Lingga tengah berbaring di sebuah batu panjang dengan kaki yang sengaja dimasukkan ke dalam aliran air. Pemuda itu terpejam, menikmati semilir angin, cicit burung dan gigitan ikan kecil di kakinya. Suasana tempat ini begitu menenangkan hingga membuatnya menguap beberapa kali. Lingga kembali membuka mata. Pemuda itu duduk dengan tangan yang mengucek mata beberapa kali. Ia tercenung ketika melihat Limbur Kancana dan Ganawirya tengah berbincang. Sayangnya, dari tempatnya saat ini, ia tidak mendengar apa pun. Lingga berdiri, lantas mendekat untuk mencuri dengar. Namun, Limbur Kancana dan Ganawirya seketika menghentikan obrolan. Lingga beralih ke depan. Ia bisa melihat rombongan warga dan ternak-ternak mereka sedanga berjalan di sisi sungai. “Ke mana mereka akan pergi, Paman?” “Mereka akan pergi ke tempat yang lebih aman,” jawab Ganawirya, “aku sudah memberi mereka perbekalan selama mereka dalam perjalanan. Hutan ini dan wilayah sekitarnya sudah tidak aman lagi untuk ditempati.” Limbur
Limbur Kancana dan Ganawirya sontak terkejut ketika mendengar Sekar Sari menanyakan keberadaan Lingga, begitupun dengan Lingga yang saat ini tengah bersembunyi di balik pohon.Sekar Sari mengamati keadaan sekeliling bersamaan dengan tubuhnya yang memutar. Gadis itu dengan jelas melihat keberadaan Lingga di dekat Limbur Kancana dan Ganawirya beberapa waktu lalu. Akan tetapi, keberadaan pemuda itu seakan ditelan bumi. Ia tidak bisa bisa melihat maupun merasakan hawa keberadaannya.“Di mana Lingga, Guru, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari untuk kedua kalinya.Limbur Kancana mengamati Sekar Sari lekat-lekat, berjalan mendekat, kemudian menyentuh kening gadis itu untuk menghilangkan ingatannya mengenai Lingga kembali.Sekar Sari terhenyak sesaat, mengerjap-ngerjap mata, mengawasi keadaan sekitar untuk kesekian kali. Gadis itu menatap Ganawirya dan sosok asing di depannya. Ketika tatapannya tak sengaja melihat tulisan di ujung selendang, sebuah lapisan yang menjerat ingatannya tiba-tiba terlepa
Lingga menggaruk rambut yang tak gatal, mendekat ke arah Sekar Sari. “Aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau sudah banyak membantuku, Nyai.” Sekar Sari menoleh pada Lingga, kemudian memutar bola mata. Kedua tangannya dengan cepat menyilang di depan dada. Lingga diam sesaat, berusaha menyadari kesalahan dari ucapannya. “Maksudku, aku berterima kasih padamu, Sekar Sari. Kau sudah membantuku saat para murid berusaha mencelakaiku. Aku juga berterima kasih karena kau sudah berusaha menjelaskan mengenai keadaanku sesungguhnya pada murid-murid lain. Selain itu, bantuan dan pengorbananmu akan selalu aku ingat. Aku berhutang budi padamu.” Sekar Sari tersenyum tipis, menoleh ke sisi lain karena wajahnya tiba-tiba saja memanas. “A-aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Hanya itu. Ja-jangan berpikir berlebihan.” “Sekar Sari,” panggil Limbur Kancana, “dari mana kau mendapat bibit tanaman yang dapat tumbuh untuk mejerat lawan.” “Bibit tanaman?” Sekar Sari seketika mengambil kant
Totok Surya tengah duduk di kursi singgasana. Di depannya terdapat tujuh tumpukan batu kecil yang disusun hingga setingga betis orang dewasa. Matanya berkilat tajam, menandakan amarah dan dendam yang berkecamuk. Tak jauh dari tumpukan batu itu, berjejer pasukannya di kiri dan kanan.Totok Surya berdiri, berjalan mendekat ke arah tumpukan batu. Matanya memelotot tajam bersamaan dengan kedua tangannya yang beralih ke belakang punggung. Pasukannya tampak menunduk, tak berani melirik ke arahnya satu pun.“Dasar orang-orang bodoh!” maki Totok Surya ketika sudah berada di depan tumpukan batu. “Kalian sudah membuatku lama menunggu, dan saat kalian kembali, kalian justru sudah berubah wujud menjadi serpihan batu! Kalian benar-benar sudah menghinaku!”Totok Surya seketika menghimpun kekuatan. Matanya terpejam sesaat, dan saat kembali terbuka kedua tangannya mengeluarkan cahaya merah pekat yang dengan cepat menyinari tumpukan batu di depannya. Satu per satu tumpukan batu itu tersusun kembali me
