Jaya dan Barma segera membaringkan Geni di tanah dengan perlahan. Pemuda itu terluka di bagian lengan, kaki dan leher dengan darah yang masih sesekali menetes. Sekar Sari dengan cekatan menutup luka-luka itu dengan sisa ramuan obat yang ia terima dari murid-murid perempuan saat merawatnya, lalu menutupnya dengan kain.“Geni,” gumam Jaya dan Barma yang tampak cemas saat melihat keadaan Geni saat ini.“Kami minta maaf karena kami berdua sudah meninggalkanmu sendiri,” ujar Jaya.Geni berusaha duduk meski terlihat susah payah. Jaya dan Barma dengan segera membantunya. Ia menunduk wajah bersamaan tangan yang terkepal kuat. Tatapannya kembali mengawasi satu per satu orang di sekelilingnya. “A-aku yang seharusnya meminta maaf pada kalian berdua. Tidak, maksudku aku yang seharusnya meminta maaf pada kalian semua. Aku ... aku lebih memintangkan amarah dan dendamku dibandingkan menyelamatkan kalian semua. Aku ... benar-benar menyesal, padahal saat aku kesulitan kalianlah yang datang menolongku.
Sekar Sari ikut berbicara setelah mendapat tanda dari Indra. “Beberapa bulan lalu, aku tidak sengaja bertemu dengan Kakang Guru, Limbur Kancana, saat aku pergi ke perkampungan warga. Aku sempat bertarung dengannya hingga berakhir dengan aku yang terjebak di alam lain. Di dalam gua, aku menemukan Lingga sedang tergantung di dinding gua dengan tubuh yang diselimuti tanaman. Tiba-tiba saja Lingga terbangun dan tak lama setelahnya tak sadarkan diri kembali. Aku kemudian membawa Kakang Guru dan Lingga ke padepokan.”Geni, Jaya dan Barma kini mengetahui kejadian sebenarnya di balik kedatangan Lingga ke padepokan, termasuk kedekatan Indra dan yang lain dengan Lingga. Ketiganya larut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Kenyataan-kenyataan ini sedikit demi sedikit membuka tabis siapa Lingga sesungguhnya.Indra kembali mengambil alih pembicaraan. “Guru Ganawirya tak lain adalah murid dari Ki Petot dan Kakang Guru Limbur Kancana. Keduanya diberikan tugas untuk melatih dan melindungi Lingga
Satu per satu anggota Cakar Setan berhasil lepas dari jerat tanaman merambat setelah menggunakan racun kalong setan. Mereka dengan cepat mengepung Limbur Kancana dan yang lain. Tatapan empat orang itu mengawasi keadaan sekeliling sesaat, menerka siapa sosok yang melesatkan tombak hingga musuh gagal melarikan diri.Tiga bayangan hitam terlihat bergerak melewati rerimbunan pohon, lalu muncul dari arah kegelapan. Kartasura berjalan mendekat bersama Wira dan Danuseka di belakangnya. Semua tatapan pendekar yang ada di sana seketika tertuju pada mereka.“Wira,” gumam Indra, Meswara, Jaka dan Arya bersamaan.Wira menatap keempat bekas temannya dengan senyum bengis. Pemuda itu begitu menikmati sorot kebencian dan dendam yang mereka pancarkan.“Aku terkejut karena kalian bisa berada di tempat ini,” ujar Kartasura.“Kebodohanmu yang mengantarku ke tempat ini, Kartasura,” sahut Argaseni dengan tatapan geram seraya memutar-mutar tongkatnya. “Upayamu untuk menghalangiku justru membuka jalan bagiku
Limbur Kancana kembali membuka mata, segera berdiri. Ia memukul ruang kosong di depan dua kali, kemudian memusatkan pikiran dan kekuatan untuk membuka kembali gerbang menuju alam lain. Melihat hal itu, Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka dan Arya semakin mengetatkan penjagaan dan pengawasan.“Mereka akan melarikan diri,” gumam Wulung dengan mata menghunus tajam. Pecutnya dengan cepat diselubungi api.“Aku tidak akan membiarkan mereka melarikan diri dengan mudah. Bagaimanapun juga, aku setidaknya harus mendapatkan kabar di mana pemuda pewaris kujang emas itu berada,” rutuk Argaseni.Ketika angin kembali berembus dan dedaunan berguguran, semua anggota Cakar Setan seketika menerjang maju bersamaan.Indra, Meswara, Jaka dan Arya dengan cepat melempar bibit tanaman terakhir ke sekeliling arah. Sulur-sulur besar dari tumbuhan merambat saling tersambung hingga membentuk sebuah kubah. Ganawirya dengan cepat mengalirkan tenaga dalamnya ke tengah kubah tanaman. Dalam sekejap, kubah itu membesar hin
