Di belakang bangunan padepokan, Indra dan Meswara menggendong Jaka dan Arya yang sudah tidak sadarkan diri untuk menjauh dari pertempuran. Langkah mereka tergopoh-gopoh karena luka yang didapat dari pertempuran panjang yang mereka lewati.“Bertahanlah.” Indra menoleh pada ketiga temannya yang sudah sangat lemah. Hal yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini adalah janji mereka pada Ki Petot untuk melindungi Lingga dan juga dendam yang masih bersemayam di hati pada Kartasura dan Wira.“Ki-kita ... ha-harus segera membantu Guru Ganawirya, Kakang Guru dan Lingga, Indra. Mereka semua dalam bahaya,” ujar Meswara terbata-bata. “Tapi tidak dengan keadaan kita saat ini, Meswara.” Indra menyahut. “Dengan keadaan kita saat ini, kita hanya akan menjadi menjadi incaran musuh dan membebani Guru Ganawirya dan Kakang Guru.”“Ta-tapi ... kita tidak boleh ....” Meswara tiba-tiba terhuyung sampai akan terjatuh. Untungnya, Indra dengan cepat membantunya.“Agar bisa membantu Guru, Kakang Guru
Sekar Sari menoleh pada Geni, Jaya, Barma dan satu per satu murid. Gadis itu bisa melihat raut penolakan dari teman-temannya. Namun, baik dirinya maupun teman-temannya sama sekali tidak memiliki alasan apa pun lagi selain menurut.Suasana mendadak hening. Para murid satu per satu duduk, termasuk Sekar Sari. Gadis itu memunguti barang-barang yang terjatuh. Ia sempat membuka sebuah kitab, memperhatikan isinya sekilas, kemudian menyimpannya bersama benda lain ke dalam lemari kayu.Indra dan Meswara mulai membagi ramuan penyembuh yang berada di dalam sebuah kendi besar pada para murid. Ramuan tersebut hanyalah obat untuk mempercepat proses penyembuhan dari luka dan kelalahan. Untuk sementara waktu, mereka bertahan di dalam ruangan untuk memulihkan diri. Akan sangat berbahaya jika mereka bergerak dalam keadaan lelah dan terluka.Getaran dan keributan dari luar masih terdengar dan terasa hingga ke dalam ruangan. Hanya saja tidak ada siapa pun yang berbicara untuk sementara waktu. Keheningan
“Diamlah.” Sekar Sari menekan bibirnya dengan satu jari, memelotot dengan mata yang nyaris keluar dari tempatnya. Gadis itu bahkan melayangkan selendangnya hingga menutup wajah Geni, Jaya dan Barma.“Ada apa denganmu, Sekar Sari?” tanya Geni kebingungan, “kau seperti pencuri yang tertangkap basah oleh orang banyak.”“Kubilang diam!” Sekar Sari menoleh ke depan dan belakang, mengawasi keadaan di depan dan belakang. Akan jadi masalah jika Indra atau yang lain mengetahui jika dirinya mengambil sesuatu dari ruangan Ganawirya. Mencuri adalah kesalahan fatal dengan hukuman paling berat yang harus diterima siapa pun yang berani melakukannya.Geni, Jaya dan Barma mengamati buku yang dipegang Sekar Sari sampai akhirnya gadis itu menyembunyikannya di dalam baju.“Sekar Sari, Geni, Jaya, Barma!” teriak Indra dari depan.Keempat pendekar muda itu kembali berjalan. Para murid saat ini tengah menyebrangi sungai, lalu diteruskan dengan melewati rerimbunan pohon. Tampak sisa pertarungan berupa tombak
“Kau benar, Geni.” Sekar Sari mengangguk. “Dengan jurus ini kita bisa membuat anggota Cakar Setan dan seluruh pasukan pendekar golongan hitam terkunci raganya. Waktu tersebut bisa digunakan Guru Ganawirya dan Kakang Guru Limbur Kancana untuk menyelamatkan Lingga.”“Aku setuju,” sahut Geni dengan tangan terkepal kuat. Ia menoleh pada tempat pertempuran dengan perasaan yang perlahan lega. Setidaknya, ia tidak akan menjadi beban yang terus-menerus karena melarikan diri dari pertempuran. “Aku pasti akan menolongmu, Lingga.”“Aku juga setuju,” ujar Jaya dan Barma serempak.“Aku juga setuju.”“Kami juga setuju.”“Kita tidak boleh tinggal diam di saat teman dan guru kita dalam bahaya.”“Aku setuju.”Satu per satu murid mulai mengangkat tangan, menyatakan persetujuan meski beberapa orang masih tampak ragu. Akan tetapi, karen
