Lingga sontak terperangah ketika mendengar penuturan Geni. Kakinya melangkah mundur dengan tatapan yang terkunci pada ketiga sahabatnya. Ia seperti diterbangkan ke langit tinggi dan dijatuhkan ke tanah dengan tiba-tiba. Ada ketakutan yang dengan cepat menjalar ke seluruh hati dan pikirannya.Lingga menggertakkan gigi, mengepal tangan kuat-kuat. Ia tidak menduga jika kenyataan mengenai siapa sosok dirinya sebenarnya akan terungkap di tengah-tengah keadaan genting seperti sekarang. Untuk sesaat, ia hanya bisa mematung tanpa bergerak sedikit pun.Lingga membuka setengah mulut, tetapi dengan cepat menutup kembali rapat-rapat. Hal itu terus berulang sebanyak tiga kali hingga akhirnya ia memilih menundukkan wajah.“Kenapa kau hanya diam, Lingga?” tanya Geni dengan tatapan penuh kebencian, “diammu akan kami anggap sebagai jawaban.”“Kurang ajar! Ternyata selama ini aku berteman dengan orang yang paling kubenci!” teriak Jaya tiba-tiba, “kau secara tidak langsung sudah membunuh keluargaku, Lin
Jaya memulai pertarungan dengan melempar tombaknya ke atas, melompat tinggi, kemudian menendang tombaknya dengan sekuat tenaga. Senjata itu melesat cepat dengan gerakan memutar ke arah Lingga. Lingga menghindar ke samping di mana tombak nyaris saja mengenai tubuhnya. Ia melompat mundur ketika Geni dan Barma menghunuskan pedang dan kapak secara bersamaan. Lingga dengan cepat mengeluarkan kujang untuk menangkis serangan tersebut. Jaya melompat di atas Lingga, Geni dan Barma yang kini tengah telibat dalam adu senjata. Pemuda itu segera menghentikan laju tombaknya meski harus terbawa mundur beberapa langkah. Ketika tombak sudah berada dalam genggaman, ia seketika melesat maju menyerang Lingga. Lingga melompat tinggi saat Jaya melayangkan tombak dari belakang, lalu mendarat sempurna di ujung tombak. Geni, Jaya dan Barma terperangah sesaat, lalu dengan segera kembali bersiap menyerang. Jaya memutar-mutar tombaknya, menariknya dengan gerakan cepat. Saat Lingga melompat dari tombaknya, ia
Lingga memutar tubuhnya bersamaan dengan tatapannya yang mengawasi semua murid padepokan yang sudah mengelilinginya. Pemuda itu bisa dengan jelas melihat wajah ketakutan yang melingkupi teman-temannya. Ia tak sadar maju beberapa langkah ketika melihat keadaan Indra yang masih tak sadarkan diri. Akan tetapi, lemparan tombak Jaya membuatnya seketika berhenti dan menarik kakinya menjauh.Para murid sontak menjadikan Lingga pusat perhatian. Mereka menatap lekat-lekat, saling berbisik dengan kawan di samping.“Aku seperti pernah melihat pemuda itu di suatu tempat.”“Wajahnya seperti tak asing untukku, tapi aku sama sekali tidak mengingat siapa dia.”“Apakah dia merupakan murid padepokan seperti kita?”“Aku rasa bergitu. Dia memakai pakaian murid seperti yang kita kenakan.”“Tapi aku tidak pernah melihat dia berada di padepokan.”“Adakah seseorang yang mengenalnya?”“Apa mungkin dia justru penyusup yang berusaha menipu kita dengan berpura-pura menjadi murid padepokan?”“Kenapa kita bisa dim
“Apa yang kau lakukan, Sekar Sari?” tanya Geni dengan tatapan tak suka.“Apa kau ingin membelanya?” terka Jaya.“Cepatlah menyingkir dari hadapan kami!” ujar Barma dengan setengah membentak.Sekar Sari menoleh sesaat pada Lingga yang kini berusaha bangkit, lalu menghadap satu per satu para murid. “Aku sama sekali tidak membelanya. Aku ... aku hanya tidak ingin kalian bertindak semena-mena. Guru akan bernar-benar malu jika melihat tindakan kalian.”“Aku tahu kau sudah mengetahui siapa Lingga sebenarnya sejak awal, Sekar Sari,” ketus Geni sembari maju selangkah. “Kaulah yang sudah membawa si pembuat onar itu ke padepokan kita. Dengan kata lain, kau juga sudah membohongi kami karena sudah merahasikannya sosoknya dari kami semua. Mengakulah!”Sekar Sari tercenung sesaat. “Ti-tidak! Aku sama sekali tidak mengetahui siapa lelaki ini. Aku bahkan tidak mengingatnya. Percayalah padaku!”“Hentikan kebohonganmu, Sekar Sari!” sentak Jaya, “kaulah yang sudah mengingatkan aku dan Geni mengenai Ling