Beberapa waktu sebelum Lingga tiba di tempat pertarunganKedatangan Lingga ke alam lain disambut hujan, angin dan guntur yang bergemuruh. Kilatan petir tampak mencengkeram langit. Lingga tertunduk sembari mengepalkan tangan erat-erat. Bayangan pertarungan dan perkataan teman-temannya silih berganti hadir dalam pikiran. Ia tidak menduga jika perpisahan dengan teman satu padepokannya akan terjadi dengan cara yang tidak pernah dirinya inginkan.Lingga mendongak, mengamati keadaan sekeliling. Beberapa kali petir menyambar pepohonan hingga terbakar. Angin kencang disertai hujan deras seperti tengah mengurungnya.Lingga mematung dengan tatapan kosong. Ia secara tiba-tiba seperti mendengar suara teman-temannya di tempat ini. Akan tetapi, ketika menoleh ke atas, petir justru kembali menyambar dan menghanguskan pepohonan.Suasana menjadi terang untuk sesaat. Lingga terhenyak ketika melihat tiruan Ki Petot, Wira, Kartasura, sosok dirinya masih kecil, sosoknya saat ini, dan sosok Geni, Jaya dan
Semua tatapan dengan cepat tertuju pada Lingga. Keheningan seketika menyeruak meski angin berembus cukup kencang hingga menggoyangkan dan menggugurkan dedaunan.Semua anggota Cakar Setan, termasuk Wira dan Danuseka untuk sementara waktu tak mengalihkan pandangan dari Lingga. Para bawahan Kalong Setan itu menatap lekat-lekat pemuda itu dari atas hingga bawah. Sosok yang mereka cari selama ini nyatanya justru menampakkan diri lebih dahulu tanpa mereka harus bersusah payah untuk mencarinya.Di sisi lain, keterkejutan juga melingkupi Limbur Kancana, Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka dan Arya. Mereka tidak menduga jika Lingga akan menampakkan diri di hadapan musuh.Limbur Kancana dengan cepat menegakkan tubuh meski darah terus mengalir dari dada. Ia hendak mendekat ke arah Lingga meski pada akhirnya kembali jatuh berlutut.“Paman.” Lingga dengan cepat mendekat pada Limbur Kancana, membantu memapah pendekar berambut panjang itu.“Apa yang kau lakukan, Lingga?” tanya Limbur Kancana seraya memu
Wulung, Bangasera, Argaseni, Brajawesi dan Kartasura mengamati Lingga lekat-lekat dan di saat yang sama mengukur kekuatan pendekar muda itu. Mereka cukup terkejut karena menyadari jika Lingga menguasai jurus membelah raga, sebuah jurus tingkat tinggi yang tidak mudah dikuasai. Di saat yang sama, mereka menyadari jika kujang yang digunakan Lingga bukanlah senjata pusaka yang mereka cari-cari. “Dia sudah tumbuh menjadi pendekar hebat,” ujar Kartasura dengan pandangan yang tidak lepas dari Lingga. Ia melirik Wira dan Danuseka yang kembali bersembunyi di rerimbunan pohon. Tatapannya kemudian beralih pada anggota Cakar Setan yang masih mengawasi semua gerak-gerik Lingga.Kartasura kembali mengingat pertarungannya dengan Lingga lima tahun silam. Ia tahu jika pemuda itu memiliki kemampuan di atas rata-rata, bahkan jika dibandingkan dengan Wira dan Danuseka saat ini, Lingga masih lebih unggul dari keduanya. Tak salah jika mengingat jika pemuda itu berada dalam pengawasan dan didikan Aji Pan
Lingga kembali mendarat seraya menepis semua serangan yang tertuju padanya. Ia melihat gerbang alam lain kian mengecil, sedang keadaannya dan teman-temannya terus-menerus diserang tanpa henti. Anggota Cakar Setan begitu bernafsu untuk mencelakainya. Akan tetapi, hal yang membuatnya bingung adalah ketidakikutsertaan Kartasura dan Wira dalam upaya menyerangnya. Kedua sosok itu nyaris tak terlihat sejak serangan tadi.Lingga berusaha menajamkan seluruh indra di sela serangan terus menerjangnya. Ia melompat ke atas dengan tubuh memutar, menghadang serangan ular Bangasera yang kembali akan melahapnya. Di sisi lain, Limbur Kancana dan Ganawirya masih disibukkan dengan melawan Brajawesi dan Argaseni.Lingga melompat mundur setelah berhasil menebas ular Bangasera. Pemuda itu berusaha membebaskan Indra dan yang lain dari jerat tali pecut. Akan tetapi, ia kembali mundur ketika serangan kapak merah Brajawesi dan tongkat Argaseni menyerangnya.Sesudah berhasil menghindar dan menepis serangan, Lin
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me