Melihat Kartasura berhasil mengangkap Lingga, Wulung, Bangasera, Brajawesi dan Argaseni segera mengejar Kartasura seraya melayangkan serangan silih bergantian.Kartasura dalam wujud kelelawar mengepakkan sayap kuat-kuat untuk menepis rentetan serangan tersebut, lalu melesat menuju rimbunnya pepohonan. Pendekar itu dengan cepat mengubah wujud menjadi manusia, membawa Lingga yang masih dalam kurungan kubah dengan kawanan kelelewar di atas kepalanya.Wulung melayangkan pukulan ke depan. Angin kencang seketika menerjang ke depan, membelah pepohonan menjadi dua bagian sekaligus membuka pesembunyian Kartasura yang tengah melompati satu per satu dahan pohon.“Pemuda itu milikku, Kartasura!” Argaseni melesat cepat melewati Bangasera, Brajawesi dan Wulung. Tongkat ularnya memanjang seperti ular yang sedang mengejar mangsa.Kartasura menghindar dengan cara memutar tubuh di udara, lalu menendang kepala tongkat Argaseni untuk menghentikan pergerakannya. P
“Aku berada di padepokan,” gumam Lingga seraya mengamati keadaan sekeliling.Saat ini, Lingga tengah berada tepat di depan gerbang padepokan. Bangunan kayu, halaman luas yang biasa digunakan para murid berlatih serta sekeliling padepokan yang dikelilingi pepohonan, begitu terlihat nyata di matanya. Ia bahkan bisa merasakan embusan angin sepoi-sepoi yang merangkak di kulit.“Aku ... benar-benar berada di padepokan,” ujar Lingga dengan tatapan berkaca-kaca. Ada kerinduan, kesedihan dan kebahagiaan yang terpancar dari sorot matanya. Akan tetapi, ketika menyadari sesuatu, ia tiba-tiba terdiam. “Tapi ... bagaimana mungkin aku bisa berada di tempat ini? Bukankah aku sedang berada dalam pertarungan?”Lingga berjalan dengan tatapan yang masih mengamati sekeliling. Dilihat dari sudut manapun, tempat ini benar-benar Padepokan Maung Bodas. Pemuda itu mendekat pada kendi di samping gerbang padepokan. Ia terkejut ketika melihat penampilannya di pantulan air yang masih berwujud sosok pemuda.“Apa y
Lingga kembali berpindah tempat. Saat ini, pemuda itu berada di sebuah jalan setapak. Dari kejauhan, ia melihat sosok kecil dirinya tengah menaiki tanjakan dengan wajah yang masih cemberut. Angin tiba-tiba berembus kencang, menggoyangkan dedaunan, menyelinap masuk ke celah pepohonan bambu di sisi kiri dan jalan hingga mencipta alunan suara.Lingga menyentuh sosok kecil dirinya ketika sosok itu melewatinya. Untuk kedua kalinya, ia berhasil mendaratkan tangan di tubuh masa kecilnya.Lingga kecil tiba-tiba berhenti, mengamati keadaan sekeliling, menggaruk tengkuk beberapa kali. “Sejak tadi, aku merasa ada seseorang yang mengawasiku.”Lingga terhenyak ketika mengingat peristiwa ini. Lima tahun yang lalu, pemuda itu memang merasakan kehadiran seseorang yang mengawasinya, tetapi ia tidak menyadari jika sosok itu adalah dirinya sendiri.Lingga mundur dengan tatapan yang masih tertuju pada sosok kecilnya. “Apa mungkin hal yang terjadi padaku saat ini adalah sebuah petunjuk yang memang dituju
Matahari sudah kembali ke peraduan beberapa jam lalu. Bulan purnama tampak menggantung gagah di langit, memancarkan cahaya keemasan. Suara serangga malam menemani keheningan padepokan. Angin berembus pelan, menyelinap masuk melalui lubang sebuah ruangan, mencumbu kesadaran Lingga kecil yang masih tertidur pulas.Lingga tiba-tiba berada di ruangannya. Pemuda itu melihat sosok dirinya baru saja terbangun, meneguk segelas air, kemudian membawa gulungan dari bawah dipan.“Aku harus segera berlatih.” Lingga kecil melompat dari dipan, berjalan menuju pintu, membukanya perlahan di mana tatapannya mengawasi keadaan sekeliling. “Aman.”Lingga kecil menerobos kegelapan malam, melompati satu per satu dahan pohon hingga akhirnya tiba di dekat air terjun. Anak itu melompat ke tengah sungai, duduk bersila di sebuah batu, kemudian membuka isi gulungan.Lingga mengamati sosok dirinya semenjak keluar dari gubuk kecil di belakang bangunan padepokan hingga ke tempat ini. Ia melompat ke batu yang berada