“Bisakah aku ikut dalam perjalanan kalian?” Pertanyaan Sekar Sari sontak membuat Lingga, Limbur Kancana dan Ganawirya terdiam. Ketiganya saling berpandangan satu sama lain, kemudian kembali mengalihkan pandangan pada gadis berambut panjang tersebut. Sekar Sari sendiri dengan cepat menunduk, setengah memunggungi ketiganya. Perasaannya yang tidak ingin ditinggalkan Lingga membuatnya berani mengatakan permintaan tersebut meski di saat yang sama ia menduga jika hal itu akan berbuah penolakan. Sekar Sari menunduk, meremas kedua ujung selendanganya. Wajahnya cemberut dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu tahu bahwa kepergian Lingga dan Limbur Kancana bukanlah untuk bersenang-senang. Ada tugas penting yang harus keduanya lakukan demi masa depan tanah leluhur yang sedang dijajah ketidakadilan. Akan tetapi, ia berharap bila kehadirannya bisa sedikit membantu kedua pendekar itu dalam melakukan tugas. “Apa maksudmu, Sekar Sari?” tanya Ganwirya. Sekar Sari kembali menghadap ketiganya, menunduk
Dugaan munculnya sang pewaris kujang emas dan bangkitnya kujang pusaka menjadi berita yang dengan cepat menyebar ke suluruh wilayah Pasundan. Kabar tersebut menjadi perbincangan di mana pun dan siapa pun, terlepas mereka pendekar atau rakyat biasa. Banyak pendekar golongan putih tingkat tinggi yang membenarkan sangkaan tersebut berdasarkan bukti munculnya tiang cahaya dan bola raksasa yang terlihat di seluruh tatar Pasundan. Untuk itu, mereka segera memerintahkan para anak buah dan bawahan mereka untuk melalukan pencarian. Selepas kepergian Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari serta Ganawirya dan para murid dari padepokan, beberapa pendekar golongan putih terlihat mendatangi hutan Lebak Angin. Mereka berasal dari berbagai padepokan di wilayah tanah Pasundan. Akan tetapi, mereka harus menelan kekecewaan karena tidak menemukan siapa pun selain keadaan Padepokan Merak Putih yang porak poranda.Namun, para pendekar itu nyatanya tidak pulang dengan tangan kosong. Sisa kekuatan di padepokan
“Selamat datang kembali di rimba persilatan, Wintara, Nilasari,” ujar Bangasera dengan senyum bengis. Pria bersisik ular itu bisa merasakan ilmu kanuragan yang tinggi dari dua sosok di depannya.Dua sosok berkulit keriput dengan wajah menyeramkan itu mulai membuka mata. Tatapan keduanya dengan cepat tertuju pada Bangasera yang tak jauh dari mereka.“Siapa kau?” tanya kedua orang itu bersamaan.“Aku sama sekali tidak mengenalmu,” kata kakek bertubuh kurus dengan rambut yang sudah memutih, “apa yang kau inginkan dariku dan adikku?”“Ah!” Nenek berambut putih panjang tiba-tiba menjerit histeris. “Kakang! Kakang! Kulitku tiba-tiba keriput dan wajahku menjadi buruk rupa! Kau juga menjadi sangat jelek, Kakang. Persis seperti aki-aki tua bangka yang tinggal tulang-belulang.”Kakek tua bernama Wintara itu segera menoleh pada wanita di sampingnya. Ia terkejut ketika melihat seorang nenek tua dengan wajah buruk rupa yang mirip dengan adiknya. “Nilasari, apa yang terjadi dengan wajah ayumu?”Nen
Wintara memperdalam tusukan tangannya pada dada Bangasera. Kekek tua itu terbahak, kemudian menendang tubuh lawannya yang tengah menggelepar meregang nyawa.“Dasar sombong!” maki Nilasari dengan senyum menyeringai ketika melihat darah menyembur dari dada Bangasera. “Kau hanya besar kepala dan besar mulut, pria jelek!”Wintara melompat mundur ke arah Nilasari. “Terlalu cepat jika kau menentang kami, Bangasera. Sekarang, nikmatilah ajalmu.”“Benarkah begitu?” Suara Bangasera tiba-tiba menggema di atas bukit.Wintara dan Nilasari sontak tercengang ketika mendengar suara tersebut, padahal mereka sangat yakin jika Bangasera sudah terbujur kaku bersimbah darah. Akan tetapi, keduanya justru terhenyak saat melihat raga Bangasera yang sudah berkalang tanah tiba-tiba berubah menjadi puluhan ular kecil yang dengan cepat menyebar ke sekeliling.“Kalian berdua memang hebat meski masih dalam wujud tua bangka