Geni dan Jaya kembali saling menatap. Kedua pemuda itu dibuat bingung dengan keadaan yang terjadi saat ini. Bagaimana mungkin para murid tidak mengetahui soal Lingga?“Geni, Jaya, apa yang kalian bicarakan?” tanya Barma yang berada di samping keduanya.“Apa kau juga tidak mengingat Lingga, Barma?” Jaya balik bertanya.Barma menggeleng, mengendikkan bahu.Geni menggertakkan gigi, berbisik di telinga Jaya, “Kenapa para murid sama sekali tidak mengingat apa pun soal Lingga?”“Entahlah.” Jaya diam sejenak, berusaha berpikir lebih dalam. “Bukankah kita juga sempat tidak mengingat Lingga untuk sementara waktu? Mungkin saja hal itu juga terjadi pada mereka. Hal yang harus kita lakukan adalah terus mengingatkan mereka.” “Kau benar.” Geni segera menoleh pada Sekar Sari ketika mengingat jika gadis itu pernah bertanya mengenai Lingga padanya dan Jaya ketika keduanya belum mengingat sosok Lingga. “Sekar Sari, aku tahu kau mengetahui sesuatu soal Lingga. Segera bantu kami untuk mengingatkan para
Sementara itu, Limbur Kancana, Ganawirya, Meswara, Jaka dan Arya mendadak muncul di atas puncak pohon yang agak jauh dari lokasi pertarungan empat anggota Cakar Setan tadi. Mereka terus berpindah tempat hingga akhirnya tiba di pekarangan padepokan dengan keringat bercucuran dan napas terputus-putus.“Sebaiknya ... kita segera memulihkan diri dengan cepat sebelum keempat anggota Cakar Setan kembali menemukan kita. Ambil semua ramuan yang bisa kita gunakan untuk membantu memulihkan diri kita sekaligus ramun untuk melawan mereka,” ujar Ganawirya.Meswara, Arya dan Jaka segera menyebar ke beberapa ruangan. Ketiganya mengambil beragam ramuan obat, beberapa kendi, lalu kembali ke pekarangan padepokan. “Aku harus segera memulihkan kekuatanku lebih dulu,” ujar Limbur Kancana tiba-tiba saja menghilang, dan dalam satu kedipan mata ia sudah berada di sebuah puncak pohon. Pendekar berambut panjang itu segera duduk bersila dengan mata yang mulai terpejam.“Kita harus segera mencari keberadaan In
Di alam lain, Lingga terus-menerus masuk ke ruangan yang dipenuhi asap putih setiap kali bersemedi. Ketika berusaha berjalan maju untuk menemui pria bermahkota emas dan kujang emas yang mengapung di atasnya, ia tetap dihadang oleh dinding tak kasat mata. Berapa kali pun mencoba, hasilnya sama sekali tidak berubah. Ia akan kembali mundur.Lingga membuka mata perlahan, dan dalam waktu bersamaan dirinya kembali ke tempat semula. Pemuda itu masih berada di salah satu puncak pohon. Ketika menoleh ke sekeliling, pemandangan hanya dipenuhi oleh pepohonan yang menjulang tinggi dengan langit malam.Lingga melompat turun, mendarat di sebuah batu, duduk di atasnya, berusaha mengingat terakhir kali tiruannya berada di hutan Lebak Angin. “Semua tiruanku sudah menghilang. Sepertinya keadaan di hutan sudah bertambah gawat. Terakhir kali sebelum tiruanku menghilang, aku sempat melihat keadaan Kakang Indra, Kakang Arya dan Kakang Meswara yang hampir celaka ketika menghadapi salah satu anggota Cakar S
Lingga dengan cepat memutar tubuh ke belakang, mendarat sempurna di puncak pohon. Cahaya merah kehitaman dari kedua tangannya mendadak menghilang.Lingga tercenung ketika melihat sosok Ki Petot di depannya. Amarahnya perlahan reda dan berganti dengan kesedihan dan kerinduan yang begitu mendalam. Air matanya mendadak berjatuhan membasahi pipi. Secara tiba-tiba, hujan mengguyur deras.“Aki,” ujar Lingga dengan tatapan tak percaya, “ini aku, Ki. Ini aku, Lingga.”Sosok Ki Petot hanya diam mematung tanpa bisa berkedip sekalipun.Lingga mendekat dengan tatapan yang mengunci pada Ki Petot. “Aki, tolong maafkan aku, Ki. Maafkan aku karena ... aku sudah membuat Aki menderita. Kalau saja ... aku lebih bersabar, kalau saja ... aku lebih mendengar perkataan Aki, pasti saat ini ... Aki masih ada di sisiku. Aku ... aku benar-benar minta maaf, Ki.”Lingga tiba-tiba berhenti, menunduk dalam dengan kedua tangan terkepal er
