“Baiklah, saatnya kita pergi menuju istana Gusti Totok Surya, Lingga,” ujar Wulung dengan senyum penghinaan pada anggota Cakar Setan yang masih terjebak oleh pecutnya. Ia kemudian mencengkeram wajah Lingga, meremasnya dengan kuat hingga terdengar suara rintihan memilukan dari pemuda itu.
Kartasura berhasil lepas dari pecut Wulung setelah memotongnya dengan kuku beracun. Ia dengan cepat menghantam Wulung sekuat tenaga dengan tendangan beruntun.
Wulung terdorong ke samping hingga jatuh berlutut. Giginya bergemelatuk ketika melihat Kartasura berusaha memutuskan tali pecut yang mengarah pada Lingga
“Akulah yang akan membawanya pada Gusti Totok Surya, Wulung!” Kartasura tersenyum ketika berhasil mendapatkan Lingga. Pendekar berikat kepala hitam itu mencengkeram Lingga dengan kuat, kemudian mengentak tanah untuk melarikan diri. Akan tetapi, ia tiba-tiba saja terlempar ke belakang ketika mendapat sabitan ekor ular.
Di saat yang sama, Bang
Di sebuah ruangan, Ganawirya kembali tersadar. Pria itu memaksakan bangkit meski sekujur tubuh serasa menjerit. Tatapannya membulat ketika menyadari dirinya dan Limbur Kancana berada di ruangan yang sama. “Siapa yang membawa kami berdua ke ruangan ini? Apa mungkin ... Lingga? Lalu bagaimana dengan Cakar Setan?”Ganawirya terbatuk beberapa kali bersamaan dengan tubuhnya yang oleng ke samping. Ia berpegangan pada meja kecil, memindai keadaan ruangan yang tampak seperti diterjang badai. Tatapannya kembali tertuju pada arah pekarangan padepokan saat mendengar teriakan yang bersahutan. “Apa yang sedang terjadi di medan pertempuran? Apa mungkin Lingga ....”Ganawirya terhenyak ketika melihat keadaan Limbur Kancana yang tampak berbeda dengan penampilannya yang biasa. Rambutnya sudah sepenuhnya memutih dengan kulit yang hampir seutuhnya mengerut. “Keadaan raka benar-benar memprihatinkan. Aku akan membiarkan raka beristirahat sampai kekutannya kembali pulih.”Ganawirya menotok tiga titik di da
Kartasura segera mengawasi sekeliling, berusaha merasakan hawa kehadiran Wira dan Danuseka, berharap keduanya datang dan membunuh salah satu dari para murid untuk menggagalkan rencana mereka. “Ke mana perginya dua orang bodoh itu saat aku perlukan?”“Jurus pengunci raga,” gumam Bangasera dengan mata memelotot tajam, “ya, mereka sedang melakukan gerakan dari jurus itu. Tujuan mereka tidak lain untuk mengunci ragaku. Aku benar-benar terkejut karena mereka bisa melakukan jurus tingkat tinggi.”Bangasera kembali melayangkan puluhan ular beracunnya pada murid-murid di depannya. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari mereka yang berhenti bergerak meski ular-ular itu berhasil menyerang. “Jika terus seperti ini, aku akan menjadi patung batu. Aku tidak sudi jika sampai kalah dari para murid bodoh ini.”Bangasera kembali berusaha mengubah wujud menjadi ratusan ular kecil. Akan tetapi, ia masih belum bisa keluar dari jerat sinar tersebut, yang terjadi justru hampir setengah tubuh bagian bawahnya s
Lingga perlahan membuka mata. Ketika mendongak ke atas, ia melihat Ganawirya tengah meluncurkan ratusan panah putih ke arah Cakar Setan. Tak lama setelahnya, Lingga terhenyak saat melihat tubuh teman-temannya terus membatu hingga nyaris menyentuh leher.Lingga memutar tubuh, menatap Geni, Jaya, Barma, Sekar Sari dan satu per satu teman-temannya. “Teman-teman.”Wulung terkekeh. “Sepertinya tindakan kalian hanya sia-sia, murid-murid bodoh! Jurus yang kalian lakukan justru mengubah diri kalian menjadi batu.”Bangasera ikut tertawa. “Kalian semua hanya melakukan tindakan sia-sia.”Lingga terperangah ketika mendengar penjelasan itu. “Tidak, ini tidak boleh terjadi.”“Lingga teruslah berjuang,” ucap Indra.“Lingga, kami selalu mempercayaimu sampai kapan pun,” kata Meswara.“Lingga, ingatlah jika kau tidak berjuang sendirian,” ujar Jaka.“Lingga, teruslah melangkah seterjal apa pun jalanmu,” tutur Arya.“Lingga,” ujar Geni, Jaya dan Barma bersamaan.Lingga seketika menoleh pada ketiga temann
