Totok Surya tengah duduk di kursi singgasana. Di depannya terdapat tujuh tumpukan batu kecil yang disusun hingga setingga betis orang dewasa. Matanya berkilat tajam, menandakan amarah dan dendam yang berkecamuk. Tak jauh dari tumpukan batu itu, berjejer pasukannya di kiri dan kanan.Totok Surya berdiri, berjalan mendekat ke arah tumpukan batu. Matanya memelotot tajam bersamaan dengan kedua tangannya yang beralih ke belakang punggung. Pasukannya tampak menunduk, tak berani melirik ke arahnya satu pun.“Dasar orang-orang bodoh!” maki Totok Surya ketika sudah berada di depan tumpukan batu. “Kalian sudah membuatku lama menunggu, dan saat kalian kembali, kalian justru sudah berubah wujud menjadi serpihan batu! Kalian benar-benar sudah menghinaku!”Totok Surya seketika menghimpun kekuatan. Matanya terpejam sesaat, dan saat kembali terbuka kedua tangannya mengeluarkan cahaya merah pekat yang dengan cepat menyinari tumpukan batu di depannya. Satu per satu tumpukan batu itu tersusun kembali me
“Bisakah aku ikut dalam perjalanan kalian?” Pertanyaan Sekar Sari sontak membuat Lingga, Limbur Kancana dan Ganawirya terdiam. Ketiganya saling berpandangan satu sama lain, kemudian kembali mengalihkan pandangan pada gadis berambut panjang tersebut. Sekar Sari sendiri dengan cepat menunduk, setengah memunggungi ketiganya. Perasaannya yang tidak ingin ditinggalkan Lingga membuatnya berani mengatakan permintaan tersebut meski di saat yang sama ia menduga jika hal itu akan berbuah penolakan. Sekar Sari menunduk, meremas kedua ujung selendanganya. Wajahnya cemberut dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu tahu bahwa kepergian Lingga dan Limbur Kancana bukanlah untuk bersenang-senang. Ada tugas penting yang harus keduanya lakukan demi masa depan tanah leluhur yang sedang dijajah ketidakadilan. Akan tetapi, ia berharap bila kehadirannya bisa sedikit membantu kedua pendekar itu dalam melakukan tugas. “Apa maksudmu, Sekar Sari?” tanya Ganwirya. Sekar Sari kembali menghadap ketiganya, menunduk
Dugaan munculnya sang pewaris kujang emas dan bangkitnya kujang pusaka menjadi berita yang dengan cepat menyebar ke suluruh wilayah Pasundan. Kabar tersebut menjadi perbincangan di mana pun dan siapa pun, terlepas mereka pendekar atau rakyat biasa. Banyak pendekar golongan putih tingkat tinggi yang membenarkan sangkaan tersebut berdasarkan bukti munculnya tiang cahaya dan bola raksasa yang terlihat di seluruh tatar Pasundan. Untuk itu, mereka segera memerintahkan para anak buah dan bawahan mereka untuk melalukan pencarian. Selepas kepergian Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari serta Ganawirya dan para murid dari padepokan, beberapa pendekar golongan putih terlihat mendatangi hutan Lebak Angin. Mereka berasal dari berbagai padepokan di wilayah tanah Pasundan. Akan tetapi, mereka harus menelan kekecewaan karena tidak menemukan siapa pun selain keadaan Padepokan Merak Putih yang porak poranda.Namun, para pendekar itu nyatanya tidak pulang dengan tangan kosong. Sisa kekuatan di padepokan
“Selamat datang kembali di rimba persilatan, Wintara, Nilasari,” ujar Bangasera dengan senyum bengis. Pria bersisik ular itu bisa merasakan ilmu kanuragan yang tinggi dari dua sosok di depannya.Dua sosok berkulit keriput dengan wajah menyeramkan itu mulai membuka mata. Tatapan keduanya dengan cepat tertuju pada Bangasera yang tak jauh dari mereka.“Siapa kau?” tanya kedua orang itu bersamaan.“Aku sama sekali tidak mengenalmu,” kata kakek bertubuh kurus dengan rambut yang sudah memutih, “apa yang kau inginkan dariku dan adikku?”“Ah!” Nenek berambut putih panjang tiba-tiba menjerit histeris. “Kakang! Kakang! Kulitku tiba-tiba keriput dan wajahku menjadi buruk rupa! Kau juga menjadi sangat jelek, Kakang. Persis seperti aki-aki tua bangka yang tinggal tulang-belulang.”Kakek tua bernama Wintara itu segera menoleh pada wanita di sampingnya. Ia terkejut ketika melihat seorang nenek tua dengan wajah buruk rupa yang mirip dengan adiknya. “Nilasari, apa yang terjadi dengan wajah ayumu?”Nen