“Siapa aku dan apa tujuanku?” lirih Lingga, “aku adalah ....”Lingga tiba-tiba kembali tak bisa berbicara meski mulutnya terbuka dan dapat bergerak leluasa. Di tengah kebingungan, ia dibuat terkejut ketika melihat sosok tiruan dirinya, tiruan Kartasura dan Wira serta tiruan Ki Petot tiba-tiba muncul di samping pria bermahkota emas.“Kau masih belum bisa mengalahkan mereka,” ujar pria bermahkota emas, “lebih tepatnya kau belum bisa mengalahkan dirimu sendiri. Kau juga belum mengetahui siapa dirimu dan untuk apa kau menggunakan pusaka kujang emas itu.”Apa maksudnya dengan belum bisa mengalahkan mereka? batin Lingga dengan tatapan yang tidak beralih dari depan, mengunci pada sosok yang wajahnya belum ia ketahui hingga saat ini.“Kau harus mencari tahu jawabannya sendiri.” Pria bermahkota emas itu menjentikkan satu jari. Secara tiba-tiba muncul cahaya putih dari atas Lingga yang kemudian berubah men
Lingga memukul dinding gua dengan jurus harimau putih. Getaran sekali lagi menjalar ke sekeliling gua. Suara benturan pukulan pemuda itu dengan kerasnya batu terdengar hingga keluar gua. Beberapa kali bebatuan kecil terjatuh dari atap.Lingga terus menyerang dinding gua, berharap bila dugaannya tepat dan ia bisa menolong teman-temannya yang sedang kesulitan saat ini juga. Akan tetapi, sinar kecil itu justru mendadak mengecil hingga akhirnya menghilang.Lingga menggertakkan gigi, mengepalkan tangan erat-erat. Pemuda itu mundur beberapa langkah, memasang kuda-kuda menyerang, kemudian memukul dinding sekuat tenaga. Getaran besar seketika menjalar ke sekeliling. Suaranya saling bersahutan dengan hujan angin di luar gua. Sinar putih itu kembali muncul dan tak lama setelahnya lenyap.Lingga mendengkus kesal. Napasnya mulai memburu dengan tatapan yang berkilat tajam. Dadanya sesak karena amarah yang mulai menguasai diri. Ia harus bertarung dengan waktu agar bisa menyel
Teriakan Lingga seketika membuat Geni, Jaya dan Barma mendongak ke langit. Ketiganya sontak terkejut saat melihat Lingga, di mana tubuhnya diselimuti cahaya putih. Keterkejutan juga terjadi pada pasukan Wulung.“Lingga,” gumam Geni, Jaya dan Barma bersamaan. Ketiganya saling membantu untuk berdiri di mana tatapan mereka masih tertuju pada Lingga yang kini terbang memutar di langit.“Siapa pemuda itu?” tanya salah satu pasukan Wulung, “apa mungkin dia salah satu dari para murid padepokan? Persiapkan diri kalian untuk menangkapnya.”Geni, Jaya dan Barma sontak menoleh pada sosok pendekar tinggi yang menyerang mereka tadi dengan kasar dan brutal, lalu berjalan mundur di saat para pendekar golongan hitam itu masih mengawasi Lingga.Lingga menggerakkan tangan seperti burung yang mengepakkan sayap. Dalam sekejap, muncul ribuan panah putih di sekitarnya yang dengan cepat melesat turun menuju pasukan Wulung. Di saat yang sama, Lingga kembali menggerakkan tangan untuk kedua kalinya. Terjangan
Lingga sontak terperangah ketika mendengar penuturan Geni. Kakinya melangkah mundur dengan tatapan yang terkunci pada ketiga sahabatnya. Ia seperti diterbangkan ke langit tinggi dan dijatuhkan ke tanah dengan tiba-tiba. Ada ketakutan yang dengan cepat menjalar ke seluruh hati dan pikirannya.Lingga menggertakkan gigi, mengepal tangan kuat-kuat. Ia tidak menduga jika kenyataan mengenai siapa sosok dirinya sebenarnya akan terungkap di tengah-tengah keadaan genting seperti sekarang. Untuk sesaat, ia hanya bisa mematung tanpa bergerak sedikit pun.Lingga membuka setengah mulut, tetapi dengan cepat menutup kembali rapat-rapat. Hal itu terus berulang sebanyak tiga kali hingga akhirnya ia memilih menundukkan wajah.“Kenapa kau hanya diam, Lingga?” tanya Geni dengan tatapan penuh kebencian, “diammu akan kami anggap sebagai jawaban.”“Kurang ajar! Ternyata selama ini aku berteman dengan orang yang paling kubenci!” teriak Jaya tiba-tiba, “kau secara tidak langsung sudah membunuh keluargaku, Lin
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me