Angin masih berkecamuk bersamaan dengan petir dan guntur yang semakin menguasai langit. Tiang cahaya keemasaan itu masih berdiri kokokh, menjulang tinggi ke langit. Semua anggota Cakar Setan, termasuk Wira dan Danuseka tak bisa melepaskan pandangan pada keadaan yang terjadi saat ini. Keadaan mereka semakin menjauh dari Lingga yang masih melayangkan di udara. Sementara itu, Limbur Kancana dan Ganawirya tiba-tiba berlutut seraya memberikan salam penghormatan. “Inikah kekuatan dari pusaka kujang emas yang dicari Gusti Totok Surya selama ini?” gumam Wulung dengan tatapan yang tak lepas dari Lingga. Bangasera mengamati sisik ularnya yang terlepas satu per satu, lalu kembali menatap Lingga dan keadaan sekeliling yang masih dikuasai angin, guntur dan petir. “Apa aku bisa mengambil pusaka kujang emas itu dari pemuda itu?” Argaseni dan Brajawesi semakin dibuat mundur hingga keduanya bertubrukan. Keduanya tidak sempat beradu mulut seperti yang biasa mereka lakukan. “Kekuatan besar apa ini?”
Sementara itu, keadaan hutan Lebak Angin masih dikuasai angin, petir dan guntur yang bergemuruh. Tiang cahaya masih berdiri kokoh menjulang tinggi ke langit.Lingga kembali bergerak turun. Pemuda itu mengayun-ayunkan kujang yang dipadukan dengan pukulan dan tendangan, kemudian mengarahkan senjata pusaka itu ke langit. Secara tiba-tiba, muncul cahaya emas yang membuat keadaan sekeliling menjadi terang sesaat.Limbur Kancana dan Ganawirya merasakan tubuh mereka seperti baru saja terkena sinar matahari pagi yang hangat.“Luka-lukaku sembuh dalam sekajap,” ujar Limbur Kancana seraya memeriksa beberapa bagian tubuhnya.“Benar, Raka. Kekuatanku juga kembali seperti semula,” susul Limbur Kancana.Lingga kembali mengayun-ayunkan kujang, bergerak lincah, memadukan pukulan dan tendangan di mana tanda kujang di dahinya kian menyala terang. Gerakan kujangnya membentuk gambaran cahaya serupa seekor harimau.Secara tiba-tiba,
Sinar matahari tampak menerobos celah kecil sebuah ruangan berdinding kayu. Kicau burung di dahan pohon bersahutan dengan angin yang berembus di sela-sela dedaunan. Aliran air sungai tampak deras, menyeret ranting-ranting dan daun-daun kecil. Ikan-ikan berenang riang di sela-sela bebatuan. Lebak Angin kembali menyambut pagi setelah menjalani malam panjang.Lingga mengerjap, membuka mata perlahan. Pemuda itu mendudukkan tubuh seraya memijat kepala. Pandangannya segera memindai keadaan sekeliling.“Aku sedang berada di kamarku.” Lingga segera melompat turun, berlari ke luar ruangan, menaiki salah satu pohon. Ia tercengang ketika melihat setengah bangunan padepokan rusak parah dengan pepohonan di sekitar pekarangan yang bertumbangan.Lingga kembali melompat turun ke arah pekarangan. Bersamaan dengan kakinya yang menginjak tanah dan pandangan yang mengamati sekelilingi, ingatannya kembali pada kejadian penyerangan pasukan pendekar golongan hitam.
