buruk dari sampah sekalipun.”Wira berdecak, menggertakkan gigi, kemudian tertawa pelan. “Aku sama sekali tidak pernah meminta mereka untuk mempercayaiku. Sepertinya penyamaranku benar-benar sempurna sehingga tidak ada siapa pun yang menyadarinya, bahkan Ki Petot dan kau sekalipun. Harus kuakui jika Ki Petot adalah seorang pendekar hebat. Dia sangat pantas menjadi salah satu anggota Pendekar Sayap Putih, terlebih dia bisa bertahan dari racun kalong setan hingga dua tahun lamanya. Hanya saja dia terlalu bodoh sampai tidak menyadari rencanaku selama ini.”“Jangan pernah berani menghina aki di depanku, pengkhianat!” Lingga menyimpan kembali kujangnya ke pinggang, lalu bersiaga dengan kedua tangan yang sudah diselimuti cahaya putih. Saat ini, ia seperti men
Indra dan Meswara masih bertarung dengan Danuseka. Dentingan antara pedang dan kapak, pedang dan pedang, saling bersahutan dengan napas yang terputus-putus dan lenguhan kesakitan. Pemenang dari pertarungan dua lawan satu itu akan sangat ditentukan oleh siapa yang paling bisa bertahan hingga akhir.Indra, Meswara dan Danuseka kembali saling menjauh setelah jual beli serangan cukup lama. Ketiganya sama-sama memaksakan diri untuk bertarung di tengah keadaan yang semakin melemah. Napas mereka saling memburu di mana tangan mereka sama-sama bergetar ketika memegang senjata masing-masing.Indra dan Meswara saling melirik sesaat, mengangguk kecil. Kedua pemuda itu melompat cukup tinggi, memutar tubuh di udara, kemudian menerjang maju ke arah Danuseka seraya melayangkan serangan beruntun.Danuseka berusaha menahan gempuran serangan dengan pedang. Akan tetapi, ia terus terdesak mundur hingga tubuhnya tersudut ke salah satu pohon. Ketika melihat celah, Danuseka berhasil mendaratkan tendangan ke
Limbur Kancana semakin cepat memainkan seruling. Alunan musiknya membuat awan hitam di langit kain membesar dan di saat yang sama mencipta angin yang berembus kencang. Angggota Cakar Setan berhasil dibuat mundur. Di saat angin menerbangkan debu tanah, dedaunan dan ranting, Wulung kembali membuka mata, lalu dengan cepat memasukkan kelima jarinya ke dalam tanah. Pendekar itu mengirimkan tali pecutnya ke arah Limbur Kancana.Limbur Kancana tercekat ketika tiba-tiba melihat tali pecut menerobos dari dalam tanah, lalu dengan cepat melilit tubuhnya. Alunan musik dari serulingnya seketika berhenti, lalu disusul dengan awan hitam yang kembali menipis dan angin yang menghilang. “Gawat.”Keempat anggota Cakar Setan terkejut ketika melihatnya, lalu menoleh pada Wulung yang mulai berdiri dengan senyuman bengis. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, mereka seketika melayangkan serangan pada Limbur Kancana.Brajawesi melompat tinggi ke udara, lalu menghantam kapak ke tanah dengan kuat. Retakan ke
“Indra, apa yang akan kita lakukan?” tanya Meswara dengan tatapan tak beralih dari pertarungan di depan. Ketika menoleh pada Indra, ia bisa melihat raut ketakutan dari pemuda itu.“A-apa kita ... harus menggunakan jurus pengunci raga saat ini juga?” Arya ikut bertanya dengan keringat yang bercucuran dari wajah.“Harus ada sesuatu yang kita lakukan untuk menolong Kakang Guru dan guru Ganawirya. Kita tidak mungkin terus berdiri di tempat ini tanpa melakukan apa pun,” timpal Jaka.Indra menunduk dengan tubuh yang berguncang hebat. Peristiwa tragis saat menemukan teman-temannya tewas lima tahun silam memenuhi isi kepalanya. Ia menoleh pada Meswara, Jaka dan Arya yang juga ketakutan sepertinya. “Kalian bertiga pergilah dari hutan ini dan bawalah para murid ke tempat yang aman dengan segera. A-aku akan mencari keberadaan Lingga. Setelah itu, aku akan bergegas menyusul kalian dengan membawa Lingga.”“Tidak.&r