Wintara memperdalam tusukan tangannya pada dada Bangasera. Kekek tua itu terbahak, kemudian menendang tubuh lawannya yang tengah menggelepar meregang nyawa.“Dasar sombong!” maki Nilasari dengan senyum menyeringai ketika melihat darah menyembur dari dada Bangasera. “Kau hanya besar kepala dan besar mulut, pria jelek!”Wintara melompat mundur ke arah Nilasari. “Terlalu cepat jika kau menentang kami, Bangasera. Sekarang, nikmatilah ajalmu.”“Benarkah begitu?” Suara Bangasera tiba-tiba menggema di atas bukit.Wintara dan Nilasari sontak tercengang ketika mendengar suara tersebut, padahal mereka sangat yakin jika Bangasera sudah terbujur kaku bersimbah darah. Akan tetapi, keduanya justru terhenyak saat melihat raga Bangasera yang sudah berkalang tanah tiba-tiba berubah menjadi puluhan ular kecil yang dengan cepat menyebar ke sekeliling.“Kalian berdua memang hebat meski masih dalam wujud tua bangka
“Tidak mungkin,” ujar Nilasari dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, “meski aku dan kakangku sudah melanglangbuana di rimba persilatan selama bertahun-tahun lamanya, kami berdua tidak pernah sekalipun diminta Gusti Totok Surya untuk menjadi anggota Cakar Setan. Berhentilah membual, Bangasera. Kau membuatku ingin meludahimu sepanjang malam.”Wintara menatap tajam Bangasera, berusaha menilai ilmu kanarugan pria bersisik ular di depannya. Ia bisa merasakan kekuatan yang meluap-luap dari pria yang berhasil mengalahkan dirinya dan adiknya beberapa saat lalu.“Aku tahu kalau kalian hanya terkejut dan merasa iri padaku. Tapi pada kenyataannya aku adalah salah anggota Cakar Setan yang dipilih langsung oleh Gusti Totok Surya. Gusti Totok Surya memilihku karena aku pantas menjadi salah satu pendekar terkuatnya.” Bangasera tertawa, lalu menunjukkan dada sebelah kiri yang terdapat gambar tengkorak.Wintara dan Nilasari sontak terhenyak, berdecak kesal ketika melihat tanda itu. Mau tak mau mereka
“Bagaimana dengan wajahku, Kakang? Apa aku kembali cantik seperti sediakala?” tanya Nilasari sembari memeriksa keadaan tubuhnya.“Kau menjadi cantik kembali, Nilasari. Hanya saja kau masih terlihat tua, bukan seperti dirimu yang dulu,” jawab Wintara jujur.“Benarkah, Kakang?” Nilasari cemberut, lalu melompat ke sebuah kendi berisi air di samping pagar bambu yang tumbang. Wanita itu mengamati penampilannya beberapa kali. “Kakang benar, aku masih terlihat tua.”Nilasari kembali melompat ke dekat Wintara, lalu menatap tajam Bangasera. “Kenapa aku masih terlihat tua, Bangasera? Apa kau membohongiku dan kakangku?”“Sama sekali tidak.” Bangasera memelotot tajam. “Buktinya kau dan Wintara menjadi lebih muda dari sebelumnya. Jika kau menginginkan dirimu kembali ke keadaan semula, kenapa kau tidak mencari perkampungan warga yang lain agar kau bisa mengisap kekuatan mereka kembali?”Nilasari mendengkus, mengamati warga yang bergelimpangan di tanah. “Rasa mereka benar-benar pahit. Aku bahkan ing
Pendekar wanita berbaju kuning segera menempatkan nenek tua yang tak sadarkan diri di dekat pohon, kemudian ia melompat ke arah tiga teman pendekar yang lain. Wiintara dan Nilasari seketika bergerak menyerang. Dua pendekar wanita berhadapan dengan Nilasari, sedang dua pendekar laki-laki berhadapan dengan Wintara. Pertarungan pun segera pecah dan tak dapat dielakkan. Dua pendekar laki-laki berlari menjauh dari perkampungan, sengaja memilih kawasan pohon kelapa sebagai tempat pertarungan. Keduanya berjibaku melawan serangan dan pergerakan Wintara yang sangat cepat dan kuat. Dua pendekar laki-laki itu menghindar ke samping, lalu secara bersamaan mengayunkan pedang di saat keduanya bergerak maju. Tubuh ular Wintara berhasil dipotong menjadi dua, tetapi dengan cepat kembali ke keadaan semula. Wintara melayangkan serangan ekor dengan sangat kuat hingga kedua pendekar laki-laki itu terlempar ke belakang dan menabrak pepohonan. Ia kembali melesat maju, lalu melompat tinggi untuk sembari m