“Pendekar Sayap Putih?” Lingga memastikan, menggaruk rambut yang tak gatal. “Bukankah Paman masih mencari keberadaan mereka?”Limbur Kancana dan Ganawirya sontak terkejut, kembali saling berpandangan.“Saat bangkitnya kujang emas, aku merasakan kehadiran mereka di beberapa wilayah. Meski begitu, mencari keberadaan mereka tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita akan mencari mereka dengan petunjuk yang aku dapat semalam. Kemungkinan besar mereka melihat tiang cahaya yang muncul di langit malam tadi sebagai tanda jika kau sudah hadir di tengah rimba persilatan di tanah Pasundan,” ungkap Limbur Kancana.“Ketiga pendekar itu adalah rekan si aki-aki bau dan memiliki terkaitan erat di pusaka kujang emas. Kau akan berlatih di bawah bimbingan mereka, Lingga. Dan selama dalam perjalanan, kita akan merahasiakan siapa dirimu sebenarnya pada orang-orang.”“Baik, Paman. Jadi kapan kita akan pergi mencari mereka?” tanya Lingga.“Pertengahan hari nanti.” Limbur Kancana menoleh pada Ganawir
Lingga tengah berbaring di sebuah batu panjang dengan kaki yang sengaja dimasukkan ke dalam aliran air. Pemuda itu terpejam, menikmati semilir angin, cicit burung dan gigitan ikan kecil di kakinya. Suasana tempat ini begitu menenangkan hingga membuatnya menguap beberapa kali. Lingga kembali membuka mata. Pemuda itu duduk dengan tangan yang mengucek mata beberapa kali. Ia tercenung ketika melihat Limbur Kancana dan Ganawirya tengah berbincang. Sayangnya, dari tempatnya saat ini, ia tidak mendengar apa pun. Lingga berdiri, lantas mendekat untuk mencuri dengar. Namun, Limbur Kancana dan Ganawirya seketika menghentikan obrolan. Lingga beralih ke depan. Ia bisa melihat rombongan warga dan ternak-ternak mereka sedanga berjalan di sisi sungai. “Ke mana mereka akan pergi, Paman?” “Mereka akan pergi ke tempat yang lebih aman,” jawab Ganawirya, “aku sudah memberi mereka perbekalan selama mereka dalam perjalanan. Hutan ini dan wilayah sekitarnya sudah tidak aman lagi untuk ditempati.” Limbur
Limbur Kancana dan Ganawirya sontak terkejut ketika mendengar Sekar Sari menanyakan keberadaan Lingga, begitupun dengan Lingga yang saat ini tengah bersembunyi di balik pohon.Sekar Sari mengamati keadaan sekeliling bersamaan dengan tubuhnya yang memutar. Gadis itu dengan jelas melihat keberadaan Lingga di dekat Limbur Kancana dan Ganawirya beberapa waktu lalu. Akan tetapi, keberadaan pemuda itu seakan ditelan bumi. Ia tidak bisa bisa melihat maupun merasakan hawa keberadaannya.“Di mana Lingga, Guru, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari untuk kedua kalinya.Limbur Kancana mengamati Sekar Sari lekat-lekat, berjalan mendekat, kemudian menyentuh kening gadis itu untuk menghilangkan ingatannya mengenai Lingga kembali.Sekar Sari terhenyak sesaat, mengerjap-ngerjap mata, mengawasi keadaan sekitar untuk kesekian kali. Gadis itu menatap Ganawirya dan sosok asing di depannya. Ketika tatapannya tak sengaja melihat tulisan di ujung selendang, sebuah lapisan yang menjerat ingatannya tiba-tiba terlepa
Lingga menggaruk rambut yang tak gatal, mendekat ke arah Sekar Sari. “Aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau sudah banyak membantuku, Nyai.” Sekar Sari menoleh pada Lingga, kemudian memutar bola mata. Kedua tangannya dengan cepat menyilang di depan dada. Lingga diam sesaat, berusaha menyadari kesalahan dari ucapannya. “Maksudku, aku berterima kasih padamu, Sekar Sari. Kau sudah membantuku saat para murid berusaha mencelakaiku. Aku juga berterima kasih karena kau sudah berusaha menjelaskan mengenai keadaanku sesungguhnya pada murid-murid lain. Selain itu, bantuan dan pengorbananmu akan selalu aku ingat. Aku berhutang budi padamu.” Sekar Sari tersenyum tipis, menoleh ke sisi lain karena wajahnya tiba-tiba saja memanas. “A-aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Hanya itu. Ja-jangan berpikir berlebihan.” “Sekar Sari,” panggil Limbur Kancana, “dari mana kau mendapat bibit tanaman yang dapat tumbuh untuk mejerat lawan.” “Bibit tanaman?” Sekar Sari seketika mengambil kant
Totok Surya tengah duduk di kursi singgasana. Di depannya terdapat tujuh tumpukan batu kecil yang disusun hingga setingga betis orang dewasa. Matanya berkilat tajam, menandakan amarah dan dendam yang berkecamuk. Tak jauh dari tumpukan batu itu, berjejer pasukannya di kiri dan kanan.Totok Surya berdiri, berjalan mendekat ke arah tumpukan batu. Matanya memelotot tajam bersamaan dengan kedua tangannya yang beralih ke belakang punggung. Pasukannya tampak menunduk, tak berani melirik ke arahnya satu pun.“Dasar orang-orang bodoh!” maki Totok Surya ketika sudah berada di depan tumpukan batu. “Kalian sudah membuatku lama menunggu, dan saat kalian kembali, kalian justru sudah berubah wujud menjadi serpihan batu! Kalian benar-benar sudah menghinaku!”Totok Surya seketika menghimpun kekuatan. Matanya terpejam sesaat, dan saat kembali terbuka kedua tangannya mengeluarkan cahaya merah pekat yang dengan cepat menyinari tumpukan batu di depannya. Satu per satu tumpukan batu itu tersusun kembali me