Lingga seketika berbalik dan terkejut ketika melihat Ki Petot, Limbur Kancana, Ganawirya dan satu per satu teman-temannya bermunculan di dekatnya. Di saat yang sama, sosok tiruannya tiba-tiba menariknya untuk mendekat dan memasuki pintu tersebut.“Tenangkan dirimu, Lingga,” ujar Ki Petot, “jangan biarkan amarah dan dendam menguasai hatimu. Ingatlah untuk selalau berada di jalan pendekarmu. Percayalah jika kebaikan dan kebenaran akan selalu memiliki jalan. Percayalah jika kau akan mampu membawa perubahan. Percayalah jika kebaikan dan kebenaran akan selalu menang.”“Aki, Paman, teman-teman, maafkan aku karena aku belum bisa menguasai hatiku. Aku masih sering jatuh dalam amarah dan dendam yang membutakan hatiku,” ujar Lingga dengan tangis yang mulai membasahi pipi. Air matanya tiba-tiba memadamkan api yang menyelimuti dirinya. Di waktu yang sama, sosok tiruannya mendadak berteriak sebelum menghilang bersama pintu hitam di dekatnya. “Terima kasih karena sudah mengingatkanku setiap kali ak
Angin masih berkecamuk bersamaan dengan petir dan guntur yang semakin menguasai langit. Tiang cahaya keemasaan itu masih berdiri kokokh, menjulang tinggi ke langit. Semua anggota Cakar Setan, termasuk Wira dan Danuseka tak bisa melepaskan pandangan pada keadaan yang terjadi saat ini. Keadaan mereka semakin menjauh dari Lingga yang masih melayangkan di udara. Sementara itu, Limbur Kancana dan Ganawirya tiba-tiba berlutut seraya memberikan salam penghormatan. “Inikah kekuatan dari pusaka kujang emas yang dicari Gusti Totok Surya selama ini?” gumam Wulung dengan tatapan yang tak lepas dari Lingga. Bangasera mengamati sisik ularnya yang terlepas satu per satu, lalu kembali menatap Lingga dan keadaan sekeliling yang masih dikuasai angin, guntur dan petir. “Apa aku bisa mengambil pusaka kujang emas itu dari pemuda itu?” Argaseni dan Brajawesi semakin dibuat mundur hingga keduanya bertubrukan. Keduanya tidak sempat beradu mulut seperti yang biasa mereka lakukan. “Kekuatan besar apa ini?”
Sementara itu, keadaan hutan Lebak Angin masih dikuasai angin, petir dan guntur yang bergemuruh. Tiang cahaya masih berdiri kokoh menjulang tinggi ke langit.Lingga kembali bergerak turun. Pemuda itu mengayun-ayunkan kujang yang dipadukan dengan pukulan dan tendangan, kemudian mengarahkan senjata pusaka itu ke langit. Secara tiba-tiba, muncul cahaya emas yang membuat keadaan sekeliling menjadi terang sesaat.Limbur Kancana dan Ganawirya merasakan tubuh mereka seperti baru saja terkena sinar matahari pagi yang hangat.“Luka-lukaku sembuh dalam sekajap,” ujar Limbur Kancana seraya memeriksa beberapa bagian tubuhnya.“Benar, Raka. Kekuatanku juga kembali seperti semula,” susul Limbur Kancana.Lingga kembali mengayun-ayunkan kujang, bergerak lincah, memadukan pukulan dan tendangan di mana tanda kujang di dahinya kian menyala terang. Gerakan kujangnya membentuk gambaran cahaya serupa seekor harimau.Secara tiba-tiba,
Sinar matahari tampak menerobos celah kecil sebuah ruangan berdinding kayu. Kicau burung di dahan pohon bersahutan dengan angin yang berembus di sela-sela dedaunan. Aliran air sungai tampak deras, menyeret ranting-ranting dan daun-daun kecil. Ikan-ikan berenang riang di sela-sela bebatuan. Lebak Angin kembali menyambut pagi setelah menjalani malam panjang.Lingga mengerjap, membuka mata perlahan. Pemuda itu mendudukkan tubuh seraya memijat kepala. Pandangannya segera memindai keadaan sekeliling.“Aku sedang berada di kamarku.” Lingga segera melompat turun, berlari ke luar ruangan, menaiki salah satu pohon. Ia tercengang ketika melihat setengah bangunan padepokan rusak parah dengan pepohonan di sekitar pekarangan yang bertumbangan.Lingga kembali melompat turun ke arah pekarangan. Bersamaan dengan kakinya yang menginjak tanah dan pandangan yang mengamati sekelilingi, ingatannya kembali pada kejadian penyerangan pasukan pendekar golongan hitam.
“Pendekar Sayap Putih?” Lingga memastikan, menggaruk rambut yang tak gatal. “Bukankah Paman masih mencari keberadaan mereka?”Limbur Kancana dan Ganawirya sontak terkejut, kembali saling berpandangan.“Saat bangkitnya kujang emas, aku merasakan kehadiran mereka di beberapa wilayah. Meski begitu, mencari keberadaan mereka tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita akan mencari mereka dengan petunjuk yang aku dapat semalam. Kemungkinan besar mereka melihat tiang cahaya yang muncul di langit malam tadi sebagai tanda jika kau sudah hadir di tengah rimba persilatan di tanah Pasundan,” ungkap Limbur Kancana.“Ketiga pendekar itu adalah rekan si aki-aki bau dan memiliki terkaitan erat di pusaka kujang emas. Kau akan berlatih di bawah bimbingan mereka, Lingga. Dan selama dalam perjalanan, kita akan merahasiakan siapa dirimu sebenarnya pada orang-orang.”“Baik, Paman. Jadi kapan kita akan pergi mencari mereka?” tanya Lingga.“Pertengahan hari nanti.” Limbur Kancana menoleh pada Ganawir