“Kita tidak boleh sampai membiarkan si pembuat onar itu kabur!” teriak Geni yang memimpin jalan di depan. “Awasi keadaan sekeliling dengan saksama!”“Baik,” jawab para murid serempak yang berada di berada di belakangnya.“Itu dia!” teriak salah satu murid ketika melihat Lingga berlari di depan, lalu kembali menghilang di rerimbunan pohon.“Kepung dia dari berbagai arah dan jangan biarkan dia lolos!” Geni segera melesat maju.Empat murid perempuan secara bersamaan tiba-tiba melompat ke atas, lalu menggerakkan kipas dengan kuat. Dalam waktu singkat, embusan angin cukup kuat menerjang ke depan. Pepohonan tampak bergoyang, membongkar keberadaan Lingga yang masih melompati satu per satu dahan pohon.Tiga murid laki-laki mendadak berhenti, lalu membidik Lingga dengan serbuan panah. Tak lama setelahnya, empat murid lain melayangkan tombak ke depan. Panah dan tombak itu melesat cepat merobek udara.Lingga menoleh singkat, memutar tubuh di udara seraya menangkis serangan-serangan tersebut deng
Lingga, Sekar Sari dan Indra sontak terkejut ketika tanpa sengaja berpapasan. Ketiganya dengan cepat berhenti di dahan pohon. Lingga dengan segera melepas kain yang menutupi wajah.“Lingga, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Indra dengan pandangan tak percaya. Ia mengamati pemuda di depannya lekat-lekat. Tatapannya dengan segera mengawasi keadaan sekeliling. “Bagaimana mungkin kau bisa berada di tempat ini? Bukankah Kakang Guru sudah menempatkanmu di alam lain?”Lingga tidak langsung menjawab karena lebih dahulu melihat keadaan Indra yang terluka cukup parah. Ia menunduk seraya mengepalkan tangan erat-erat. “A-aku ... berhasil keluar dari alam lain, Kakang.”“Bagaimana mungkin?” Indra dan Sekar Sari berucap bersamaan. Keduanya saling menoleh, mendapati keterkejutan di wajah masing-masing.“Aku juga belum sepenuhnya mengerti, tapi saat aku berada di dalam gua dan memukuli dinding gua, aku tiba-tiba saja terlempar ke hutan ini,” ungkap Lingga, “dan saat melihat Geni, Jaya dan Barma da
Kungkungan angin yang mengurung perlahan menghilang. Para murid sudah bersiap menyerang. Ketika aliran udara itu sepenuhnya menghilang, Geni dan yang lain segera menerjang maju. Akan tetapi, mereka harus kecewa saat tidak mendapati Lingga berada di sana.“Bagaimana mungkin dia bisa kabur?” tanya Jaya dengan wajah terkejut bercampur amarah.“Sepertinya dia berhasil kabur dengan menggunakan tiruannya,” terka Barma.Geni berdecak, mengamati keadaan sekeliling. “Bagaimanapun caranya kita harus segera menemukan Lingga.”“Geni, sebaiknya kita memisahkan diri dengan berkelompok agar lebih cepat mencari keberadaan Lingga,” usul Jaya.“Aku setuju,” sahut Barma.“Baiklah.” Geni menatap satu para murid yang berada di sekelilingnya. “Buat kelompok yang terdiri dari tiga sampai empat orang. Kita akan berpencar untuk mencari si pembuat onar itu lebih cepat. Jika kalian menemukannya, segera beri tanda pada kelompok yang lain.”Para murid seketika terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil, lalu menye
“Jaya, apa kita akan meninggalkan Geni begitu saja?” tanya Barma di sela melompati dahan pohon. Tatapannya menoleh ke belakang sesaat.Jaya tiba-tiba berhenti. “Kita biarkan Geni menenangkan dirinya lebih dulu. Aku yakin Geni hanya sedang dikuasai amarah hingga tidak bisa berpikir jernih. Di antara kita bertiga, Geni-lah yang paling menderita karena kehilangan keluarganya, dan di antara para murid yang lain, kita berdualah yang paling dekat dengannya.”“Kau benar.” Barma mengangguk.“Kita akan menunggunya di sini beberapa saat. Jika Geni tidak menyusul kita, kita yang akan menyusulnya.”Kepulan asap tiba-tiba membumbung tinggi di udara, disusul guncangan kuat dari suatu arah. Tiga panah api tampak melayangkan ke udara, lalu kembali jatuh ke bawah.“Apa mungkin itu ... Barma, kita harus segera menuju tempat itu,” ucap Jaya seraya menunjuk tempat di mana tiga panah itu muncul. “Aku yakin Geni juga akan pergi ke tempat itu.”Jaya dan Barma kembali berlari, melompati dahan pohon dengan ce
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me