Lingga segera memasang kuda-kuda. Pemuda itu sempat oleng meski dengan cepat mengentak kaki kuat-kuat ke tanah. Ia melirik Limbur Kancana yang terluka parah. Saat menoleh ke sekeliling, ia bisa melihat keadaan padepokan yang porak poranda. Secara tiba-tiba, ingatannya melayang pada peristiwa lima tahun silam saat penyerangan Kartasura ke padepokan.Lingga tercekat ketika bayang-bayangan mengerikan itu memenuhi isi kepala. Tubuhnya berguncang hingga kakinya mundur beberapa langkah dan nyaris terjatuh.Seperti pepatah, sejarah memiliki jalan sendiri untuk terulang.“Li-lingga,” lirih Limbur Kancana di tengah ketidakberdayaannya. Racun kalong setan itu sudah membuatnya berada dalam titik terlemahnya. Di saat yang sama, rambutnya terus memutih dan kulitnya mulai mengendur. “Aku akan kembali ke wujud asliku.” Lingga mengepalkan tangan erat-erat untuk menghentikan getaran kuat di tubuhnya. Di waktu yang sama, ia mengusir semua bayangan buruk peristiwa lima tahun silam itu dengan kebahagia
“Baiklah, saatnya kita pergi menuju istana Gusti Totok Surya, Lingga,” ujar Wulung dengan senyum penghinaan pada anggota Cakar Setan yang masih terjebak oleh pecutnya. Ia kemudian mencengkeram wajah Lingga, meremasnya dengan kuat hingga terdengar suara rintihan memilukan dari pemuda itu.Kartasura berhasil lepas dari pecut Wulung setelah memotongnya dengan kuku beracun. Ia dengan cepat menghantam Wulung sekuat tenaga dengan tendangan beruntun.Wulung terdorong ke samping hingga jatuh berlutut. Giginya bergemelatuk ketika melihat Kartasura berusaha memutuskan tali pecut yang mengarah pada Lingga“Akulah yang akan membawanya pada Gusti Totok Surya, Wulung!” Kartasura tersenyum ketika berhasil mendapatkan Lingga. Pendekar berikat kepala hitam itu mencengkeram Lingga dengan kuat, kemudian mengentak tanah untuk melarikan diri. Akan tetapi, ia tiba-tiba saja terlempar ke belakang ketika mendapat sabitan ekor ular.Di saat yang sama, Bang
Di sebuah ruangan, Ganawirya kembali tersadar. Pria itu memaksakan bangkit meski sekujur tubuh serasa menjerit. Tatapannya membulat ketika menyadari dirinya dan Limbur Kancana berada di ruangan yang sama. “Siapa yang membawa kami berdua ke ruangan ini? Apa mungkin ... Lingga? Lalu bagaimana dengan Cakar Setan?”Ganawirya terbatuk beberapa kali bersamaan dengan tubuhnya yang oleng ke samping. Ia berpegangan pada meja kecil, memindai keadaan ruangan yang tampak seperti diterjang badai. Tatapannya kembali tertuju pada arah pekarangan padepokan saat mendengar teriakan yang bersahutan. “Apa yang sedang terjadi di medan pertempuran? Apa mungkin Lingga ....”Ganawirya terhenyak ketika melihat keadaan Limbur Kancana yang tampak berbeda dengan penampilannya yang biasa. Rambutnya sudah sepenuhnya memutih dengan kulit yang hampir seutuhnya mengerut. “Keadaan raka benar-benar memprihatinkan. Aku akan membiarkan raka beristirahat sampai kekutannya kembali pulih.”Ganawirya menotok tiga titik di da
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me